Minggu, 10 Maret 2013

Sirah Muhammad SAW semenjak,Piagam pembaikotan sampai Israk dan Mikraj


Posted by Drs.H.Mutawalli,M.Pd.I on August 13, 2010
A.Piagam pembaikotan
 
SELAMA tiga tahun  berturut-turut  piagam  yang  dibuat  pihak Quraisy  untuk  memboikot  Muhammad dan mengepung Muslimin itu tetap berlaku. Dalam pada  itu  Muhammad  dan  keluarga  serta sahabat-sahabatnya  sudah  mengungsi  ke celah-celah gunung di luar kota Mekah, dengan mengalami pelbagai macam  penderitaan, sehingga  untuk mendapatkan bahan makanan sekadar menahan rasa laparpun tidak ada. Baik kepada Muhammad  atau  kaum  Muslimin tidak  diberikan  kesempatan bergaul dan bercakap-cakap dengan orang,  kecuali  dalam  bulan-bulan  suci.  Pada   waktu   itu orang-orang   Arab  berdatangan  ke  Mekah  berziarah,  segala permusuhan  dihentikan  -  tak   ada   pembunuhan,   tak   ada penganiayaan, tak ada permusuhan, tak ada balas dendam.
Pada bulan-bulan itu Muhammad turun, mengajak orang-orang Arab itu kepada agama Allah, diberitahukannya  kepada  mereka  arti pahala   dan  arti  siksa.  Segala  penderitaan  yang  dialami Muhammad demi dakwah itu justru telah menjadi penolongnya dari kalangan orang banyak. Mereka yang telah mendengar tentang itu lebih  bersimpati  kepadanya,  lebih  suka   mereka   menerima ajakannya. Blokade yang dilakukan Quraisy kepadanya, kesabaran dan ketabahan hatinya memikul semua itu demi risalahnya, telah dapat  memikat  hati  orang  banyak,  hati  yang  tidak begitu membatu, tidak begitu kaku seperti hati Abu  Jahl,  Abu  Lahab dan yang sebangsanya.
Akan  tetapi,  penderitaan  yang  begitu  lama,  begitu banyak dialami kaum Muslimin karena kekerasan pihak Quraisy – padahal mereka  masih  sekeluarga:  saudara,  ipar.  sepupu  -  banyak diantara mereka itu yang merasakan betapa  beratnya  kekerasan dan kekejaman yang mereka lakukan itu. Dan sekiranya tidak ada dari  penduduk  yang  merasa  simpati  kepada  kaum  Muslimin, membawakan   makanan  ke  celah-celah  gunung1  tempat  mereka mengungsi itu, niscaya mereka akan mati kelaparan.  B.Zuhair dan Hisyam membatalkan piagam Pembaikotan
Dalam  hal ini  Hisyam  ibn  ‘Amr  termasuk  salah  seorang dari kalangan Quraisy yang paling simpati kepada Muslimin. Tengah malam ia datang membawa unta yang sudah dimuati makanan atau  gandum.  Bilamana  ia sudah sampai di depan celah gunung itu, dilepaskannya tali untanya lalu  dipacunya  supaya  terus masuk ke tempat mereka dalam celah itu. Merasa  kesal melihat Muhammad dan sahabat-sahabatnya dianiaya demikian rupa, ia pergi menemui Zuhair  b.  Abi  Umayya  (Banu Makhzum).  Ibu  Zuhair  ini  adalah  Atika bint Abd’l-Muttalib (Banu Hasyim).
“Zuhair,” kata Hisyam “Kau sudi menikmati makanan, pakaian dan wanita-wanita,  padahal,  seperti  kau ketahui, keluarga ibumu demikian  rupa   tidak   boleh   berhubungan   dengan   orang, berjual-beli,  tidak  boleh saling mengawinkan? Aku bersumpah, bahwa kalau mereka itu keluargaku  dari  pihak  ibu,  keluarga Abu’l-Hakam  ibn Hisyam, lalu aku diajak seperti mengajak kau, tentu akan kutolak.”
