Minggu, 10 Maret 2013

Perangan Uhud sebagai Pelajaran bagi Kaum Muslimin!!!(bagian Pertama)


Posted by Drs.H.Mutawalli,M.Pd.I   on September 6, 2010
A.Persiapan Quraisy di Mekah
 
Sejak terjadinya perang Badr pihak Quraisy sudah tidak  pernah tenang  lagi.  Juga  penstiwa  Sawiq  tidak membawa keuntungan apa-apa buat  mereka.  Lebih-lebih karena  kesatuan  Zaid  b. Haritha  telah  berhasil  mengambil  perdagangan mereka ketika mereka hendak pergi  ke  Syam  melalui  jalan  Irak.  Hal  ini mengingatkan mereka pada korban-korban Badr dan menambah besar keinginan mereka hendak  membalas  dendam.  Bagaimana  Quraisy akan  dapat  melupakan  peristiwa  itu,  sedang  mereka adalah bangsawan-bangsawan     dan      pemimpin-pemimpin     Mekah, pembesar-pembesar  yang  angkuh dan punya kedudukan terhormat?
Bagaimana   mereka   akan    dapat    melupakannya,    padahal wanita-wanita  Mekah  selalu  ingat  akan  korban-korban  yang terdiri dari anak,  atau  saudara,  bapak,  suami  atau  teman sejawat?   Mereka   selalu  berkabung,  selalu  menangisi  dan meratapi.
Demikianlah keadaannya. Orang-orang Quraisy sejak  Abu  Sufyan b.  Harb  datang  membawa  kafilahnya  dari  Syam,  yang telah menyebabkan timbulnya perang Badr,  begitu  juga  mereka  yang selamat  kembali  dari  Badr, telah menghentikan kafilah dagang itu di Dar’n-Nadwa.
Pembesar-pembesar mereka yang terdiri dari Jubair  b.  Mut’im,  Shafwan  b.  Umayya’ ‘Ikrima b. Abi Jahl, Harith b. Hisyam, Huaitib b. Abd’l-’Uzza dan yang lain,  telah mencapai  kata  sepakat, bahwa kafilah dagang itu akan dijual, keuntungannya akan  disisihkan  dan  akan  dipakai  menyiapkan angkatan  perang  guna  memerangi Muhammad, dengan memperbesar jumlah dan perlengkapannya. Selanjutnya tenaga kabilah-kabilah akan  dikerahkan  dan  supaya  ikut  serta bersama-sama dengan Quraisy menuntut  balas  terhadap  kaum  Muslimin.  Ikut  pula dikerahkan di antaranya Abu ‘Azza penyair yang telah dimaafkan oleh Nabi dan antara tawanan perang Badr. Begitu juga  kabilah Ahabisy2  yang  mau ikut mereka dikerahkan pula. Wanita-wanita pun mendesak akan ikut pergi berperang.
Mereka berunding lagi. Ada yang berpendapat supaya kaum wanita juga ikut serta.
Biar   mereka   bertugas   merangsang   kemarahan  kamu,  dan mengingatkan  kamu  kepada  korban-korban  Badr.  Kita  adalah masyarakat yang sudah bertekad mati, tidak akan pulang sebelum sempat melihat mangsa kita, atau kita sendiri mati untuk itu.”
Saudara-saudara  dari  Quraisy,”   kata   yang   lain   lagi. “Melepaskan  wanita-wanita  kita  kepada musuh, bukanlah suatu pendapat  yang  baik.  Apabila  kalian  mengalami   kekalahan, wanita-wanita kitapun akan tercemar.”
Sementara mereka sedang dalam perundingan itu tiba-tiba Hindun bt. ‘Utba, isteri Abu  Sufyan  berteriak  kepada  mereka  yang menentang ikut sertanya kaum wanita itu:
Kamu  yang  selamat  dari  perang  Badr  kamu  kembali kepada isterimu. Ya. Kita berangkat dan ikut menyaksikan  peperangan. Jangan   ada   orang   yang   menyuruh  kami  pulang,  seperti gadis-gadis kita dulu dalam perjalanan ke Badr disuruh kembali ketika  sudah  sampai  di  Juhfa.3  Kemudian  orang-orang yang menjadi kesayangan kita waktu itu  terbunuh,  karena  tak  ada orang yang dapat memberi semangat kepada mereka.”
