Sabtu, 12 April 2014

KONSEP PSIKOLOGI ISLAM DALAM SASTRA SUFI

Pendahuluan

Sumbangan tradisi tasawuf atau sufisme dalam pengembangan sastra Islam tampak jelas sejak awal perkembangan Islam di berbagai daerah. Bagi seorang sufi sastra bukan hanya sebagai tujuan, melainkan sebagai sarana untuk mengekspresikan perasaan-perasaan yang pada umumnya terfokus pada kecintaan kepada Tuhan. Tidak terbatas itu saja, sastra bagi sufi juga merupakan media untuk mengekspresikan pikiran, ide-ide, nasehat atau gagasan dalam bentuk puisi atau cerita penuh hikmah. Oleh karena itu tidak mengherankan jika karya-karya sastra tersebut menjadi sumber kajian-kajian ilmiah di berbagai bidang. Misalnya, William C Chittick mengkaji berbagai kajian filsafat dari karya-karya Ibnu Arabi, seperti theologi , ontologi dan epistimologi .  Sementara itu Sachio Murata membahas Kosmologi dan Psikologi Rohani. Javad Nurbakhsy secara spesifik mengkaji psikologi sufi, khususnya berkaitan dengan kesadaran manusia. Di bidang sastra, Abdul Hadi secara komprehensif menyusun antologi karya-karya para sufi yang memiliki nilai sastra sangat tinggi. Tulisan ini mencoba untuk mengeksplorasi konsep-konsep psikologi Islam yang terkandung dalam karya-karya sastra para sufi.
Psikologi Islam merupakan sebuah gerakan pemikiran baru di kalangan psikolog muslim yang berusaha mengembangkan konsep-konsep psikologi yang berasal dari ajaran agama Islam dan masyarakat muslim. Gerakan ini sebenarnya telah lama berlangsung, tetapi momentum yang dianggap mengawali secara tersistematis adalah ketika Malik Badri menerbitkan buku the Dilema of Muslim Psychologist. Buku tersebut mendapat sambutan yang sangat antusias di kalangan para psikolog muslim di seluruh belahan dunia Islam. Di Indonesia sendiri geliat psikologi Islam dimulai sekitar tahun 1980-an ketika banyak bermunculan kelompok diskusi, seminar, penulisan artikel dan buku psikologi Islami mulai diterbitkan. Sebagian dari tokoh-tokoh psikologi yang banyak aktif mengembangkan psikologi Islam di Indonesia pada fase-awal perkembangannya antara lain Hanna Djumhana Bastaman,  Djamaludin Ancok dan Fuad Nashori . Selanjutnya bermunculan pemikir-pemikir muda yang tersebar di berbagai perguruan tinggi di Indonesia. Saat ini telah terbentuk sebuah organisasi profesional para psikolog yang berminat di bidang psikologi Islam, yaitu API (Asosiasi Psikologi Islami). Organisasi ini sudah diakui secara resmi sebagai bagian dari orgnisai psikologi di Indonesia, HIMPSI (Himpunan Psikologi Indonesia).
Sumber kajian dalam mengembangkan psikologi Islam tidak terbatas pada penafsiran Al Qur’an dan Hadist yang mempunyai unsur psikologi, tetapi juga karya-karya dan pemikiran para ulama, filsof dan termasuk juga para sufi. Tulisan ini berusaha mengkaji beberapa konsep dalam psikologi Islam yang berasal dari karya sastra para sufi. Tidak hanya karya sastra sufi dari Timur Tengah, termasuk juga para sufi dari Indonesia. Ada tiga konsep dasar yang akan di bahas, yaitu konsep psikologi perkembangan, konsep psikologi kepribadian, dan konsep psikoterapi.

Konsep Psikologi Perkembangan

Psikologi perkembangan merupakan salah satu bidang psikologi yang mengkaji tentang proses perkembangan manusia dengan menggunakan prinsip life-span development (perkembangan dalam rentang kehidupan manusia), yaitu mulai dari kandungan, masa bayi, anak-anak, remaja, dewasa dan lansia. Aspek-aspek perkembangan yang dikaji meliputi dimensi fisiologis, kognitif, afektif, sosial, moral, bahkan sampai pada perkembangan spiritual.
Konsep perkembangan dalam psikologi Islam memiliki konsep yang lebih luas dibandingkan dengan psikologi modern. Tidak hanya terbatas pada konsep ketika manusia hidup mulai dalam kandungan sampai meninggal dunia, tetapi juga mengkaji proses sebelum manusia ada di dunia dan setelah mati. Salah satu konsep psikologi perkembangan Islam yang bisa dikaji adalah dari puisi Jalaludin Rumi, seorang sufi dan penyair besar dari Turki. Rumi menulis:
Mula-mula dia muncul dalam alam benda-mati;
Kemudian masuk ke dunia tumbuh-tumbuhan

dan hidup bertahun-tahun sebagai tetumbuhan, tak ingat lagi akan
Apa yang telah dia alami, lalu melangkah maju
Ke kehidupan hewan, dan sekali lagi
Tak ingat akan kehidupan tetumbuhan itu.
Kecuali ketika dirinya tergerak senang,
Pada tetumbuhan di musim bunga-binga berkembang indah.
Seperti bayi-bayi yang mencari puting susu dan tak tahu mengapa.
Sekali lagi Sang Pencipta Yang Maha Bijaksana sebagaimana engkau ketahui
Memindahkannya dari alam hewani
Ke tingkat Manusia; demikianlah dari satu alam ke alam lainnya dia
Bergerak, ia menjadi pandai,
Cerdik dan bijak, sebagaimana dia kini.
Tak terkenang lagi akan keadaan sebelumnya,
Dan dari jiwanya yang sekarang pun dia akan diubah pula.


           
Puisi di atas secara tegas menggambarkan bagaimana pendapat Rumi tentang perkembangan manusia. Menurut Rumi, manusia pada awalnya merupakan benda mati yang tidak bernyawa. Melalui proses perubahan yang terus menerus manusia berpindah dari kondisi kejiwaan yang satu ke kondisi yang lain. Ungkapan dalam puisi di atas dapat diberi makna secara riel apa adanya maupun makna secara simbolis. Makna secara riel menunjukkan bahwa manusia awalnya merupakan benda mati, kemudian berubah dalam kehidupan tumbuhan, kemudian menuju pada kehidupan binatang dan akhirnya memasuki kehidupan manusia. Pemikiran seperti ini bukan merupakan ide baru. Filsuf dan dokter muslim ternama, Ibnu Sina, telah berusaha menyatukan pemikiran filsuf Aristotles dari Yunani yang menyatakan bahwa ada tiga macam jiwa, yaitu jiwa tumbuhan, jiwa binatang, dan jiwa manusia  Jiwa tumbuhan tampak pada janin yang masih berada dalam kandungan. Dia adalah tumbuhan yang sangat tergantung pada kondisi lingkungan dan tidak dapat bergerak sendiri. Dia dapat bertahan hidup karena pemberian makanan dari ibunya. Ketika sudah lahir ke dunia, bayi mulai belajar bergerak sendiri. Dia mulai mengeksplorasi dunia sekitarnya. Karena akalnya belum berkembang, maka dia seperti binatang. Namun ketika seorang anak mulai berkembang aspek kognitifnya, maka dia berada dalam alam manusia, yang berpikir dan memahami lingkungan sekitarnya.
Kalau dalam psikologi modern proses perkembangan hanya terbatas pada kondisi psikologis (jiwa), maka menurut Rumi proses perkembangan manusia tidak hanya berhenti sampai di sini saja. Rumi mengatakan bahwa , “Dan dari jiwanya yang sekarang pun dia akan diubah pula.” Ini menandakan bahwa proses transformasi manusia masih akan berkembang terus. Khususnya dimensi rohani / spiritualitas manusia. Dalam puisi berikut Jalaludin Rumi menggambarkan proses transformasi:
Aku mati sebagai mineral dan menjadi tumbuhan,
Aku mati sebagai tumbuhan dan muncul sebagai hewan,
Aku mati sebagai hewan dan aku menjadi Insan.
Mengapa aku mesti takut? Bilakah aku menjadi rendah karena kematian?
Namun sekali lagi aku akan mati sebagai Insan, untuk membumbung
Bersama para Malaikat yang direstui; bahkan dari tingkat malaikat pun
Aku harus wafat: Segala akan binasa kecuali Tuhan.
Ketika jiwa malaikatku telah kukorbankan,
Aku akan menjadi sesuatu yang tak pernah terperikan oleh pikiran.
Oh, biarkanlah aku tiada! Karena Ketiadaan
Membisikkan nada dalam telinga. ”Sesungguhnya kepada-Nya-lah kita kembali.”


Puisi di atas menegaskan bahwa manusia akan mengalami transformasi atau memasuki alam malaikat. Dari sinipun akan mengalami perubahan lagi menuju ke ketiadaan. Manusia dari tiada menjadi ada dan menjadi tiada. Proses ini terjadi melalui fase dan tahapan yang panjang, yang penuh dengan rintangan. Menurut Mohammad Shafii, puisi Rumi di atas tidak hanya menunjukkan adanya proses perkembangan, tetapi sekaligus merupakan gambaran dari wujud evolusi manusia di bumi. Dalam konteks psikologi Barat, pendekatan evolusi juga mulai dikembangkan seperti yang dibahas oleh Dicky Hastjaryo . Pendekatan evolusinistik ini sering disebut sebagai bionomik kognitif, yang menyatakan bahwa kognisi manusiaseperti persepsi, memori, bahasa, berfikir itu harus dipahami dalam konteks evolusi fisik dan sosial manusia. Erick Fromm, salah seorang tokoh Psikoanalisis modern, juga memiliki pandangan evolusionistik. Dia mengemukakan: ”Manusia telah muncul dari kerajaan binatang, dari adaptasi dengan instink...dia telah melampui kondisi alam, meskipun dia tak pernah meninggalkannya; dia bagian dari itu..manusia hanya bisa mengembangkan pikirannnya dengan menemukan harmoni baru.”
Psikologi Islami mempunyai konsep yang lebih jauh dari itu. Seperti diungkapkan dalam visi Rumi,  bahwa kondisi manusia akan mengalami proses perubahan terus bahkan menjadi sesuatu yang berbeda, “..sesuatu yang tak pernah terperikan oleh pikiran.” Dengan ungkapan berbeda  Mohammad Shafii menyatakan: “…evolusi kemanusiaan tidak hanya berakhir sampai pada bentuk manusia saat ini saja. Ada potensi (manusia) untuk menjadi mahluk yang lebih tinggi. Perspektif yang progresif dan memberikan banyak harapan ini adalah sebuah kekuatan dinamis…”

Psikologi Kepribadian

Teori psikologi kepribadian telah berkembang pesat dalam psikologi modern dan memiliki teori dan konsep yang cukup banyak. Namun teori yang paling dekat dengan konsep kepribadian dalam psikologi Islami adalah teori psikoanalisis atau juga disebut psikodinamik. Teori yang dikembangkan oleh Sigmund Freud ini merupakan salah satu teori penting dalam awal perkembangan psikologi modern. Teori ini menyatakan bahwa struktur kepribadian manusia terdiri dari tiga unsur, yaitu id, ego dan super ego. Id merupakan dorongan dasar yang menjadi penggerak dalam kehidupan manusia, yang terdiri dari berbagai keinginan dan hawa nafsu. Ego, atau ’diri’ merupakan dimensi kesadaran rasional yang merupakan jembatan manusia berhubungan dengan dunia luar. Ego ini berkembang sejalan dengan proses perkembangan pikiran (kognitif) manusia. Sementara itu super ego merupakan dimensi moralitas yang menjadi pemandu perilaku manusia. Dalam kehidupan sehari-hari ego senantiasa menghadapi pertentangan antara dorongan dasar dari id dan nilai-nilai moral dari super ego.
Kajian psikologi Islam mengenai struktur kepribadian dasar manusia banyak berkaitan dengan konsep nafsu, akal dan hati. Istilah-istilah tersebut bisa dipadankan dengan id, ego, dan super ego dalam konsep psikoanalisis. Nafsu adalah id, akal adalah ego dan hati adalah super ego.
Nafsu adalah aspek kebinatangan dalam diri manusia. Para sufi menggambarkan hawa nafsu sebagai  binatang buas, seperti anjing pencuri, rubah yang licik, kuda liar, bahkan ular atau naga. Dorongan aspek kebinatangan dalam diri manusia ini bersifat primitif. Dia seringkali menyusup dalam setiap perilaku manusia, meski manusia tersebut sering tidak disadari.  Jalaludin Rumi menggambarkan:
Hawa nafsumu adalah ibu semua berhala; berhala benda benda adalah ular, berhala rohani adalah naga
Menghancurkan berhala itu mudah, mudah sekali; namun menganggap mudah mengalahkan nafsu adalah tolol
O, anakku, jika bentuk-bentuk nafsu ingin kau kenali bacalah tentang neraka dengan tujuh pintunya
Dari hawa nafsu setiap saat bermunculan tipu muslihat; dan dari setiap ti[pu muslihat seratus Firaun dan bala tentaranya terjerumus.
Emha ainun Nadjib, seorang penyair sufistik Indonesia kontemporer menggambarkan nafsu sebagai keinginan yang tidak pernah terpuaskan. Dalam syair lagu yang berjudul Tak Sudah-sudah, yang dinyanyikan oleh kelompok Kyai Kanjeng yang dipimpinnya, Emha Ainun Nadjib berkata:
Ketika belum, kepingin sudah
Ketika sudah, kepingin tambah
Sesudah ditambahi, kepingin lagi
Kepingingn lagi...lagi...dan lagi...
Rasa kurang, tak berpenghabisan
Kepada dunia, tak pernah kenyang
Itulah api yang menghanguskan
Itulah nafsu, Lambang kebodohan