Keduanya kemudian sepakat akan  sama-sama  membatalkan  piagam itu.  Tapi  meskipun  begitu harus mendapat dukungan juga dari yang  lain,  dan  secara  rahasia  mereka  harus   diyakinkan. Pendirian  kedua  orang  itu kemudian disetujui oleh Mut’im b. ‘Adi (Naufal), Abu’l-Bakhtari b. Hisyam dan Zamia  bin’l-Aswad (keduanya   dari   Asad).  Kelima  mereka  lalu  sepakat  akan mengatasi persoalan piagam itu dan akan membatalkannya.
Dengan tujuh kali mengelilingi  Ka’bah  keesokannya  pagi-pagi Zuhair  b.  Umayya  berseru kepada orang banyak: “Hai penduduk Mekah! Kamu sekalian enak-enak makan  dan  berpakaian  padahal Banu  Hasyim  binasa  tidak  dapat mengadakan hubungan dagang! Demi Allah saya tidak akan duduk sebelum piagam yang kejam ini dirobek!” Tetapi Abu Jahl, begitu mendengar ucapan itu, iapun berteriak: “Bohong! Tidak akan kita robek!” Saat itu juga  terdengar  suara-suara  Zam’a,  Abu’l-Bakhtari, Mut’im  dan ‘Amr ibn Hisyam mendustakan Abu Jahl dan mendukung Zuhair.
Abu  Jahl  segera   menyadari   bahwa   peristiwa   ini   akan terselesaikan  juga  malam  itu dan orangpun sudah menyetujui. Kalau dia menentang mereka juga, tentu  akan  timbul  bencana. Merasa  kuatir,  lalu  cepat-cepat ia pergi. Waktu itu, ketika Mut’im bersiap akan merobek piagam tersebut, dilihatnya  sudah mulai  dimakan  rayap,  kecuali  pada bagian pembukaannya yang berbunyi: “Atas namaMu ya Allah…”
Dengan  demikian  terdapat  kesempatan   pada   Muhammad   dan sahabat-sahabat  pergi meninggalkan celah bukit yang curam itu dan kembali ke Mekah. Kesempatan berjual-beli  dengan  Quraisy juga  terbuka, sekalipun hubungan antara keduanya seperti dulu juga,  masing-masing  siap-siaga  bila  permusuhan  itu  kelak sewaktu-waktu memuncak lagi.
Beberapa  penulis  biografi  dalam  hal ini berpendapat, bahwa diantara  mereka  yang  bertindak  menghapuskan   piagam   itu terdapat  orang-orang  yang  masih  menyembah  berhala.  Untuk menghindarkan timbulnya bencana,  mereka  mendatangi  Muhammad dengan  permintaan  supaya  ia  mau  saling mengulurkan tangan dengan Quraisy dengan misalnya memberi hormat kepada dewa-dewa mereka   sekalipun   cukup   hanya  dengan  jari-jarinya  saja dikelilingkan. Agak cenderung  juga  hatinya  atas  usul  itu, sebagai  pengharapan  atas kebaikan hati mereka. Dalam hatinya seolah ia berkata: “Tidak apa kalau saya  lakukan  itu.  Allah bahwa saya tetap taat.”
