Posted by Drs.H.Mutawalli,M.Pd.I on September 12, 2010
A. Tindakan Khalid bin Walid Tidak disadari oleh kaum muslimin
Tindakan
ini tidak disadari oleh pihak Muslimin. Mereka sangat sibuk untuk
memperhatikan soal itu atau soal apapun, karena sedang menghadapi
harta rampasan perang yang mereka keduk habis-habisan itu,
sehingga tiada seorangpun yang membiarkan apa saja yang dapat mereka
ambil. Sementara mereka sedang dalam keadaan serupa itu, tiba-tiba
Khalid bin’l-Walid berseru sekuat-kuatnya, dan sekaligus pihak
Quraisypun mengerti, bahwa ia telah dapat membalikkan anak buahnya ke
belakang tentara Muslimin. Mereka yang tadinya sudah terpukul mundur
sekarang kembali lagi maju dan mendera Muslimin dengan pukulan maut
yang hebat sekali. Di sinilah giliran bencana itu berbalik. Setiap
Muslim telah melemparkan kembali hasil renggutan yang sudah ada di
tangan itu, dan kembali pula mereka mencabut pedang hendak
bertempur lagi.
Tetapi sayang, sayang sekali! Barisan
sudah centang-perenang, persatuan sudah pecah-belah, pahlawan-pahlawan
teladan dari kalangan Muslimin telah dihantam oleh pihak Quraisy.
Mereka yang tadinya berjuang dengan perintah Tuhan hendak
mempertahankan iman, sekarang berjuang hendak menyelamatkan diri dari
cengkaman maut, dari lembah kehinaan. Mereka yang tadinya berjuang
dengan bersatu-padu, sekarang mereka berjuang dengan bercerai-berai. Tak
tahu lagi haluan hendak kemana. Tadinya mereka berjuang di bawah
satu pimpinan yang kuat dan teguh, sekarang berjuang tanpa pimpinan
lagi. Jadi tidak heran, apabila ada seorang Muslim menghantamkan
pedangnya kepada sesama Muslim dengan tiada disadarinya.
Dalam pada itu terdengar pula ada
suara orang berteriak-teriak, bahwa Muhammad sudah terbunuh. Keadaan
makin panik, makin kacau-balau. Kaum Muslimin jadi berselisih, jadi
saling bunuh-membunuh, satu sama lain saling
hantam-menghantam, dengan tiada mereka sadari lagi karena mereka
sudah tergopoh-gopoh, sudah kebingungan. Kaum Muslimin telah membunuh
sesama Muslim, Husail b. Jabir membunuh Abu Hudhaifa karena sudah
tidak diketahuinya lagi. Yang paling penting bagi setiap Muslim
ialah menyelamatkan diri; kecuali mereka yang telah mendapat
perlindungan Tuhan, seperti Ali b. Abi Talib misalnya.
B. Nabi Muhammaad mendapat musibah luka-luka parah.
Akan tetapi begitu Quraisy mendengar
Muhammad telah terbunuh, seperti banjir mereka terjun mengalir ke
jurusan tempat dia tadinya berada. Masing-masing ingin supaya
dialah yang membunuhnya atau ikut memegang peranan didalamnya, suatu
hal yang akan dibanggakan oleh generasi kemudian. Ketika itulah
Muslimin yang dekat sekali dengan Nabi bertindak
mengelilinginya, menjaga dan melindunginya. Iman mereka telah tergugah
kembali memenuhi jiwa, mereka kembali mendambakan mati, dan hidup
duniawi ini dirasanya sudah tak ada arti lagi. Iman mereka makin besar,
keberanian mereka makin bertambah bilamana mereka melihat
batu yang dilemparkan Quraisy itu telah mengenai diri Nabi. Gigi
gerahamnya yang setelah terkena, wajahnya pecah-pecah dan
bibirnya luka-luka. Dua keping lingkaran rantai topi besi yang
menutupi wajahnya, telah menusuk pula menembusi pipinya.
Batu-batu yang menimpanya itu dilemparkan oleh ‘Utba b. Abi Waqqash.
Sekarang Rasul dapat menguasai diri. Ia berJalan sambil
dikelilingi oleh sahabat-sahabat. Tetapi tiba-tiba ia
terperosok kedalam sebuah lubang yang sengaja digali oleh Abu ‘Amir
guna menjerumuskan kaum Muslimin. Cepat-cepat Ali b. Abi Talib
menghampirinya, dipegangnya tangannya, dan Talha bin ‘Ubaidillah
mengangkatnya hingga ia berdiri kembali. Ia meneruskan perjalanan
dengan sahabat-sahabatnya itu, terus mendaki Gunung Uhud, dan
dengan demikian dapat menyelamatkan diri dari kejaran musuh.