Sigmund Freud berpendapat bahwa dorongan dasar yang paling dominan dalam diri manusia adalah dorongan seksual dan dorongan agresif. Dua dorongan inilah yang melatar belakangi seluruh perilaku manusia. Meskipun tidak dalam bentuk yang asli, dorongan seksualitas dapat berubah bentuk (sublimasi) menjadi keinginan untuk memiliki, keinginan untuk menguasai. Barangkali inilah yang dikatakan oleh Rumi bahwa hawa nafsu itu menciptakan tipu muslihat dengan tujuan agar manusia mengikuti dorongan id dan melupakan peringata super ego. Kalau Freud menganggap bahwa banyak perilaku manusia yang merupakan sublimasi dari dorongan id, maka Rumi juga mengatakan hal yang mirip seperti itu. Hanya saja Rumi menggunakan istilah tipu muslihat. Nafsu sering menipu manusia. Seringkali manusia melakukan suatu perbuatan seakan demi menolong orang lain atau demi kebaikan, tetapi sebenarnya ditunggangi oleh hawa nafsu. Oleh karena itu manusia harus bisa mengendalikan hawa nafsu yang menutupi penglihatan sejati.
Meskipun tidak sesuai semuanya, konsep akal dalam sufisme  bisa disejajarkan dengan konsep ego dalam psikoanalisis. Seperti akal, ego berfungsi untuk mengendalikan dorongan id yang tidak sesuai dengan realitas. Misalnya, id membutuhkan dorongan seksual, maka ego tidak mengijinkannya karena kondisi realitas tidak memungkinan. Kalau id mendesak terus, maka ego akan terus berusaha mengekangnya karena ego mendapatkan pesan dari super ego bahwa hal itu tidak boleh. Disinilah kemudian sering terjadi pertentangan antara id dan ego.  Rumi juga menggambarkan pertarungan antara nafsu dan akal dalam metafora:
Dua ekor rajawali dan elang dalam satu sangkar:mereka saling mencakar...
Dalam setiap desah nafas kita, akal berjuang melawan godaan nafsu. Keterpisahan dari Asal Sumber menyebabkan mereka terpuruk
Jika desahan nafas keledai telah kalah, akal akan menjadi Messiah
Sungguh akal dapat melihat setiap akibat, nafsu tidak
Akal adalah cahaya yang mencari kebaikan, Mengapa kegelapan nafsu dapat mengalahkannya?
Sa’di, seorang sufi dari Persia, menggambarkan bahwa orang yang dapat mengendalikan hawa nafsu adalah orang yang mempunyai kekuatan yang sebenarnya.
orang-orang yang mengendalikan tali kekang nafsunya dari yang diharamkan berarti keberaniaannya telah melalui tokoh-tokoh perkasa seperti Rustam dan Samson. Budak hawa nafsu adalah musuh yang paling mengerikan bagimu.
Sa’di juga menggambarkan diri manusia seperti sebuah kota yang mempunyai unsur kebaikan dan kejahatan yang selalu bertarung.
Jiwa raga kita bagaiman kota yang mengandung kebaikan dan kejahatan. Kau adalah rajanya dan akal adalah menterimu yang bijaksana
...nafsu dan menyia-nyiakan waktu adalah pencuri dan pencopet
Bila raja mengasihi orang jahat, bagaimana orang bijaksana bisa merasa tenteram?
Nafsu jahat, iri hati, kebencian bersatu padu dalam dirimu seperti darah dalam pembuluhnya. Jika musuh-musuhmu ini memperoleh kekuatan, mereka akan melawan perintah dan nasehatmu. Tak akan mereka melawan bila meliaht betapa kerasnya akal.
Para perampok dan bajingan tak akan berkeliaran jika patroli polisi memadai

Ketika nafsu menguasai akal atau id mendominasi ego, maka orang tersebut tidak dapat berpikir dan bertindak secara rasional. Dia akan mengembangkan berbagai bentuk mekanisme pertahanan diri yang kurang sehat untuk membela diri sendiri. Mekanisme ini timbul ketika ego merasa terancam. Tujuannya tidak lain adalah  supaya ego merasa aman. Beberapa mekanisme pertahanan diri antara lain mekanisme represi, yaitu menekan berbagai hal yang tidak disukai atau keinginan yang tidak tersampaikan, ke dalam alam ketidak-sadaran. Mekanisme penolakan, yaitu menolak mengakui suatu kenyataan yang tidak sesuai dengan harapan. Dalam mekanisme proyeksi,  seseorang melihat sesuatu yang ada di luar dirinya atau pada orang lain, padahal semua itu ada pada dirinya sendiri. Jalaludin Rumi menggambarkan adanya kecenderungan mekanisme proyeksi tersebut dalam puisi di bawah ini:
O pembaca, berapa banyak kejahatan yang kau lihat dalam diri orang lain yang tak lain adalah pantulan dari sifat-sifatmu yang terdapat dalam diri mereka
Dalam diri mereka tampaklah semua dari dirimu: kemunafikan, kejahatan dan kesombongan
....
Bila kau telah sampai ke lubuk perigi sifat-sifatmu sendiri, maka kau akan mengetahui bahwa dosa apapun terdapat dalam dirimu sendiri.
            Mekanisme pertahanan diri yang sehat sangat dibutuhkan agar seseorang tidak mengalami keruntuhan pribadi ketika dirinya menghadapi persoalan. Tetapi ketika mekanisme pertahanan diri itu terlalu berlebihan, maka orang menjadi terasing dan semakin jauh dari dirinya. Dia tidak akan bisa melihat kejelekan dan kelemahan diri karena semua itu dinisbahkan kepada orang lain. Maka sebagian besar Sufi sangat menekankan pentingnya seseorang untuk mengenal dirinya sendiri, karena orang yang telah mengenal diri sendiri maka dia akan mengenal Allah. Sunan Bonang, salah satu sufi dalam wali songo memberi nasehat kepada muridnya:
Pedoman hidup sejati
Ialah mengenal hakikat diri
Karena itu, Wujil, kenali dirimu
Kenali dirimu yang sejati
Ingkari benda
Agar nafsumu tidur terlena
Dia yang mengenal diri
Nafsunya akan terkendali
Dan terlindung dari jalan
Sesat dan kebingungan
Kenal diri, tahu kelemahan diri
Selalu awas terhadap tindak tanduknya
Bila kau mengenal dirimu
Kau akan mengenal Tuhanmu
Kemampuan untuk mengenal diri sendiri seperti yang dikemukakan para sufi di atas juga ditekankan dalam psikologi modern. Misalnya, dalam setiap training psikologis yang dilaksanakan, seorang trainer akan mengawali dengan permainan ‘who am I?’ dengan menggunakan teknik Jauhari window. Namun pada umumnya pemahaman diri yang dikembangkan psikologi modern hanya terbatas pada aspek sosial-psikologis, belum menyentuh sisi metafisikal dan transcendental. Akibatnya sering muncul istilah ‘psikologi untuk anda’. Artinya orang belajar psikologi untuk mempelajari orang lain, semsntara pengetahuan tentang dirinya diabaikan. Psikologi Islam semestinya dapat mengisi kekurangan tersebut.         
Selain pengetahuan tentang diri yang sangat penting, psikologi modern juga perlu memahami konsep tentang ’hati’ dalam psikologi Islam. Istilah ini tidak merujuk pada hati secara fisik atau liver, tetapi hati nurani atau qolbu. Konsep hati memang ada kemiripan dengan konsep super ego dalam konsep psikoanalisa. Pada tahap tertentu memang hati nurani berisi nilai-nilai moral yang terinternalisasi dalam diri seseorang. Dalam pemikiran para sufi, makna hati jauh lebih luas dari itu. Hati inilah yang  merupakan pusat dari segala sesuatu yang terjadi dalam diri manusia. Dengan mengacu kepada sabda Nabi Muhammad saw, para Sufi mengatakan bahwa jika hati baik, maka baik lah seluruh tubuh manusia. Jika hati jelek maka jelek-lah seluruh diri manusia. Konsep ini sangat berbeda dengan konsep psikologi modren, khususnya psikologi kognitif, yang menganggap bahwa segala sesuatu dalam diri manusia tergantung bagaimana proses berpikirnya. Orang-orang yang mengalami gangguan psikologis dalam pandangan psikologi kognitif, disebabkan oleh kesalahan atau kekeliruan dalam proses berpikir. Oleh karena itu terapi kognitif sangat banyak digunakan dalam psikologi modern saat ini. Konsep tentang hati dalam psikologi Islam merupakan sebuah alternatif pemikiran yang sangat penting untuk dipertimbangkan.
Keluasan konsep hati dibandingkan dengan konsep super ego, adalah karena dalam pandangan para sufi, di dalam hati inilah ruh manusia bersemayam, dan melalui hati inilah manusia dapat mencapai pengalaman langsung berhubungan dengan Allah.
Muhammad Iqbal, seorang penyair sufistik dari Pakistan menulis:
tempat matahari terbit,
adalah lubuk terdalam hati kita
Sementara itu Jalaludin Rumi, berkata;
Jadi, pasukan manusia berasal dari dunia ruh: akal adalah menteri dan hati adalah sang raja
Suatu ketika hati ingat negeri ruh. Seluruh pasukan kembali dan memasuki dunia keabadian
            Dengan demikian dapat dipahami bahwa meskipun kosep nafsu dalam beberapa puisi sufi mirip dengan konsep id dalam psikologi modern,  konsep ego mirip dengan konsep akal dan konsep ego dapat disejajarkan dengan konsep hati, tetapi semua konsep tersebut memiliki makna yang lebih luas. Dengan demikian konsep kepribadian dari psikologi Islam menjangkau dimensi yang tidak atau belum terjangkau oleh psikologi modern.

Psikoterapi

            Salah satu cabang psikologi yang terus berkembang sejak munculnya psikologi modern adalah bidang psikoterapi. Teori psikoanalisis yang dikembangkan Sigmund Freud tidak hanya membahas konsep kepribadian manusia, tetapi juga beberapa teknik psikoterapi, yang sekarang dimasukkan dalam kategori terapi aliran psikodinamik, yaitu terapi ini yang menekankan aspek ketidaksadaran. Terapi aliran humanistik menekankan aspek hubungan yang baik dengan sesama manusia. Sementara itu  aliran psikoterapi perilakuan (behavioristik) menekankan aspek proses belajar. Dikatakan bahwa berbagai bentuk gangguan jiwa disebabkan adanya kesalahan dalam proses belajar, sehingga untuk mengubahnya, orang harus melakukan proses ‘belajar kembali’ (re-learning). Teknik behaviorisme klasik saat ini telah berkembang menjadi terapi kognitif, yang menyatakan bahwa berbagai gangguan psikologis adalah disebabkan karena kesalahan berpikir. Misalnya, seorang yang mengalami gangguan depresi, ternyata karena dia terlalu banyak melihat sisi negatif dari semua peristiwa yang dialami dan mengabaikan sisi positif. Oleh karena itu untuk menghilangkan gangguan tersebut dia harus belajar memahami pengalaman-pengalaman tersebut dengan menggunakan frame work yang lain.
Sejumlah puisi para sufi memiliki unsur terapis yang sangat dalam, yang mampu merubah diri manusia menjadi lebih baik. Ketika orang menghadapi berbagai masalah, puisi-puisi tersebut dapat mejadi terapi yang efektif. Misalnya Jalaludin Rumi memberi nasehat pada orang yang sedang menghadapi berbagai permasalahan hidup.  
Menjadi manusia adalah menjadi wisma tamu.
Setiap pagi datang dengan tamu yang baru.

