Sebuah Pengantar Sejarah Singkat Filsafat Eropa,
Posted by Drs.H.Mutawalli,M.Pd.I on June 20, 2011
Dilihat
dari pendekatan historis, ilmu filsafat dipahami melalui sejarah
perkembangan pemikiran filsafat. Menurut catatan sejarah, filsafat Barat
bermula di Yunani. Bangsa Yunani mulai mempergunakan akal ketika
mempertanyakan mitos yang berkembang di masyarakat sekitar abad VI SM.
Perkembangan pemikiran ini menandai usaha manusia untuk mempergunakan
akal dalam memahami segala sesuatu. Pemikiran Yunani sebagai embrio
filsafat Barat berkembang menjadi titik tolak pemikiran Barat abad
pertengahan, modern dan masa berikutnya. Di samping menempatkan filsafat
sebagai sumber pengetahuan,
Barat juga menjadikan agama sebagai
pedoman hidup, meskipun memang harus diakui bahwa hubungan filsafat dan
agama mengalami pasang surut. Pada abad pertengahan misalnya dunia Barat
didom inasi oleh dogm atism egereja (agama), tetapi abad modern seakan
terjadi pembalasan Akibatnya, Barat mengalami kekeringan spiritualisme.
Namun selanjutnya, Barat kembali melirik kepada peranan agama agar
kehidupan mereka kembali memiliki makna.
Secara garis besar, perkembangan sejarah filsafat dibagi dalam lima tahap:
1. Filsafat Yunani Klasik
1. Filsafat Yunani Klasik
2. Filsafat Yunani
3. Filsafat Abad Pertengahan
4. Filsafat Modern
5. Filsafat Posmodern
1. Yunani Kuno
Bangsa Yunani merupakan bangsa yang
pertama kali berusaha menggunakan akal untuk berpikir. Kegemaran bangsa
Yunani merantau secara tidak langsung menjadi sebab meluasnya tradisi
berpikir bebas yang dim iliki bangsa Yunani.
Kebebasan berpikir bangsa Yunani
disebabkan di Yunani sebelumnya tidak pernah ada agama yang didasarkan
pada kitab suci. Keadaan tersebut jelas berbeda dengan Mesir, Persia,
dan India. Sedangkan Livingstone berpendapat bahwa adanya kebebasan
berpikir bangsa Yunani dikarenakan kebebasan mereka dari agama dan
politik secara bersamaan. terhadap agama. Peran agama dimasa modern
digantikan ilmu-ilmu positif
Pada m asa Yunani kuno, filsafat secara
umum sangat dominan, meski harus diakui bahwa agama masih kelihatan
memainkan peran. Hal ini terjadi pada tahap permulaan, yaitu pada masa
Thales (640-545 SM ).
Demikian juga Phitagoras (572-500 SM ) belum murni rasional. Pada masa Yunani Klasik, pertanyaan-pertanyaan yang berkembang adalah pertanyaan yang berhubungan alam semesta. Ini berangkat dari kekaguman manusia terhadap hal-hal yang ada di sekitarnya. Sebagai contoh, ketika manusia melihat segala sesuatu yang ada di sekeliling mereka, muncul pertanyaan-pertanyaan mengenai segala sesuatu itu. Begitupun para filsuf zaman Yunani klasik ini. Mereka mempertanyakan hakikat kehidupan ini. Sebagai contoh, Thales, salah seorang filsuf yang hidup pada masa itu, mendapatkan kesimpulan bahwa penyebab pertama kehidupan adalah air karena ia melihat adanya kehidupan ini karena ada air.