Pada waktu itu juga Muslimin berkumpul
di sekitar mereka. Dalam membela Rasul dan menjaga
keselamatannya, mereka bersedia mati. Hari itu menjelang tengah
hari, Umm ‘Umara6 seorang wanita Anshar, berangkat pula membawa air
berkeliling
dengan membagi-bagikan air itu kepada
Muslimin yang sedang berjuang itu. Setelah melihat Muslimin
terpukul mundur, dilemparkannya tempat air itu dan dengan
menghunus pedang wanita itu terjun pula ikut bertempur, Ikut
melindungi
Muhammad dengan pedang dan dengan
melepaskan anak panah, sehingga karenanya dia sendiri mengalami
luka-luka. Sementara Abu Dujana membuat dirinya sebagai perisai
melindungi Rasulullah, dengan membungkukkan punggungnya,
sehingga lemparan anak panah musuh mengenai dirinya. Sedang disamping
Muhammad Sa’d b. Abi Waqqash melepaskan pula panahnya dan Muhammad
memberikan anak panah itu seraya berkata:”Lepaskan (anak panah itu).
Kupertaruhkan ibu-bapaku untukmu.”7
Sebelum itu Muhammad melepaskan sendiri anak panahnya, sampai-sampai ujung busurnya itu patah.
Adapun mereka yang mengira Muhammad telah tewas termasuk diantara
mereka itu Abu Bakr dan Umar pergi ke arah gunung dan mereka ini
sudah pasrah. Hal ini diketahui oleh Anas bin’n-Nadzr yang lalu
berkata kepada mereka: “Kenapa kamu duduk-duduk di sini?” “Rasulullah
sudah terbunuh,” jawab mereka. “Perlu apa lagi kita hidup sesudah itu?
Bangunlah! Dan biarlah kita juga mati untuk tujuan yang sama.”
Kemudian ia maju menghadapi musuh. Ia
bertempur mati-matian, bertempur tiada taranya. Akhimya ia baru
menemui ajalnya setelah mengalami tujuhpuluh pukulan musuh, sehingga
ketika itu orang tidak dapat lagi mengenalnya, kalau tidak karena
saudara perempuannya yang datang dan dapat mengenal dia dari ujung jarinya.
Karena sudah percaya sekali akan kematian
Muhammad, bukan main girangnya pihak Quraisy waktu itu, Abu Sufyanpun
sibuk pula mencarinya di tengah-tengah para korban. Soalnya ialah
mereka yang telah menjaga keselamatan Rasulullah tidak membantah
berita kematiannya itu, sebab memang diperintahkan demikian oleh
Rasul, dengan maksud supaya pihak Quraisy jangan sampai memperbanyak
lagi jumlah pasukannya yang berarti akan memberikan kemenangan
kepada mereka.
Akan tetapi tatkala Ka’b bin Malik datang
mendekati Abu Dujana dan anak buahnya, ia segera mengenal Muhammad
waktu dilihatnya sinar matanya yang berkilau dan balik topi besi
penutup mukanya itu. Ia memanggil-manggil dengan suara yang
sekeras-kerasnya:“Saudara-saudara kaum Muslimin! Selamat, selamat! Ini Rasulullah!”
Ketika itu Nabi memberi isyarat
kepadanya supaya diam. Tetapi begitu Muslimin mengetahui hal itu, Nabi
segera mereka angkat dan iapun berjalan pula bersama mereka ke arah
celah bukit didampingi oleh Abu Bakr, Umar, Ali b. Abi Talib,
Zubair
bin’l-’Awwam dan yang lain. Teriakan
Ka’b itu pada pihak Quraisy juga ada pengaruhnya. Memang benar,
bahwa sebahagian besar mereka tidak mempercayai teriakan itu, sebab
menurut anggapan mereka itu hanya untuk memperkuat semangat kaum
Muslimin saja. Tetapi dari mereka itu ada juga yang lalu segera
pergi mengikuti Muhammad dan rombongannya itu dari belakang. Ubayy
b. Khalaf kemudian dapat menyusul mereka, dan lalu bertanya: “Mana Muhammad?! Aku tidak akan selamat kalau dia yang masih selamat,”
katanya. Waktu itu juga oleh Rasul ia ditetaknya dengan tombak Harith
bin’sh-Shimma demikian rupa, sehingga ia terhuyung-huyung diatas
kudanya dan kembali pulang untuk kemudian mati di tengah jalan.