Atau karena mereka yang telah menghapuskan piagam dan beberapa orang lagi itu, pada suatu malam mengadakan  pertemuan  dengan Muhammad  sampai  pagi.  Dalam  perbicaraan  itu mereka sangat menghormatinya, menempatkannya  sebagai  yang  dipertuan  atas mereka, mengajaknya kompromi, seraya kata mereka: “Tuan adalah pemimpin kami …”
Sementara  mereka  masih mengajaknya bicara itu, sampai-sampai hampir saja ia mengalah atas  beberapa  hal  menurut  kehendak mereka.  Ini  adalah  dua  sumber hadis, yang pertama sebagian diceritakan oleh Sa’id  b.  Jubair,  sedang  yang  kedua  olehQatada.  Kata  mereka  kemudian Allah melindungi Muhammad dari kesalahan, dengan firmanNya:
“Dan hampir-hampir saja mereka itu menggoda kau  tentang  yang Sudah Kami wahyukan kepadamu, supaya engkau mau atas nama Kami memalsukan dengan yang lain. Ketika  itulah  mereka  mengambil engkau  menjadi kawan mereka. Dan kalaupun tidak Kami tabahkan hatimu, niscaya engkau hampir  cenderung  juga  kepada  mereka barang  sedikit.  Dalam  hal  ini, akan Kami timpakan kepadamu hukuman berlipat ganda,  dalam  hidup  dan  mati.  Selanjutnya engkau tiada mempunyai penolong menghadapi Kami.” (Qur’an, 17: 73-75)
Ayat-ayat ini turun  -  menurut  dugaan  mereka  yang  membawa cerita  gharaniq – sehubungan dengan cerita bohong itu seperti yang  sudah  kita  lihat.  Sedang   kedua   ahli   hadis   ini menghubungkannya  pada  cerita  pembatalan  piagam. Sebaliknya menurut hadis ‘Ata, lewat  Ibn  ‘Abbas,  ayat-ayat  ini  turun sehubungan  dengan delegasi Thaqif, yang datang meminta kepada Muhammad supaya lembah mereka  dianggap  suci  seperti  pohon, burung  dan  binatang  di Mekah. Dalam hal ini Nabi a.s. masih maju-mundur sebelum ayat-ayat tersebut turun.
Apapun juga yang sebenarnya terjadi, terhadap  peristiwa  yang menyebabkan  turunnya  ayat-ayat  itu  sumber-sumber  tersebut tidak berbeda, yaitu melukiskan salah satu segi kebesaran jiwa Muhammad,  di samping kejujuran dan keikhlasannya dengan suatu lukisan  yang  sungguh  kuat  sekali.  Segi  ini   yang   juga dilukiskan  oleh ayat-ayat yang sudah kita kutipkan dari Surah
“Abasa” (80)  dan  pula  seluruh  sejarah  kehidupan  Muhammad membuktikannya  pula. Secara terus-terang dikatakan, bahwa dia adalah manusia  biasa  seperti  yang  lain,  tapi  yang  telah mendapat wahyu Tuhan guna memberikan bimbingan, dan bahwa dia, sebagai manusia biasa, tidak luput dari kesalahan kalau  tidak karena  mendapat  perlindungan Tuhan. Ia telah bersalah ketika bermuka masam dan berpaling dari Ibn Umm  Maktum,  dan  hamper pula  salah sehubungan dengan turunnya Surah “Isra” (17), juga hampir pula ia  tergoda  tentang  apa  yang  telah  diwahyukan kepadanya untuk dipalsukan dengan yang lain.
Apabila   wahyu   turun   kepadanya  memberi  peringatan  atas perbuatannya terhadap orang  buta  itu,  dan  terhadap  godaan Quraisy  yang hampir menjerumuskannya, maka kejujurannya dalam menyampaikan wahyu itu kepada orang sama pula  seperti  ketika menyampaikan  amanat  Tuhan  itu.  Tak  ada  sesuatu yang akan menghalanginya  ia  menyatakan  apa  yang  sebenarnya  tentang dirinya itu. Tak ada sikap sombong dan congkak, tidak ada rasa tinggi hati.