Demikian juga Phitagoras (572-500 SM ) belum murni rasional. Pada masa Yunani Klasik, pertanyaan-pertanyaan yang berkembang adalah pertanyaan yang berhubungan alam semesta. Ini berangkat dari kekaguman manusia terhadap hal-hal yang ada di sekitarnya. Sebagai contoh, ketika manusia melihat segala sesuatu yang ada di sekeliling mereka, muncul pertanyaan-pertanyaan mengenai segala sesuatu itu. Begitupun para filsuf zaman Yunani klasik ini. Mereka mempertanyakan hakikat kehidupan ini. Sebagai contoh, Thales, salah seorang filsuf yang hidup pada masa itu, mendapatkan kesimpulan bahwa penyebab pertama kehidupan adalah air karena ia melihat adanya kehidupan ini karena ada air.
2. Filsafat Yunani
Filsafat zaman Yunani ini diwakili oleh
Plato dan Aristoteles. Pada zaman ini, pertanyaan-pertanyaan tentang
kehidupan mulai berkembang. Mereka tidak lagi hanya melihat keluar
(oustside), akan tetapi juga mulai melihat ke dalam (inside). Persoalan
tentang manusia mulai dipertanyakan. Misalnya, apa hakikat manusia? Dari
mana manusia berasal? Dari pertanyaan-pertanyaan tersebut lahirlah
suatu jaw aban. Salah satunya adalah jawaban yang muncuk dari Plato
bahwa hakikat manusia itu terdiri dari tubuh dan jiwa. Secara struktur,
jiwa lebih tinggi dari tubuh. Menurut Plato, tubuh menjadi penjara jiwa.
Jiwa akan bebas ketika ia lepas dari tubuhnya. Sementara itu,
Aristoteles mengatakan hakikat manusia tidak terpisah antara tubuh dan
jiwa. Tidak ada yang lebih tinggi secara struktur. Manusia terdiri dari
forma dan materi.
3. Abad Pertengahan.
Filsafat abad pertengahan lahirnya agama
sebagai kekuatan baru. Banyak filsuf yang lahir dari latar belakang
rohaniwan. Dengan lahirnya agama-agama sebagai kekuatan baru, wahyu
menjadi otoritas dalam. menentukan kebenaran. Sejak gereja (agama)
mendominasi, peranan akal (filsafat) menjadi sangat kecil. Karena,
gereja telah membelokkan kreatifitas akal dan mengurangi kemampuannya.
Pada saat itu, pendidikan diserahkan pada tokoh-tokoh gereja yang
dikenal dengan “The Scholastics”, sehingga periode ini disebut dengan
masa skolastik. Para filosof aliran skolastik menerima doktrin gereja
sebagai dasar pandangan filosofisnya. Mereka berupaya memberikan
pembenaran apa yang telah diterima dari gereja secara rasional.
Di antara filosof skolastik yang terkenal adalah Augustinus ( 354-430). Menurutnya, dibalik keteraturan dan ketertiban alam semesta ini pasti ada yang mengendalikan, yaitu Tuhan. Kebenaran mutlak ada pada ajaran agama. Kebenaran berpangkal pada aksioma bahwa segala sesuatu diciptakan oleh Tuhan dari yang tidak ada (creatioex nihilo). Kehidupan yang terbaik adalah kehidupan bertapa, dan yang terpenting adalah cinta pada Tuhan.
Di antara filosof skolastik yang terkenal adalah Augustinus ( 354-430). Menurutnya, dibalik keteraturan dan ketertiban alam semesta ini pasti ada yang mengendalikan, yaitu Tuhan. Kebenaran mutlak ada pada ajaran agama. Kebenaran berpangkal pada aksioma bahwa segala sesuatu diciptakan oleh Tuhan dari yang tidak ada (creatioex nihilo). Kehidupan yang terbaik adalah kehidupan bertapa, dan yang terpenting adalah cinta pada Tuhan.
Ciri khas filsafat abad pertengahan ini
terletak pada rumusan Santo Anselmus (1033–1109), yaitu credo
utintelligam (saya percaya agar saya paham). Filsafat ini jelas berbeda
dengan sifat filsafat rasional yang lebih mendahulukan pengertian dari
pada iman.