Sesampainya Muslimin di ujung bukit
itu, Ali pergi lagi mengisi air ke dalam perisai kulitnya. Darah
yang di wajah Muhammad dibasuhnya serta menyirami kepalanya dengan air.
Dua keping pecahan rantai besi penutup muka yangmenembus wajah Rasul
itu oleh Abu ‘Ubaida bin’l-Jarrah dicabut sampai dua buah gigi
serinya tanggal.
Selama mereka dalam keadaan itu
tiba-tiba Khalid bin’l-Walid dengan pasukan berkudanya sudah berada di
atas bukit. Tetapi Umar bin’l-Khattab dengan beberapa orang sahabat
Rasul segera menyerang dan berhasil mengusir mereka. Sementara
itu orang-orang Islam sudah makin tinggi mendaki gunung. Tetapi
keadaan mereka sudah begitu payah, begitu letih tampaknya,
sampai-sampai Nabi melakukan salat lohor sambil duduk – juga karena
luka-luka yang dideritanya, - demikian juga kaum
Muslimin yang lain melakukan salat makmum di belakangnya, sambil duduk pula.
Sebaliknya pihak Quraisy dengan
kemenangannya itu mereka sudah girang sekali. Terhadap peristiwa
perang Badr mereka merasa sudah sungguh-sungguh dapat membalas dendam.
Seperti kata Abu Sufyan: “Yang sekarang ini untuk peristiwa perang
Badr. Sampai jumpa lagi tahun depan!”
C. Hindun memperlakukan kekejaman terhadap mayat.
Tetapi isterinya, Hindun bint
‘Utba tidak cukup hanya dengan kemenangan, dan tidak cukup hanya
dengan tewasnya Hamzah b. Abd’l-Muttalib, malah bersama-sama dengan
wanita -wanita lain dalam rombongannya itu ia pergi lagi hendak
menganiaya mayat-mayat Muslimin; mereka memotongi telinga-telinga
dan hidung-hidung mayat itu, yang oleh Hindun lalu dipakainya
sebagai kalung dan anting-anting. Kemudian diteruskannya lagi,
dibedahnya perut Hamzah, dikeluarkannya jantungnya, lalu
dikunyahnya dengan giginya; tapi ia tak dapat menelannya. Begitu
kejinya perbuatannya itu, begitu juga perbuatan wanita-wanita
anggota rombongannya, bankan kaum prianyapun turut pula melakukan
kejahatan serupa itu,
sehingga Abu Sufyan sendiri menyatakan lepas tangan dari perbuatan itu. Ia menyatakan, bahwa dia samasekali tidak memerintahkan orang berbuat serupa itu, sekalipun dia sudah terlibat di dalamnya. Bahkan ia pernah berkata, yang ditujukan kepada salah seorang Islam. “Mayat-mayatmu telah mengalami penganiayaan. Tapi aku sungguh tidak senang, juga tidak benci; aku tidak melarang, juga tidak memerintahkan.”
Selesai menguburkan mayat-mayatnya
sendiri. Quraisypun pergi. Sekarang kaum Muslimin kembali ke garis
depan guna menguburkan mayat-mayatnya pula. Kemudian Muhammad pergi
hendak mencari Hamzah, pamannya. Bilamana kemudian ia melihatnya
sudah dianiaya dan perutnya sudah dibedah, ia merasa sangat sedih
sekali, sehingga ia berkata: “Takkan pernah ada orang
mengalami malapetaka seperti kau ini. Belum pernah aku menyaksikan
suatu peristiwa yang begitu menimbulkan amarahku seperti
kejadian ini.“ Lalu katanya lagi: “Demi Allah, kalau
pada suatu ketika Tuhan memberikan kemenangan kepada kami melawan
mereka, niscaya akan kuaniaya mereka dengan cara yang belum pernah
dilakukan oleh orang Arab.”