Kegembiraan, kesedihan, atau sifat buruk
sedikit pengetahuan diri hadir sebentar
sebagai tamu yang singgah tanpa perjanjian.
Sambut, dan jamulah mereka semuanya!
Biarpun tamumu hanya sekerumunan nestapa
yang melanda rumahmu dengan kasar
dan mengangkut segala isinya,
tetaplah temui setiap tamu dengan mulia.
Bisa jadi ia sedang mengosongkanmu
demi akan datangnya banyak kebahagiaan baru.

Niat buruk, rendah diri, dengki,
sambutlah mereka di pintu dengan tertawa,
dan ajak mereka masuk.

Bersyukurlah
atas apa pun yang diturunkan untukmu,
karena setiap tamu adalah utusan
dari sisi-Nya, sebagai penunjuk jalanmu.

            Puisi di atas menggambarkan bagaimana orang bersikap menghadapi berbagai persoalan kehidupan: kesedihan, duka nestapa, keruwetan, atau bahkan kegembiraan dan kesenangan. Rumi menasehati supaya semua itu diterima dengn senang hati. Bahkan perlu disyukuri, karena semua membawa pesan dan hikmah tersendiri. Penerimaan, bahkan mensyukuri kesulitan yang dialami, merupakan salah satu teknik psikoterapi yang banyak disarankan para ahli. Dari perspektif terapi kognitif, merubah pikiran negatif menjadi pikiran yang positif dan rasional merupakan teknik yang banyak diterapkan untuk mengatasi depresi. Dalam terapi humanistik, menerima emosi negatif merupakan jalan yang paling baik untuk mengatasi dampak yang timbul. Bahkan dalam terapi aliran psikologi positif sekarang banyak dikembangkan teknik kebersyukuran (gratitude therapy). Orang dilatih untuk mensyukuri dan melihat sisi positif dari semua hal yang dialami. Dalam puisi yang berjudul Hikmah Kesengsaraan,  Rumi juga memberikan metode yang sama dengan melihat dampak jangka panjang dari penderitaan yang dialami.
Lihatlah buncis dalam periuk, betapa ia meloncat-loncat selama menjadi sasaran api.
Ketika direbus, ia selalu timbul ke permukaan, merintih terus-menerus tiada henti,
”Mengapa engkau letakkan api di bawahku? Engkau membeliku: Mengapa kini kau siksa aku seperti ini?
Sang isteri memukulnya dnegan penyedok. ”Sekarang,” katanya, ”Jadi benar-benar matanglah kau dan jangan meloncat lari dari yang menyalakan api.
Aku merebusmu, namun bukan karena kau membangkitkan kebencian-ku; sebaliknya, inilah yang membuatmu menjadi lebih lezat
Dan menjadi gizi serta bercampur dengan jiwa yang hidup: kesengsaraan bukanlah penghinaan.


Selain aspek psikoterapi secara umum yang dapat ditemukan dalam puisi Jalaludin Rumi di atas, konsep psikoterapi Islam dapat ditemukan dalam lirik puisi yang digubah oleh Sunan Bonang, yang sangat popular di masyarakat Indonesia, yaitu dalam lagu Tombo Ati (Obat hati):
Tombo ati iku limo perkorone
Kaping pisan moco Qur’an lan maknane
Kaping pindho sholat wengi lakonono
Kaping telu wong kang sholeh kumpulono
Kaping papat weteng iro ingkang luwe
Kaping limo dzikir wengi ingkang suwe
Salah sawijine sopo biso ngelakoni
Mugi-mugi Gusti Allah nyembadani
Obat hati ada lima perkara
Yang pertama membaca al Qur’an dan memahami artinya
Yang kedua sholat malam laksanakanlah
Yang ketiga berkumpullah dengan orang-orang sholeh
Yang keempat perut anda harus dikosongkan
Yang kelima dzikir malam kerjakanlah
Salah satunya siapa yang bisa melaksanakan
Semoga Allah memberkahi

 

            Kajian-kajian ilmiah ternyata banyak memberikan dukungan pada teknik terapi yang disarankan oleh Sunan Bonang di atas. Yang pertama, membaca Al Qur’an merupakan salah satu terapi religius yang penting. Muhammad Sholeh mengutip tulisan dari Malik Badri yang melaporkan hasil penelitian di Florida, Amerika Serikat. Penelitian itu berhasil membuktikan bahwa orang yang membaca atau orang yang mendengarkan bacaan Al Qur’an,  ternyata menunjukkan perubahan emosi seperti penurunan depresi dan kesedihan, sebaliknya terjadi peningkatan rasa ketenangan. Selain itu juga terjadi perubahan-perubahan fisiologis seperti detak jantung, ketahanan otot, dan ketahanan kulit yang berpengaruh pada kondisi tubuh seseorang
Selain membaca Al-Qur'an, membaca puisi religius juga dapat menjadi terapi efektif.  Saloom mengemukakan bahwa  beberapa psikoterapis di Iran mengajak kepada pasien mereka untuk membaca puisi karya para sufi, antara lain Rumi, Sa’di, Hafez, dan Omar Kayyam, khususnya puisi yang mengandung unsur motivasi dan harapan. Mereka mengklaim hasil yang positif dari terapi tersebut.
Aspek terapi sholat telah banyak dibahas oleh para ahli. Misalnya Sentot Haryanto mengungkapkan bahwa shalat memiliki aspek terapi relaksasi dan aspek meditasi yang dapat menenangkan perasaan. Shalat juga berfungsi sebagai media katarsis untuk menungkapkan berbagai persoalan yang mengganggu pikiran. Selain itu juga memiliki pengaruh sebagai terapi autosugesti yang dapat mempengaruhi diri secara positif dan terapi.   Sementara itu M.A. Subandi mengungkapkan berbagai pengalaman yang ditemui oleh orang-orang yang secara intensif melaksanakan dzikir, antara lain kesembuhan dari penyakit fisik maupun dari gangguan psikologis.

Penutup

            Artikel ini telah menunjukkan bahwa konsep-konsep ilmiah dalam psikologi tidak hanya dapat dikembangkan berdasarkan hasil penelitian empirik. Berbagai tulisan para tokoh atau para filsuf dapat menjadi rujukan yang berharga. Termasuk juga karya sastra para sufi, khususnya puisi. Karya sastra para sufi, baik yang klasik maupun modern, mulai dari Persia, Pakistan sampai Indonesia memiliki unsur psikologis yang sangat berharga untuk pengembangan psikologi Islam dan sebagai alternatif pemikiran bagi psikologi (Barat) modern. Penelusuran lebih jauh perlu dilakukan untuk mengembangkan satu bentuk teori atau konsep psikologi
Tulisan ini juga dapat menjadi sebuah model penelitian kualitatif dalam psikologi (Islam) dengan menggunakan karya sastra sebagai sumber data yang utama.  Ketika dipadukan dengan penelitian kuantitatif yang menjadi mainstream dalam psikologi, akan dapat menghasilkan psikologi yang lebih utuh.

Daftar Pustaka

Abdul  Hadi W.M. 1985. Rumi: Sufi dan Penyair. Bandung: Pustaka.
______________. 1985. Sastra Sufi: Sebuah Antologi. Jakarta: Pustaka Firdaus.
______________. 2007. ”Sastra Pesisir Jawa Timur: Suluk-suluk Sunan Bonang” dalam http://ahmadsamantho.wordpress.com/2007/05/22/sastra-pesisir-jawa-timur-suluk-suluk-sunan-bonang/. Diunduh. 10 Juli 2010.

Dicky Hatjaryo. 2003. “Mengenal Sepintas Psikologi Evolusioner”. Buletin Psikologi Fakultas Psikologi UGM, 9 (2), 83-94.
Djamaludin Ancok & Fuad Nashori. 1995. Psikologi Islami: Solusi Islam atas problem-problem Psikologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Fuad Nashori  (ed). 1994. Membangun Paradigma Psikologi Islam. Yogyakarta: Sipres.
___________. 1997. Psikologi Islami: Agenda Menuju Aksi. Yogyakarta: Penerbit Pustaka.
Hana Djumhana Bastaman. 1995. Integrasi Psikologi dengan Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
http://peacefulrivers.homestead.com/Rumipoetry2.html,  diunduh 10 Juli 2010.
http://syairsyiar.blogspot.com/, diunduh 10 Juli 2010
Javad Nurbakhsy. 2008. Psikologi Sufi, terj. Arief Rachmat. Yogyakarta: Pyramedia
Malik. B. Badri 1994. The Dilemma of Moslem Psychologist. terj. Siti Zainab Luxfiati. Jakarta: Pustaka Firdaus.
Mohammad Shafii. 2004. Psikoanalisis dan Sufisme, terj M.A. Subandi dan tim. Yogyakarta: Campus Press.
Muhammad Sholeh. 2006. Terapi Shalat tahajud. Menyembuhkan berbagai penyakit. Jakarta: Hikmah.
Sachiko Murata,. 1996. The Tao of Islam: Kitab Rujukan Relasi Gender dalam Kosmologi dan Teologi Islam, terj. Rahmani Astuti dan M.S. Nasrullah. Bandung: Penerbit Mizan.
Saeed Shamloo. 2010. “Psychotherapy in Iran” dalam www.iranpa.org/pdf/007.pdf. Diunduh pada 7 Juli 2010
Sentot Haryanto . 2002. Psikologi Sholat. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Subandi, M.A. 2009. Psikologi Dzikir: Studi Fenomenologi Pengalaman Transformasi Religius. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
William C. Chittick,  1989. Sufi Path of Knowledge: Ibn al-'Arabi's Metaphysics of Imagination.  Albany, NY: State University of New York Press.
William C. Chittick,  2001. Jalan Cinta Sang Sufi: Ajaran-ajaran spiritual Jalaludin Rumi. Terj. M. Sadat Ismail dan Achmat Nidjam. Yogyakarta: Penerbit Qalam

* Staf Pengajar Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada. Mendapatkan gelar PhD dari University of Adelaide, Australia. Kontak email: masubandi@yahoo.com
William C. Chittick, Sufi Path of Knowledge: Ibn al-'Arabi's Metaphysics of Imagination, (Albany, NY: State University of New York Press, 1989), hal. 31-76.
Ibid. hal. 77-138
Ibid. hal 145-186
Sachiko Murata, The Tao of Islam: Kitab Rujukan Relasi Gender dalam Kosmologi dan Teologi Islam, terj. Rahmani Astuti dan M.S. Nasrullah, (Bandung: Penerbit Mizan, 1996), hal. 165-298
Ibid. hal 299-414
Javad Nurbakhsy, Psikologi Sufi, terj. Arief Rachmat, (Yogyakarta: Pyramedia, 2008), hal. 228-241
Abdul Hadi, Sastra Sufi: Sebuah Antologi, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1985).
Beberapa tokoh lebih suka menggunakan istilah Psikologi Islami, sementara yang lain menggunakan istilah Psikologi Islam. Di dalam paper ini kedua istilah itu digunakan secara silih bergantian, karena kedua istilah tersebut mengacu kepada hal yang secara esensial adalah sama.
Malik. B. Badri, The Dilemma of Moslem Psychologist, terj. Siti Zainab Luxfiati, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994),
Hana Djumhana Bastaman, Integrasi Psikologi dengan Islam,  (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995).
Djamaludin Ancok, & Fuad Nashori, Psikologi Islami: Solusi Islam atas Problem-problem Psikologi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995).
http://syairsyiar.blogspot.com/, diunduh 10 Juli 2010
Mohammad Shafii, Psikoanalisis dan Sufisme, terj M.A. Subandi dan tim. (Yogyakarta: Campus Press, 2004). hal. 7
Ibid. hal 6
Ibid., hal. 6
Dicky Hatjaryo, Mengenal Sepintas Psikologi Evolusioner”. Buletin Psikologi  No. 9 Thn ke 2 (Juli, 2003)  hal 83-94.
Mohammad Shafii, Psikoanalisis dan Sufisme , op.cit.,  hal. 52.
Ibid. hal 5
Abdul  Hadi W.M.  Rumi: Sufi dan Penyair. opcit  hal 15
http://www.hotlyrics.net/lyrics/E/Emha_Ainun_Nadjib/Tak_Sudah_Sudah.html, diunduh 29 September 2010
William C. Chittick,  Jalan Cinta Sang Sufi: Ajaran-ajaran spiritual Jalaludin Rumi. Terj. M. Sadat Ismail dan Achmat Nidjam. (Yogyakarta: Penerbit Qalam, 2001)hal. 50
Abdul Hadi W.M. 1985. Sastra Sufi: Sebuah Antologi.  Opcit hal. 7
Ibid., hal.7
Abdul Hadi W.M.  Sastra Sufi: Sebuah Antologi. opcit. hal. 19
Abdul Hadi. W.M. “Sastra Pesisir Jawa Timur: Suluk-suluk Sunan Bonang” dalam http://ahmadsamantho.wordpress.com/2007/05/22/sastra-pesisir-jawa-timur-suluk-suluk-sunan-bonang/. Diunduh. 10 Juli 2010.
Abdul Hadi W.M. Sastra Sufi: Sebuah Antologi. Opcit hal. 272
William C. Chittick,  Jalan Cinta Sang Sufi: Ajaran-ajaran spiritual Jalaludin Rumi,  opcit., hal. 58
http://peacefulrivers.homestead.com/Rumipoetry2.html. Diunduh 10 Juli 2010.
http://syairsyiar.blogspot.com/, diunduh 10 Juli 2010
Muhammad Sholeh. 2006. Terapi Shalat tahajud. Menyembuhkan berbagai penyakit. Jakarta: Hikmah. h. 104
Saeed Shamloo, “Psychotherapy in Iran” dalam www.iranpa.org/pdf/007.pdf. Diunduh pada 7 Juli 2010.
Sentot Haryanto, Psikologi Sholat, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), hal. 76-86
Ibid. hal. 87
Ibid. hal. 88
M.A. Subandi, Psikologi Dzikir: Studi Fenomenologi Pengalaman Transformasi Religius, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), hal. 88-90