Akhirnya pihak Quraisy berangkat dengan membawa kaum wanitanya juga, dipimpin oleh Hindun. Dialah  orang  paling  panas  hati ingin   membalas  dendam,  karena  dalam  peristiwa  Badr  itu ayahnya, saudaranya dan  orang-orang  yang  dicintainya  telah mati  terbunuh.  Keberangkatan  Quraisy  dengan tujuan Medinah yang disiapkan dari Dar’n-Nadwa itu terdiri dan tiga  brigade.
Brigade terbesar dipimpin oleh Talha b. Abi Talha terdiri dari 3000 orang. Kecuali 100 orang saja  dari  Thaqif,4  selebihnya semua  dari Mekah, termasuk pemuka-pemuka, sekutu-sekutu serta golongan Ahabisynya. Perlengkapan dan  senjata  tidak  sedikit yang mereka bawa, dengan 200 pasukan berkuda dan 3000 unta, di antaranya 700 orang berbaju besi.
Sesudah ada kata sepakat,  sekarang  sudah  siap  mereka  akan berangkat. Sementara itu ‘Abbas b. Abd’l-Muttalib, paman Nabi, yang juga berada di tengah-tengah mereka,  dengan  teliti  dan saksama  sekali  memperhatikan  semua  kejadian itu. Disamping kesayangannya pada agama nenek-moyangnya dan agama golongannya sendiri,   juga   Abbas  mempunyai  rasa  solider  dan  sangat mengagumi Muhammad. Masih ingat ia  perlakuannya  yang  begitu baik  ketika  perang  Badr.  Mungkin  karena  rasa  kagum  dan solidernya itu yang  membuat  dia  ikut  Muhammad  menyaksikan Ikrar  ‘Aqaba dan berbicara kepada Aus dan Khazraj bahwa kalau mereka  tidak  akan  dapat  mempertahankan  kemenakannya   itu seperti  mempertahankan  isteri  dan anak-anak mereka sendiri, biarkan  sajalah  keluarganya  sendiri   yang   melindunginya, seperti yang sudah-sudah.
B.Abbas  b.  Abd’l-Muttalib menulis kepada Nabi Muhammad SAW
Hal  inilah yang mendorongnya – tatkala diketahuinya keputusan Quraisy akan berangkat dengan kekuatan  yang  begitu  besar  – sampai   ia   menulis  surat  menggambarkan  segala  tindakan, persiapan dan perlengkapan mereka itu. Surat itu diserahkannya kepada seseorang dari kabilah Ghifar supaya disampaikan kepada Nabi. Dan orang inipun sampai di Medinah dalam tiga hari,  dan surat itupun diserahkan.
Dalam  pada itu pasukan Quraisypun sudah pula berangkat sampai di Abwa’. Ketika melalui makam Aminah bt.  Wahb,  timbul  rasa panas  hati  beberapa orang yang pendek pikiran. Terpikir oleh mereka akan membongkarnya. Tetapi pemuka-pemuka mereka menolak perbuatan  demikian;  supaya  jangan  kelak  menjadi kebiasaan Arab.
Jangan menyebut-nyebut soal ini,”  kata  mereka.  “Kalau  ini kita  lakukan, Banu Bakr dan Banu Khuza’a akan membongkar juga kuburan mayat-mayat kita.”
Quraisy  meneruskan  perjalanan  sampai  di  ‘Aqiq,  kemudian; mereka berhenti di kaki gunung Uhud, dalam jarak lima mil dari Medinah. Orang dari Ghifar yang diutus  oleh  Abbas  b.  Abd’l-Muttalib membawa   surat   ke   Medinah   itu   telah  sampai.  Setelah diketahuinya berada di Quba’, ia langsung pergi  ke  sana  dan dijumpainya  Muhammad  di depan pintu mesjid sedang menunggang keledai
Diserahkannya surat itu  kepadanya,  yang  kemudian  dibacakan oleh  Ubay  b.  Ka’b.  Muhammad  minta  isi  surat  itu supaya dirahasiakan, dan ia kembali ke Medinah langsung menemui  Sa’d ibn’l-Rabi’   di   rumahnya.  Diceritakannya  apa  yang  telah disampaikan ‘Abbas kepadanya itu dan  juga  dimintanya  supaya hal  itu  dirahasiakan.  Akan  tetapi  isteri Sa’d yang sedang dalam rumah waktu itu mendengar juga  percakapan  mereka,  dan dengan  demikian  sudah  tentu  tidak  lagi  hal  itu  menjadi rahasia.
