Minggu, 10 Maret 2013

Perangan Uhud sebagai Pelajaran bagi Kaum Muslimin, Rasul mengalami musibah luka-luka !!!(bagian ketiga)


Posted by Drs.H.Mutawalli,M.Pd.I   on September 12, 2010
A. Tindakan Khalid bin Walid Tidak disadari oleh kaum muslimin
.
Tindakan ini tidak disadari oleh pihak Muslimin. Mereka sangat sibuk  untuk  memperhatikan  soal itu atau soal apapun, karena sedang menghadapi harta  rampasan  perang  yang  mereka  keduk habis-habisan  itu,  sehingga tiada seorangpun yang membiarkan apa saja yang dapat  mereka  ambil.  Sementara  mereka  sedang dalam keadaan serupa itu, tiba-tiba Khalid bin’l-Walid berseru sekuat-kuatnya, dan sekaligus pihak Quraisypun mengerti, bahwa ia  telah  dapat  membalikkan anak buahnya ke belakang tentara Muslimin. Mereka yang tadinya sudah terpukul  mundur  sekarang kembali  lagi  maju  dan  mendera Muslimin dengan pukulan maut yang hebat sekali. Di sinilah giliran  bencana  itu  berbalik. Setiap  Muslim  telah melemparkan kembali hasil renggutan yang sudah ada di tangan itu,  dan  kembali  pula  mereka  mencabut pedang hendak bertempur lagi.
Tetapi  sayang, sayang sekali! Barisan sudah centang-perenang, persatuan sudah pecah-belah,  pahlawan-pahlawan  teladan  dari kalangan  Muslimin  telah  dihantam oleh pihak Quraisy. Mereka yang   tadinya   berjuang   dengan   perintah   Tuhan   hendak mempertahankan  iman,  sekarang  berjuang hendak menyelamatkan diri dari cengkaman maut, dari lembah  kehinaan.  Mereka  yang tadinya berjuang dengan bersatu-padu, sekarang mereka berjuang dengan bercerai-berai. Tak tahu  lagi  haluan  hendak  kemana. Tadinya  mereka  berjuang di bawah satu pimpinan yang kuat dan teguh, sekarang berjuang tanpa pimpinan lagi. Jadi tidak heran, apabila  ada  seorang  Muslim  menghantamkan pedangnya kepada sesama Muslim dengan tiada disadarinya.
Dalam pada itu terdengar pula   ada  suara   orang berteriak-teriak, bahwa Muhammad sudah terbunuh. Keadaan makin panik,  makin kacau-balau. Kaum Muslimin jadi berselisih, jadi saling    bunuh-membunuh,    satu     sama     lain     saling hantam-menghantam,  dengan  tiada  mereka  sadari  lagi karena mereka sudah tergopoh-gopoh, sudah kebingungan. Kaum  Muslimin telah  membunuh  sesama  Muslim,  Husail b. Jabir membunuh Abu Hudhaifa karena sudah tidak  diketahuinya  lagi.  Yang  paling penting  bagi  setiap Muslim ialah menyelamatkan diri; kecuali mereka yang telah mendapat perlindungan Tuhan, seperti Ali  b. Abi Talib misalnya.