D.Dalam kejadian inilah firman Tuhan turun.(menegur Nabi)
“Dan kalau kamu mengadakan
pembalasan, balaslah seperti yang mereka lakukan terhadap kamu. Tetapi
kalau kamu tabah hati, itulah yang paling baik bagi mereka
yang berhati tabah (sabar). Dan hendaklah kau tabahkan hatimu,
dan ketabahan hatimu itu hanyalah dengan berpegang kepada Tuhan. Jangan
pula engkau bersedih hati terhadap mereka, jangan engkau bersesak
dada menghadapi apa yang mereka rencanakan itu.” (Qur’an, 16: 126 –
127)
Lalu Rasulullah memaafkan mereka,
ditabahkannya hatinya dan ia melarang orang melakukan penganiayaan.
Diselubunginya jenazah Hamzah itu dengan mantelnya lalu
disembahyangkannya. Ketika itu Shafia bt Abd’l-Muttailb – saudara
perempuannya – juga datang. Ditatapnya saudaranya itu, lalu ia pun
menyembahyangkannya dan mendoakan pengampunan baginya.
Nabi memerintahkan supaya
korban-korban itu dikuburkan di tempat mereka menemui ajalnya dan
Hamzah juga dikuburkan. Sesudah itu kaum Muslimin berangkat pulang ke
Medinah, dibawah pimpinan Muhammad, dengan meninggalkan 70 orang
korban. Kepedihan terasa sekali melecut hati mereka; karena kehancuran
yang mereka alami setelah mendapat kemenangan, karena rasa hina
serta rendah diri yang menimpa mereka, setelah mendapat sukses yang
gilang-gemilang. Semua kejadian itu ialah karena pasukan pemanah
sudah melanggar perintah Nabi. Muslimin sudah terlalu sibuk mengurus
rampasan perang dari pihak musuh.
Nabi memasuki rumahnya dengan penuh
pikiran. Orang-orang Yahudi, orang-orang munafik dan musyrik di
Yathrib memperlihatkan perasaan gembira yang luarbiasa melihat
kehancuran yang dialaminya dan dialami sahabat-sahabatnya itu.
Kewibawaan Muslimin di Medinah yang sudah mulai stabil, dan tak ada
lagi pihak yang merongrongnya, sekarang sudah hamper pula goncang dan
goyah.
Abdullah b. Ubayy b. Salul sudah berbalik
dari rombongan itu, ia pulang kembali dari Uhud, tidak ikut
serta dalam pertempuran, dengan alasan bahwa karena Muhammad tidak
mau menerima pendapatnya, atau karena Muhammad marah kepada
orang-orang Yahudi anak buahnya. Sekiranya kekalahan Uhud itu merupakan
keputusan terakhir dalam hubungannya antara Muslimin dengan Quraisy
yang akan menentukan kedudukan Muhammad dan sahabat-sahabatnya di
kalangan Arab, tentu kewibawaan mereka di Yathrib akan goyah dan akan
menjadi sasaran ejekan Quraisy.
Di mana-mana di seluruh jazirah Arab
akan disebarkan pula cemoohan-cemoohan demikian itu. Sekiranya ini
jugalah yang terjadi tentu akibatnya akan memberikan keberanian
kepada orang-orang musyrik dan penyembah-penyembah berhala terhadap
agama Allah. Maka ini berarti suatu bencana besar. Oleh karena itu
harus ada pukulan yang benar-benar berani, yang akan dapat mengurangi
beban kekalahan selama di Uhud, akan mengembalikan kekuatan moril
Muslimin dan sekaligus dapat
menimbulkan kegentaran pada pihak
Yahudi dan orang-orang munafik. Dengan demikian kewibawaan
Muhammad dan sahabat-sahabatnya di Yathrib akan kembali kuat
seperti sediakala.
Keesokan harinya setelah peristiwa
Uhud – yang terjadi pada malam 16 Syawal (tahun ke 5 Hijrah) - salah
seorang muezzin Nabi berseru kepada Muslimin dan mengerahkan mereka
supaya bersiap-siap menghadapi musuh dan mengadakan pengejaran.
Tetapi yang dimintanya hanya mereka yang pernah turut dalam
peperangan itu. Setelah kaum Muslimin berangkat, pihak Abu Sufyan
merasa ketakutan sekali, bahwa musuhnya yang dari Medinah itu
sekarang datang dengan bantuan baru. Tidak berani ia menghadapi mereka.