Jadi kebenaranlah, dan hanya kebenaran semata yang  ada  dalam risalahnya  itu.  Apabila dalam menanggung siksaan orang lain demi idea yang diyakininya, orang  yang  berjiwa  besar  masih sanggup  memikulnya,  maka  pengakuan orang besar itu bahwa ia hampir-hampir tergoda, tidaklah menjadi  kebiasaan,  sekalipun oleh  orang-orang  besar sendiri. Hal-hal semacam itu biasanya oleh mereka disembunyikan dan yang diperhitungkan hanya  harga dirinya,  meskipun  dengan  susah payah. Inilah kebesaran yang tak  ada  taranya,  lebih  besar  dari  orang  besar.   Itulah sebenarnya  kebesaran jiwa yang dapat memperlihatkan kebenaran secara keseluruhan. Itulah yang juga lebih luhur  dari  segala kebesaran, dan lebih besar dari segala yang besar, yakni sifat kenabian yang menyertai Rasul itu dengan segala keikhlasan dan kejujurannya meneruskan Risalah Kebenaran Tertinggi.
Sesudah  piagam  disobek, Muhammad dan pengikut-pengikutnyapun keluar dari lembah bukit-bukit itu.  Seruannya  dikumandangkan lagi  kepada  penduduk  Mekah  dan kepada kabilah-kabilah yang pada bulan-bulan suci itu datang berziarah ke Mekah.  Meskipun ajakan  Muhammad  sudah tersiar kepada seluruh kabilah Arab di samping banyaknya mereka yang sudah menjadi pengikutnya,  tapi sahabat-sahabat  itu  tidak selamat dari siksaan Quraisy, juga dia tidak dapat mencegahnya.
Beberapa bulan kemudian sesudah penghapusan piagam itu, secara tiba-tiba  sekali  dalam  satu  tahun  saja Muhammad mengalami dukacita yang sangat  menekan  perasaan,  yakni  kematian  Abu Talib  dan Khadijah secara berturut-turut. Waktu itu Abu Talib sudah  berusia  delapanpuluh  tahun  lebih.  Setelah   Quraisy mengetahui  ia  dalam  keadaan sakit yang akan merupakan akhir hayatnya, mereka merasa kuatir apa  yang  akan  terjadi  nanti antara  mereka dengan Muhammad dan sahabat-sahabatnya. Apalagi sesudah ada Hamzah dan Umar yang terkenal  garang  dan  keras.
Karena  itu pemuka-pemuka Quraisy segera mendatangi Abu Talib, untuk kemudian mengatakan: “Abu Talib, seperti kau ketahui, kau adalah dari keluarga kami juga.  Keadaan  sekarang  seperti  kau ketahui sendiri, sangat mencemaskan kami. Engkau juga sudah  mengetahui  keadaan  kami dengan  kemenakanmu  itu.  Panggillah  dia.  Kami  akan saling memberi dan saling menerima.  Dia  angkat  tangan  dari  kami, kamipun  akan demikian. Biarlah kami dengan agama kami dan dia dengan agamanya sendiri pula.”
Muhammad datang tatkala mereka masih berada di tempat pamannya itu.  Setelah  diketahuinya  maksud  kedatangan  mereka, iapun berkata:
“Sepatah kata  saja  saya  minta,  yang  akan  membuat  mereka merajai semua orang Arab dan bukan Arab.” “Ya,  demi  bapamu,”  jawab  Abu Jahl. “Sepuluh kata sekalipun
silakan!”
Kata Muhammad: “Katakan,  tak  ada  tuhan  selain  Allah,  dan tinggalkan segala penyembahan yang selain Allah.” “Muhammad,  maksudmu  supaya  tuhan-tuhan  itu  dijadikan satu Tuhan saja?” kata mereka. Kemudian mereka berkata satu sama lain: “Orang ini tidak  akan memberikan  apa-apa  seperti  yang  kamu  kehendaki.  Pergilah
kalian!”
