Selasa, 29 Oktober 2013

Imam Al-Bukhari dan Kitab Sahih Bukhari


Kegiatan penghimpunan Hadis Nabi saw. yang dilakukan oleh para ulama Hadis merupakan sebuah usaha yang tidak mudah dilakukan dan membutuhkan perjalanan waktu yang panjang. Tidak mengherankan bila seorang ulama dapat menghabiskan waktu belasan atau berpuluh tahun untuk menyusun sebuah kitab Hadis.
Dalam kegiatan penghimpunan Hadis tersebut, ulama Hadis mengadakan perlawatan ke berbagai daerah untuk mengunjungi tempat tinggal para periwayat Hadis.
Pada akhir abad kedua sampai abad keempat Hijrah perubahan terjadi dengan munculnya kitab-kitab Hadis yang hanya memuat Hadis Nabi dengan pengaturan sistematika tertentu. Pada periode inilah munculnya kitab-kitab Hadis yang dikenal dengan “Kutub al-Sittah”, yakni : Sahih al-Bukhari karya Imam al-Bukhari (w. 256 H / 870 M), Sahih Muslim karya Imam Muslim (w. 261 H / 875 M), Sunan Abu­ Dawud karya Imam Ab­ Dawud (w. 275 H / 888 M), Sunan at-Tirmizi karya Imam at-Tirmizi  (w. 279 H / 875 M), Sunan Ibn Majah karya Imam Ibn Majah (w. 283 H / 896 M) dan Sunan al-Nasa’i karya Imam al-Nasa’i (w. 303 H / 915 M).
Kutub al-Sittah merupakan kitab Hadis yang pokok bagi umat Islam di seluruh dunia. Di antara kitab-kitab Hadis tersebut adalah Sahih al-Bukhari yang dipandang dan diakui sebagai kitab yang paling utama dan memiliki tingkat kredibilitas yang tinggi oleh umat Islam.
A- Biografi Imam Al-Bukhari
Nama lengkap Imam al-Bukhari adalah Abu ‘Abd Allah Muhammad ibn Ismail ibn Ibrahim ibn al-Mugirah ibn Bardizbah al-Ju’fi al-Bukhari.[1] Beliau dilahirkan pada hari Jum’at, tanggal 13 Syawwal 194 H di kota Bukhara dari keluarga ilmuwan yang taat beragama, dan selanjutnya beliau dinisbahkan kepada kota kelahiran beliau tersebut sehingga beliau dikenal dengan nama Imam al-Bukhari. Ayahnya, Ismail adalah seorang ulama Hadis yang pernah belajar Hadis kepada beberapa ahli Hadis terkenal di antaranya Hammad ibn Zaid, Imam Malik ibn Anas, dan Ibn Mubarak.
Imam al-Bukhari adalah seorang yang sangat cerdas, memiliki pikiran yang tajam dan hafalan yang kuat, yang sudah tampak sejak dia masih kanak-kanak. Pendidikan pertama diperoleh Bukhari dari ayahnya sendiri sampai berusia lima tahun, karena sang ayah meninggal. Ketika berusia sepuluh tahun ia sudah banyak menghafal Hadis. Mengenai kelebihannya Muhammad ibn Abi Hatim menyatakan bahwa ia pernah mendengar Imam al-Bukhari menceritakan bahwa dia dapat ilham untuk mampu menghafal Hadis. ketika ditanya sejak usia berapa dia mendapat ilham tersebut, Bukhari menjawab sejak usia sepuluh tahun atau bahkan kurang.[2] Menjelang usia 16 tahun dia telah mampu menghafal sejumlah buku karya ulama-ulama terkenal pada masa sebelumnya, seperti kitab Ibn al-Mubarak dan Waki’. Selain itu ia juga dapat memahami pandangan ahlu ra’yi dan mazhabnya.[3]
Dalam rangka mendapatkan keterangan yang lengkap tentang suatu Hadis, baik matan maupun sanadnya, al-Bukhari banyak mengadakan lawatan keberbagai negeri, antara lain Syam, Mesir, dan Aljazair, masing-masing dua kali, ke Basrah empat kali, menetap di Hijaz selama enam tahun, dan berulang kali ke Kufah dan Bagdad. Di tempat-tempat yang dikunjunginya itu al-Bukhari selalu menemui guru-guru ahli Hadis.  Diantara guru-guru yang ditemui Imam al-Bukhari adalah Ali ibn al-Madani, Ahmad ibn Hanbal, Yahya ibn Ma’in, Muhammad ibn Yusuf al-Fariby, Muhammad ibn Yusuf al-Baykundi, dan Muhammad ibn Rahawaih.
Hasil pertemuan dengan guru-guru (± 1.080), Bukhari berhasil menghimpun Hadis sebanyak 600.000 buah; 300.000 buah di antaranya berhasil dihafalnya (terdiri dari 200.000 buah Hadis yang tidak sahih, dan 100.000 buah Hadis sahih).[4] Dengan kesabaran dan kecintaannya terhadap ilmu, terutama bidang Hadis menempatkan Bukhari pada martabat yang mulia di masanya sehingga ia digelari sebagai Amir al-Mu’minin fi al-Hadis.[5]
Imam Bukhari wafat pada hari sabtu malam Idul Fitri tahun 256 H, dalam usia 62 tahun kurang 13 hari di suatu perkampungan di Samarkand. Beliau meninggalkan lebih dari lima belas karya dalam bidang Hadis dan disiplin ilmu lainnya, yang mengindikasikan kedalaman ilmunya. Dan diantara karyanya yang paling fenomenal dan terpenting adalah Al-Jami’ al-Sahih atau yang lebih dikenal dengan Sahih Bukhari yang akan diterangkan kemudian.
