Posted by Drs.H.Mutawalli,M.Pd.I on September 6, 2010
A. Orang Yahudi dan Munafiq tidak ikut berperang kembali ke Medinah
Dalam pada itu orang-orang Yahudi itupun kembali ke Medinah. Lalu kata sekutu Ibn Ubayy itu:”Kau
sudah menasehatinya dan sudah kauberikan pendapatmu berdasarkan
pengalaman orang-orang tua dahulu. Sebenarnya dia sependapat dengan kau.
Lalu dia menolak dan menuruti kehendak pemuda-pemuda yang menjadi
pengikutnya.”
Percakapan mereka itu sangat
menyenangkan hati Ibn Ubayy. Keesokan harinya ia berbalik menggabungkan
diri dengan pasukan teman-temanya itu. Tinggal lagi Alabi dengan
orang-orang yang benar-benar beriman, yang berjumlah 700 orang, akan
berperang menghadapi 3000 orang terdiri dan orang-orang Quraisy Mekah,
yang kesemuanya sudah memikul dendam yang tak terpenuhi ketika di Badr.
Semua mereka ingin menuntut balas.
Pagi-pagi sekali; kaum Muslimin
berangkat menuju Uhud. Lalu mereka memotong jalan sedemikian rupa
sehingga pihak musuh itu berada di belakang mereka. Selanjutnya
Muhammad mengatur barisan para sahabat. Limapuluh orang
barisan pemanah ditempatkan di lereng-lereng gunung, dan
kepada mereka diperintahkan:
“Lindungi kami dari belakang, sebab kita kuatir mereka akan mendatangi kami dari belakang. Dan bertahanlah kamu di tempat itu, jangan ditinggalkan. Kalau kamu melihat kami dapat menghancurkan mereka sehingga kami memasuki pertahanan mereka, kamu jangan meninggalkan tempat kamu. Dan jika kamu lihat kami yang diserang jangan pula kami dibantu, juga jangan kami dipertahankan. Tetapi tugasmu ialah menghujani kuda mereka dengan panah, sebab dengan serangan panah kuda itu takkan dapat maju.”
Selain pasukan pemanah, yang lain tidak diperbolehkan menyerang siapapun, sebelum ia memberi perintah menyerang.
Adapun pihak Quraisy merekapun juga
sudah menyusun barisan. Barisan kanan dipimpin oleh Khalid bin’l-Walid
sedang sayap kiri dipimpin oleh ‘Ikrima b. Abi Jahl. Bendera
diserahkan kepada Abd’l ‘Uzza Talha b. Abi Talha. Wanita-wanita
Quraisy sambil memukul tambur dan genderang berjalan di tengah-tengah
barisan itu. Kadang mereka di depan barisan, kadang di
belakangnya. Mereka dipimpin oleh Hindun bt. ‘Utba, isteri Abu Sufyan,
seraya bertenak-teriak:
Hayo, Banu Abd’d-Dar
Hayo, hayo pengawal barisan belakang
Hantamlah dengan segala yang tajam.
Kamu maju kami peluk
Dan kami hamparkan kasur yang empuk
Atau kamu mundur kita berpisah
Berpisah tanpa cinta.
Kedua belah pihak sudah siap bertempur.
Masing-masing sudah mengerahkan pasukannya. Yang selalu teringat
oleh Quraisy ialah peristiwa Badr dan korban-korbannya. Yang
selalu teringat oleh kaum Muslimin ialah Tuhan serta pertolonganNya.
Muhammad berpidato dengan memberi semangat dalam menghadapi
pertempuran itu. Ia menjanjikan pasukannya akan mendapat
kemenangan apabila mereka tabah. Sebilah pedang dipegangnya sambil ia
berkata:
“Siapa yang akan memegang pedang ini guna disesuaikan dengan tugasnya?”
Beberapa orang tampil. Tapi pedang itu
tidak pula diberikan kepada mereka. Kemudian Abu Dujana Simak b.
Kharasya dari Banu Sa’ida tampil seraya berkata:
“Apa tugasku ya, Rasulullah?”
