Posted by Drs.H.Mutawalli,M.Pd.I on September 6, 2010
A.Persiapan Quraisy di Mekah
Sejak
terjadinya perang Badr pihak Quraisy sudah tidak pernah tenang lagi.
Juga penstiwa Sawiq tidak membawa keuntungan apa-apa buat mereka.
Lebih-lebih karena kesatuan Zaid b. Haritha telah berhasil
mengambil perdagangan mereka ketika mereka hendak pergi ke Syam
melalui jalan Irak. Hal ini mengingatkan mereka pada korban-korban
Badr dan menambah besar keinginan mereka hendak membalas dendam.
Bagaimana Quraisy akan dapat melupakan peristiwa itu, sedang
mereka adalah bangsawan-bangsawan dan pemimpin-pemimpin
Mekah, pembesar-pembesar yang angkuh dan punya kedudukan terhormat?
Bagaimana mereka akan dapat
melupakannya, padahal wanita-wanita Mekah selalu ingat akan
korban-korban yang terdiri dari anak, atau saudara, bapak, suami
atau teman sejawat? Mereka selalu berkabung, selalu menangisi
dan meratapi.
Demikianlah keadaannya. Orang-orang
Quraisy sejak Abu Sufyan b. Harb datang membawa kafilahnya dari
Syam, yang telah menyebabkan timbulnya perang Badr, begitu juga
mereka yang selamat kembali dari Badr, telah menghentikan kafilah
dagang itu di Dar’n-Nadwa.
Pembesar-pembesar mereka yang terdiri
dari Jubair b. Mut’im, Shafwan b. Umayya’ ‘Ikrima b. Abi Jahl,
Harith b. Hisyam, Huaitib b. Abd’l-’Uzza dan yang lain, telah mencapai
kata sepakat, bahwa kafilah dagang itu akan dijual, keuntungannya
akan disisihkan dan akan dipakai menyiapkan angkatan perang guna
memerangi Muhammad, dengan memperbesar jumlah dan perlengkapannya.
Selanjutnya tenaga kabilah-kabilah akan dikerahkan dan supaya ikut
serta bersama-sama dengan Quraisy menuntut balas terhadap kaum
Muslimin. Ikut pula dikerahkan di antaranya Abu ‘Azza penyair yang
telah dimaafkan oleh Nabi dan antara tawanan perang Badr. Begitu juga
kabilah Ahabisy2 yang mau ikut mereka dikerahkan pula. Wanita-wanita
pun mendesak akan ikut pergi berperang.
Mereka berunding lagi. Ada yang berpendapat supaya kaum wanita juga ikut serta.
“Biar mereka bertugas
merangsang kemarahan kamu, dan mengingatkan kamu kepada
korban-korban Badr. Kita adalah masyarakat yang sudah bertekad mati,
tidak akan pulang sebelum sempat melihat mangsa kita, atau kita sendiri
mati untuk itu.”
“Saudara-saudara dari Quraisy,” kata yang lain lagi. “Melepaskan wanita-wanita kita kepada musuh, bukanlah suatu pendapat yang baik. Apabila kalian mengalami kekalahan, wanita-wanita kitapun akan tercemar.”
Sementara mereka sedang dalam perundingan
itu tiba-tiba Hindun bt. ‘Utba, isteri Abu Sufyan berteriak kepada
mereka yang menentang ikut sertanya kaum wanita itu:
“Kamu yang selamat dari
perang Badr kamu kembali kepada isterimu. Ya. Kita berangkat dan ikut
menyaksikan peperangan. Jangan ada orang yang menyuruh kami
pulang, seperti gadis-gadis kita dulu dalam perjalanan ke Badr disuruh
kembali ketika sudah sampai di Juhfa.3 Kemudian orang-orang yang
menjadi kesayangan kita waktu itu terbunuh, karena tak ada orang
yang dapat memberi semangat kepada mereka.”
Akhirnya pihak Quraisy berangkat dengan
membawa kaum wanitanya juga, dipimpin oleh Hindun. Dialah orang
paling panas hati ingin membalas dendam, karena dalam peristiwa
Badr itu ayahnya, saudaranya dan orang-orang yang dicintainya
telah mati terbunuh. Keberangkatan Quraisy dengan tujuan Medinah
yang disiapkan dari Dar’n-Nadwa itu terdiri dan tiga brigade.