PSIKOLOGI ISLAMI DAN PSIKOTERAPI ISLAM

I. PENGANTAR
Islam adalah agama yang sangat agung, yang memberikan pencerahan kepada manusia dalam berbagai aspek terkait dengan alam semesta, manusia dan kehidupan, tentang Dzat yang ada sebelum kehidupan dunia dan alam yang ada sesudahnya serta hubungan ketiga unsur tadi dengan Dzat yang menciptakannya. Dengan kata lain Islam adalah sebuah ideologi (tidak sekedar agama ritual) yang mampu menjawab setiap problematika umat manusia.
Semenjak ribuan tahun yang lalu konsep tentang manusia banyak dirumuskan oleh para ahli dari mulai filsuf, ilmuwan dan agamawan. Manusia moncoba untuk mengetahui hakikat atau esensi dirinya. Seiring berjalannya waktu sejarah mencatat bahwa teori-teori mengenai hakikat atau esensi manusia terus berkembang. Hal inilah yang kemudian memicu lahirnya berbagai disiplin ilmu dengan manusia sebagai subjek dan atau objek kajiannya, dan psikologi adalah salah-satu disiplin ilmu yang termasuk di dalamnya.
Secara umum disiplin ilmu psikologi yang selama ini berkembang memiliki tiga fungsi utama, yaitu; menerangkan (explanation), memprediksi (prediction) dan mengontrol (controlling) perilaku manusia. Di dalam aplikasinya, salah-satunya terdapat apa yang dinamakan dengan psikoterapi. Istilah psikoterapi (dan konseling) sendiri memiliki pengertian sebagai suatu cara yang dilakukan oleh para profesional (psikolog, psikiater, konselor, dokter, guru, dsb.) dengan tujuan untuk menolong klien yang mengalami problematika psikologis (Prawitasari, 1993, dalam Subandi, 2000).
Pada kenyataannya teknik psikoterapi sendiri cukup beragam dan hal ini tidak terlepas dari konsep teori psikologi mana yang menjadi landasannya. Di dalam makalah ini penulis mencoba untuk menelaah lebih dalam mengenai psikoterapi yang berwawasan Islam, namun tentu saja sebelum menginjak kepada pembahasan mengenai psikoterapi yang berwawasan Islam kita harus terlebih dahulu membahas mengenai konsep Psikologi Islami sebagai pijakan dan konsep dasar yang menjadi landasan awal dari psikoterapi berwawasan Islam.
II. PSIKOLOGI ISLAMI
Ilmu pengetahuan dan agama secara klasik sering diamati sebagai dua pandangan yang terpisah secara eksklusif. Tidak ada bagian ilmu yang dapat dijelaskan agama dan sebaliknya, tidak ada perintah agama melalui wahyu yang dapat dijelaskan secara obyektif oleh logika ilmu pengetahuan. Pertemuan antara ilmu dan agama merupakan suatu khayalan yang mustahil dapat dihadirkan secara nyata, sehingga sia-sia bila ada yang berupaya untuk mempertemukannya baik dalam taraf substansi kajian, cara mencari kebenarannya, maupun fungsi terapannya. Andaikata dua hal eksklusif ini dipaksakan untuk dipertemukan, maka sudah dapat dipastikan akan terjadi bencana baik dari sisi konsep ilmu pengetahuan maupun di sisi keyakinan agama. Sains berazas pada pandangan positivisme yang menitikberatkan pada tesis:
  1. Sains berdasarkan pada fakta sensorik, materialistik dan fisik yang sudah memiliki kepastian arti.
  2. Teori ilmu pengetahuan dijabarkan dari fakta dan data melalui metode induktif, deduktif, atau hipotetik-deduktif. Kriteria diterima atau ditolak hanya berdasarkan pada kesahihan pengujian empiriknya.
  3. Perkembangan konsep dan teori terjadi berdasarkan hasil akumulasi fakta secara bertahap (Mahony, 1974, dalam Elmira N. Sumintardja, 2000).
Pandangan ini diakui pada kurun waktu sebelum tahun 1950. Bahkan pandangan ini memberi batasan yang jelas antara ilmu pengetahuan dan agama yang menunjukan bahwa ilmu harus obyektif, bersifat sensorik, memiliki nilai yang dapat dikuantifikasi, dapat diukur dan dapat direplikasikan. Sedangkan agama memfokuskan pada moral, bersifat subyektif, pribadi, kualitatif, tidak dapat diukur dan berlaku haya pada tingkat personal, sehingga tidak perlu dibuktikan kepada orang banyak (Barbour, 1974 dan Jones, 1996, dalam Elmira N. Sumintardja, 2000).
Setelah tahun 1950, keyakinan tentang eksklusivitas agama dan ilmu pengetahuan mulai meluntur. Paradigma baru melihat bahwa ilmu pengetahuan dan agama memiliki hubungan yang erat untuk sampai pada nilai guna kehidupan mahluk. Justru muncul pemikiran yang disebut sebagai pasca positivistik bahwa apa yang dijelaskan ilmu pengetahuan dan agama adalah saling tumpang tindih dan lebih banyak kesamaannya ketimbang perbedaannya yang tajam. Ada empat asumsi yang yang dikemukakan oleh mereka dari aliran ini (Fouad Alh Aboub Hatab, 1997, dalam Elmira N. Sumintardja, 2000):
  1. Data dan fakta ilmu pengetahuan adalah theory laden, artinya diinterpretasikan menjadi suatu konsep dan tidak selalu harus memiliki makna yang pasti. Fakta terpatri dalam jaring konseptual yang luas, yang disebut sebagai paradigma. Jadi, fakta bukan hanya sekedar fungsi empiris yang sederhana dipilah dengan pendekatan realistik yang naif.
  2. Teori ilmu pengetahuan tidak diperoleh hanya dari fakta semata. Pandangan ini bertentangan dengan tesis positivistik bahwa teori harus dibangun dari metode induktif, deduktif dan hipotetik-deduktif.
  3. Ilmu pengetahuan adalah aktivitas budaya dan kemanusiaan yang tidak dapat direduksi menjadi suatu perangkat prosedur operasional saja.
  4. Aktivitas peningkatan konsep dan teori tidak melalui akumulasi fakta yang berharap dengan cara lambat, tetapi terjadi berkat pengembangan teori-teori.
Asumsi di atas menyadarkan kita bahwa ilmu pengetahuan bukanlah suatu lingkup kegiatan yang steril, obyektif, terkendali, tetapi merupakan suatu aktivitas total dari pikiran, hati nurani dan dorongan energi manusia untuk menciptakan karya ilmiahnya. Tidak semua karya datang dari pembuktian secara empirik. Misalnya, teori Darwin yang sampai kini tidak pernah terbuktikan, namun memberi pengaruh dan kontribusi sangat besar dalam paradigma ilmu pengetahuan.
Di sisi lain agama peka terhadap pengalaman hidup manusia karena agama menawarkan tujuan tertinggi dan terluas dari eksistensi manusia. Agama merumuskan konsep teologis di mana analisis konseptual tentang tingkah laku manusia ditata dan diberi pemahaman, diberi jalan keluar dan arah perbaikan bila mengalami masalah dan kesulitan. Bukankah ini juga merupakan tujuan ilmu pengetahuan, yaitu dibangun untuk kepentingan kesejahteraan manusia, melalui upaya mencari jawaban tentang fenomena dan menjelaskan bagaimana fenomena itu terjadi, sehingga bisa memberi manfaat bagi kehidupan mahluk. Bila tujuan ini sama, maka ilmu pengetahuan dan agama merupakan sistem yang saling berhubungan dan terintegrasi.
Dari sudut pandang Islam, menurut Al-Faruqi, pandangan integratif ini dapat diartikan sebagai upaya untuk mengislamisasi ilmu yang beranjak dari tauhid. Perpecahan antara “sistem ilmu modern yang sekuler” dengan “sistem Islam” dapat dipertautkan dengan memulainya dari dasar keimanan seseorang. Bila pengetahuan modern menyebabkan adanya pertentangan antara wahyu dan akal dalam diri umat Islam, memisahkan pemikiran dari aksi, menciptakan dualisme kultural dan religius, maka dengan paradigma yang baru pertentangan ini ditiadakan. Penjelasan tentang ilmu pengetahuan dapat dicari dalam agama dan sebaliknya, wahyu ilahi dapat dicari dalam dunia ilmu pengetahuan.
Psikologi Islami: Suatu Paradigma yang Khas
Ilmu berkembang melalui suatu paradigma cara berpikir tentang substansi dan bagaimana caranya substansi tersebut dijelaskan oleh pengamat ilmu tersebut. Melalui paradigma itulah terjadi sebuah revolusi pemikiran yang kemudian menghasilkan konsep. Para ahli psikologi yang memiliki latar agama Islam mengamati bahwa konsep barat banyak yang kurang mengena untuk menjelaskan perilaku manusia, terutama bila dilandaskan pada keyakinan tentang konsep manusia menurut ajaran agama. Hal ini menjadi sebuah bahan pemikiran, karena selama ini tinjauan psikologi menurut konsep barat dapat saja benar dan logis, namun belum tentu tepat bila ditinjau lebih jauh apakah sudah mengakomodasikan kepentingan pemahaman tingkah laku melalui konsep Islam.
Pemahaman-pemahaman tingkah laku dengan rujukan Islam merupakan sebuah paradigma yang khas, bila tidak dikatakan baru. Terdapat sebuah definisi umum yang menggambarkan kekhasan psikologi Islami, yaitu ilmu yang berbicara tentang manusia, terutama masalah kepribadian manusia, yang berisi filsafat, teori, metodologi dan pendekatan problem dengan didasari sumber-sumber formal Islam (ayat qouliyah), akal, indra dan intuisi (ayat kauniyah). (Djamaludin Ancok dan Fuat Nashori, 2004). Sifat khasnya tampak pada sumber yang menjadi dasar dari konsep ini yaitu firman tuhan. Konsep psikologi Islami sendiri lahir dari dua pendekatan yang satu sama lain saling melengkapi dan tidak dapat dipisahkan setidaknya untuk sementara ini:
1. Psikologi Islam adalah konsep psikologi modern yang telah mengalami filterisasi dan di dalamnya terdapat wawasan Islam. Jadi Psikologi Islami diartikan sebagai perspektif Islam terhadap psikologi modern dengan membuang konsep yang tidak sesuai dan bertentangan dengan konsep Islam.
2. Ilmu tentang manusia yang kerangka konsepnya dibangun atas dasar sumber-sumber formal Islam, yaitu al-Quran dan Sunnah Nabi (Hadis), dengan memperhatikan pula syarat-syarat ilmiah seperti lazimnya dalam bahasan metodologik suatu konsep teori.
Ruang Lingkup Kajian Psikologi Islami
Menurut Djamaludin Ancok dan Fuat Nashori (2004), kajian psikologi Islami diantaranya meliputi jiwa (nafs) dengan memperhatikan badan atau tubuh, dengan kata lain antara jiwa dan badan muncul suatu kesinambungan yang mencerminkan adanya totalitas dan unitas. Keadaan tubuh manusia bisa jadi merupakan cerminan jiwanya. Ekspresi badan hanyalah salah satu fenomena kejiwaan. Dalam merumuskan siapa manusia itu, psikologi Islami melihat manusia tidak semata-mata dari perilaku yang diperlihatkan badannya. Bukan pula berdasarkan spekulasi tentang apa dan siapa manusia. Psikologi Islami bermaksud menjelaskan manusia dengan merumuskan apa kata tuhan tentang manusia. Psikologi Islami menyadari adanya kompleksitas dalam diri manusia di mana hanya sang penciptalah yang mampu memahami dan mengurai kompleksitas itu.
Oleh karenanya, psikologi Islami sangat memperhatikan apa yang tuhan katakan tentang manusia. Artinya, dalam menerangkan siapa manusia itu, kita tidak semata-mata mendasarkan diri kita pada perilaku nyata manusia, akan tetapi bisa kita fahami dari dalil-dalil tentang perilaku manusia yang ditarik dari ungkapan tuhan. Kajian tentang diri manusia banyak disebut-sebut Allah dalam Al-Quran:
“Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segala wilayah bumi dan pada diri mereka sendiri, hingga jelas bagi mereka bahwa Al Quran itu adalah benar. Tiadakah cukup bahwa Sesungguhnya Tuhanmu menjadi saksi atas segala sesuatu?” (Qs. Fushshilat, 41:53).
Ayat ini hendak mengungkapkan bahwa di alam semesta maupun dalam diri manusia terdapat sesuatu yang menunjukan adanya tanda-tanda kekuasaan Allah. Yang dimaksud dengan sesuatu itu adalah rahasia-rahasia tentang keadaan alam dan keadaan manusia. Apabila rahasia-rahasia tersebut disingkap manusia, maka jadilah manusia sebagai mahluk yang berpengetahuan, mahluk yang berilmu.
Secara sederhana dapat dikatakan bahwa dalam diri manusia ada kompleksitas yang bisa dijadikan lahan kajian. Dalam berbagai ayat banyak disebutkan istilah-istilah yang berbicara tentang keadaan diri manusia, seperti nafs, ruh, aql, qalb, fitrah, fujura, taqwa, fuad dan sebagainya. Istilah nafs, termasuk kata yang paling sering disebut-sebut oleh Al-Quran, yaitu sebanyak lebih dari 300 kali.
Menurut Djamaludin Ancok dan Fuat Nashori (2004) ada beberapa hal yang harus menjadi catatan, yang pertama bahwa kajian mengenai manusia bukanlah kajian yang berdiri sendiri, tetapi digunakan untuk menuju Allah (Abdul Hamid al-Hashimi, 1991), yang kedua adalah untuk mengenal siapa manusia kita tidak semata-mata menggunakan teks Al-Quran (ayat kauniyah), tapi juga dengan menggunakan, memikirkan dan merefleksikan kejadian-kejadian di alam semesta (ayat kauliyah) dengan akal pikiran, indra dan intuisi. Catatan terakhir kita harus membedakan kebenaran Al-Quran dan kebenaran penafsiran Al-Quran. Secara mutlak Al-Quran adalah benar, tetapi penafsiran atasnya mungkin saja bias. Oleh karena itu rumusan tentang apa dan siapa manusia yang didasarkan pada Al-Quran juga mungkin mengandung bias, kerena bias dalam penafsirannya. Kalau perbedaan penafsiran itu terjadi, maka tugas kita adalah mengembalikannya pada Al-Quran, Al-Quran tidak pernah salah dalam memandang siapa manusia, yang salah adalah penafsiran atasnya.
Konsep Psikologi Islami tentang Manusia
Penjelasan mengenai konsep manusia menurut psikologi Islami banyak dipengaruhi oleh konsep manusia menurut pandangan ilmu tasawuf, yang secara umum dapat kita temukan dengan melihat beberapa aspek:
1. Aspek Jismiyah (Dimensi jasad):
Jasad adalah salah satu aspek dalam diri manusia yang bersifat material. Bentuk dan keberadaannya dapat diindera oleh manusia, seperti tubuh dan anggota-anggotanya seperti tangan, kaki, mata, telinga dan lain-lain. Di dalam Al-Quran banyak disebutkan bahwa manusia telah dikaruniai raga dengan sebaik-baiknya bentuk.
“Dia menciptakan langit dan bumi dengan haq. Dia membentuk rupamu dan dibaguskanNya rupamu itu dan hanya kepada Allah-lah kembali(mu)”.(QS At-Taghaabun, 64:3)
“Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya”. (QS At-Tiin, 95:4)
“Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam Keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur”. (QS. An-Nahl, 16:78).
Dengan raga atau fisik yang bagus diharapkan manusia bersyukur kepada Allah. Tetapi walaupun demikian banyak manusia yang kemudian menjadi ingkar, kafir dan tidak bersyukur kepada Allah.
“Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari setetes mani yang bercampur[1535] yang Kami hendak mengujinya (dengan perintah dan larangan), karena itu Kami jadikan Dia mendengar dan melihat. Sesungguhnya Kami telah menunjukinya jalan yang lurus; ada yang bersyukur dan ada pula yang kafir”. (QS. Al-Insaan, 76:2-3). [1535] Maksudnya: bercampur antara benih lelaki dengan perempuan.
Dari aspek jasad inilah kemudian timbulnya kecenderungan dan keinginan yang disebut syahwat, yaitu ketertarikan terhadap hal-hal keduniawian, seperti yang disebutkan di dalam Al-Quran:
“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, Yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga)”. (QS. Ali-Imran, 3:14).
Selain itu jasad memiliki sifat buruk. Keburukan jasad disebabkan karena jasad merupakan penjara bagi ruh, mengganggu kesibukan ruh untuk beribadah kepada Allah SWT., dan jasad tidak mampu mencapai makrifatullah.
2. Aspek Nafsiyah
Dalam kebanyakan terjemahan ke dalam bahasa Indonesia, nafs diartikan dengan jiwa atau diri. Namun dalam konteks ini nafs yang dimaksud adalah substansi psikofisik manusia, dimana komponen yang bersifat jasadi (jismiyah) bergabung dengan komponen ruh sehingga menciptakan potensi-potensi yang potensial, tetapi dapat aktual jika manusia mengupayakannya. Setiap komponen yang ada memiliki daya-daya laten yang dapat menggerakkan tingkah laku manusia. Aktualisasi nafs membentuk kepribadian, yang perkembangannya dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal.
Aspek nafsiyah memiliki potensi bawaan yang ada pada psikofisik manusia yang dibawa semenjak lahir dan yang akan menjadi pendorong serta penentu bagi tingkah laku manusia, baik berupa perbuatan, sikap, ucapan dan sebagainya.
Di dalam aspek nafsiyah ini terdapat tiga dimensi yang memiliki peranan yang berbeda satu sama lain, yaitu:
a. Dimensi Kalbu (Al-Qolb)
Secara tegas Al-Ghazali (dalam Abul Mujib dan Jusuf Mudzakir, 2001) melihat kalbu dari dua aspek, yaitu kalbu yang bersifat jasmani dan kalbu yang bersifat ruhani. Kalbu jasmani adalah salah satu organ yang terdapat di dalam tubuh manusia berupa segumpal daging yang berbentuk seperti buah sanubar (sanubari) atau seperti jantung pisang yang terletak di dalam dada sebelah kiri. Kalbu ini lazimnya disebut jantung. Sedangakan kalbu ruhani adalah sesuatu yang bersifat halus (lathif), rabbani dan ruhani yang berhubungan dengan kalbu jasmani. Bagian ini merupakan esensi manusia.
Al-Ghazali berpendapat bahwa kalbu memiliki insting yang disebut dengan al-nur al-ilahy (cahaya ketuhanan) dan al-bashirah al-bathinah (mata batin) yang memancarkan keimanan dan keyakinan. Al-Zamakhsyariy (dalam Abul Mujib dan Jusuf Mudzakir, 2001) menegaskan bahwa kalbu itu diciptakan oleh Allah SWT., sesuai dengan fitrah asalnya dan berkecenderungan menerima kebenaran dari-Nya. Dari sisi ini, kalbu ruhani merupakan bagian esensi dari nafs manusia. Kalbu ini berfungsi sebagai pemandu, pengontrol dan pengendali struktur nafs yang lain. Apabila kalbu ini berfungsi secara normal maka kehidupan manusia menjadi baik dan sesuai dengan fitrah aslinya. Manusia tidak sekedar mengenal lingkungan fisik dan soialnya, melainkan juga mampu mengenal lingkunngan spiritual, ketuhanan dan keagamaan. Oleh karena itulah maka kalbu disebut juga fithrah ilahiyah atau fithrah rabbaniyah-nuraniyah.
Kalbu mampu memperoleh pengetahuan (al-ma’rifah) melalui daya cita rasa (al-zawqiyah). Kalbu akan memperoleh puncak pengetahuan apabila manusia telah mensucikan dirinya dan menghasilkan ilham (bisikan suci dari Allah SWT.) dan kasyf (terbukanya dinding yang menghalangi kalbu).
Ketika mengaktual, potensi kalbu tidak selamanya menjadi tingkah laku yang baik. Baik buruknya sangat tergantung pada pilihan manusia itu sendiri. Hal tersebut seperti yang dijelaskan dalam sebuah hadis:
“Sesungguhnya di dalam tubuh terdapat segumpal daging. Apabila ia baik maka semua tubuh menjadi baik, tetapi apabila ia rusak maka semua tubuh menjadi rusak pula. Ingatlah bahwa ia adalah kalbu(hati)” (HR. Al-Bukhari dari Nu’man ibn Basyir).
Kalbu secara psikologis memiliki daya-daya emosi (al-infi’aliy), yang menimbulkan daya rasa (al-syu’ur). Sementara Al-Thabathabai (dalam Abul Mujib dan Jusuf Mudzakir, 2001) menyebut dalam tafsirnya bahwa fungsi kalbu selain berdaya emosi juga berdaya kognisi. Hal itu menunjukan bahwa kalbu memiliki dua daya, yaitu daya kognisi dan daya emosi. Daya emosi kalbu lebih banyak diungkap daripada daya kognisinya, sehingga para ahli sering menganggap kalbu sebagai aspek nafsiyah yang berdaya emosi. Apabila terpaksa menyebut kalbu sebagai daya kognisi, itupun hanya dibatasi pada kognisi yang diperoleh melalui pendekatan cita rasa (zawq) bukan pendekatan nalar.
Daya kalbu tidak terbatas pada pencapaian kesadaran, tetapi mampu mencapai tingkat supra-kesadaran. Kalbu mampu menghantarkan manusia pada tingkat spiritualitas, keagamaan dan ketuhanan. Semua tingkatan itu merupakan tingkatan supra-kesadaran manusia, sebab kedudukannya lebih tinggi daripada rasio manusia. Manusia dengan kalbunya mampu membenarkan wahyu. Kebenaran wahyu ada yang bersifat rasional dan ada pula yang bersifat supra- rasional. Sifat rasional dapat ditangkap oleh daya akal manusia, sedang sifat supra-rasional hanya dapat ditangkap oleh kalbunya. Dengan begitu, fungsi kalbu bukan sekedar merasakan sesuatu, melainkan juga berfungsi untuk menangkap pengetahuan yang bersifat supra-rasional.
b. Dimensi Akal ( Al-’Aql)
Secara etimologi, akal memiliki arti al-imsak (menahan), al-ribath (ikatan), al-hajr (menahan), al-nahy (melarang), dan man’u (mencegah). Berdasarkan makna bahasa ini maka yang disebut orang yang berakal adalah orang yang mampu menahan dan mengikat hawa nafsunya. Jika hawa nafsunya terikat maka jiwa rasionalitasnya mampu bereksistensi.
Dalam dimensi jasad akal merupakan hasil dari kerja otak, dimana akal memiliki cahaya nurani yang dipersiapkan untuk mampu memperoleh pengetahuan serta kognisi. Akal merupakan daya berpikir manusia untuk memperoleh pengetahuan yang bersifat rasional dan dapat menentukan eksistensi manusia. Akal mampu memperoleh pengetahuan melalui daya argumentatif dan juga menunjukan substansi berpikir, aku-nya pribadi, mampu berpendapat, mampu memahami, menggambarkan, menghafal, menemukan dan mengucapkan sesuatu. Karena itulah maka sifat akal adalah kemanusiaan (insaniyah), sehingga ia disebut juga fithrah insaniyah. Secara psikologis akal memiliki fungsi kognisi (daya cipta).
Menurut Ibnu Sina (dalam Abul Mujib dan Jusuf Mudzakir, 2001), manusia memiliki tiga jiwa, yaitu jiwa tumbuh-tumbuhan, jiwa binatang dan jiwa berpikir. Jiwa berpikir (akal) pada puncaknya mampu mencapai pemahaman abstrak dan mampu menerima limpahan pengetahuan dari Allah SWT.
Di dalam Al-Quran akal diungkap hanya dalam bentuk kata kerja dan tidak satu pun diungkap dalam bentuk kata benda. Hal ini menunjukan bahwa akal bukanlah suatu substansi yang bereksistensi, melainkan aktivitas substansi tertentu:
“Maka Apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami (berakal dengannya) atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? karena Sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada”.(QS. Al-Hajj, 15:46). Adapun yang dimaksud kalbu di dalam ayat tersebut adalah akal itu sendiri. Pendapat ini senada dengan pendapat Plato. Bagi Plato, jiwa rasional itu bertempat di kepala (otak) manusia, sehingga yang berpikir adalah akal dan bukan kalbu.