B- Nama Lengkap Kitab Hadis Sahih Bukhari
Dari sekian banyak karya Imam al-Bukhari, yang paling terkenal di antaranya adalah kitab Sahih al-Bukhari. Judul lengkap kitab tersebut adalah al-Jami’ al-Musnad al-Sahih al-Mukhtasar min Umur Rasulillah wa Sunanih wa Ayyamih. Kitab ini disusunnya dalam kurun waktu lebih kurang 16 tahun. Imam al-Bukhari mulai membuat kerangka penulisan kitab tersebut pada saat ia berada di Masjidil Haram, Mekkah, dan secara terus menerus dia menulis kitab tersebut sampai kepada draft terakhir yang dikerjakannya di Mesjid Nabawi di Madinah.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan Imam al-Bukhari menyusun kitab ini, diantaranya adalah: kondisi saat itu yang langka akan kitab yang benar-benar bisa dijadikan rujukan yang kuat. Karena hampir semua literatur yang ada, semuanya bercampur aduk antara Hadis yang sahih, hasan dan da’if, sehingga sangat menyulitkan bagi orang yang ingin mendalami bahasan-bahasan tertentu untuk membedakan antara Hadis-hadis sahih dan lainnya. Selain itu, juga literatur yang ada belum mengelompokkan pokok-pokok bahasan tertentu bab demi bab, karena tujuan utama penulisannya adalah ‘masih sekedar’ untuk mengumpulkan Hadis dan sebagai sarana untuk menghafalkannya bagi umat.[6]
Selain itu, adanya unsur ‘meremehkan’ fiqh al-Hadis dan segala yang berkaitan dengannya, dari lafaz, ma’na dan fawaid yang terdapat dalam Hadis-Hadis pada sebagian ahli Hadis dan rawi. Hal ini membawa implikasi pada lemahnya ahli-ahli Hadis ketika harus berhadapan dengan ahli-ahli bid’ah yang sengaja menyebarkan Hadis-hadis da’if bahkan Hadis-hadis palsu di dalam berargumentasi. Hal ini sangat mempengaruhi Imam Bukhari untuk segera mencari solusi atas masalah yang sangat berdampak negatif terhadap umat. Terlebih setelah ia melihat banyaknya ahli-ahli yang mulai lebih mengutamakan logika sekalipun menyalahi sunnah yang datang dari Rasulullah saw.[7]
Selain dari faktor-faktor tersebut di atas, faktor penting lainnya yang memotivasi Imam Bukhari adalah ucapan gurunya Ishaq ibn Rahawaih “Tulislah sebuah kitab kecil tentang Hadis sahih Rasulullah saw.”. Bukhari mengatakan: “perkataan guruku itu ternyata sangat menyentuh hatiku, maka aku mulai untuk menuliskan buku tersebut…..”[8]
C- Jumlah Hadis Sahih Bukhari
Para ulama berbeda pendapat mengenai jumlah Hadis yang terdapat dalam Sahih Bukhari. Menurut penelitian Azami, ada 9.082 Hadis yang dimuat Imam al-Bukhari ke dalam kitab Sahih-nya, dan apabila dihitung tanpa memasukkan Hadis yang berulang, maka jumlahnya adalah 2.602 Hadis. Jumlah ini tidak termasuk di dalamnya Hadis Mauquf dan Hadis Maqtu’. Sementara itu, menurut Ibnu Shalah dan Imam an-Nawawi, kitab ini memuat 7.275 buah Hadis, dengan adanya pengulangan, dan bila tidak diulang jumlahnya hanya 4.000 buah.
Dalam menyeleksi Hadis-hadis yang akan dimuat dalam kitabnya, Bukhari sangat cermat dan teliti, sehingga dari 600.000 Hadis yang ia dapatkan hanya 4.000 saja yang dimuat. Diriwayatkan bahwa karena kehati-hatiannya, setiap kali hendak menulis Hadis al-Bukhari selalu mandi dulu dan shalat istikharah dua raka’at untuk meyakinkan bahwa Hadis yang akan ditulisnya itu benar-benar Sahih. Hal tersebut terlihat dari pernyataan al-Bukhari sendiri, sebagai berikut:
قال إبراهيم : و سمعته يقول: ما أدخلت في كتابي الصحيح إلا ما صح….
قال محمد بن إسماعيل : ما وضعت في كتابي الصحيح حديثا إلا اغتسلت قبل ذلك وصليت ركعتين.[9]
(Ibrahim berkata: “Saya mendengar dia (Bukhari) berkata: Saya tidak masukkan ke dalam kitab Sahihku kecuali Hadis yang sahih”
Muhammad ibn Ismail (al-Bukhari) berkata:” Aku tidak akan memasukkan satu Hadis pun kedalam kitab sahihku kecuali setelah aku mandi dan shalat dua rakaa’at sebelumnya.”)
Menurut Bukhari, sebuah Hadis baru dikatakan sahih apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
  1. Perawinya harus Muslim, sadiq, berakal sehat, tidak mudallis, tidak mukhtalit, adil, sehat panca indra, tidak suka ragu-ragu dan memiliki ‘itikad yang baik dalam meriwayatkan Hadis;
  2. Sanadnya bersambung sampai kepada Nabi saw; dan
  3. 3. Matannya tidak syaz dan tidak mu’allalah
Selain memiliki kualitas pribadi seperti tersebut diatas, menurut Bukhari, perawi Hadis harus mu’asirah (satu masa), liqa’ (bertemu) dan subut simaihi (mendengar langsung secara pasti) dengan gurunya.
Berdasarkan hal diatas maka Imam Bukhari adalah seorang ulama yang paling ketat dalam mengajukan syarat-syarat kesahihan sebuah Hadis, dan ia juga sangat teliti dalam meriwayatkan Hadis, sehingga para ulama Hadis belakangan menempatkan kitab Sahih Bukhari pada peringkat yang pertama dalam urutan kitab-kitab yang muktabar.
D- Penilaian Ulama terhadap Sahih Bukhari
Telah menjadi kesepakatan ulama dan umat Islam bahwa kitab Sahih al-Bukhari adalah kitab yang paling otentik dan menduduki tempat terhormat setelah Alquran. Diantara para ulama yang  mengemukakan demikian adalah Ibnu Salah, beliau mengemukakan, kitab yang paling otentik sesudah Al-Quran adalah Sahih Bukhari dan Sahih Muslim. Akan tetapi sebahagian kecil dari ulama, seperti Abu Ali al-Naisaburi, Abu Muhammad ibn Hazm al-Zahiri dan sebahagian ulama Maghribi mengunggulkan Sahih Muslim daripada Sahih Bukhari, yaitu alasan keunggulan Sahih Bukhari dari Sahih Muslim adalah pada keunggulan pribadi Imam Bukhari dari Imam Muslim, dan ketaatan Bukhari dalam memilih perawi daripada muslim. Sementara alasan keunggulan Sahih Muslim daripada Sahih Bukhari lebih difokuskan kepada metode dan sistematika penyusunannya, dimana Sahih Muslim lebih baik dan lebih teratur sistematikanya dibandingkan Sahih Bukhari.
Meskipun dinilai paling otentik setelah Alqur’an dan menduduki tempat terhormat, kitab Sahih Bukhari tetaplah buah karya manusia yang tidak pernah luput dari kritik. Sahih Bukhari mendapat kritik, baik dari segi sanad maupun matannya, baik dikalangan ulama sendiri maupun orang non Muslim.