Brigade terbesar dipimpin oleh Talha b.
Abi Talha terdiri dari 3000 orang. Kecuali 100 orang saja dari
Thaqif,4 selebihnya semua dari Mekah, termasuk pemuka-pemuka,
sekutu-sekutu serta golongan Ahabisynya. Perlengkapan dan senjata
tidak sedikit yang mereka bawa, dengan 200 pasukan berkuda dan 3000
unta, di antaranya 700 orang berbaju besi.
Sesudah ada kata sepakat, sekarang
sudah siap mereka akan berangkat. Sementara itu ‘Abbas b.
Abd’l-Muttalib, paman Nabi, yang juga berada di tengah-tengah mereka,
dengan teliti dan saksama sekali memperhatikan semua kejadian itu.
Disamping kesayangannya pada agama nenek-moyangnya dan agama
golongannya sendiri, juga Abbas mempunyai rasa solider dan
sangat mengagumi Muhammad. Masih ingat ia perlakuannya yang begitu
baik ketika perang Badr. Mungkin karena rasa kagum dan
solidernya itu yang membuat dia ikut Muhammad menyaksikan Ikrar
‘Aqaba dan berbicara kepada Aus dan Khazraj bahwa kalau mereka tidak
akan dapat mempertahankan kemenakannya itu seperti mempertahankan
isteri dan anak-anak mereka sendiri, biarkan sajalah keluarganya
sendiri yang melindunginya, seperti yang sudah-sudah.
B.Abbas b. Abd’l-Muttalib menulis kepada Nabi Muhammad SAW
Hal inilah yang mendorongnya – tatkala
diketahuinya keputusan Quraisy akan berangkat dengan kekuatan yang
begitu besar – sampai ia menulis surat menggambarkan segala
tindakan, persiapan dan perlengkapan mereka itu. Surat itu diserahkannya
kepada seseorang dari kabilah Ghifar supaya disampaikan kepada Nabi.
Dan orang inipun sampai di Medinah dalam tiga hari, dan surat itupun
diserahkan.
Dalam pada itu pasukan Quraisypun sudah
pula berangkat sampai di Abwa’. Ketika melalui makam Aminah bt. Wahb,
timbul rasa panas hati beberapa orang yang pendek pikiran. Terpikir
oleh mereka akan membongkarnya. Tetapi pemuka-pemuka mereka menolak
perbuatan demikian; supaya jangan kelak menjadi kebiasaan Arab.
“Jangan menyebut-nyebut soal ini,” kata mereka. “Kalau ini kita lakukan, Banu Bakr dan Banu Khuza’a akan membongkar juga kuburan mayat-mayat kita.”
Quraisy meneruskan perjalanan sampai
di ‘Aqiq, kemudian; mereka berhenti di kaki gunung Uhud, dalam jarak
lima mil dari Medinah. Orang dari Ghifar yang diutus oleh Abbas b.
Abd’l-Muttalib membawa surat ke Medinah itu telah sampai.
Setelah diketahuinya berada di Quba’, ia langsung pergi ke sana dan
dijumpainya Muhammad di depan pintu mesjid sedang menunggang keledai
Diserahkannya surat itu kepadanya,
yang kemudian dibacakan oleh Ubay b. Ka’b. Muhammad minta isi
surat itu supaya dirahasiakan, dan ia kembali ke Medinah langsung
menemui Sa’d ibn’l-Rabi’ di rumahnya. Diceritakannya apa yang
telah disampaikan ‘Abbas kepadanya itu dan juga dimintanya supaya
hal itu dirahasiakan. Akan tetapi isteri Sa’d yang sedang dalam
rumah waktu itu mendengar juga percakapan mereka, dan dengan
demikian sudah tentu tidak lagi hal itu menjadi rahasia.