“Tugasnya ialah menghantamkan pedang kepada musuh sampai ia bengkok,” jawabnya.
Abu Dujana seorang laki-laki yang sangat
berani. Ia mengenakan pita (kain) merah. Apabila pita merah itu
sudah diikatkan orangpun mengetahui, bahwa ia sudah siap bertempur
dan waktu itupun ia sudah mengeluarkan pita mautnya itu.
Pedang diambilnya, pita dikeluarkan
lalu diikatkannya di kepala. Kemudian ia berlagak di tengah-tengah
dua barisan itu seperti biasanya apabila ia sudah siap menghadapi
pertempuran.
“Cara berjalan begini sangat dibenci Allah, kecuali dalam bidang ini,” kata Muhammad setelah dilihatnya orang itu berlagak.
B. Abu ‘Amir b Shaifi al-Ausi Orang pertama yang menyulut perang ini.
Orang pertama yang mencetuskan perang di
antara dua pihak itu adalah Abu ‘Amir ‘Abd ‘Amr b. Shaifi al-Ausi (dari
Aus). Orang ini sengaja pindah dari Medinah ke Mekah hendak
membakar semangat Quraisy supaya memerangi Muhammad. Ia belum pernah
ikut dalam perang Badr. Sekarang ia menerjunkan diri dalam perang
Uhud dengan membawa lima belas orang dari golongan Aus. Ada juga
budak-budak dari penduduk Mekah yang juga dibawanya. Menurut
dugaannya, apabila nanti ia memanggil-manggil orang-orang Islam
dari golongan Aus yang ikut berjuang di pihak Muhammad, niscaya
mereka akan memenuhi panggilannya, akan berpihak kepadanya dan membantu
Quraisy.
“Saudara-saudara dari Aus! Saya adalah Abu ‘Amir!” teriaknya memanggil-manggil. Tetapi Muslimin dari kalangan Aus itu membalas: “Tuhan takkan memberikan kesenangan kepadamu, durhaka!”
Perangpun lalu pecah. Budak-budak Quraisy
serta ‘Ikrima b. Abi Jahl yang berada di sayap kiri, berusaha
hendak menyerang Muslimin dari samping, tapi pihak Muslimin
menghujani mereka dengan batu sehingga Abu ‘Amir dan
pengikut-pengikutnya lari
tunggang-langgang. Ketika itu juga Hamzah b. Abd’l-Muttalib berteriak, membawa teriakan perang Uhud:
“Mati, mati!”
Lalu ia terjun ketengah-tengah tentara Quraisy itu. Ketika itu
Talha b. Abi Talha, yang membawa bendera tentara Mekah berteriak
pula: “Siapa yang akan duel?”
Lalu Ali b. Abi Talib tampil
menghadapinya. Dua orang dari dua barisan itu bertemu. Cepat-cepat Ali
memberikan satu pukulan, yang membuat kepala lawannya itu belah dua.
Nabi merasa lega dengan itu. Ketika itu juga kaum Muslimin
bertakbir dan melancarkan serangannya. Dengan pedang Nabi di tangan
dan mengikatkan pita maut di kepala, Abu Dujane pun terjun
kedepan. Dibunuhnya setiap orang yang dijumpainya. Barisan
orang-orang musyrik jadi kacau-balau. Kemudian ia melihat
seseorang sedang mencencang-cencang sesosok tubuh manusia dengan
keras sekali. Diangkatnya pedangnya dan diayunkannya kepada orang itu.
Tetapi ternyata orang itu adalah Hindun bt. ‘Utba. Ia mundur.
Terlalu mulia rasanya pedang Rasul akan dipukulkan kepada seorang
wanita.
Dengan secara keras sekali pihak
Quraisypun menyerbu pula ke tengah-tengah pertempuran itu. Darahnya
sudah mendidih ingin menuntut balas atas pemimpin-pemimpin dan
pemuka-pemuka mereka yang sudah tewas setahun yang lalu di Badr. Dua
kekuatan yang tidak seimbang itu, baik jumlah orang maupun
perlengkapan, sekarang berhadap-hadapan. Kekuatan dengan jumlah yang
besar ini motifnya adalah balas-dendam, yang sejak perang Badr tidak
pernah reda. Sedang jumlah yang lebih kecil motifnya adalah: pertama
mempertahankan akidah, mempertahankan iman dan agama Allah,
kedua mempertahankan tanah air dan segala kepentingannya.