C.Wafat nya Abu Talib dan Khodijah
Ketika Abu Talib  meninggal  hubungan  Muhammad  dengan  pihak Quraisy lebih buruk lagi dari yang sudah-sudah. Dan  sesudah Abu Talib, disusul pula dengan kematian Khadijah, Khadijah yang menjadi sandaran Muhammad, Khadijah  yang  telah
mencurahkan   segala   rasa  cinta  dan  kesetiaannya,  dengan perasaan yang lemah-lembut, dengan hati  yang  bersih,  dengan kekuatan   iman   yang   ada   padanya.  Khadijah,  yang  dulu menghiburnya bila ia mendapat kesedihan, mendapat tekanan  dan yang   menghilangkan  rasa  takut  dalam  hatinya.  Ia  adalah bidadari yang penuh kasih sayang. Pada kedua mata dan bibirnya Muhammad  melihat  arti yang penuh percaya kepadanya, sehingga ia sendiripun tambah  percaya  kepada  dirinya.  Abu  Talibpun meninggal,  orang  yang menjadi pelindung dan perisai terhadap segala tindakan musuh.  Pengaruh  apakah  yang  begitu  sedih, begitu pedih menusuk jiwa Muhammad ‘alaihissalam?! Yang pasti, dua peristiwa itu akan  meninggalkan  luka  parah  dalam  jiwa orang  -  yang  bagaimanapun  kuatnya  – akan menusukkan racun
putus asa kedalam hatinya. Ia akan dikuasai perasaan sedih dan duka,  akan dirundung kepiluan dan akan membuatnya jadi lemah, tak dapat berpikir  lain  diluar  dua  peristiwa  yang  sangat mengharukan itu.
Sesudah  kehilangan  dua  orang  yang  selalu  membelanya  itu Muhammad  melihat  Quraisy  makin  keras  mengganggunya.  Yang paling  ringan diantaranya ialah ketika seorang pandir Quraisy mencegatnya di tengah jalan lalu  menyiramkan  tanah  ke  atas
kepalanya.  Tahukah  orang  apa  yang  dilakukan  Muhammad? Ia pulang ke rumah dengan tanah yang masih diatas kepala. Fatimah puterinya  lalu datang mencucikan tanah yang di kepala itu. Ia membersihkannya sambil  menangis.  Tak  ada  yang  lebih  pilu rasanya  dalam  hati  seorang  ayah dari pada mendengar tangis anaknya,  lebih-lebih  anak  perempuan.   Setitik   air   mata kesedihan  yang  mengalir  dari  kelopak  mata  seorang puteri adalah sepercik api yang  membakar  jantung,  membuatnya  kaku
karena  pilu,  dan  karena pilunya ia akan menangis kesakitan. Juga  secercah  duka  yang  menyelinap  kedalam  hati   adalah rintihan  jiwa  yang  sungguh keras, terasa mencekik leher dan hampir pula menggenangi mata.
Sebenarnya Muhammad adalah seorang ayah yang sungguh bijaksana dan  penuh  kasih  kepada  puteri-puterinya.  Apakah yang kita lihat ia lakukan terhadap tangisan anak  perempuan  yang  baru saja   kehilangan  ibunya  itu?  Yang  menangis  hanya  karena malapetaka yang menimpa ayahnya? Tidak lebih dan semua itu  ia hanya menghadapkan hatinya kepada Allah dengan penuh iman akan segala pertolonganNya.
“Jangan menangis anakku,” katanya kepada puterinya yang sedang berlinang air mata itu. “Tuhan akan melindungi ayahmu.”
Kemudian  diulangnya:  “Sebelum  wafat  Abu  Talib orang-orang Quraisy itu tidak seberapa mengganggu saya.” Sesudah peristiwa itu gangguan Quraisy kepada  Muhammad  makin menjadi-jadi. Ia merasa tertekan sekali.
Sumber :S E J A R A H    H I D U P    M U H A M M A D
oleh MUHAMMAD HUSAIN HAEKAL diterjemahkan dari bahasa Arab oleh Ali Audah
PUSTAKA JAYA Jln. Kramat II, No. 31 A, Jakarta Pusat Cetakan Kelima, 1980