C.Siasat untuk mengetahui kekuatan musuh oleh Nabi
Dua orang anak-anak  Fudzala,  yaitu  Anas  dan  Mu’nis,  oleh Muhammad   ditugaskan  menyelidiki  keadaan  Quraisy.  Menurut pengamatan mereka kemudian ternyata  Quraisy  sudah  mendekati Medinah.  Kuda  dan  unta  mereka  dilepaskan di padang rumput sekeliling Medinah. Di samping dua orang itu kemudian Muhammad mengutus lagi Hubab ibn’l-Mundhir bin’l-Jamuh. Setelah keadaan mereka  itu  disampaikan  kepadanya  seperti  dikabarkan  oleh ‘Abbas,  Nabi  s.a.w.  jadi  terkejut  sekali. Ketika kemudian Salama b. Salama keluar, ia melihat barisan depan pasukan kuda Quraisy  sudah mendekati Medinah, bahkan sudah hampir memasuki kota.  Ia  segera  kembali  dan  apa   yang   dilihatnya   itu disampaikannya kepada masyarakatnya. Sudah tentu pihak Aus dan Khazraj, begitu juga  semua  penduduk  Medinah  merasa  kuatir sekali  akan  akibat  serbuan  ini, yang dalam sejarah perang, Quraisy  belum  pernah  mengadakan   persiapan   sebaik   itu.
D. Nabi Bersama Kaum Muslimin dan Penduduk Madinah  Bermusyawarah
Pemuka-pemuka   Muslimin   dari  penduduk  Medinah  malam  itu berjaga-jaga dengan senjata di mesjid guna menjaga keselamatan Nabi. Sepanjang malam itu seluruh kota dijaga ketat.
Keesokan  harinya orang-orang terkemuka dari kalangan Muslimin dan mereka yang pura-pura Islam  -  atau  orang-orang  munafik seperti  disebutkan waktu itu dan seperti dilukiskan pula oleh Qur’an – oleh Nabi diminta berkumpul;  lalu  mereka  sama-sama bermusyawarah,  bagaimana  seharusnya  menghadapi  musuh  Nabi ‘alaihi’s-salam berpendapat akan tetap bertahan dalam kota dan membiarkan  Quraisy  di  luar  kota.  Apabila  mereka  mencoba menyerbu masuk kota maka penduduk kota ini  akan  lebih  mampu menangkis  dan  mengalahkan  mereka. Abdullah b. Ubay b. Salul mendukung pendapat Nabi itu dengan mengatakan:
Rasulullah, biasanya  kami  bertempur  di  tempat  ini,  kaum wanita  dan  anak-anak  sebagai  benteng  kami lengkapi dengan batu. Kota kami sudah terjalin  dengan  bangunan  sehingga  ia merupakan  benteng  dari  segenap penjuru. Apabila musuh sudah muncul, maka  wanita-wanita  dan  anak-anak  melempari  mereka dengan  batu.  Kami  sendiri  menghadapi mereka di jalan-jalan dengan pedang. Rasulullah, kota kami ini masih perawan,  belum pernah  diterobos  orang.  Setiap  ada  musuh menyerbu kami ke dalam kota ini kami selalu dapat menguasainya, dan setiap kami menyerbu   musuh  keluar,  maka  selalu  kami  yang  dikuasai. Biarkanlah mereka itu. Rasulullah. Ikutlah pendapat saya dalam hal   ini.   Saya   mewarisi   pendapat   demikian   ini  dari pemuka-pemuka dan ahli-ahli pikir golongan kami.”
Apa yang dikatakan oleh Abdullah b. Ubayy itu adalah merupakan pendapat  terbesar sahabat-sahabat Rasulullah – baik Muhajirin ataupun Anshar,  mereka  sependapat  dengan  Rasul  a.s.  Akan tetapi  pemuda-pemuda  yang  bersemangat  yang belum mengalami perang Badr – juga orang-orang  yang  sudah  pernah  ikut  dan mendapat  kemenangan  disertai hati yang penuh iman, bahwa tak ada sesuatu kekuatan yang dapat  mengalahkan  mereka  -  lebih suka  berangkat  keluar  menghadapi  musuh  di  tempat  mereka berada. Mereka kuatir  akan  disangka  segan  keluar  dan  mau bertahan  di Medinah karena takut menghadapi musuh. Seterusnya apabila mereka ini di pinggiran dan di dekat kota  akan  lebih kuat  dari  musuh.  Ketika  dulu mereka di Badr penduduk tidak mengenal mereka samasekali.