Daruqutni dan Abu Ali al-Ghassani dari ulama masa lalu, menilai bahwa sebagian Hadis-hadis Bukhari adalah daif karena adanya sanad yang terputus dan dinilai dari segi ilmu Hadis sangat lunak. Daruquthni dalam kitabnya Al-Istidarakat mengkritik ada 200 buah Hadis dalam Sahih  Bukhari dan Sahih Muslim. Menurut Imam Nawawi kritikan itu barawal dari tuduhan bahwa dalam Hadis-hadis tersebut Bukhari tidak menepati dan memenuhi persyaratan yang ia tetapkan. Kritik Daruqutni berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan sejumlah ahli Hadis yang justru dinilai dari segi ilmu Hadis sangat lunak, karena berlawanan dengan kriteria jumhur ulama. Sementara Daruqutni menyoroti sanad dalam arti rangkaian perawi Hadis, para ahli lain menyoroti pribadi perawinya. Dari kajian tentang sanad, Daruqutni mendapatkan adanya sanad yang terputus, karenanya Hadis itu dinilai da’if. Namun, Setelah diteliti ternyata Hadis yang dituduh Mursal itu terdapat diriwayat lain, sementara riwayat yang terdapat dalam Sahih  Bukhari tidak terputus. Pencantuman sanad yang mursal itu dimaksudkan sebagai pembuktian bahwa Hadis tersebut diriwayatkan pula oleh penulis Hadis lain dengan sanad yang lain juga. Periwayatan semacam ini dalam ilmu Hadis disebut Hadis syahid atau Hadis muttabi’.
Sebagian ahli Hadis lain berpendapat ada beberapa perawi dalam Sahih ini tidak memenuhi syarat untuk diterima Hadisnya. Ibn Hajar membantah pendapat ini, tidak dapat diterima kecuali perawi-perawi itu terbukti jelas mempunyai sifat-sifat atau hal-hal yang yang menyebabkan Hadisnya ditolak. Setelah diteliti ternyata tidak ada satu perawi pun yang mempunyai sifat-sifat dan perbuatan seperti itu. Syeikh Ahmad Syakir berkomentar, seluruh Hadis Bukhari adalah sahih. Kritik Daruqutni dan lainnya hanya karena beberapa Hadis yang ada tidak memenuhi persyaratan mereka. Namun, apabila Hadis-hadis itu dikembalikan kepada persyaratan ahli Hadis pada umumnya, semuanya sahih.[10]
Selain pendapat tersebut di atas, kaum orientalis, seperti Ignaz Goldziher, A.J. Wensik dan Maurice Bucaille, turut juga mengajukan kritik, yang kemudian dikenal dengan kritik matan Hadis. Menurut mereka, para ahli Hadis terdahulu hanya mengkritik Hadis dari sanad atau perawi saja, sehingga banyak Hadis yang terdapat dalam sahih Bukhari yang kemudian hari ternyata tidak sahih ditinjau dari segi sosial, politik, sains dan lain-lain. Di antara Hadis yang dikritik itu adalah Hadis yang berasal dari al-Zuhri, bahwa Rasulullah saw. Bersabda, “ tidak diperintahkan pergi kecuali menuju tiga mesjid, yaitu Mesjid al-Haram, Mesjid Rasul, dan Mesjid al-Aqsa”. Hadis ini menurut Goldziher adalah Hadis palsu yang sengaja dibuat al-Zuhri untuk kepentingan politik semata. Sedangkan Hadis tentang “lalat masuk air minum”, “demam berasal dari neraka”, dan “perkembangan embrio” dikritik Maurice Bucaille karena isinya bertentangan dengan sains.
Ulama kontemporer, seperti Ahmad Amin dan Muhammad al-Ghazali, juga mengajukan kritik terhadap Hadis Bukhari. Ahmad Amin mengatakan, meskipun Bukhari tinggi reputasinya dan cermat pemikirannya, tetapi di masih menetapkan Hadis-hadis yang tidak sahih ditinjau dari segi perkembangan zaman dan penemuan ilmiah, karena penelitiannya terbatas pada kritik sanad saja. Di antara Hadis yang dikritiknya adalah tentang “ seratus tahun lagi tidak ada orang yang masih hidup di atas bumi”. Dan “ Barang siapa makan tujuh kurma ajwah setiap hari, ia akan selamat dari racun maupun sihir pada hari itu sampai malam”.
Muhammad al-Ghazali menyatakan apabila suatu Hadis bertentangan dengan sains, Hadis itu harus ditolak meskipun ia terdapat dalam sahih Bukhari, sebab menurutnya, Imam Bukhari itu bukan seorang yang ma’sum. Seperti Hadis tentang “Seandainya tidak ada Bani Israil, makanan dan daging tidak akan busuk” adalah Hadis da’if karena tidak sesuai dengan sains.
Kritik-kritik dari kaum orientalis dan ulama kontemporer tersebut telah mendorong lahirnya para pembela Imam Bukhari untuk menyanggah kritik-kritikan tersebut seperti Muhammad Mustafa ‘Azami dan Mustafa al-Siba’i dengan sanggahan itu membuat semakin menambah kualitas Sahih al-Bukhari dan mendorong munculnya ulama  Hadis sesudah al-Bukhari untuk membuat syarah maupun ikhtisar kitab Sahih ini, dan membuat jawaban yang lebih luas dan mendalam terhadap kritik-kritik ini.[11]
E- Kitab-kitab Syarah Sahih Bukhari
Sejumlah ulama telah menulis kitab-kitab syarah terhadap kitab-kitab Hadis standard, termasuk kitab syarah terhadap Sahih al-Bukhari.  Al-‘Azami menyebutkan bahwa ratusan kitab syarah telah ditulis, bahkan ada di antaranya yang mencapai lebih dari 25 jilid.
Diantara kitab syarah dari Sahih Bukhari ini, maka yang terbaik menurut Al-‘Azami adalah:
  1. Kitab Fath  al-Bariy  fi  Syarh  Sahih al-Bukhari, oleh Ibn Hajar al-Asqalaniy (773-852 H).  Kitab ini terdiri dari 13 jilid ditambah satu jilid Muqaddimah nya;
  2. Kitab ‘Umdat al-Qari, oleh Badr al-Din Mahmud Ibn Ahmad Ibn Musa al-Qahiri al-‘Aini al-Hanafi (762-885 H).
  3. Kitab Irsyad al-Sair, oleh Qasthallaniy (w. 923 H).
Dan di antara hasil karya Imam Bukhari  yang lain adalah sebagai berikut:  al-Jami’ as-Sahih (Sahih Bukhari), Al-Adab al-Mufrad, At-Tarikh as-Shagir, At-Tarikh al-Ausat, At-Tarikh al-Kabir, Al-Musnad al-Kabir, Kitab al-‘Ilal, Raf’u al-Yadain fi al-Salat, Birru al-Walidain, Kitab al-Asyribah, al-Qira’ah Khalf al-Imam, Kitab ad-Du’afa, Asami as-Sahabat dan Kitab al-Kun.