Mereka yang menuntut bela itu terdiri dari orang-orang yang lebih
kuat dan jumlah pasukan yang lebih besar. Di belakang mereka itu
kaum wanita turut pula mengobarkan semangat. Tidak sedikit di
antara mereka yang membawa budak-budak itu menjanjikan akan
memberikan hadiah yang besar apabila mereka dapat membalaskan
dendam atas kematian seorang bapa, saudara, suami atau orang-orang
yang dicintai lainnya, yang telah terbunuh di Badr.
Hamzah b. Abd’l-Muttalib adalah
seorang pahlawan Arab terbesar dan paling berani. Ketika terjadi
perang Badr dialah yang telah menewaskan ayah dan saudara Hindun, begitu
juga tidak sedikit orang-orang yang dicintainya yang telah
ditewaskan. Seperti juga dalam perang Badr, dalam perang Uhud inipun
Hamzah adalah singa dan pedang Tuhan yang tajam. Ditewaskannya Arta b.
‘Abd Syurahbil, Siba’ b. ‘Abd’l-’Uzza al-Ghubsyani, dan setiap
musuh yang dijumpainya nyawa mereka tidak luput dari renggutan
pedangnya.
Sementara itu Hindun bt. ‘Utba telah pula
menjanjikan Wahsyi, orang Abisinia dan budak Jubair (b. Mut’im)
akan memberikan hadiah besar apabila ia berhasil membunuh Hamzah.
Begitu juga Jubair b. Mut’im sendiri, tuannya, yang pamannya
telah terbunuh di Badr, mengatakan kepadanya:
“Kalau Hamzah paman Muhammad itu kau bunuh, maka engkau kumerdekakan.” Wahsyi sendiri dalam hal ini bercerita sebagai berikut:
“Kemudian aku berangkat
bersama rombongan. Aku adalah orang Abisinia yang apabila sudah
melemparkan tombak cara Abisinia, jarang sekali meleset. Ketika
terjadi pertempuran, kucari Hamzah dan kuincar dia. Kemudian kulihat
dia di tengah-fengah orang banyak itu seperti seekor unta kelabu
sedang membabati orang dengan pedangnya. Lalu tombak
kuayunkan-ayunkan, dan sesudah pasti sekali kulemparkan. Ia tepat
mengenai sasaran di bawah perutnya, dan keluar dari antara dua kakinya.
Kubiarkan tombak itu begitu sampai dia mati. Sesudah itu kuhampiri
dia dan kuambil tombakku itu, lalu aku kembali ke markas dan aku diam
di sana, sebab sudah tak ada tugas lain selain itu. Kubunuh
dia hanya supaya aku dimerdekakan saja dari perbudakan. Dan
sesudah aku pulang ke Mekah, ternyata aku dimerdekakan.”
Adapun mereka yang berjuang
mempertahankan tanah-air, contohnya terdapat pada Quzman, salah
seorang munafik, yang hanya pura-pura Islam. Ketika kaum Muslimin
berangkat ke Uhud ia tinggal di belakang. Keesokan harinya, ia
mendapat hinaan dari wanita-wanita Banu Zafar.
“Quzman,! Tidak engkau malu dengan sikapmu itu. Seperti perempuan saja kau. Orang semua berangkat kau tinggal dalam rumah.” kata wanita-wanita itu.
Dengan sikap berang Quzman pulang ke
rumahnya. Dikeluarkannya kudanya, tabung panah dan pedangnya. Ia
dikenal sebagai seorang pemberani. Ia berangkat dengan memacu kudanya
sampai ke tempat tentara. Sementara itu Nabi sedang menyusun barisan
Muslimin. Ia terus menyeruak sampai ke barisan terdepan. Dia adalah
orang pertama dari pihak Muslimin yang menerjunkan diri, dengan
melepaskan panah demi panah, seperti tombak layaknya.