Salah seorang diantara mereka ada yang berkata:
Saya tidak  ingin  melihat  Quraisy  kembali  ketengah-tengah golongannya  lalu mengatakan: Kami telah mengepung Muhammad di dalam benteng dan kubu-kubu Yathrib. Ini akan membuat  Quraisy lebih  berani. Mereka sekarang sudah menginjak-injak daun palm kita. Kalau tidak kita usir mereka dari kebun kita, kebun kita tidak akan dapat ditanami lagi. Orang-orang Quraisy yang sudah tinggal selama setahun dapat mengumpulkan orang, dapat menarik orang-orang  Arab,  dari  badwinya  sampai  kepada Ahabisynya.
Kemudian, dengan membawa kuda  dan  mengendarai  unta,  mereka kini  telah sampai ke halaman kita. Mereka akan mengurung kita di dalam rumah kita sendiri?  Didalam  benteng  kita  sendiri? Lalu  mereka  pulang  kembali  dengan kekayaan tanpa mengalami luka samasekali. Kalau kita turuti, mereka akan lebih  berani. Mereka akan menyerang kita dan menaklukkan daerah-daerah kita. Kota kita akan  berada  dibawah  pengawasan  mereka.  Kemudian jalan kitapun akan mereka potong.”
Selanjutnya penganjur-penganjur yang menghendaki supaya keluar menyongsong    musuh masing-masing   telah  berbicara berturut-turut.  Mereka  semua mengatakan,  bahwa  bila Tuhan memberikan kemenangan kepada mereka  atas  musuh  itu,  itulah yang  mereka  harapkan,  dan  itu  pula  kebenaran  yang telah dijanjikan Tuhan kepada RasulNya.  Kalaupun  mereka  mengalami kekalahan dan mati syahid pula, mereka akan mendapat surga. Kata-kata  yang menanamkan semangat keberanian dan mati syahid ini, sangat menggetarkan hati  mereka.  Jiwa  mereka  tergugah semua  untuk  sama-sama  menempuh  arus  ini,  untuk berbicara dengan nada yang sama. Waktu itu, bagi orang-orang  yang  kini sedang  berhadap-hadapan  dengan  Muhammad,  orang-orang  yang hatinya sudah penuh dengan iman  kepada  Allah  dan  RasulNya, kepada Qur’an dan Hari Kemudian, yang tampak di hadapan mereka hanyalah  wajah  kemenangan  terhadap   musuh   agresor   itu.
Pedang-pedang  mereka  akan  mencerai-beraikan musuh itu, akan membuat mereka. centang-perenang,  dan  rampasan  perang  akan mereka  kuasai. Lukisan surga adalah bagi mereka yang terbunuh di jalan agama.  Di  tempat  itu  akan  terdapat  segala  yang menyenangkan  hati  dan mata, akan bertemu dengan kekasih yang juga sudah turut berperang dan mati syahid.
Ucapan yang sia-sia tidak mereka dengar di tempat  itu,  juga tidak yang akan membawa dosa. Yang ada hanyalah ucapan “Damai! Damai!” (Qur’an, 56: 25-26)
Mudah-mudahan Tuhan memberikan kemenangan kepada  kita,  atau sebaliknya  kita  mati  syahid,“  kata  Khaithama  Abu Sa’d b. Khaithama. “Dalam perang Badr saya telah meleset. Saya  sangat mendambakannya sekali, sehingga begitu besarnya kedambaan saya sampai  saya  bersama  anak  saya  turut  ambil  bagian  dalam pertempuran  itu.  Tapi  kiranya  dia yang beruntung; ia telah gugur, mati syahid. Semalam saya bermimpi bertemu dengan  anak saya,  dan  dia  berkata:  Susullah  kami,  kita bertemu dalam surga. Sudah saya terima  apa  yang  dijanjikan  Tuhan  kepada saya.  Ya Rasulullah, sungguh rindu saya akan menemuinya dalam surga. Saya sudah tua, tulang sudah rapuh. Saya ingin  bertemu Tuhan.
Setelah  jelas  sekali suara terbanyak ada pada pihak yang mau menyerang dan menghadapi musuh di luar kota, Muhammad  berkata kepada mereka: “Saya kuatir kamu akan kalah.