F- Sistematika Pembahasan Sahih Bukhari
Hadis-hadis yang terdapat dalam Sahih Bukhari dikelompokkan berdasarkan topik-topik tertentu yang tersusun dalam beberapa kitab dan bab. Jumlah Hadis dalam setiap kitab dan bab bervariasi. Pada satu bab bisa memuat Hadis yang banyak, namun pada bab yang lain bisa hanya memuat satu atau dua Hadis saja. Bahkan pada beberapa bab hanya berisi ayat-ayat Al-Quran saja tanpa satu pun Hadis didalamnya, atau hanya terdapat judul bab tanpa ada satu pun Hadis maupun ayat-ayat Alquran di dalamnya, untuk memudahkan baginya menemukan Hadis sesuai dengan bab tersebut pada suatu saat.
Isi kitab Sahih al-Bukhari dibagi ke dalam lebih dari 100 bagian  dan  3.450 bab. Dimulai dari pembahasan tentang wahyu dan ditutup dengan pembahasan tauhid. Dalam menyusun kitabnya al-Bukhari menggunakan susunan dan topik-topik yang lazim digunakan dalam ilmu fiqih. Hadis-hadis dipilah-pilah dan dikelompokkan berdasarkan bidang-bidang yang menjelaskan bagian-bagian yang ada, dengan menyebutkan secara lengkap sanad-sanadnya.[12]
Metode dan sistematika penulisannya adalah :
  1. Mengulangi Hadis jika diperlukan dan memasukkan ayat-ayat Al-Quran;
  2. Memasukkan fatwa sahabat dan tabi’in sebagai penjelas terhadap Hadis yang ia kemukakan;
  3. Menta’liqkan (menghilangkan sanad) pada Hadis yang diulang karena pada tempat lain sudah ada sanadnya yang bersambung;
  4. Menerapkan prinsip-prinsip al-jarh wa at-ta’dil;
  5. Mempergunakan berbagai sigat tahammul;
  6. Disusun berdasar tertib fiqih.
Adapun teknik penulisan yang digunakan adalah:
  1. Memulainya dengan menerangkan wahyu, karena ia adalah dasar segala syari’at;
  2. Kitabnya tersusun dari berbagai tema;
  3. Setiap tema berisi topik-topik ;
  4. Pengulangan Hadis disesuaikan dengan topik yang dikehendaki tatkala mengistinbatkan hukum.
Salah satu contoh Hadis yang terdapat di dalam Sahih Bukhari adalah:
حدّثنا عبد الله بن موسى قال: أخبرنا حنظلة بن أبي سفيان عن عكرمة بن خالد عن ابن عمر رضى الله عنهما قال : قال رسول الله صلى الله عليه و سلم : (بُنِيَ الإسلامُ علىَ خَمْسٍ : شَهَادَةِ أنْ لا إله إلا الله , و أنَّ محمدا رسولُ الله , و إقامِ الصلاةِ , و إيتاء الزكاةِ, و الحج, و صوم رمضانَ)[13]
Artinya: “Telah meriwayatkan kepada kami ‘Ubadullah bin Musa telah berkata dia: telah mengkhabarkan kepada kami Handalah bin Abi Sufyan dari ‘Ikrimah bin Khalid dari ibn ‘Umar ra berkata: bersabda Rasulullah saw.: (Islam dibangun atas lima perkara: bersaksi bahwa tiada tuhan kecuali Allah, dan bahwa Muhammad utusan Allah, mendirikan salat, menunaikan zakat, haji dan puasa di bulan Ramadan)”.
(Penyusun: Nani Endri Santi/Mahasiswi PPs IAIN SU)
Daftar Pustaka

[1] Muhammad  Ajjaj al-Khatib, Usul  al-Hadis , ‘Ulumuh wa Mustalahuh (Beirut: Dar al-Fikr,1966) h.309.
[2] Muhammad Ab­ Zahw, al-Hadis wa al-Muhaddisin awInayat al-Ummat al-Islamiyyah bi al-Sunnah al-Nabawiyyah (Mesir: Dar al-Fikr al Araby, tt), h. 353.
[3] Nawir Yuslem, Kitab Induk Hadis, (Jakarta: Hijir Pustaka Utama, 2006), h. 51.
[4] Ibid, h. 52.
[5] Ajjaj al-Khatib, Usul al-Hadis, h. 210.
[6] Ab­ Zahw, Al-Muhaddisun, h. 378.
[7] Ibid
[8] Muhammad Muhammad Abu Syuhbah, Fi  Rihab al Sunnah al-Kitab al-Sahih al-Sittah (Kairo: al-Buhus al-Islamiyah, T. Th.), h. 57.
[9] Ibn Hajar al-Asqalani, Hady al-Sari (Riyad: Riasah Idarah al-Buhus al-Islamiyah wa-alIfta wa al-Da’wah wa al-Irsyad, t.th), h. 6-7.
[10] Muhammad Adib Salih, Lamhat fi Usul al-Hadis (Beirut: al-Maktab al-Islami, 1399 H), h. 123-125.
[11] Nawir Yuslem, Kitab Induk Hadis, h. 56-58.
[12] Ibid, h. 56.
[13] Bukhari, Sahih Bukhari (Beirut: Dar al-Kutub ‘Ilmiah, T.Th), Juz 1, h. 9.

Riwayat Hidup Imam Muslim


SHOHIH MUSLIM
  1. Biografi Imam Muslim
Imam Muslim adalah salah seorang ulama hadits yang sangat masyhur di kalangan ulama-ulama hadits lainnya, bahkan di kalangan ulama-ulama mutaakhirin. Beliau mempunyai nama lengkap Imam Abdul Husain bin al-Hajjaj bin Muslim bin Kausyaz al-Qusyairi an-Naisaburi. Beliau dilahirkan di Naisabur tahun 206 H, sebagaimana dikatakan oleh al-Hakim Abu Abdullah dalam kitabnya “Ulama’ul Amsar”. Imam Muslim adalah penulis kitab shohih dan kitab ilmu hadits. Beliau adalah ulama terkemuka yang namanya tetap dikenal sampai kini.
Kehidupan Imam Muslim penuh dengan kegiatan mulia. Beliau merantau ke berbagai negeri untuk mencari hadits. Beliau pergi ke Hijaz, Irak, Syam, Mesir dan negara-negara lainnya. Dia belajar hadits sejak masih kecil, ykni mulai tahun 218 H. dalam perjalananya, Muslim bertemu dan berguru pada ulama hadits.
Di Khurasan, dia berguru kepada Yahya bin Yahya dan Ishak bin Rahawaih. Di Ray, dia berguru kepada Muhamad bin Mahran dan Abu Ansan. Di Irak, dia belajar kepada Ahmad bin Hanbal dan Abdullah bin Maslamah. Di Hjaz, berguru kepada Sa’id bin Mansur dan Abu Mas’ab. Di Mesir, belajar kepada Amar bin Sawad dan Harmalah bin Yahya dan berguru kepada ulama hadits lainnya.