B. Nabi Muhammaad mendapat musibah luka-luka parah.
Akan  tetapi begitu Quraisy mendengar Muhammad telah terbunuh, seperti banjir mereka terjun mengalir ke  jurusan  tempat  dia tadinya   berada.   Masing-masing  ingin  supaya  dialah  yang membunuhnya atau ikut memegang peranan didalamnya,  suatu  hal yang  akan  dibanggakan  oleh generasi kemudian. Ketika itulah Muslimin   yang   dekat  sekali  dengan  Nabi  bertindak mengelilinginya,  menjaga dan melindunginya. Iman mereka telah tergugah kembali memenuhi  jiwa,  mereka  kembali  mendambakan mati, dan hidup duniawi ini dirasanya sudah tak ada arti lagi. Iman mereka makin besar,  keberanian  mereka  makin  bertambah bilamana  mereka  melihat  batu  yang  dilemparkan Quraisy itu telah  mengenai  diri  Nabi.  Gigi  gerahamnya  yang   setelah terkena,  wajahnya  pecah-pecah  dan  bibirnya  luka-luka. Dua keping lingkaran rantai  topi  besi  yang  menutupi  wajahnya, telah   menusuk   pula   menembusi   pipinya.  Batu-batu  yang menimpanya itu dilemparkan oleh ‘Utba b. Abi Waqqash. Sekarang  Rasul  dapat  menguasai  diri.  Ia  berJalan  sambil dikelilingi   oleh   sahabat-sahabat.   Tetapi   tiba-tiba  ia terperosok kedalam sebuah lubang yang sengaja digali oleh  Abu ‘Amir guna menjerumuskan kaum Muslimin. Cepat-cepat Ali b. Abi Talib menghampirinya, dipegangnya  tangannya,  dan  Talha  bin ‘Ubaidillah   mengangkatnya  hingga  ia  berdiri  kembali.  Ia meneruskan perjalanan  dengan  sahabat-sahabatnya  itu,  terus mendaki  Gunung  Uhud, dan dengan demikian dapat menyelamatkan diri dari kejaran musuh.
Pada waktu itu juga  Muslimin  berkumpul  di  sekitar  mereka. Dalam   membela   Rasul  dan  menjaga  keselamatannya,  mereka bersedia mati. Hari itu menjelang  tengah  hari,  Umm  ‘Umara6 seorang  wanita Anshar, berangkat pula membawa air berkeliling
dengan membagi-bagikan air itu  kepada  Muslimin  yang  sedang berjuang   itu.  Setelah  melihat  Muslimin  terpukul  mundur, dilemparkannya tempat air  itu  dan  dengan  menghunus  pedang wanita   itu  terjun  pula  ikut  bertempur,  Ikut  melindungi
Muhammad dengan  pedang  dan  dengan  melepaskan  anak  panah, sehingga  karenanya dia sendiri mengalami luka-luka. Sementara Abu  Dujana  membuat  dirinya   sebagai   perisai   melindungi Rasulullah,   dengan   membungkukkan   punggungnya,   sehingga lemparan anak panah musuh mengenai dirinya.  Sedang  disamping Muhammad  Sa’d  b.  Abi  Waqqash  melepaskan pula panahnya dan Muhammad memberikan anak panah itu seraya berkata:”Lepaskan (anak panah itu). Kupertaruhkan ibu-bapaku untukmu.”7
Sebelum   itu   Muhammad  melepaskan  sendiri  anak  panahnya, sampai-sampai ujung busurnya itu patah. Adapun mereka  yang  mengira  Muhammad  telah  tewas  termasuk diantara mereka itu  Abu  Bakr dan Umar   pergi ke arah gunung dan mereka ini sudah  pasrah.  Hal  ini  diketahui  oleh  Anas bin’n-Nadzr yang lalu berkata kepada mereka: “Kenapa kamu duduk-duduk di sini?” “Rasulullah sudah terbunuh,” jawab mereka. “Perlu apa lagi kita hidup sesudah itu? Bangunlah! Dan biarlah kita juga mati untuk tujuan yang sama.”
Kemudian ia maju menghadapi musuh. Ia  bertempur  mati-matian, bertempur  tiada  taranya.  Akhimya  ia  baru  menemui ajalnya setelah mengalami tujuhpuluh pukulan  musuh,  sehingga  ketika itu  orang  tidak  dapat  lagi mengenalnya, kalau tidak karena
saudara perempuannya yang datang dan dapat mengenal  dia  dari ujung jarinya.