C.Siasat untuk mengetahui kekuatan musuh oleh Nabi
Dua orang anak-anak Fudzala, yaitu
Anas dan Mu’nis, oleh Muhammad ditugaskan menyelidiki keadaan
Quraisy. Menurut pengamatan mereka kemudian ternyata Quraisy sudah
mendekati Medinah. Kuda dan unta mereka dilepaskan di padang rumput
sekeliling Medinah. Di samping dua orang itu kemudian Muhammad mengutus
lagi Hubab ibn’l-Mundhir bin’l-Jamuh. Setelah keadaan mereka itu
disampaikan kepadanya seperti dikabarkan oleh ‘Abbas, Nabi s.a.w.
jadi terkejut sekali. Ketika kemudian Salama b. Salama keluar, ia
melihat barisan depan pasukan kuda Quraisy sudah mendekati Medinah,
bahkan sudah hampir memasuki kota. Ia segera kembali dan apa
yang dilihatnya itu disampaikannya kepada masyarakatnya. Sudah tentu
pihak Aus dan Khazraj, begitu juga semua penduduk Medinah merasa
kuatir sekali akan akibat serbuan ini, yang dalam sejarah perang,
Quraisy belum pernah mengadakan persiapan sebaik itu.
D. Nabi Bersama Kaum Muslimin dan Penduduk Madinah Bermusyawarah
Pemuka-pemuka Muslimin dari
penduduk Medinah malam itu berjaga-jaga dengan senjata di mesjid guna
menjaga keselamatan Nabi. Sepanjang malam itu seluruh kota dijaga
ketat.
Keesokan harinya orang-orang terkemuka
dari kalangan Muslimin dan mereka yang pura-pura Islam - atau
orang-orang munafik seperti disebutkan waktu itu dan seperti
dilukiskan pula oleh Qur’an – oleh Nabi diminta berkumpul; lalu
mereka sama-sama bermusyawarah, bagaimana seharusnya menghadapi
musuh Nabi ‘alaihi’s-salam berpendapat akan tetap bertahan dalam kota
dan membiarkan Quraisy di luar kota. Apabila mereka mencoba
menyerbu masuk kota maka penduduk kota ini akan lebih mampu
menangkis dan mengalahkan mereka. Abdullah b. Ubay b. Salul mendukung
pendapat Nabi itu dengan mengatakan:
“Rasulullah, biasanya kami
bertempur di tempat ini, kaum wanita dan anak-anak sebagai
benteng kami lengkapi dengan batu. Kota kami sudah terjalin dengan
bangunan sehingga ia merupakan benteng dari segenap penjuru.
Apabila musuh sudah muncul, maka wanita-wanita dan anak-anak
melempari mereka dengan batu. Kami sendiri menghadapi mereka di
jalan-jalan dengan pedang. Rasulullah, kota kami ini masih perawan,
belum pernah diterobos orang. Setiap ada musuh menyerbu kami ke
dalam kota ini kami selalu dapat menguasainya, dan setiap kami
menyerbu musuh keluar, maka selalu kami yang dikuasai.
Biarkanlah mereka itu. Rasulullah. Ikutlah pendapat saya dalam hal
ini. Saya mewarisi pendapat demikian ini dari pemuka-pemuka
dan ahli-ahli pikir golongan kami.”
Apa yang dikatakan oleh Abdullah b. Ubayy
itu adalah merupakan pendapat terbesar sahabat-sahabat Rasulullah –
baik Muhajirin ataupun Anshar, mereka sependapat dengan Rasul a.s.
Akan tetapi pemuda-pemuda yang bersemangat yang belum mengalami
perang Badr – juga orang-orang yang sudah pernah ikut dan mendapat
kemenangan disertai hati yang penuh iman, bahwa tak ada sesuatu
kekuatan yang dapat mengalahkan mereka - lebih suka berangkat
keluar menghadapi musuh di tempat mereka berada. Mereka kuatir
akan disangka segan keluar dan mau bertahan di Medinah karena
takut menghadapi musuh. Seterusnya apabila mereka ini di pinggiran dan
di dekat kota akan lebih kuat dari musuh. Ketika dulu mereka di
Badr penduduk tidak mengenal mereka samasekali.