4. Filsafat Modern
Masa filsafat modern diawali dengan
munculnya Renaissance sekitar abad XV dan XVI M, yang bermaksud lepas
dari dogma-dogma, akhirnya muncul semangat perubahan dalam kerangka
berfikir. Problem utama masa Renaissance, sebagaimana periode skolastik,
adalah sintesa agama dan filsafat dengan arah yang berbeda. Era
Renaissance ditandai dengan tercurahnya perhatian pada berbagai bidang
kemanusiaan, baik sebagai individu maupun sosial.
Diantara filosof masa Renaissance adalah
Francis Bacon (1561-1626). Ia berpendapat bahwa filsafat harus
dipisahkan dari teologi. Meskipun ia meyakini bahwa penalaran dapat
menunjukkan Tuhan, tetapi ia menganggap bahwa segala sesuatu yang
bercirikan lain dalam teologi hanya dapat diketahui dengan wahyu,
sedangkan wahyu sepenuhnya bergantung pada penalaran. Hal ini
menunjukkan bahwa Bacon termasuk orang yang membenarkan konsep kebenaran
ganda (double truth), yaitu kebenaran akal dan wahyu. Puncak masa
Renaissance muncul pada era Rene Descartes (1596-1650) yang dianggap
sebagai Bapak Filsafat Modern dan pelopor aliran Rasionalisme.
Argumentasi yang dimajukan bertujuan
untuk melepaskan dari kungkungan gereja. Salah satu semboyannya “cogito
ergo sum” (saya berpikir maka saya ada). Pernyataan ini sangat terkenal
dalam perkembangan pemikiran modern, karena dianggap mengangkat kembali
derajat rasio dan pemikiran sebagai indikasi eksistensi setiap individu.
Dalam hal ini, filsafat kembali mendapatkan kejayaannya dan mengalahkan
peran agama, karena dengan rasio manusia dapat memperoleh kebenaran.
Kemudian muncul aliran Empirisme, dengan pelopor utamanya, Thomas Hobbes
(1588-1679) dan John Locke (1632-1704). Aliran Empirisme berpendapat
bahwa pengetahuan dan pengenalan berasal dari pengalaman, baik
pengalaman batiniah maupun lahiriah. Aliran ini juga menekankan
pengenalan inderawi sebagai bentuk pengenalan yang sempurna.
Di tengah bergemanya pemikiran
rasionalisme dan empirisme, muncul gagasan baru di Inggris, yang
kemudian berkembang ke Perancis dan akhirnya ke Jerman. Masa ini dikenal
dengan Aufklarung atau Enlightenment atau masa pencerahan sekitar abad
XVIII M. Pada masa Aufklarung ini muncul keinginan manusia modern
menyingkap misteri dunia dengan kekuatan akal dan kebebasan berpikir.
Tokoh filsuf yang sangat mengagungkan kekuatan akal dan dianggap sebagai
Bapak Filsafat Modern adalah Rene Descartes. Pada abad ini dirumuskan
adanya keterpisahan rasio dari agama, akal terlepas dari kungkungan
gereja, sehingga Voltaire (1694-1778) menyebutnya sebagai the age of
reason (zaman penalaran). Sebagai salah satu konsekuensinya adalah
supremasi rasio berkembang pesat yang pada gilirannya mendorong berkem
bangnya filsafat dan sains. Periode filsafat modern di Barat menunjukkan
adanya pergeseran, segala bentuk dominasi gereja, kependetaan dan
anggapan bahwa kitab suci sebagai satu-satunya sumber pengetahuan
diporak-porandakan. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa abad modern
merupakan era pembalasan terhadap zaman skolastik yang didominasi
gereja.
5. Posmodernisme
Filsafat postmodern ditandai dengan
keinginan untuk mendobrak sifat-sifat filsafat modern yang mengagungkan
keuniversalitasan, kebenaran tunggal, dan kebebasnilaian. Karena itu,
filsafat postmodern sangat mengagungkan nilai-nilai relativitas dan
mininarasi, berbeda dengan filsafat modern yang mengagungkan
narasi-narasi besar. Filsafat postmodern cenderung lebih beragam dalam
hal pemikirian.