Imam Muslim berulang kali pergi ke Bagdad untuk belajar hadits, dan kunjungannya yang terakhir tahun 259 H. ketika Imam Bukhari datang ke Naisabur, Muslim sering berguru kepadanya. Sebab dia mengetahui kelebihan ilmu Imam Bukhari. Ketika terjadi ketegangan antara Bukhari dan az-Zuhali, dia memihak Bukhari. Sehingga hubungannya dengan az-Zuhali menjadi putus. Dalam kitab shohih nya maupun kitab lainnya, Muslim tidak memasukan hadits yang diterima dari az-Zuhali, meskipun dia adalah guru Muslim. Dan dia pun tidak memasukan hadits yang diterima dari Bukhari, padahal dia juga sebagai gurunya. Bagi Muslim, lebih baik tidak memasukan hadits yang diterimanya dari dua gurunya. Tetapi dia tetap mengakui mereka sebagai gurunya.
Imam Muslim mempunyai guru hadits yang sangat banyak. Diantaranya Utsman bin Abi Syaibah, Abu Bakar bin Syaibah, Syaiban bin Farukh, Abu Kamil al-Juri, Zuhair bin Harab, Amar an-Naqid, Muhamad bin Musanna, Muhamad bin Yasar, Harun bin Said 1
al-Aili, Qutaibah bin sa’id dan lain sebagainya.
Selain itu, banyak pula para ulama yang meriwayatkan hadits dari Imam Muslim, bahkan di antaranya terdapat ulama besar yang sebaya dengan dia. Di antarany Abu Hatim ar-Razi Musa bin Harun, Ahmad bin Salamah, Abu Bakar bin Khuzaimah, Yahya bin Said, Abu Awanah al-Isfarayini, Abi Isa at-Tirmidzi, Abu amar Ahmad bin al-Mubarak al-Mustamli, Abul Abbas Muhamad bin Ishaq bi as-Sarraj, Ibrahim bin Muhamad bin Sufyan al-Faqih az-Zahid. Nama terakhir ini adalah perawi utama bagi shohih Muslim.
Apabila Imam Bukhari sebagai ahli hadits nomor satu, ahli tentang ilat-ilat (cacat) hadits dan seluk beluk hadits, dan daya kritiknya yang sangat tajam, maka Imam Muslim adalah orang kedua setelah Bukhari, baik dalam ilmu, keistimewaan dan kedudukannya. Hal ini tidak mengherankan, karena Muslim adalah salah satu muridnya. Al-Khatib al-Baghdadi berkata : “Muslim telah mengikuti jejak Bukhari, mengembangkan ilmunya dan mengikuti jalannya”. Pernyataan ini bukanlah menunjukan bahwa Muslim hanya seorang pengikut saja. Sebab dia mempunyai cirri khas tersendiri dalam menyusun kitab, serta memperkenalkan metode baru yang belum ada sebelumnya.
Imam Muslim mendapatkan pujian dari ulama hadits dan ulama lainnya. Al-Khatib al-Baghdadi meriwayatkan dari Ahmad bin Salamah, katanya “Saya melihat Abu Zur’ah dan Abu Hatim selalu mengutamakan Muslim dari pada guru-guru hadits lainnya”. Ishak bin Mansur al-Kausaj berkata kepada Muslim : “Kami tidak akan kehilang kebaikan selama Allah menetapkan engkau bagi kaum muslimin”. Ishak bin Rahawaih pernah berkata : “Adakah orang lain seperti Muslim?”. Ibnu Abi Hatim mengatakan : “Muslim adalah penghafal hadits. Saya menulis hadits dari dia di Ray”. Abu Quraisy berkata : “Di dunia ini, orang yang benar-benar ahli hadits hanya empat orang, di antaranya adalah Muslim”. Maksudnya, ahli hadits terkemuka di masa Abu Quraisy. Sebab ahli hadis itu cukup banyak jumlahnya.
Setelah mengarungi kehidupan yang penuh berkah, Muslim wafat pada hari ahad sore dan dimakamkan di kampung Nasr Abad daerah Naisabur pada hari senin, 25 Rajab 261 H, dalam usia 55 tahun.
  1. Karya-karya Imam Muslim
Selama hidupnya, Imam Muslim menulis beberapa kitab yang sangat bermanfaat.
Di antaranya :
  1. Al-Jami’ as-Shahih
  2. Al-Musnad al-Kabir ‘ala ar-Rijal
  3. Kitab al-Asma’ wa al-Kuna
  4. Kitab al-Ilal
  5. Kitab al-Aqran
  6. Kitab Sualatihi Ahmad bin Hanbal
  7. Kitab al-Intifa’ bi Uhubis Siba’
  8. Kitab al-Muhadramain
  9. Kitab Man laisa Lahu illa Rawin Wahidin
  10. Kitab Auladus Sahabah
  11. Kitab Auhamul Muhadisin
Kitabnya yang paling terkenal sampai kini ialah Al-Jamius Shahih atau Shahih Muslim.
Kitab Shahih Muslim
Di antara kitab-kitab di atas yang paling agung dan sangat bermanfaat luas, serta masih tetap beredar hingga kini ialah Al-Jamius Shahih , terkenal dengan Shahih Muslim. Kitab ini merupakan salah satu dari dua kitab yang paling Shahih dan murni sesudah kitabullah. Kedua kitab shahih ini diterima baik oleh segenap umat islam.
Imam Muslim telah mengerahkan seluruh kemampuanya untuk meneliti dan mempelajari keadaan para perawi, menyaring hadits –hadits yang diriwayatkan, membandingkan riwayat-riwayat itu satu sama lain. Muslim sangat teliti dan hati-hati dalam menggunakan lafadz-lafadz dan selalu memberikan isyarat akan adanya perbedaan antara lafadz-lafadz itu. Dengan usaha sedemikian rupa, maka lahirlah kitab Shahihnya.
Bukti-bukti kongkrit mengenai keagungan kitab itu adalah suatu kenyataan, dimana Muslim menyaring isi kitabnya dari ribuan riwayat yang pernah didengarnya. Diceritakan, bahwa ia pernah berkata : “Aku susun kitab shahih ini yang disaring dari 300.000 hadits”.
Diriwayatkan dari Ahmad bin Salamah, yang berkata : “Aku menulis bersama Muslim untuk menyusun kitab Shahihnya itu selama 15 tahun. Kitab itu berisi 12.000 hadits. Dalam pada itu Ibnu Shalah menyebutkan dari Abu Quraisy al-Hafidz bahwa jumlah
hadits Shahih Muslim itu sebanyak 4.000 buah hadits. Kedua pendapat tersebut dapat kita kompromikan yaitu bahwa perhitungan pertama memasukkan hadits-hadits yang berulang-ulang penyebutannya, sedangkan perhitungan kedua hanya menghitung hadits-hadits yang tidak disebutkan berulang-ulang. Imam Muslim berkata di dalam shahihnya : “Tidak setiap hadits yang shahih menurutku, aku cantumkan di sini, aku hanya mencantumkan hadits-hadits yang telah disepakati oleh para ulama hadits”. Imam Muslim pernah berkata, sebagai ungkapan gembiraatas karunia Allah yang diterimanya : “Apabila penduduk bumi ini menulis hadits selama 200 tahun, maka usaha mereka hanya akan berputar-putar di sekitar musnad ini”.