Salah seorang diantara mereka ada yang berkata:
“Saya tidak ingin melihat
Quraisy kembali ketengah-tengah golongannya lalu mengatakan: Kami
telah mengepung Muhammad di dalam benteng dan kubu-kubu Yathrib. Ini
akan membuat Quraisy lebih berani. Mereka sekarang sudah
menginjak-injak daun palm kita. Kalau tidak kita usir mereka dari kebun
kita, kebun kita tidak akan dapat ditanami lagi. Orang-orang Quraisy
yang sudah tinggal selama setahun dapat mengumpulkan orang, dapat
menarik orang-orang Arab, dari badwinya sampai kepada Ahabisynya.
Kemudian, dengan membawa
kuda dan mengendarai unta, mereka kini telah sampai ke halaman
kita. Mereka akan mengurung kita di dalam rumah kita sendiri? Didalam
benteng kita sendiri? Lalu mereka pulang kembali dengan kekayaan
tanpa mengalami luka samasekali. Kalau kita turuti, mereka akan lebih
berani. Mereka akan menyerang kita dan menaklukkan daerah-daerah kita.
Kota kita akan berada dibawah pengawasan mereka. Kemudian jalan
kitapun akan mereka potong.”
Selanjutnya penganjur-penganjur yang
menghendaki supaya keluar menyongsong musuh masing-masing telah
berbicara berturut-turut. Mereka semua mengatakan, bahwa bila Tuhan
memberikan kemenangan kepada mereka atas musuh itu, itulah yang
mereka harapkan, dan itu pula kebenaran yang telah dijanjikan
Tuhan kepada RasulNya. Kalaupun mereka mengalami kekalahan dan mati
syahid pula, mereka akan mendapat surga. Kata-kata yang menanamkan
semangat keberanian dan mati syahid ini, sangat menggetarkan hati
mereka. Jiwa mereka tergugah semua untuk sama-sama menempuh arus
ini, untuk berbicara dengan nada yang sama. Waktu itu, bagi
orang-orang yang kini sedang berhadap-hadapan dengan Muhammad,
orang-orang yang hatinya sudah penuh dengan iman kepada Allah dan
RasulNya, kepada Qur’an dan Hari Kemudian, yang tampak di hadapan mereka
hanyalah wajah kemenangan terhadap musuh agresor itu.
Pedang-pedang mereka akan
mencerai-beraikan musuh itu, akan membuat mereka. centang-perenang,
dan rampasan perang akan mereka kuasai. Lukisan surga adalah bagi
mereka yang terbunuh di jalan agama. Di tempat itu akan terdapat
segala yang menyenangkan hati dan mata, akan bertemu dengan kekasih
yang juga sudah turut berperang dan mati syahid.
“Ucapan yang sia-sia tidak
mereka dengar di tempat itu, juga tidak yang akan membawa dosa. Yang
ada hanyalah ucapan “Damai! Damai!” (Qur’an, 56: 25-26)
“Mudah-mudahan Tuhan memberikan kemenangan kepada kita, atau sebaliknya kita mati syahid,“ kata Khaithama Abu Sa’d b. Khaithama. “Dalam
perang Badr saya telah meleset. Saya sangat mendambakannya sekali,
sehingga begitu besarnya kedambaan saya sampai saya bersama anak
saya turut ambil bagian dalam pertempuran itu. Tapi kiranya dia
yang beruntung; ia telah gugur, mati syahid. Semalam saya bermimpi
bertemu dengan anak saya, dan dia berkata: Susullah kami, kita
bertemu dalam surga. Sudah saya terima apa yang dijanjikan Tuhan
kepada saya. Ya Rasulullah, sungguh rindu saya akan menemuinya dalam
surga. Saya sudah tua, tulang sudah rapuh. Saya ingin bertemu Tuhan.“
Setelah jelas sekali suara terbanyak
ada pada pihak yang mau menyerang dan menghadapi musuh di luar kota,
Muhammad berkata kepada mereka: “Saya kuatir kamu akan kalah.“
Tetapi mereka ingin berangkat juga. Tak
ada jalan lain iapun menyerah kepada pendapat mereka. Cara
musyawarah ini sudah menjadi undang-undang dalam kehidupannya.