Akal bukanlah kalbu. Ia merupakan dimensi tersendiri dalam aspek nafsiyah yang berkedudukan di otak yang berfungsi untuk berpikir. Akal memiliki kesamaan dengan kalbu dalam memperoleh daya kognisi, tetapi cara dan hasilnya berbeda. Akal mampu mencapai pengetahuan rasional tetapi tidak mampu mencapai pengetahuan yang supra-rasional. Akal mampu mengungkap hal-hal yang abstrak tetapi belum mampu merasakan hakikatnya. Akal mampu menghantarkan eksistensi manusia pada tingkat kesadaran tetapi tidak mampu mengahantarkan pada tingkat supra-kesadaran.
c. Dimensi Nafsu (An-Nafsu)
Nafsu dalam terminologi psikologi dekat dengan sebutan konasi (daya karsa). Konasi (kemauan) adalah bereaksi, berbuat, berusaha, berkemauan, dan berkehendak. Aspek konasi kepribadian ditandai dengan tingkah laku yang bertujuan dan impuls untuk berbuat. Nafsu menunjukan struktur di bawah sadar dari kepribadian manusia. Apabila manusia mengumbar dominasi nafsunya maka kepribadiannya tidak akan mampu bereksistensi, baik di dunia apalagi di akhirat. Manusia yang memiliki sifat ini pada hakikatnya memiliki kedudukan sama dengan binatang bahkan lebih hina:
Dan Sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. mereka Itulah orang-orang yang lalai. (QS. Al-A’raf: 179)
Nafsu memiliki dua kekuatan yaitu, al-ghadhabiyah dan al-syahwaniyah. Al-ghadhabiyah adalah suatu daya yang berpotensi untuk menghindari diri dari segala yang membahayakan. Al-ghadhabiyah dalam terminologi psikoanalisa disebut dengan difence mechanisme, yaitu tingkah laku yang berusaha membela atau melindungi ego terhadap kesalahan, kecemasan dan rasa malu, perbuatan untuk melindungi diri sendiri dan memanfaatkan dan merasionalisasikan perbuatannya sendiri. Sedangkan al-syahwaniyah atau syahwat adalah suatu daya yang berpotensi untuk menginduksi diri dari segala hal yang menyenangkan. Syahwat dalam terminologi psikologi disebut dengan appetite, yaitu suatu hasrat (keinginan, birahi, hawa nafsu), motif atau impuls berdasarkan perubahan keadaan fisiologi.
Prinsip kerja nafsu mengikuti prinsip kenikmatan (pleasure principle) dan berusaha mengumbar impuls-impuls primitifnya. Apabila impuls-impuls ini tidak terpenuhi maka terjadi ketegangan diri. Prinsip kerja nafsu ini memiliki kesamaan dengan prinsip kerja jiwa binatang, baik binatang buas maupun binatang jinak. Binatang buas memiliki impuls agresif (menyerang), sedangkan binatang jinak memiliki impuls seksual. Oleh karena prinsip inilah maka nafsu disebut juga fithrah hayawaniyah.
3. Aspek Ruhiyah (Ruh)
Ruh merupakan substansi psikis manusia yang menjadi esensi kehidupannnya. Ruh adalah pembeda antara esensi manusia dengan esensi mahluk lain. Ruh berbeda dengan spirit dalam terminologi psikologi, sebab term ruh lebih kepada subtansi, berbeda dengan spirit yang lebih kepada akibat atau efek dari ruh.
Menurut Al-Ghazali (dalam Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakir, 2001) ruh merupakan sesuatu yang halus (lathifah) yang bersifat ruhani. Ia dapat berpikir, mengingat, mengetahui dan sebagainya. Ruh juga merupakan penggerak bagi keberadaan jasad manusia (nyawa) yang bersifat gaib.
Pembahasan mengenai ruh dibagi menjadi dua, pertama, ruh yang berhubungan dengan zatnya sendiri, dan kedua ruh yang berhubungan dengan badan jasmani. Ruh yang pertama disebut dengan al-munazzalah, sedang yang kedua disebut dengan al-gharizah, atau disebut dengan nafsaniah. Ruh al-munazzalah berkaitan dengan esensi asli ruh yang diturunkan atau diberikan secara langsung dari Allah SWT. kepada manusia. Ruh ini esensinya tidak berubah, sebab jika berubah berarti berubah pula eksistensi manusia.
Ruh ini diciptakan di alam ruh (‘alam arwah) atau di alam perjanjian. Karena itu ruh al-munazzalah ada sebelum tubuh manusia itu ada, sehingga sifatnya sangat gaib yang adanya hanya diketahui melalui informasi wahyu. Ruh al-munazzalah melekat pada diri manusia. Ruh ini dapat dikatakan sebagai fitrah asal yang menjadi esensi (hakikat) struktur manusia. Fungsinya berguna untuk memberikan motivasi dan menjadikan dinamisasi tingkah laku. Ruh ini membimbing kehidupan spiritual nafsani manusia untuk menuju pancaran nur ilahi yang suci yang menerangi ruangan nafsani manusia, meluruskan akal budi dan mengendalikan impuls-impuls rendah.
Wujud ruh al-munazzalah adalah al-amanah. Fazlur Rahman (dalam Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakir, 2001) menyatakan bahwa amanah merupakan inti kodrat manusia yang diberikan sejak awal penciptaan, tanpa amanah manusia tidak memiliki keunikan dengan mahluk-mahluk lain. Amanah adalah titipan atau kepercayaan Allah yang dibebankan kepada manusia untuk menjadi hamba dan khalifah di muka bumi. Tugas hamba adalah menyembah dan berbakti kepada penciptanya (QS. Al-Zariyat, 51:56), sebab di alam arwah manusia sudah berjanji bahwa Allah adalah tuhannya (QS. Al-A’raf, 7: 172). Sedang tugas khalifah adalah menjadi wakil Allah di muka bumi (QS. Al-Baqarah, 2: 30), pengganti dan penerus para pendahulunya (QS. Al-An’am, 6: 165), pewaris-pewaris di bumi (QS. An-Naml, 27: 62). Ruh al-munazzalah sendiri perlu pengingat, petunjuk maupun pembimbing yaitu Al-Quran dan sunnah. Apabila aspek inhern ruhani (al-gharizah) lupa akan dirinya, maka ruh ini memberi peringatan. Al-Gharizah sendiri merupakan bagian dari ruh manusia yang berhubungan dengan jasad.
Dinamika Kepribadian menurut Psikologi Islami
Kepribadian menurut Psikologi Islami adalah integrasi sistem kalbu, akal dan nafsu manusia yang menimbulkan tingkah laku (Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakir, 2001). Aspek nafsiyah manusia memiliki tiga daya, yaitu: (1) kalbu (fithrah ilahiyah) sebagai aspek supra-kesadaran manusia yang memiliki daya afeksi (emosi-rasa); (2) akal (fithrah insaniyah) sebagai aspek kesadaran manusia yang memiliki daya kognisi (cipta); dan (3) nafsu (fithrah hayawaniyah) sebagai aspek pra atau bawah kesadaran manusia yang memiliki daya konasi (karsa). Ketiga komponen ini berintegrasi untuk mewujudkan suatu tingkah laku. Kalbu memiliki kecenderungan kepada pembawaan ruh, nafs kepada jasad, sedangkan akal antara ruh dan jasad. Dari sudut tingkatannya, kepribadian itu merupakan integarsi dari aspek-aspek supra-kesadaran (fitrah ketuhanan), kesadaran (fitrah kemanusiaan) dan pra atau bawah kesadaran (fitrah kebinatangan). Sedangkan dari sudut fungsinya, kepribadian merupakan integrasi dari daya afeksi (emosi), kognisi dan konasi yang terwujud dalam tingkah laku luar (berjalan, berbicara, dsb.) maupun tingkah laku dalam (pikiran, perasaan, dsb.)
Kepribadian sesunggunya merupakan produk dari interaksi di antara ketiga komponen tersebut, hanya saja ada salah-satu di antaranya yang lebih mendominasi dari komponen yang lain. Dalam interaksi itu kalbu memiliki posisi dominan dalam mengendalikan suatu kepribadian. Prinsip kerjanya cenderung kepada fitrah asal manusia, yaitu rindu akan kehadiran tuhan dan kesucian jiwa. Aktualitas kalbu sangat ditentukan oleh sistem kendalinya. Sistem kendali yang dimaksud adalah dhamir yang dibimbing oleh fithrah al-munazzalah (Al-Quran dan Sunnah). Apabila sistem kendali ini berfungsi sebagaimana mestinya maka kepribadian manusia sesuai dengan amanat yang telah diberikan oleh Allah di alam perjanjian. Namun apabila ia tidak berfungsi maka kepribadian manusia akan dikendalikan oleh komponen lain yang lebih rendah kedudukannya.
Sedangkan akal prinsip kerjanya adalah mengejar hal-hal yang realistis dan rasionalistik. Oleh sebab itu maka tugas utama akal adalah mengikat dan menahan hawa nafsu. Apabila tugas utama ini terlaksana maka akal mampu untuk mengaktualisasikan sifat bawaan tertingginya, namun jika tidak maka akal dimanfaatkan oleh nafsu.
Sementara nafsu prinsip kerjanya hanya mengejar kenikmatan duniawi dan ingin mengumbar nafsu-nafsu impulsifnya. Apabila sistem kendali kalbu dan akal melemah maka nafsu mampu mengaktualkan sifat bawaannya, tetapi apabila sistem kendali kalbu dan akal tetap berfungsi maka daya nafsu melemah. Nafsu sendiri memiliki daya tarik yang sangat kuat dibanding dengan kedua sistem fitrah nafsani yang lainnya. Kekuatan tersebut disebabkan oleh bantuan dan bisikan setan serta tipuan-tipuan impulsif lainnya. Sifat nafsu adalah mengarah pada amarah yang buruk. Namun apabila ia diberi rahmat oleh Allah maka ia menjadi daya yang positif, yaitu kemauan (iradah) dan kemampuan (qudrah) yang tinggi derajatnya.
Interaksi ketiga dimensi dalam aspek nafsiyah tadi teraktualisasi dalam tiga macam kepribadian, yaitu:
  1. Kepribadian Ammarah (nafs al-ammarah)
Kepribadian ammarah adalah kepribadian yang cenderung pada tabiat jasad dan mengejar pada prinsip-prinsip kenikmatan (pleasure principle). Ia mendominasi peran kalbu untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang rendah sesuai dengan naluri primitifnya, sehingga ia merupakan tempat dan sumber kejelekan dan tingkah laku yang tercela. Firman Allah SWT.:
Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena Sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyanyang. (QS. Yusuf, 12:53).
Kepribadian ammarah adalah kepribadian yang dipengaruhi oleh dorongan-dorongan bawah sadar manusia. Barangsiapa yang berkepribadian ini maka sesungguhnya ia tidak lagi memiliki identitas manusia, sebab sifat-sifat humanitasnya telah hilang. Manusia yang berkepribadian ammarah tidak saja dapat merusak dirinya sendiri, tetapi juga merusak diri orang lain. Keberadaannya ditentukan oleh dua daya, yaitu (1) syahwat yang selalu menginginkan birahi, kesukaan diri, ingin tahu dan campur tangan urusan orang lain, dan sebagainya; (2) daya ghadah yang selalu menginginkan tamak, serakah, mencekal, berkelahi, ingin menguasai orang lain, keras kepala, sombong, angkuh dan sebagainya. Jadi orientasi kepribadian ammarah adalah mengikuti sifat binatang.
Kepribadian ammarah dapat beranjak ke kepribadian yang baik apabila telah diberi rahmat oleh Allah SWT. Hal tersebut diperlukan latihan atau riyadhah khusus untuk menekan daya nafsu dari hawa, seperti dengan berpuasa, shalat, berdoa dan sebagainya.
  1. Kepribadian Lawwamah (nafs al-lawwamah)