Imam Muslim di dalam penulisan shahihnya tidak membuat judul setiap bab secara terperinci. Adapun judul-judul kitab dan bab yang kita dapati pada sebagian naskah shahih Muslim yang sudah dicetak, sebenarnya dibuat oleh para pengulas yang datang kemudian. Di antara para pengulas yang paling baik membuatkan judul-judul bab dan sistematika babnya adalah Imam Nawawi dalam Syarahnya.
DAFTAR PUSTAKA
Shahih Bukhari Muslim. Februari 2008. Penyusun : Al-Bayan. Bandung : Jabal
Munawwir, Ahmad Warson. Al-Munawwir Kamus Indonesia-Arab. Surabaya
Hadyu Muhamad SAW

Pemikiran Islam Sebelum Periode Modern


A.    Pendahuluan
Sumber ajaran Islam adalah Al-qur’an dan Hadist. Al-qur’an dan Hadist lalu ditafsirkan. Tafsir itu merupakan hasil pemikiran mufasir (ahli tafsir). Pemikiran itulah sebenarnya yang membentuk sikap dan perilaku kaum muslimin. Tatkala suatu pemikiran dimunculkan dan dianggap sesuai dengan keadaan zaman, pemikiran tersebut diterima oleh masyarakat Islam masa itu tetapi lama kelamaan situasi berubah. Pemikiran tadi ada kalanya tidak sesuai lag idengan keadaan yang baru. Maka para pemikir memikirkan kembali hasil pemikiran lama itu untuk disesuaikan dengan zaman modern, hasil pemikiran itu disebut Modernisasi pemikiran Islam. Pembaharuan dalam Islam dilakukan berdasarkan pemikiran baru tersebut, jadi pada hakikatnya, istilah pembaharuan atau modernisasi itu sama saja. Yaitu penerapan pemikiran modern dalam memajukan Islam dan umat Islam.
Pada abad ke-18 M, muncul (reformasi) untuk melepaskan diri dari taklid dikalangan umat Islam. Usaha ini timbul setelah kaum muslimin sadar akan kelemahan dan kemunduran mereka akibat perselisihan dikalangan umat Islam sendiri. Menurut Harun Nasution dalam buku “materi pendidikan agama Islam” dipihak lain ada juga usaha-usaha nonmuslim yang ikut menyokong kehancuran umat Islam. Bersamaan dengan itu banyak Negara-negara Islam ditundukan barat dibawah kekuasaannya.
Selain itu dunia barat yang semula jauh ketinggalan dibandingkan dengan dunia Islam, mulai maju dengan pesatnya. Ilmu pengetahuan dan teknologi yang mereka capai, sehingga peradaban yang dahulunya berada ditangan muslim beralih ke barat.
Umat Islam merasa tergugah kembali untuk meraih kesuksesan yang pernah diraihnya itu. Kebangkitkan umat islam muncul di Turki dan Mesir yang memulai usaha-usaha dibidang pendidikan. Di Mesir pada awal abad ke-13 H, Muhammad Ali Pasya tampil untuk memajukan ilmu pengetahuan, kemudian dilanjutkan oleh Al-Tahtawi dengan usaha penerjemahan buku-buku barat tentang berbagai macam pengetahuan modern.
Hasrat terhadap kebutuhan pembaharun merupakan akibat dan kenyataan lingkungan. Dengan dilengkapai metode serta strategi untuk menyesuaikan syariat Islam dengan pandangan dunia.
B.     Pembaharuan Hukum Islam
Dalam system hukum apapun, dimananpun di dunia ini, hukum tersebut mengalami perubahan-pembaharuan. Bagi hukum tanpa kitab suci atau wadh’i, perubahan atau pembaharuan hukum itu dilakukan untuk menyesuaikan hukum dengan perkembangan social dan kebutuhan masyarakat. Ini tentu terkait dengan sifat dasar dan ruang lingkup hukum (wadh’i) itu sendiri, yaitu aturan yang dibuat oleh manusia untuk mengatur hubungan hidup antar manusia dengan msnusia serta penguasa dalam masyarakat. Oleh karena itu pembaharuan hukum merupakan keharusan sejarah karena fenomena social kemasyarakatan tidaklah statis melainkan dinamis atau berubah. Jadi, selain bersifat permanent hukum juga berubah.
Alasan perubahan hukum wadh’i tersebut tentu dapat juga diterima sebagai alasan perubahan hukum Islam (fiqih), tetapi menjadi alasan pembaharuan hukum itu (wadh’i) sebagai satu-satunya alasan dan metode bagi  pembaharuan hukum Islam tentu tidak bijaksana, bukan saja karena hukum Islam mempunyai kitab suci yang tetap tidak berubah, tetapi produk ilmu atau pemikiran Islam mempunyai bentuk yang lebih beragam, daripada produk hukum wadh’i atau barat. Jika produk hukum wadh’i terdapat dua bentuk yaitu undang-undang dan keputusan-keputusan lembaga peradilan serta tak tertulis (hukum adat). Maka produk pemikiran hukum Islam terdapat dalam empat bentuk, yaitu perundangan-perundangan, keputusan-keputusan lembaga peradailan, kitab-kitab fiqih, dan fatwa-fatwa ulama.
Hal lain yang membuat hukum Islam perlu diperbaharui antara lain menurut Ahmad Zaki Yamami, adalah karena hukum Islam merupakan hasil pemikiran (fiqih) para ulama yang tidak lepas dari tuntutan zaman dan tempat yang lebih spesifik, yang belum tentu cocok dengan tuntutan zaman sekarang, oleh karena itu, menurut yamami hukum Islam dalam kitab-kitab fiqih para ulama atau fuqaha terdahulu tidaklah mengikat.
C.    Pemikiran Islam Sebelum Periode Modern
Secara garis besar, sejarah Islam dapat dibagi menjadi tiga periode, yaitu:
1.      Periode Klasik (650-1250), merupakan zaman kemajuan. Periode ini dapat dibagi menjadi dua bagian, pertama, fase esxpansi, integrasi, dan puncak kemajuan terjadi kira-kira pada tahun 650-1000. kedua, fase disintegrasi, terjadi kira-kira pada tahun 1000-1250.
2.      periode peertengahan (1250-1800), terdiri atas dua fase, pertama, fase kemunduran (1250-1500), kedua, fase tiga kerajaan besar (1500-1800), yang mengalami zaman kemajuan pada tahun 1500-1700, dan zaman kemunduran pada tahun 1700-1800.
3.      periode modern (1800-sekarang), yaitu peride kebangkita Islam, pemikiran Islam pada zaman inilah yang disebut pemikiran modern Islam atau pemikiran modern dalam Islam.