Dalam sesuatu masalah ia tidak mau bertindak sendiri, kecuali yang
sudah diwahyukan Tuhan kepadanya.
Hari itu hari Jum’at. Nabi memimpin
sembahyang jamaah, dan kepada mereka diberitahukan, bahwa atas ketabahan
hati mereka itu, mereka akan beroleh kemenangan. Lalu dimintanya
mereka bersiap-siap menghadapi musuh.
Selesai sembahyang Asar Muhammad
masuk kedalam rumahnya diikuti oleh Abu Bakr dan Umar. Kedua
orang ini memakaikan sorban dan baju besinya dan ia mengenakan pula
pedangnya. Sementara ia tak ada di tempat itu orang di luar sedang
ramai bertukar pikiran. Usaid b. Hudzair dan Sa’d b. Mu’adh –
keduanya termasuk orang yang berpendapat mau bertahan dalam kota
berkata kepada mereka yang berpendapat mau menyerang musuh di luar:
“Tuan-tuan mengetahui,
Rasulullah berpendapat mau bertahan dalam kota, lalu tuan-tuan
berpendapat lain lagi, dan memaksanya bertempur ke luar. Dia
sendiri enggan berbuat demikian. Serahkan sajalah soal ini di
tangannya. Apa yang diperintahkan kepadamu, jalankanlah. Apabila ada
sesuatu yang disukainya atau ada pendapatnya, taatilah.”
Mendengar keterangan itu mereka
yang menyerukan supaya menyerang saja, jadi lebih lunak. Mereka
menganggap telah menentang Rasul mengenai sesuatu yang mungkin itu
datang dari Tuhan. Setelah kemudian Nabi datang kembali ke
tengah-tengah mereka, dengan memakai baju besi dan sudah pula
mengenakan pedangnya, mereka yang tadinya menghendaki supaya
mengadakan serangan berkata:
“Rasulullah, bukan maksud
kami hendak menentang tuan. Lakukanlah apa yang tuan kehendaki.
Juga kami tidak bermaksud memaksa tuan. Soalnya pada Tuhan, kemudian
pada tuan.”
“Kedalam pembicaraan yang semacam inilah saya ajak tuan-tuan tapi tuan-tuan menolak,” kata Muhammad. “Tidak
layak bagi seorang nabi yang apabila sudah mengenakan pakaian
besinya lalu akan menanggalkannya kembali, sebelum Tuhan memberikan
putusan antara dirinya dengan musuhnya. Perhatikanlah apa yang saya
perintahkan kepada kamu sekalian, dan ikuti. Atas ketabahan
hatimu, kemenangan akan berada di tanganmu.”
Demikianlah prinsip musyawarah itu
oleh Muhammad sudah dijadikan undang-undang dalam kehidupannya.
Apabila sesuatu masalah yang dibahas telah diterima dengan suara
terbanyak, maka hal itu tak dapat dibatalkan oleh sesuatu keinginan
atau karena ada maksud-maksud tertentu. Sebaliknya ia harus
dilaksanakan, tapi orang yang akan melaksanakannya harus pula dengan
cara yang sebaik-baiknya dan diarahkan ke suatu sasaran yang yang akan
mencapai sukses.
E. Berangkat perang
Sekarang Muhammad berangkat memimpin
kaum Muslimin menuju Uhud. Di Syaikhan5 ia berhenti. Dilihatnya di
tempat itu ada sepasukan tentara yang identitasnya belum dikenal.
Ketika ditanyakan, kemudian diperoleh keterangan, bahwa mereka itu
orang-orang Yahudi sekutu Abdullah b. Ubayy. Lalu kata Nabi
‘alaihi’ssalam: “Jangan minta pertolongan orang-orang musyrik dalam
melawan orang musyrik, – sebelum mereka masuk Islam.”
Sumber: S E J A R A H H I D U P M U H A M M A D
oleh MUHAMMAD HUSAIN HAEKAL diterjemahkan dari bahasa Arab oleh Ali Audah
Penerbit PUSTAKA JAYA Jln. Kramat II, No. 31 A, Jakarta Pusat Cetakan Kelima, 1980