Pada awal abad XX, di Inggris dan Amerika muncul aliran Pragmatisme yang dipelopori oleh William Jam es (1842-1910). Sebenarnya, Pragmatisme awalnya diperkenalkan oleh C.S. Pierce (1839-1914). Menurutnya, kepercayaan menghasilkan kebiasaan, dan berbagai kepercayaan dapat dibedakan dengan membandingkan kebiasaan yang dihasilkan. Oleh karena itu, kepercayaan adalah aturan bertindak. William James berpendapat bahwa teori adalah alat untuk memecahkan masalah dalam pengalaman hidup m anusia. Karena itu, teori dianggap benar, jika teori berfungsi bagi kehidupan manusia. Sedangkan agama, menurutnya, mempunyai arti sebagai perasaan (feelings), tindakan (acts) dan pengalaman individu manusia ketika mencoba memahami hubungan dan posisinya di hadapan apa yang m ereka anggap suci. Dengan demikian, keagam aan bersifat unik dan membuat individu menyadari bahwa dunia merupakan bagian dari system spiritual yang dengan sendirinya memberi nilai bagi atau kepadanya. Agak berbeda dengan William James, tokoh Pragmatisme lainnya, John Dewey (1859-1952) menyatakan bahwa tugas filsafat yang terpenting adalah memberikan pengarahan pada perbuatan manusia dalam praktek hidup yang harus berpijak pada pengalaman.
Pada saat yang bersamaan, juga berkembang aliran Fenomenologi di Jerman yang dipelopori oleh Edmund Husserl (1859-1938).
Pada awal abad XX, di Inggris dan Amerika muncul aliran Pragmatisme yang dipelopori oleh William Jam es (1842-1910). Sebenarnya, Pragmatisme awalnya diperkenalkan oleh C.S. Pierce (1839-1914). Menurutnya, kepercayaan menghasilkan kebiasaan, dan berbagai kepercayaan dapat dibedakan dengan membandingkan kebiasaan yang dihasilkan. Oleh karena itu, kepercayaan adalah aturan bertindak. William James berpendapat bahwa teori adalah alat untuk memecahkan masalah dalam pengalaman hidup m anusia. Karena itu, teori dianggap benar, jika teori berfungsi bagi kehidupan manusia. Sedangkan agama, menurutnya, mempunyai arti sebagai perasaan (feelings), tindakan (acts) dan pengalaman individu manusia ketika mencoba memahami hubungan dan posisinya di hadapan apa yang m ereka anggap suci. Dengan demikian, keagam aan bersifat unik dan membuat individu menyadari bahwa dunia merupakan bagian dari system spiritual yang dengan sendirinya memberi nilai bagi atau kepadanya. Agak berbeda dengan William James, tokoh Pragmatisme lainnya, John Dewey (1859-1952) menyatakan bahwa tugas filsafat yang terpenting adalah memberikan pengarahan pada perbuatan manusia dalam praktek hidup yang harus berpijak pada pengalaman.
Pada saat yang bersamaan, juga berkembang aliran Fenomenologi di Jerman yang dipelopori oleh Edmund Husserl (1859-1938).
Menurutnya, untuk mendapatkan pengetahuan
yang benar ialah dengan menggunakan intuisi langsung, karena dapat
dijadikan kriteria terakhir dalam filsafat. Baginya, Fenomenologi
sebenarnya merupakan teori tentang fenomena; ia mempelajari apa yang
tampak atau yang menampakkan diri. Pada abad tersebut juga lahir aliran
Eksistensialisme yang dirintis oleh Soren Kierkegaard (1813-1855).
Sumber: Drs.H.Mutawalli,M.Pd.I