Pada periode pertengahan, telah muncul pemikiran dan usaha pembaharuan Islam di kerajaan Usmani di Turki. Akan tetapi usaha itu gagal karena ditentang golongan militer dan ulama. Tantangan pertama datang dari tentara tetap yang disebut Janissary yang mempunyai hubungan erat dengan Tarekat Bektasyi yang berpengaruh besar dalam masyarakat. Tantangan kedua datang dari pihak ulama, karena menurut mereka ide-ide pembaharuan itu didatangkan dari Eropa dan bertentangan dengan paham tradisional yang dianut masyarakat ketika itu. Oleh sebab itu usaha pembaharuan pertama dikerajaan Usmani tidak berhasil seperti yang diharapkan.
Di India, sebelum periode modernisasi, muncul juga ide dan usaha pembaharuan. Pada awal abad ke-18, kesultanan Mogul memasuki zaman kemunduran. Perang saudara memperebutkan kekuasaan sering terjadi. Golongan Hindu yang merupakan mayoritas ingin melepaskan diri dari kekuasaan Mogul selain itu, Inggris juga telah memulai memperbesar usahanya untuk memperoleh kekuasaan di India. setelah terjadi beberapa pertempuran, akhirnya daerah kekuasaan Mogul semakin kecil. Keadaan ini menyadarkan beberapa pemimpin Islam di India akan kelemahan umat Islam, salah satunya adalah Syeh Waliyullah (1703-1762) dari Delhi India, yang disebut sebagai ulama besar Islam terakhir. Syah Waliyullah merupakan dua pemikir muslim yang muncul pada tahun pertama masa kemunduran Islam (1700-1800), tokoh satunya lagi adalah Muhammad bin Abdul Wahab dari Arab Saudi. Menurut Syeh Waliyullah, penyebab kelemahan umat Islam ialah perubahan sistem pemerintahan dari sistem Khalifah kesistem kerajaan,  sistem Khalifahan bersifat demokratis dan system kerajaan bersifat otokratis,untuk itu system kekalifahan seperti pada masa Al-khulafa Ar-Rasyidin, perlu dipikirkan kembali.
D.    Pemikiran Modern Islam Di Mesir
1.      Jamaluddin Al-Afgani (1839-1897)
a.        Biografi
Nama panjang Jamaluddin Al-Afgani adalah Muhammad Jamaluddin Al-Afgani, di lahirkan di Asadabad Afganistan pada tahun 1254 H/1838 M. ayahanda beliau bernama Sayyid Safdar Al-husainniyah, yang nasabnya bertemu dengan Sayyid Ali Al-turmudzi dengan nasab Sayyidina Husain bin Ali bin Abi Thalib.
Pada usia 8 tahun Al-afgani telah memperlihatkan kecerdasan yang luar biasa, beliau tekun mempelajari bahasa Arab sejarah, matematika, filsafat, fiqih dan ilmu keIslaman lainnya. Dan pada usia 18 tahun ia telah menguasai hampir seluruh cabang ilmu pengetahuan meliputi filsafat, hukum sejarah dan metafisika. Al-afgahani segera dikenal sebagai profil jenius yang penguasaanya terhadap ilmu pengetahuan bak ensiklopedia.
Setelah membekali dirinya dengan berbagai ilmu pengetahuan ditimur dan barat Al-afghani mempersiapkan misinya membangkitkan Islam. Pertama ia masuk ke India Negara yang sedang melintasi periode yang kritis dalam sejarahnya. Kebencian  kepada kaolisme yang telah membara didalam dadanya makin berkecambuk ketika Afghani menyaksikian India yang berada di dalam tekanan Inggris. Al- Afghani turut ambil bagian dari periode genting ini, dengan bergabung dalam peperangan kemerdekaan India pada bulan mai 1857.
Al-Afghani menghabiskan sisa umurnya dengan bertualang keliling Eropa untuk berdakwah. Bapak pembaharu Islam ini tidak memiliki rintangan bahasa karena ia menguasai enam bahasa dunia (Arab, Inggris, Prancis, Turki,, Persia dan Rusia). Al-afghani menghembuskan nafasnya yang terakhir karena kanker yang dideritanya sejak tahun 1897 di Istambul Turki dan dimakamkan disana. Jasadnya dipindahkan ke Afghanistan pada tahun 1944. Ustad Abu Rayyah dalam bukunya “Al-afghani, sejarah, Risallah dan Perinsip-Perinsipnya”, menyatakan bahwa Al-Afghani meninggal akibat diracun, dan ada pendapat lain yang menyatakan bahwa ada rencana sultan untuk membinasakannya.
b.      Pemikiran Hukum  Islam Jamaluddin Al-Afghani (1839-1897)
Jamaluddin Al-Afghani adalah pemimpin pembaharu Islam yang tempat tinggal dan aktivitasnya berpindah dari satu Negara ke Negara lain. Awalnya ia menjadi pembantu pangerang dost Muhammad Khan di Afghanistan. Pada tahun 1864, ia menjadi penasehat Sher Ali Khan. Beberapa tahun kemudian ia diangkat oleh Muhammad A’zam Khan menjadi perdana menteri Afghanistan. Karena alasan keamanan, pada tahun 1869 ia pindah ke India. Di India pun ia tidak bebas karena para pemimpin India khawatir pengaruh Afghani akan menyebabkan pergolakan rakyat melawan pemerintah colonial mereka, pada tahun 1871 ia pindah ke Mesir.
Di Mesir ia giat memberikan diskusi-diskusi. diantara murid-murid Al-Afghani itu yang kelak menjadi tokoh kenamaan di Mesir ialah Mohammad Abuh dan Sa’ad Zaghlul.
Ketika itu, ide-ide yang disiarkan At-Tahtawi melalui buku-buku terjemahan dan karangannya sudah meluas dikalangan masyarakat Mesir. al-Afghani melihat telah tiba waktunya untuk membentuk sebuah partai politik, maka pada tahun 1879, atas usahanya, terbentukalah partai nasional (Hizb Al-Watan) dengan selogan “Mesir untuk orang Mesir”.
Selama 8 tahun di Mesir, Al-Afghani telah memberikan pengaruh yang besar disana. Al-Afghani telah membangkitkan gerakan berpikir sehingga Negara itu dapat mencapai kemajuan. Menurut Ibrahim Madkur (filsuf Mesir) “Mesir modern” adalah hasil usaha Jamaludin Al-Afghani.
Dari Mesir ia ke Perancis, disana ia mendirikan perkupulan “Al-Urwah Al-Musqa”. Tujuannya antara lain memperkuat rasa tali persaudaraan Islam, membela Islam, dan membawa umat Islam menuju kemajuan. Atas undangan Sultan Abdul Hamid yang masih mempertahankan otokrasi, tidak dapat dicapai. Karena takut terhadap pengaruh Al-Afghani yang begitu besar, maka kebebasan  Al-Afghani dibatasi Sultan. Ia tidak boleh keluar dari Istanbul ia tetap tinggal disana hingga wafat pada tahun 1897.