Karena sudah percaya sekali akan kematian Muhammad, bukan main girangnya pihak Quraisy waktu itu, Abu  Sufyanpun  sibuk  pula mencarinya  di tengah-tengah para korban. Soalnya ialah mereka yang telah  menjaga  keselamatan  Rasulullah  tidak  membantah berita  kematiannya  itu,  sebab memang diperintahkan demikian oleh Rasul, dengan maksud supaya pihak Quraisy  jangan  sampai memperbanyak   lagi   jumlah   pasukannya  yang  berarti  akan memberikan kemenangan kepada mereka.
Akan tetapi tatkala Ka’b bin Malik datang mendekati Abu Dujana dan anak buahnya, ia segera mengenal Muhammad waktu dilihatnya sinar matanya  yang  berkilau  dan  balik  topi  besi  penutup mukanya itu. Ia  memanggil-manggil   dengan   suara  yang sekeras-kerasnya:“Saudara-saudara kaum Muslimin!  Selamat,   selamat!   Ini Rasulullah!”
Ketika  itu Nabi memberi isyarat kepadanya supaya diam. Tetapi begitu Muslimin mengetahui hal itu, Nabi segera mereka  angkat dan  iapun  berjalan  pula  bersama mereka ke arah celah bukit didampingi oleh Abu Bakr,  Umar,  Ali  b.  Abi  Talib,  Zubair
bin’l-’Awwam  dan  yang  lain.  Teriakan  Ka’b  itu pada pihak Quraisy juga ada pengaruhnya. Memang benar,  bahwa  sebahagian besar  mereka  tidak  mempercayai  teriakan itu, sebab menurut anggapan mereka  itu  hanya  untuk  memperkuat  semangat  kaum Muslimin  saja.  Tetapi  dari  mereka  itu  ada juga yang lalu segera pergi mengikuti  Muhammad  dan  rombongannya  itu  dari belakang.  Ubayy b. Khalaf kemudian dapat menyusul mereka, dan lalu bertanya: “Mana Muhammad?! Aku tidak akan selamat kalau dia  yang  masih selamat,” katanya. Waktu  itu  juga oleh Rasul ia ditetaknya dengan tombak Harith bin’sh-Shimma  demikian  rupa,  sehingga  ia  terhuyung-huyung diatas  kudanya  dan  kembali  pulang  untuk  kemudian mati di tengah jalan.
Sesampainya Muslimin  di  ujung  bukit  itu,  Ali  pergi  lagi mengisi  air  ke  dalam  perisai kulitnya. Darah yang di wajah Muhammad dibasuhnya serta menyirami kepalanya dengan air. Dua keping pecahan rantai  besi  penutup muka yangmenembus wajah Rasul itu oleh Abu ‘Ubaida  bin’l-Jarrah  dicabut  sampai  dua buah gigi serinya tanggal.
Selama  mereka  dalam keadaan itu tiba-tiba Khalid bin’l-Walid dengan pasukan berkudanya sudah berada di atas  bukit.  Tetapi Umar  bin’l-Khattab dengan beberapa orang sahabat Rasul segera menyerang  dan  berhasil  mengusir   mereka.   Sementara   itu orang-orang  Islam  sudah  makin tinggi mendaki gunung. Tetapi keadaan mereka sudah begitu  payah,  begitu  letih  tampaknya, sampai-sampai  Nabi  melakukan salat lohor sambil duduk – juga karena  luka-luka  yang  dideritanya,  -  demikian  juga  kaum
Muslimin  yang  lain  melakukan  salat  makmum di belakangnya, sambil duduk pula.
Sebaliknya pihak Quraisy dengan kemenangannya itu mereka sudah girang  sekali.  Terhadap  peristiwa perang Badr mereka merasa sudah sungguh-sungguh dapat membalas dendam. Seperti kata  Abu Sufyan: “Yang sekarang ini untuk peristiwa perang Badr. Sampai jumpa lagi tahun depan!”