Sementara itu Muhammad pun sudah
sampai pula di Hamra’ ‘l-Asad.8 Sedang Abu Sufyan dan
teman-temannya berada di Rauha’. Waktu itu Ma’bad al-Khuza’i lewat
dan sebelumnya ia sudah pula lewat di tempat Muhammad dan rombongannya
itu. Ia ditanya oleh Abu Sufyan tentang keadaan mereka itu, yang oleh
Ma’bad – ketika itu ia masih dalam syirik -dijawab:
“Muhammad dan sahabat-sahabatnya sudah berangkat mau mencari kamu, dalam jumlah yang belum pernah kulihat semacam itu. Orang-orang yang dulunya tidak ikut, sekarang mereka menggabungkan diri dengan dia. Mereka semua terdiri dari orang-orang yang sangat geram kepadamu, orang-orang yang hendak membalas dendam.”
Akan terpikir juga oleh Abu Sufyan
bagaimana pula nanti akibatnya apabila ia lari dari Muhammad dan
tidak sampai memghadapinya sesudah ia pernah mendapat kemenangan?!
Bukankah Quraisy nanti akan dicemooh oleh orang-orang Arab seperti yang
pernah diinginkannya akan terjadi demikian terhadap Muhammad dan
sahabat-sahabatnya?! Baiklah, misalnya ia kembali menghadapi
Muhammad lalu ia dikalahkan oleh Muslimin, bukanlah itu berarti bahwa
bagi Quraisy sudah tamat riwayatnya dan tidak akan pernah bangun
kembali!? Lalu dicarinya suatu helat, diusutnya sebuah kafilah dari suku
Abd’l-Qais pergi ke Medinah dengan memberitahukan kepada Muhammad
bahwa ia (Abu Sufyan) sudah memutuskan akan berangkat menyerbu,
dia dan sahabat-sahabatnya akan digempur dan dikikis habis sampai ke
sisa-sisanya. Setelah oleh rombongan pesan itu disampaikan kepada
Muhammad di Hamra’ ‘l-Asad, sedikitpun semangat dan ketabahannya
tidak goyah. Bahkan sepanjang malam selama tiga hari itu
terus-menerus ia memasang api unggun, sekalian mau menunjukkan kepada
Quraisy bahwa ia tetap siap-siaga dan menunggu kedatangan mereka.
Akhirnya semangat Abu Sufyan dan orang-orang Quraisy jadi buyar
sendiri. Mereka lebih suka bertahan dengan kemenangan di Uhud
itu. Kemudian merekapun kembali pulang menuju arah ke Mekah.
Muhammad juga lalu kembali ke Medinah.
Sudah banyak posisi yang dapat diambil kembali setelah tadinya
mengalami kegoyahan akibat peristiwa Uhud itu, meskipun kaum munafik
mulai pula mengangkat kepala menertawakan kaum Muslimin
sambil menanyakan: Kalau peristiwa Badr itu merupakan pertanda dari
Tuhan atas kerasulan Muhammad, maka dengan peristiwa Uhud itu apa pula
konon pertandanya dan apa yang akan jadi alamatnya??!
Catatan kaki:1 Uhud, sebuah gunung, terletak sebelah utara Medinah (A).
2 Ahabisy ialah suatu gabungan kabilah-kabilah dan suku-suku kecil, dengan al-Harith b. ‘Abd Manaf b. Kinana sebagai pemukanya. Hubungan mereka dekat sekali dengan Quraisy (A).
3 Juhfa sebuah tempat sepanjang jalan Medinah-Mekah,tiga atau empat hari perjaianan dari Mekah; juga merupakan tempat pertemuan orang-orang Mesir dan Syam.
4 Sebuah kabilah dari Ta’if (A)
5 Syaikhan nama sebuah tempat; pada masa Jahiliah konon di tempat itu terdapat dua buah kubu untuk dua orang tua yang buta, pria dan wanita, yang sedang bercakap-cakap. Maka tempat itu dinamai asy-Syaikhan (harfiah berarti dua orang tua).
6 Namanya Nasiba, isteri Zaid b. ‘Ashim (A).
7 Diucapkan sebagai tanda cinta dan mendoakan kebaikan kepadanya (A).
8 Sebuah tempat sejauh 8 mil dari Medinah.
Sumber: S E J A R A H H I D U P M U H A M M A D
oleh MUHAMMAD HUSAIN HAEKAL diterjemahkan dari bahasa Arab oleh Ali Audah
Penerbit PUSTAKA JAYA Jln. Kramat II, No. 31 A, Jakarta Pusat Cetakan Kelima, 1980