Kepribadian lawwamah adalah kepribadian yang telah memperoleh cahaya kalbu, lalu ia bangkit untuk memperbaiki kebimbangan antara dua hal. Dalam upayanya itu kadang-kadang tumbuh perbuatan yang buruk yang disebutkan oleh watak gelapnya, namun kemudian ia diingatkan oleh nur ilahi, sehingga ia mencela perbuatannya dan selanjutnya ia bertaubat dan beristighfar. Hal itu dapat difahami bahwa kepribadian lawwamah berada dalam kebimbangan antara kepribadian ammarah dan kepribadian muthmainnah. Firman Allah SWT.:
Dan aku bersumpah dengan jiwa yang Amat menyesali (dirinya sendiri). (QS. Al-Qiyamah, 75:2)
Kepribadian lawwamah merupakan kepribadian yang didominasi oleh akal. Sebagai komponen yang memiliki sifat insaniah, akal mengikuti prinsip kerja rasionalistik dan realistik yang membawa manusia pada tingkat kesadaran. Apabila sistem kendalinya berfungsi maka ia mampu mencapai puncaknya seperti berpaham rasionalisme. Rasionalisme banyak dikembangkan oleh kaum humanis yang mengorientasikan pola pikirnya pada kekuatan “serba” manusia, sehingga sifatnya antroposentris.
Akal apabila telah diberi percikan nur kalbu maka fungsinya menjadi baik. Ia dapat dijadikan sebagai salah satu media untuk menuju Tuhan. Al-Ghazali sendiri meskipun sangat mengutamakan pendekatan cita-rasa (zawq), namun ia masih menggunakan kemampuan akal. Sedangkan menurut Ibnu Sina, akal mampu mencapai pemahaman yang abstrak dan akal juga mampu menerima limpahan pengetahuan dari Tuhan.
Oleh karena kedudukan yang tidak stabil ini maka Ibnu Qayyim Al-Jauziyah membagi kepribadian lawwamah manjadi dua bagian, yaitu: (1) Kepribadian lawwamah malumah, yaitu kepribadian lawwamah yang bodoh dan zalim; (2) Kepribadian lawwamah ghayr malumah, yaitu kepribadian yang mencela atas perbuatannya yang buruk dan berusaha untuk memperbaikinya.
  1. Kepribadian Muthmainnah (nafs al-muthmainnah)
Kepribadian muthmainnah adalah kepribadian yang telah diberi kesempurnaan nur kalbu, sehingga dapat meninggalkan sifat-sifat yang baik. Kepribadian ini selalu berorientasi ke komponen kalbu untuk mendapatkan kesucian dan menghilangkan segala kotoran, sehingga dirinya menjadi tenang. Begitu tenangnya kepribadian ini sehingga ia dipanggil oleh Allah SWT. Firman Allah SWT.:
Hai jiwa yang tenang.Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. (QS. Al-Fajr, 89:27-28).
Kepribadian muthmainnah merupakan kepribadian atas sadar atau supra- kesadaran manusia, dengan orientasi kepribadian ini adalah teosentris. Dikatakan demikian sebab kepribadian ini merasa tenang dalam menerima keyakinan fithrah. Keyakinan fithrah adalah keyakinan yang dihujamkan pada ruh manusia di alam arwah dan kemudian dilegitimasi oleh wahyu ilahi. Penerimaan ini tidak bimbang apalagi ragu-ragu seperti yang dialami oleh kepribadian lawwamah, tetapi penuh keyakinan. Oleh sebab itu ia terbiasa menggunakan metode zawq (cita rasa) dan mata batin dalam menerima sesuatu sehingga ia merasa yakin dan tenang.
Al-Ghazali menyatakan bahwa daya kalbu yang mendominasi kepribadian muthmainnah mampu mencapai pengetahuan ma’rifat melalui daya cita rasa (zawq) dan kasyf terbukanya tabir misteri yang menghalangi penglihatan batin manusia. Sedangkan Ibnu Khaldun menyatkan dalam “muqaddimat” bahwa ruh kalbu itu disinggahi oleh ruh akal. Ruh akal secara substansial mampu mengetahui apa saja di alam amar, sebab ia berpotensi demikian. Ia kadang-kadang tidak mampu mencapai pengetahuan itu disebabkan adanya penghalang (hijab) di badan dan indera. Apabila penghalang itu hilang maka ia mampu menembus pengetahuan tersebut.
Dengan kekuatan dan kesucian daya kalbu maka manusia mampu memperoleh pengetahuan wahyu dan ilham dari Tuhan. Wahyu diberikan pada para nabi, sedang ilham diberikan pada manusia suci biasa. Kebenaran pengetahuan ini bersifat supra-rasional, sehingga bisa jadi ia tidak mampu diterima oleh akal. Pengetahuan yang ditangkap oleh akal seharusnya dapat pula ditangkap oleh kalbu, sebab kalbu sebagian dayanya ada yang digunakan untuk berakal. Namun sebaliknya, pengetahuan yang diterima oleh kalbu belum tentu dapat diterima oleh akal, sebab kemampuan akal (di otak) berada di bawahnya.
III. PSIKOTERAPI BERWAWASAN ISLAM
Menurut Prawitasari, 1993 (dalam Subandi, 2000) istilah psikoterapi (dan konseling) memiliki pengertian sebagai suatu cara yang dilakukan oleh para profesional (psikolog, psikiater, konselor, dokter, guru, dsb.) dengan tujuan untuk menolong klien yang mengalami problematika psikologis. Lebih lanjut Prawitasari menjelaskan tentang tujuan psikoterapi secara lebih spesifik meliputi beberapa aspek kehidupan manusia antara lain:
  1. Memperkuat motivasi untuk melakukan hal-hal yang benar,
  2. Mengurangi tekanan emosi melalui pemberian kesempatan untuk mengekspresikan perasaan yang dalam,
  3. Membantu klien mengembangkan potensinya,
  4. Mengubah kebiasaan dan membentuk tingkah laku baru,
  5. Mengubah struktur kognitif,
  6. Meningkatkan pengetahuan dan kapasitas untuk mengambil keputusan dengan,
  7. Meningkatkan pengetahuan diri dan insight,
  8. Meningkatkan hubungan antar pribadi,
  9. Mengubah lingkungan sosial individu,
  10. Mengubah proses somatik supaya mengurangi rasa sakit dan meningkatkan kesadaran tubuh melalui latihan-latihan fisik,
  11. Mengubah status kesadaran untuk mengembangkan kesadaran, kontrol dan kreativitas diri.
Dari kutipan di atas tampak jelas bahwa persoalan yang ditangani oleh psikoterapis barat menyangkut masalah-masalah yang bersifat fisiologis-emosional-kognitif-behavioral-sosial. Meskipun jangkauannya bervariasi, seringkali konotasi menjadi sempit, yaitu hanya mengarah kepada suatu usaha dalam proses penyembuhan, menghilangkan persoalan dan gangguan. Walaupun sebenarnya ada beberapa psikoterapis yang memasukan isu pengembangan diri sebagai agenda dalam terapi. Tetapi secara umum orang akan selalu beranggapan bahwa jika ada seseorang sedang menjalani suatu psikoterapi, berarti sedang berusaha menyembuhkan diri.
Gambaran mengenai Psikoterapi Islam sendiri memiliki ruang lingkup dan jangkauan yang lebih luas. Selain menaruh perhatian pada proses penyembuhan, psikoterapi Islam sangat menekankan pada usaha peningkatan diri, seperti membersihkan kalbu, menguasai pengaruh dorongan primitif, meningkatkan derajat nafs, menumbuhkan akhlaqul karimah dan meningkatkan potensi untuk menjalankan amanah sebagai hamba Allah dan khalifah di muka bumi. Mappiare, 1996 (dalam Subandi, 2000) menekankan bahwa psikoterapi Islam bertujuan untuk mengembalikan seorang pribadi pada fitrahnya yang suci atau kembali ke jalan yang lurus. Lebih jauh lagi Hamdani, 1996-a (dalam Subandi, 2000) menyebutkan bahwa psikoterapi juga perlu memberikan bimbingan kepada seseorang untuk menemukan hakekat dirinya, menemukan Tuhannya dan menemukan rahasia Tuhan.
Psikoterapi Islam tidak hanya memberikan terapi pada orang-orang yang “sakit” sesuai dengan kriteria mental-psikologis-sosial, tetapi juga perlu ikut menangani orang-orang yang “sakit” secara moral dan spiritual. Jadi ukuran yang dijadikan sebagai standar untuk menentukan kriteria suatu tingkah laku itu perlu diterapi atau tidak, yang pertama-tama adalah nilai moral-spiritual dalam Islam. Baru kemudian mengacu pada kriteria-kriteria psikologi yang ada.
Teori-teori psikologi pada umumnya terlalu berorientasi pada manusia atau antroposentris (Bastaman, 1995 dalam Subandi, 2000), sehingga ukuran kebenarannya juga dari kacamata manusiawi. Sedangkan dalam perspektif psikologi Islami dalam hal ini psikoterapi Islam kebenarannya harus dikembalikan kepada Al-Quran dan sunnah (Al-Hadis).
Bentuk Psikoterapi Berwawasan Islam
Muhammad Mahmud Mahmud (dalam Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakir, 2001), seorang psikolog muslim ternama membagi psikoterapi Islam dalam dua kategori, pertama, bersifat duniawi berupa pendekatan dan teknik-teknik pengobatan psikis setelah memahami psikopatologi dalam kehidupan nyata. Psikoterapi duniawi merupakan hasil daya upaya manusia berupa teknik-teknik terapi atau pengobatan kejiwaan yang didasarkan atas kaidah-kaidah insaniyah. Kedua, bersifat ukhrawi, berupa bimbingan mengenai nilai-nilai moral, spiritual dan agama, dan kedua model psikoterapi ini satu sama lain saling terkait.
Menurut Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakir (2001) psikoterapi dalam Islam yang dapat menyembuhkan semua aspek psikopatologi, baik yang bersifat duniawi, ukhrawi maupun penyakit manusia modern adalah sebagaimana ungkapan dari Ali bin Abi Thalib sebagai berikut:
Obat hati itu ada lima macam:
  1. membaca Al-Quran sambil mencoba memahami artinya,
  2. melakukan shalat malam,
  3. bergaul dengan orang yang baik atau shalih,
  4. memperbanyak shaum atau puasa,
  5. dzikir malam hari yang lama.
Barang siapa yang mampu melakukan salah salah satu dari kelima macam obat hati tersebut maka Allah akan mengabulkannya (permintaannya dengan menyembuhkan penyakit yang diderita).
Al-Quran dianggap sebagai terapi yang pertama dan utama, sebab di dalamnya terdapat rahasia mengenai bagaimana menyembuhkan penyakit jiwa manusia. Tingkat kemujarabannya sangat tergantung seberapa jauh tingkat sugesti keimanan seseorang. Sugesti yang dimaksud dapat diraih dengan mendengar, membaca, memahami dan merenungkan, serta melaksanakan isi kandungannya:
Dan Kami turunkan dari Al Quran suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman dan Al Quran itu tidaklah menambah kepada orang-orang yang zalim selain kerugian. (QS. Al-Isra, 71:82).
Terapi yang kedua adalah melakukan shalat malam (qiyamul lail). Keampuhan terapi shalat sunnah ini sangat terkait dengan pengamalan shalat wajib, sebab kedudukan terapi shalat sunnah hanya menjadi suplemen bagi terapi shalat wajib. Adapun hikmah dari pelaksanaan shalat malam dalam hal ini shalat tahajud adalah:
1. Mendapat kedudukan terpuji di hadapan Allah SWT.
Dan pada sebahagian malam hari bersembahyang tahajudlah kamu sebagai suatu ibadah tambahan bagimu; Mudah-mudahan Tuhan-mu mengangkat kamu ke tempat yang Terpuji. (QS. Al-Israa, 71:79).
2. Memiliki kepribadian orang-orang salih yang dekat dengan Allah SWT., terhapus dosanya dan terhindar dari perbuatan munkar.
3. Jiwanya selalu hidup sehingga mudah mendapatkan ilmu dan ketentraman dan dijanjikan kenikmatan syurga.
4. Doanya makbul, mendapat ampunan Allah SWT., dan dilapangkan rizkinya.
5. Ungkapan rasa syukur kepada Allah SWT.