C. Hindun memperlakukan kekejaman terhadap mayat.
Tetapi isterinya, Hindun bint ‘Utba tidak cukup  hanya  dengan kemenangan,  dan  tidak  cukup hanya dengan tewasnya Hamzah b. Abd’l-Muttalib, malah bersama-sama dengan wanita -wanita lain dalam rombongannya itu ia  pergi  lagi  hendak  menganiaya mayat-mayat Muslimin;  mereka  memotongi  telinga-telinga  dan hidung-hidung  mayat  itu,  yang  oleh  Hindun lalu dipakainya sebagai kalung dan anting-anting. Kemudian diteruskannya lagi, dibedahnya   perut  Hamzah,  dikeluarkannya  jantungnya,  lalu dikunyahnya dengan giginya;  tapi  ia  tak  dapat  menelannya. Begitu   kejinya   perbuatannya  itu,  begitu  juga  perbuatan wanita-wanita anggota  rombongannya,  bankan  kaum  prianyapun turut pula melakukan kejahatan serupa itu,
sehingga Abu Sufyan sendiri  menyatakan  lepas  tangan  dari  perbuatan  itu.   Ia menyatakan,  bahwa  dia  samasekali  tidak memerintahkan orang berbuat serupa itu, sekalipun dia sudah terlibat di  dalamnya. Bahkan  ia pernah berkata, yang ditujukan kepada salah seorang Islam. “Mayat-mayatmu telah mengalami penganiayaan.  Tapi  aku sungguh  tidak  senang,  juga tidak benci; aku tidak melarang, juga tidak memerintahkan.”
Selesai menguburkan mayat-mayatnya sendiri. Quraisypun  pergi. Sekarang kaum Muslimin kembali ke garis depan guna menguburkan mayat-mayatnya pula. Kemudian Muhammad  pergi  hendak  mencari Hamzah,   pamannya.  Bilamana  kemudian  ia  melihatnya  sudah dianiaya dan perutnya sudah dibedah, ia  merasa  sangat  sedih sekali, sehingga ia berkata: “Takkan pernah ada orang mengalami malapetaka seperti kau ini. Belum pernah  aku  menyaksikan  suatu  peristiwa  yang  begitu menimbulkan  amarahku  seperti  kejadian  ini.“  Lalu katanya lagi: “Demi Allah, kalau pada suatu  ketika  Tuhan  memberikan kemenangan  kepada  kami melawan mereka, niscaya akan kuaniaya mereka dengan cara yang  belum  pernah  dilakukan  oleh  orang Arab.”
D.Dalam kejadian inilah firman Tuhan turun.(menegur Nabi)
“Dan  kalau  kamu mengadakan pembalasan, balaslah seperti yang mereka lakukan terhadap kamu. Tetapi kalau  kamu  tabah  hati, itulah  yang  paling  baik  bagi  mereka  yang  berhati  tabah (sabar). Dan hendaklah  kau  tabahkan  hatimu,  dan  ketabahan hatimu itu hanyalah dengan berpegang kepada Tuhan. Jangan pula engkau bersedih hati terhadap mereka, jangan  engkau  bersesak dada  menghadapi apa yang mereka rencanakan itu.” (Qur’an, 16: 126 – 127)
Lalu Rasulullah memaafkan mereka, ditabahkannya hatinya dan ia melarang  orang melakukan penganiayaan. Diselubunginya jenazah Hamzah itu dengan mantelnya  lalu  disembahyangkannya.  Ketika itu  Shafia  bt  Abd’l-Muttailb  – saudara perempuannya – juga datang. Ditatapnya saudaranya  itu,  lalu  ia  pun menyembahyangkannya dan mendoakan pengampunan baginya.
Nabi  memerintahkan  supaya  korban-korban  itu  dikuburkan di tempat mereka menemui  ajalnya  dan  Hamzah  juga  dikuburkan. Sesudah itu kaum Muslimin berangkat pulang ke Medinah, dibawah pimpinan  Muhammad,  dengan  meninggalkan  70  orang   korban. Kepedihan terasa sekali melecut hati mereka; karena kehancuran yang mereka alami setelah  mendapat  kemenangan,  karena  rasa hina  serta  rendah diri yang menimpa mereka, setelah mendapat sukses yang gilang-gemilang. Semua kejadian itu  ialah  karena pasukan  pemanah sudah melanggar perintah Nabi. Muslimin sudah terlalu sibuk mengurus rampasan perang dari pihak musuh.