Hari sudah menjelang senja. Tampaknya
ia lebih suka mati daripada lari. Ia sendiri lalu membunuh diri
sesudah sempat membunuh tujuh orang Quraisy di Suway’a – selain mereka
yang telah dibunuhnya pada permulaan pertempuran. Tatkala ia sedang
sekarat itu, Abu’l-Khaidaq lewat di tempat itu.
“Quzman, beruntung kau akan mati syahid,” katanya.
“Abu ‘Amr,” kata Quzman. “Sungguh
saya bertempur bukan atas dasar agama. Saya bertempur hanya
sekadar menjaga jangan sampai Quraisy memasuki tempat kami dan
melanda kehormatan kami, menginjak-injak kebun kami. Saya berperang
hanya untuk menjaga nama keturunan masyarakat kami. Kalau tidak karena
itu saya tidak akan berperang.”
Sebaliknya mereka yang benar-benar
beriman, jumlahnya tidak lebih dari 700 orang. Mereka bertempur
melawan 3000 orang. Kita sudah melihat, tindakan Hamzah dan Abu
Dujana yang telah memperlihatkan suatu teladan dalam arti kekuatan
moril yang tinggi pada mereka itu. Suatu kekuatan yang telah
membuat barisan Quraisy jadi lemas seperti rotan, membuat
pahlawan-pahlawan Quraisy, yang tadinya di kalangan Arab
keberaniannya dijadikan suri teladan, telah mundur dan surut.
Setiap panji mereka lepas dari tangan
seseorang, panji itu diterima oleh yang lain di belakangnya. Setelah
Talha b. Abi Talha tewas di tangan Ali datang ‘Uthman b. Abi
Talha menyambut bendera itu, yang juga kemudian menemui ajalnya di
tangan Hamzah. Seterusnya bendera itu dibawa oleh Abu Sa’d b. Abi Talha
sambil berkata:
“Kamu mendakwakan bahwa
koban-korban kamu dalam surga dan korban-korban kami dalam
neraka! Kamu bohong! Kalau kamu benar-benar orang beriman majulah
siapa saja yang mau melawanku”:
Entah Ali atau Sa’d b. Abi Waqqash
ketika itu menghantamkan pedangnya dengan sekali pukul hingga
kepala orang itu terbelah. Berturut-turut pembawa bendera itu muncul
dari Banu Abd’d Dar.
Jumlah mereka yang tewas telah mencapai
sembilan orang, yang terakhir ialah Shu’ab orang Abisinia, budak
Banu Abd’d-Dar. Tangan kanan orang itu telah dihantam oleh
Quzman, maka bendera itu dibawanya dengan tangan kiri. Tangan kiri
inipun oleh Quzman dihantam lagi dengan pedangnya. Sekarang bendera
itu oleh Shu’ab dipeluknya dengan lengan ke dadanya, kemudian ia
membungkuk sambil berkata: Hai Banu Abd’d-Dar, sudahkah kau maafkan?
Lalu ia ditewaskan entah oleh Quzman atau oleh Sa’d bin Abi Waqqash,
sumbernya masih berbeda-beda.
Setelah mereka yang membawa bendera itu
tewas semua, pasukan orang-orang musyrik itu hancur. Mereka sudah
tidak tahu lagi bahwa mereka dikerumuni oleh wanita-wanita, bahwa
berhala yang mereka mintai restunya telah terjatuh dari atas unta
dan pelangking yang membawanya.
Kemenangan Muslimin dalam perang Uhud
pada pagi hari itu sebenarnya adalah suatu mujizat. Adakalanya orang
menafsirkan, bahwa kemenangan itu disebabkan oleh kemahiran
Muhammad mengatur barisan pemanah di lereng bukit, merintangi pasukan
berkuda dengan anak panah sehingga mereka tidak dapat maju, juga
tidak dapat menyergap Muslimin dari belakang. Ini memang benar. Tetapi
juga tidak salah, bahwa 600 orang Muslimin yang menyerbu jumlah
sebanyak lima kali lipat itupun, dengan perlengkapan yang juga
demikian, motifnya adalah iman, iman yang sungguh-sungguh, bahwa
mereka dalam kebenaran.