Tetapi  mereka  ingin berangkat juga. Tak ada jalan lain iapun menyerah kepada pendapat mereka.  Cara  musyawarah  ini  sudah menjadi   undang-undang   dalam  kehidupannya.  Dalam  sesuatu masalah ia tidak mau bertindak  sendiri,  kecuali  yang  sudah diwahyukan Tuhan kepadanya.
Hari  itu  hari  Jum’at.  Nabi memimpin sembahyang jamaah, dan kepada mereka diberitahukan, bahwa atas ketabahan hati  mereka itu,  mereka  akan  beroleh kemenangan. Lalu dimintanya mereka bersiap-siap menghadapi musuh.
Selesai  sembahyang  Asar  Muhammad  masuk  kedalam   rumahnya diikuti  oleh  Abu  Bakr  dan Umar. Kedua orang ini memakaikan sorban dan baju besinya  dan  ia  mengenakan  pula  pedangnya. Sementara  ia tak ada di tempat itu orang di luar sedang ramai bertukar pikiran. Usaid  b.  Hudzair  dan  Sa’d  b.  Mu’adh  – keduanya  termasuk  orang  yang berpendapat mau bertahan dalam kota berkata kepada  mereka  yang  berpendapat  mau  menyerang musuh di luar:
Tuan-tuan  mengetahui,  Rasulullah  berpendapat  mau bertahan dalam  kota,  lalu  tuan-tuan  berpendapat  lain   lagi,   dan memaksanya  bertempur  ke  luar.  Dia  sendiri  enggan berbuat demikian. Serahkan sajalah soal ini  di  tangannya.  Apa  yang diperintahkan  kepadamu, jalankanlah. Apabila ada sesuatu yang disukainya atau ada pendapatnya, taatilah.”
Mendengar  keterangan  itu  mereka  yang   menyerukan   supaya menyerang  saja,  jadi  lebih  lunak.  Mereka menganggap telah menentang Rasul mengenai sesuatu yang mungkin itu datang  dari Tuhan.  Setelah  kemudian Nabi datang kembali ke tengah-tengah mereka, dengan memakai baju besi  dan  sudah  pula  mengenakan pedangnya,  mereka  yang tadinya menghendaki supaya mengadakan serangan berkata:
Rasulullah,  bukan  maksud  kami   hendak   menentang   tuan. Lakukanlah  apa yang tuan kehendaki. Juga kami tidak bermaksud memaksa tuan. Soalnya pada Tuhan, kemudian pada tuan.”
Kedalam pembicaraan yang semacam inilah saya  ajak  tuan-tuan tapi  tuan-tuan  menolak,”  kata  Muhammad. “Tidak layak bagi seorang nabi yang apabila  sudah  mengenakan  pakaian  besinya lalu  akan  menanggalkannya  kembali, sebelum Tuhan memberikan putusan antara dirinya dengan musuhnya. Perhatikanlah apa yang saya   perintahkan  kepada  kamu  sekalian,  dan  ikuti.  Atas ketabahan hatimu, kemenangan akan berada di tanganmu.”
Demikianlah  prinsip  musyawarah  itu  oleh   Muhammad   sudah dijadikan  undang-undang  dalam  kehidupannya. Apabila sesuatu masalah yang dibahas telah diterima  dengan  suara  terbanyak, maka  hal itu tak dapat dibatalkan oleh sesuatu keinginan atau karena  ada  maksud-maksud  tertentu.  Sebaliknya   ia   harus dilaksanakan,  tapi orang yang akan melaksanakannya harus pula dengan cara yang sebaik-baiknya dan diarahkan ke suatu sasaran yang yang akan mencapai sukses.
E. Berangkat perang
Sekarang  Muhammad  berangkat  memimpin  kaum  Muslimin menuju Uhud. Di Syaikhan5 ia berhenti. Dilihatnya di tempat  itu  ada sepasukan  tentara  yang  identitasnya  belum  dikenal. Ketika ditanyakan, kemudian diperoleh keterangan,  bahwa  mereka  itu orang-orang  Yahudi  sekutu  Abdullah b. Ubayy. Lalu kata Nabi ‘alaihi’ssalam: “Jangan minta pertolongan orang-orang  musyrik dalam melawan orang musyrik, – sebelum mereka masuk Islam.”
Sumber: S E J A R A H    H I D U P    M U H A M M A D
oleh MUHAMMAD HUSAIN HAEKAL diterjemahkan dari bahasa Arab oleh Ali Audah
Penerbit PUSTAKA JAYA Jln. Kramat II, No. 31 A, Jakarta Pusat Cetakan Kelima, 1980