Nabi memasuki rumahnya  dengan  penuh  pikiran.  Orang-orang Yahudi,   orang-orang   munafik dan  musyrik  di  Yathrib memperlihatkan  perasaan  gembira   yang   luarbiasa   melihat kehancuran yang dialaminya dan dialami sahabat-sahabatnya itu. Kewibawaan Muslimin di Medinah yang sudah mulai stabil, dan tak  ada  lagi pihak yang merongrongnya, sekarang sudah hamper pula goncang dan goyah.
Abdullah b. Ubayy b. Salul sudah berbalik dari rombongan  itu, ia   pulang   kembali   dari  Uhud,  tidak  ikut  serta  dalam pertempuran, dengan alasan bahwa  karena  Muhammad  tidak  mau menerima   pendapatnya,  atau  karena  Muhammad  marah  kepada orang-orang Yahudi anak buahnya. Sekiranya kekalahan Uhud  itu merupakan keputusan terakhir dalam hubungannya antara Muslimin dengan Quraisy yang akan  menentukan  kedudukan  Muhammad  dan sahabat-sahabatnya  di  kalangan Arab, tentu kewibawaan mereka di Yathrib akan goyah dan akan menjadi sasaran ejekan Quraisy.
Di  mana-mana  di  seluruh  jazirah  Arab akan disebarkan pula cemoohan-cemoohan demikian itu.  Sekiranya  ini  jugalah  yang terjadi  tentu  akibatnya  akan  memberikan  keberanian kepada orang-orang musyrik dan penyembah-penyembah  berhala  terhadap agama Allah. Maka ini berarti suatu bencana besar. Oleh  karena  itu  harus  ada pukulan yang benar-benar berani, yang akan dapat mengurangi beban  kekalahan  selama  di  Uhud, akan mengembalikan kekuatan moril Muslimin dan sekaligus dapat
menimbulkan  kegentaran  pada  pihak  Yahudi  dan  orang-orang munafik.    Dengan    demikian    kewibawaan    Muhammad   dan sahabat-sahabatnya  di  Yathrib  akan  kembali  kuat   seperti sediakala.
Keesokan  harinya  setelah  peristiwa Uhud – yang terjadi pada malam 16 Syawal (tahun ke 5 Hijrah) -  salah  seorang  muezzin Nabi  berseru  kepada  Muslimin  dan mengerahkan mereka supaya bersiap-siap  menghadapi  musuh  dan  mengadakan   pengejaran. Tetapi  yang  dimintanya  hanya mereka yang pernah turut dalam peperangan itu. Setelah kaum  Muslimin  berangkat,  pihak  Abu Sufyan  merasa  ketakutan  sekali,  bahwa  musuhnya  yang dari Medinah itu sekarang datang dengan bantuan baru. Tidak  berani ia menghadapi mereka.
Sementara  itu  Muhammad  pun  sudah  sampai  pula  di  Hamra’ ‘l-Asad.8 Sedang  Abu  Sufyan  dan  teman-temannya  berada  di Rauha’.  Waktu  itu  Ma’bad al-Khuza’i lewat dan sebelumnya ia sudah pula lewat di tempat Muhammad dan rombongannya  itu.  Ia ditanya  oleh Abu Sufyan tentang keadaan mereka itu, yang oleh Ma’bad – ketika itu ia masih dalam syirik -dijawab:
Muhammad dan sahabat-sahabatnya sudah berangkat  mau  mencari kamu,  dalam  jumlah  yang  belum  pernah kulihat semacam itu. Orang-orang  yang  dulunya   tidak   ikut,   sekarang   mereka menggabungkan  diri  dengan  dia.  Mereka  semua  terdiri dari orang-orang  yang  sangat  geram  kepadamu,  orang-orang  yang hendak membalas dendam.”