Shalat secara umum memiliki empat aspek terapeutik, pertama adalah aspek olahraga, karena shalat adalah suatu proses yang menuntut aktivitas fisik yang di dalamnya terdapat proses relaksasi. Salah satu teknik yang banyak dipakai dalam proses terapi gangguan jiwa adalah latihan relaksasi. Selain itu penelitian yang dilakukan oleh Nizami diungkap bahwa shalat menghasilkan bio energi yang menghantarkan si pelaku dalam situasi seimbang (equilibrium). Hasil penelitian lainnya dari Arif Wisono Adi, 1985 (dalam Djamaludin Ancok dan Fuat Nashori, 1994) menunjukan adanya korelasi negatif yang signifikan antara keteraturan menjalankan shalat dengan tingkat kecemasan. Makin rajin dan teratur orang melakukan shalat maka makin rendah tingkat kecemasannya.
Kedua adalah aspek meditasi. Shalat adalah proses yang menuntut konsentrasi yang dalam (khusuk) dan kekhusukan dalam shalat adalah suatu proses meditasi, yang dalam beberapa penelitian dikatakan bahwa aktivitas meditasi dapat menghilangkan kecemasan.
Ketiga adalah aspek auto-sugesti. Bacaan dalam pelaksanaan shalat adalah ucaapan yang dipanjatkan pada Allah. Di samping berisi pujian pada Allah juga berisikan doa dan permohonan pada Allah agar selamat di dunia dan di akhirat. Proses shalat pada dasarnya adalah terapi yang tidak berbeda dengan terapi “self-hypnosis” dengan mensugesti diri sendiri dengan mengucapakan hal-hal yang baik pada diri sendiri agar memiliki sifat yang baik tersebut.
Keempat adalah aspek kebersamaan. Hal ini tampak pada saat pelaksanaan shalat berjamaah yang pada pelaksanaannya memupuk rasa kebersamaan. Beberapa ahli psikologi berpendapat bahwa perasaan “keterasingan” dari orang lain adalah penyebab utama terjadinya gangguan jiwa. Dengan shalat berjamaah perasaan terasing dari orang lain itu dapat hilang.
Terapi yang ketiga adalah bergaul dengan orang salih. Orang yang salih adalah orang yang mampu mengintegrasikan dirinya dan mampu mengaktualisasikan potensinya semaksimal mungkin dalam berbagai dimensi kehidupan. Jika seseorang dapat bergaul dengan orang salih maka nasihat-nasihat dari orang salih tersebut akan dapat memberikan terapi bagi kelainan atau penyakit mental seseorang. Dalam terminologi tasawuf hal ini tergambar pada seorang guru sufi atau mursyid yang memiliki ketajaman batin terhadap kondisi penyakit muridnya.
Terapi yang keempat adalah melakukan puasa. Maksud puasa di sini adalah menahan (imsak) diri dari segala perbuatan yang dapat merusak citra fitri manusia. Al-Ghazali mengemukakan bahwa hikmah berpuasa (menahan rasa lapar) adalah:
  1. Menjernihkan kalbu dan mempertajam pandangan akal
  2. Melembutkan kalbu sehingga mampu merasakan kenikmatan batin
  3. Menjauhkan perilaku yang hina dan sombong, yang perilaku ini sering mengakibatkan kelupaan
  4. Mengingatkan jiwa manusia akan cobaan dan azab Allah, sehingga sangat hati-hati di dalam memilih makanan
  5. Memperlemah syahwat da tertahannya nafsu amarah yang buruk
  6. Mengurangi tidur untuk diisi dengan berbagai aktivitas ibadah
  7. Mempermudah untuk selalu tekun beribadah
  8. Menyehatkan badan dan jiwa
  9. Menumbuhkan kepedulian sosial
  10. Menumbuhkan rasa empati
Terapi yang kelima adalah zikir. Dalam arti sempit zikir berarti menyebut asma-asma agung dalam berbagai kesempatan. Sedangkan dalam arti yang luas, zikir mencakup pengertian mengingat segala keagungan dan kasih sayang Allah SWT. yang telah diberikan kepada kita, sambil mentaati segala perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Zikir dapat mengembalikan kesadaran seseorang untuk mengingat, menyebut dan mereduksi kembali hal-hal yang tersembunyi dala hatinya. Zikir juga mampu mengingatkan seseorang bahwa yang membuat dan menyembuhkan penyakit hanyalah Allah SWT., semata sehingga zikir mampu memberi sugesti penyembuhannya, melakukan zikir sama nilainya dengan terapi relaksasi.
(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram. (QS. Ar-Ra’d, 13:28).
Studi Kasus
Fulan adalah seorang laki-laki berusia 20 tahun dan merupakan salah seorang mahasiswa di sebuah PTN di Bandung. Pada saat duduk di bangku SMA, Fulan dikenal sebagai siswa yang cukup ditakuti di sekolahnya, karena kebiasaannya berperilaku kasar dan “menindas” siswa-siswa lain dan hal ini pun terjadi hingga duduk dibangku kuliah.
Suatu saat Fulan bertemu dengan seorang aktivis kerohanian di kampus tempat Fulan kuliah. Berawal dari perbincangan ringan Fulan mulai tertarik untuk masuk ke dalam komunitas aktivis kerohanian tersebut dan meninggalkan lingkungan dan teman-teman tempat dia biasa menghabiskan waktunya. Setelah sekian lama ternyata banyak hal yang berubah dari diri Fulan, kebiasaannya berperilaku kasar kepada orang lain sudah tidak nampak lagi pada dirinya. Sekarang Fulan lebih dikenal sebagai ahli mesjid yang rajin shalat, shaum sunnah dan sangat ramah kepada orang lain.
Apabila kita melihat perubahan yang tampak pada diri Fulan dengan perspektif psikologi Islami, maka benang merahnya akan sangat jelas terlihat, bahwa lingkungan yang kondusif dalam hal ini komunitas orang-orang saleh dan pemaknaan terhadap ibadah shalat dan shaum merupakan unsur-unsur terapeutik yang berpengaruh terhadap perubahan pada diri Fulan. Kepribadian Fulan yang sebelumnya didominasi oleh aspek nafsu dikikis perlahan-lahan dengan aktivitas-aktivitas spirtitual yang mampu meningkatkan derajat kepribadiannya. Diawali dengan tobat dan kesadaran akan dosa-dosa yang telah dilakukan, tidak mengulanginya kembali dan mengisi setiap waktu dalam hidup dengan aktivitas yang sudah digariskan dalam syari’at.
IV. TINJAUAN KRITIS TERHADAP ALIRAN-ALIRAN DALAM PSIKOLOGI MODERN
Psikoanalisis, suatu aliran psikologi yang dipelopori oleh Sigmund Freud yang memandang bahwa manusia adalah mahluk yang hidup atas bekerjanya dorongan-dorongan libido (id) dan memandang manusia sangat ditentukan oleh masa lalunya. Teknik terapinya sendiri menekankan fungsi pemecahan masalah dari ego yang berlawanan dengan impuls seksual dan agresif dari id. Kritik atas Freud dan para pengembang teorinya dikarenakan adanya penyederhanaan terhadap kekuatan dorongan (kekuatan libido / dorongan seksual) sehingga menutupi kemungkinan adanya kekuatan lain yang dapat menggerakkan manusia untuk berpikir dan bertindak. Karena pada dasarnya manusia adalah wujud mahluk yang sangat kompleks, memiliki begitu banyak dimensi kebutuhan untuk mengisi kehidupanya sehingga menjadi rumit pula untuk direka sumber dari pemikiran-pemikirannya serta tindakan-tindakannya. Kita tidak dapat hanya menjelaskan bahwa perilaku X adalah hasil dari suatu sebab kausal yang linier dari satu keadaan atau dorongan.
Kritikan lainnya adalah bagaimana Freud menggambarkan manusia sebagai wujud mahluk yang begitu pesimis dapat keluar dari belenggu impulsnya dalam ketidakberdayaannya melawan libidonya. Seolah tidak ada potensi, misalnya berupa akal, kata hati atau nurani dan keyakinan akan dukungan kekuatan supranatural berupa iman dan taqwa kepada Tuhannya, yang dapat dikembangkan oleh dirinya sendiri untuk melawan hal yang instingtif itu. Dengan demikian manusia menjadi tidak lagi berbeda dengan mahluk hewan yang bergerak hanya atas dasar instingnya saja. Akumulasi dari insting manusia yang mengarah pada suatu dorongan untuk bertindak harus diyakini merupakan hasil dari suatu wujud yang sudah terintegrasi melalui olahan akal, sentuhan nurani dan landasan keyakinan moral dan agama. Sedangkan insting hewani adalah potensi yang tidak mendapat imbuhan tersebut, sehingga tetap dalam bentuknya yang paling dangkal, tidak terolah, namun perlu dipertahankan demi kalangsungan mahluk itu.
Behaviorisme, suatu aliran psikologi yang dimotori oleh Jhon Broadus Watson yang memandang bahwa pada dasarnya ketika dilahirkan manusia tidak membawa bakat apa-apa dan bahwa manusia semata-mata melakukan respon atau tanggapan terhadap suatu rangsangan. Pandangan semacam ini akan memberi penekanan yang sangat besar pada aspek stimulasi lingkungan untuk mengembangkan manusia dan kurang menghargai faktor bakat atau potensi alami manusia. Behaviorisme sangat mungkin memandang manusia secara pukul rata, padahal potensi individual manusia sangat beragam. Pandangan ini beranggapan bahwa apa pun jadinya seorang, maka satu-satunya yang menentukan adalah lingkungannya. Teknik tertapinya sendiri adalah dengan modifikasi perilaku individu seperti desentisasi sistematik, flooding, penguatan sistematis, pemodelan dan pengulangan perilaku yang pantas.
Humanistik, suatu aliran psikologi yang dipelopori oleh Abraham Maslow, berpandangan bahwa pada dasarnya manusia adalah baik dan bahwa potensi manusia adalah tidak terbatas. Pandangan ini sangat optimistik dan bahkan terlampau optimistik terhadap upaya pengembangan sumber daya manusia, sehingga manusia dipandang sebagai penentu tunggal yang mampu melakukan play God (peran Tuhan). Karena tingginya kepercayaan terhadap manusia, maka sangat mungkin muncul sikap membiarkan terhadap perilaku apa pun yang dilakukan orang lain. Teknik terapinya sendiri dilakukan dengan pendekatan fenomenologi kepribadian yang membantu individu menyadari diri sesungguhnya dan memecahkan masalah dengan intervensi ahli terapi yang minimal. Gangguan psikologis diduga timbul jika proses pertumbuhan potensi dan aktualisasi diri terhalang oleh situasi atau oleh orang lain. Carl Rogers yang mengembangkan psikoterapi (clien-centered-therapy), percaya bahwa karakteristik ahli terapi yang penting untuk kemajuan dan eksplorasi-diri klien adalah empati-kehangatan dan ketulusan.
V. PENUTUP
Psikologi Islami dan psikoterapi berwawaan Islam adalah lebih dari sekedar memprediksi, menerangkan dan mengontrol perilaku manusia, tetapi juga mengarahkan perilaku itu untuk mencapai ridha-Nya. Dengan demikian kehadiran psikologi Islami dipenuhi dengan suatu misi besar, yaitu menyelamatkan manusia dan mengantarkan manusia untuk memenuhi kecenderungan alaminya untuk kembali pada-Nya dan mendapatkan ridha-Nya. Karena tugas final psikologi Islami dan psikoterapi berwawasan Islam itu adalah untuk menyelamatkan manusia, maka psikologi harus memanfaatkan ajaran-ajaran agama.
Psikologi Islami dan psikoterapi berwawasan Islam disusun dengan memakai Al-Quran dan sunnah sebagai acuan utamanya. Sementara Al-Quran sendiri diturunkan bukan semata-mata untuk kebaikan umat Islam, tetapi untuk kebaikan umat manusia seluruhnya:
Alif, laam raa. (ini adalah) kitab yang Kami turunkan kepadamu supaya kamu mengeluarkan manusia dari gelap gulita kepada cahaya terang benderang dengan izin Tuhan mereka, (yaitu) menuju jalan Tuhan yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji. (QS. Ibrahim, 14:1)
About these ads