Inilah yang membawa mujizat
kepahlawanan melebihi kepandaian pimpinan. Barangsiapa yang telah
beriman kepada kebenaran, ia takkan goncang oleh kekuatan materi,
betapapun besarnya. Semua kekuatan batil yang digabungkan
sekalipun, takkan dapat menggoyahkan kebulatan tekadnya itu.
Dapatkah kita menganggap cukup dengan kepandaian pimpinan itu saja,
padahal barisan pemanah yang oleh Nabi ditempatkan di lereng
bukit itu jumlahnya tidak lebih dari 50 orang? Andaikata
sekalipun mereka itu terdiri dari 200 orang atau 300 orang, mendapat
serbuan dari mereka yang sudah bertekad mati, niscaya mereka tidak
akan dapat bertahan. Tetapi kekuatan yang terbesar, ialah kekuatan
konsepsi, kekuatan akidah, kekuatan iman yang sungguh-sungguh akan
adanya Kebenaran Tertinggi. Kekuatan inilah yang takkan dapat
ditaklukkan selama orang masih teguh berpegang kepada kebenaran itu.
Karena itulah, 3000 orang pasukan
Quraisy jadi hancur menghadapi serangan 600 orang Muslimin. Dan
hampir-hampir pula wanita-wanita merekapun akan menjadi tawanan perang
yang hina dina. Muslimin kini mengejar musuh itu sampai mereka
meletakkan senjata dimana saja asal jauh dari bekas markas mereka.
C. Kaum Muslimin tergoda Harta Rampasan perang termasuk pasukan pemanah.
Kaum Muslimin sekarang mulai
memperebutkan rampasan perang. Alangkah banyaknya jumlah rampasan
perang itu! Hal ini membuat mereka lupa mengikuti terus jejak
musuh, karena sudah mengharapkan kekayaan duniawi.
Mereka ini ternyata dilihat oleh
pasukan pemanah yang oleh Rasul diminta jangan meninggalkan tempat
di gunung itu, sekalipun mereka melihat kawan-kawannya diserang.
Dengan tak dapat menahan air liur melihat rampasan perang itu, kepada
satu sama lain mereka berkata:
“Kenapa kita masih tinggal
disini juga dengan tidak ada apa-apa. Tuhan telah
menghancurkan musuh kita. Mereka, saudara-saudara kita itu,
sudah merebut markas musuh. Kesanalah juga kita, ikut mengambil
rampasan itu.”
Yang seorang lagi tentu menjawab:
“Bukankah Rasulullah sudah berpesan jangan meninggalkan tempat kita ini? Sekalipun kami diserang janganlah kami dibantu.”
Yang pertama berkata lagi:
“Rasulullah tidak menghendaki kita tinggal disini terus-menerus, setelah Tuhan menghancurkan kaum musyrik itu.”
Lalu mereka berselisih. Ketika itu juga tampil Abdullah bin Jubair berpidato agar jangan mereka itu melanggar perintah Rasul. Tetapi mereka sebahagian besar tidak patuh. Mereka berangkat juga. Yang masih tinggal hanya beberapa orang saja, tidak sampai sepuluh orang. Seperti kesibukan Muslimin yang lain, mereka yang ikut bergegas itu pun sibuk pula dengan harta rampasan.
D.Khalid bin Walid Pasukan berkuda Quresy melihat peluang dan memanfaatkannya
Pada waktu itulah Khalid bin’l-Walid
mengambil kesempatan – dia sebagai komandan kavaleri Mekah - pasukannya
dikerahkan ke tempat pasukan pemanah, dan mereka inipun berhasil
dikeluarkan dari sana.
Summber : S E J A R A H H I D U P M U H A M M A D
oleh MUHAMMAD HUSAIN HAEKAL diterjemahkan dari bahasa Arab oleh Ali Audah
Penerbit PUSTAKA JAYA Jln. Kramat II, No. 31 A, Jakarta Pusat Cetakan Kelima, 1980