Akan  terpikir  juga  oleh  Abu  Sufyan  bagaimana  pula nanti akibatnya apabila ia  lari  dari  Muhammad  dan  tidak  sampai memghadapinya sesudah ia pernah mendapat kemenangan?! Bukankah Quraisy nanti akan dicemooh oleh orang-orang Arab seperti yang pernah  diinginkannya  akan terjadi demikian terhadap Muhammad dan  sahabat-sahabatnya?!   Baiklah,   misalnya   ia   kembali menghadapi Muhammad lalu ia dikalahkan oleh Muslimin, bukanlah itu berarti bahwa bagi  Quraisy  sudah  tamat  riwayatnya  dan tidak akan pernah bangun kembali!? Lalu dicarinya suatu helat, diusutnya sebuah kafilah dari suku Abd’l-Qais pergi ke Medinah dengan  memberitahukan  kepada  Muhammad bahwa ia (Abu Sufyan) sudah   memutuskan   akan   berangkat   menyerbu, dia   dan sahabat-sahabatnya  akan  digempur dan dikikis habis sampai ke sisa-sisanya. Setelah oleh  rombongan  pesan  itu  disampaikan kepada  Muhammad  di  Hamra’  ‘l-Asad, sedikitpun semangat dan ketabahannya tidak goyah. Bahkan sepanjang malam  selama  tiga hari  itu  terus-menerus  ia memasang api unggun, sekalian mau menunjukkan kepada  Quraisy  bahwa  ia  tetap  siap-siaga  dan menunggu  kedatangan  mereka. Akhirnya semangat Abu Sufyan dan orang-orang Quraisy jadi  buyar  sendiri.  Mereka  lebih  suka bertahan  dengan  kemenangan  di  Uhud itu. Kemudian merekapun kembali pulang menuju arah ke Mekah.
Muhammad juga lalu kembali ke  Medinah.  Sudah  banyak  posisi yang dapat diambil kembali setelah tadinya mengalami kegoyahan akibat peristiwa Uhud itu, meskipun kaum  munafik  mulai  pula mengangkat    kepala   menertawakan   kaum   Muslimin   sambil menanyakan: Kalau peristiwa Badr itu merupakan  pertanda  dari Tuhan  atas kerasulan Muhammad, maka dengan peristiwa Uhud itu apa pula konon pertandanya dan apa yang akan jadi alamatnya??!
Catatan kaki:
1 Uhud, sebuah gunung, terletak sebelah utara Medinah (A).
2 Ahabisy ialah suatu gabungan kabilah-kabilah dan  suku-suku kecil, dengan al-Harith b. ‘Abd Manaf b.  Kinana sebagai pemukanya. Hubungan mereka dekat sekali dengan Quraisy (A).
3 Juhfa sebuah tempat sepanjang jalan Medinah-Mekah,tiga atau empat hari perjaianan dari Mekah; juga  merupakan tempat pertemuan orang-orang Mesir dan Syam.
4 Sebuah kabilah dari Ta’if (A)
5 Syaikhan nama sebuah tempat; pada masa Jahiliah konon  di tempat itu terdapat dua buah kubu untuk dua orang  tua yang buta, pria dan wanita, yang sedang bercakap-cakap. Maka tempat itu dinamai asy-Syaikhan  (harfiah berarti dua orang tua).
6 Namanya Nasiba, isteri Zaid b. ‘Ashim (A).
7 Diucapkan sebagai tanda cinta dan mendoakan kebaikan  kepadanya (A).
8 Sebuah tempat sejauh 8 mil dari Medinah.
Sumber: S E J A R A H    H I D U P    M U H A M M A D
oleh MUHAMMAD HUSAIN HAEKAL diterjemahkan dari bahasa Arab oleh Ali Audah
Penerbit PUSTAKA JAYA Jln. Kramat II, No. 31 A, Jakarta Pusat Cetakan Kelima, 1980