Melihat kegiatan dan pemikirannya, dapat disipulakan bahwa Al-Afghani lebih terkenal sebagai pemimpin politik daripada sebagai pemikir pembaharu Islam. Al-Afghani sedikit sekali memikirkan masalah-masalah agama, ia lebih memusatkan pemikiran dan aktivitasnya di bidang politik. Tapi menurut Harun Nasution, kegiatan politik Al-Afghani sebenarnya didasarkan pada ide-idenya tentang pembaruan dalam Islam. Ia adalah pemimpin politik sekaligus pemimpin pembahruan.
Pemikiran pembaruan Al-Afghani didasarkan atas keyakinannya bahwa Islam adalah agama yang sesuai untuk semua bangsa, semua zaman, dan semua keadaan. kalau kelihatan ada pertentangan antara ajaran Islam dengan kondisi yang dibawa perubahan zaman, penyesuaian dapat diperoleh dengan mengadakan interpretasi baru atas ajaran Islam yang tercantum dalam Al-Qur’an dan Hadist. Untuk interprestasi itu diperlukan ijtihad. Karena pintu ijtihad harus terbuka. Menurut pendapatnya, umat Islam mundur karena telah meninggalkan ajaran Islam yang sejati.
Al-afghani bisa dikatakan aktivis umat yang hampir kehidupannya dihabiskan untuk berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat yang lain demi untuk merealisasikan cita-citanya yaitu mempersatukan umat dan bersama mengusir penjajah dari bumi timur. Al-Afghani hidup di zaman ketika umat islam berada dalam keadaan lemah akibat penjajahan yang berkepanjangan. Afghani lalu mempelajari penyakit yang diderita umat. Sebagai seorang doctor umat al-afgani sangat hati-hati dalam pengobatan ini karena pengobatan yang salah akan berakabat penyakait umat akan bertambah parah. Afgani akhirnya menyimpulkan bahwa penyakit umat  saat itu adalah akibat umat Islam yang tidak memahami dan mengamalkan ajaran Islam secara benar, dan obat paling mujarab adalah mengajak umat Islam unutk bersatu dan kembali ke ajaran agama mereka sebagaimana ucapan Amar Syakib Arselan, bahwa kemunduran yang dicapai umat Islam karena menjauhi agama mereka yaitu agama Islam.
2.      Muhammad Abduh (1849-1905)
a.       Biografi
Muhammad Abduh bernama lengkap Muhammad bin Hasan Khairullah. Beliau dilahirkan didesa Mahallat Nashr Al-Buhaoiroh. Mesir pada tahun 1849 Muhammad Abduh adalah seorang pemikir muslim dari mesir dan salah satu penggerak gagasan modernisasi Islam. Beliau belajar tentang filsafat dan logika di universitas Al-Azhar Kairo. Beliau juga merupakan murid dari Jamal Al-din Al-afghani, seorang filsafat dan pembaharu yang mengusung gerakan panislamisme untuk menentang penjajah Eropa di Negara-negara Asia Afrika.
Dalam waktu 2 tahun ia dapat menghapal Al-Qur’an. Abduh juga disuruh orang tuanya mempelajari bahasa arab. Karena tidak puas dengan metode menghapal diluar kepala itu, Abduh lari meninggalkan pelajarannya di Tanta, karena ia yakin mempelajari tidak akan bermanfaat baginya maka ia berniat menjadi petani pada tahun 1865, saat usia 16 tahun ia menikah.
b.      pemikiran hukum Islam muhammad abduh
Sewaktu masih belajar di Al-Azhar, Jamaludin Al-Afghani datang ke Mesir. Dalam perjalanannya ke Istanbul, di sinilah Abduh untuk pertama kalinya berjumpa dengan Al-Afghani. Ketika Al-afgani  datng ke Mesir lagi untuk menetap (1877) Muhammad Abduh menjadi muridnya yang paling setia. Pada tahun 1877, abduh menyelesaikan studinya di Al-Azhar, kemudian di Darul Ulum dan di rumahnya sendiri.
Menurut Abduh, sebab kemunduran umat Islam adalah kejumudan yang terdapat di kalangan umat Islam. Sikap ini menurut Abduh dimasukan ke dalam Islam oleh orang-orang non Arab yang merampas puncak kekuasaan politik didunia Islam sebagaimana pemikiran Al-Afgani, Abduh juga berpendapat bahwa masuknya berbagai macam bid’ah kedalam Islam merupakan penyebab umat Islam melupakan ajaran Islam yang sebenarnya. untuk menghilangkan bid’ah itu umat Islam harus kembali ke ajaran Islam yang sejati sebagaimana pada zaman salaf, yaitu zaman sahabat dan ulama-ulama besar. Ajaran Islam harus dikembalikan kapada aslinya dengan interpretasi yang disesuaikan dengan keadaan modern, untuk itu pintu ijtihad perlu dibuka, dengan sendirinya taklid (tunduk membabi buta ) kepada pendapat ulama tidak perlu dipertahankan.
Pendapat tentang pemberantasan taklid dan pembukaan pintu ijtihad itu didasarkan kepada keyakinan terhadap kemampuan akal. menurutnya, Al-Qur’an bukan berbicara kepada hati manusia melainkan kepada akal. Amat menarik pendapatnya yang mengatakan bahwa iman seseorang tidak sempurna jika tidak berdasarkan akal.. Hanya dalam Islam katanya, agama dan akal untuk pertama kali menjadi pengikat tali persaudaraan. Akal adalah pembantu paling utama dari naqli menjadi sendi paling kokoh. kepercayaannya kepada akal membawa paham kepada khadariah yaitu paham kebebasan berkehendak dan bertindak. ia juga setuju dengan analis yang mengatakan bahwa umat Islam mundur Karena paham jabariah.
Sebagai konsekuensi dari ajarannya yang mengatakan pengetahuan penting maka ia pun mementingkan pendidikan, ia mengusahakan perubahan kurikulum Al-Azhar, ilmu modern ia masukan kedalan kurikulum Al-Azhar. modernisasi sistem pendidikan Al-Azhar, menurut pendapatnya akan berpengaruh besar terhadap perkembangan usaha pembaharuan dalam Islam.
DAFTAR PUSTAKA
·         Supiana dan Karima. 2004. Materi Pendidikan Agama Islam. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya.
·         One.Indoskripsi.com/click/78/0
·         Dahlan, Abdul Azis. 2002. Ensiklopedi Islam. Jakarta; PT. Ichtiar Baru Van Hoeve.
·         http:// cooleha. Wordpress.com/2008/04/26/JamaludinAl-Afghani.
·         http://id.wikipedia.org/wiki/Muhammad.Abduh.