Posted by Drs.H.Mutawalli,M.Pd.I on August 13, 2010
A.Piagam pembaikotan
SELAMA
tiga tahun berturut-turut piagam yang dibuat pihak Quraisy untuk
memboikot Muhammad dan mengepung Muslimin itu tetap berlaku. Dalam
pada itu Muhammad dan keluarga serta sahabat-sahabatnya sudah
mengungsi ke celah-celah gunung di luar kota Mekah, dengan mengalami
pelbagai macam penderitaan, sehingga untuk mendapatkan bahan makanan
sekadar menahan rasa laparpun tidak ada. Baik kepada Muhammad atau
kaum Muslimin tidak diberikan kesempatan bergaul dan bercakap-cakap
dengan orang, kecuali dalam bulan-bulan suci. Pada waktu itu
orang-orang Arab berdatangan ke Mekah berziarah, segala
permusuhan dihentikan - tak ada pembunuhan, tak ada
penganiayaan, tak ada permusuhan, tak ada balas dendam.
Pada bulan-bulan itu Muhammad turun,
mengajak orang-orang Arab itu kepada agama Allah, diberitahukannya
kepada mereka arti pahala dan arti siksa. Segala penderitaan
yang dialami Muhammad demi dakwah itu justru telah menjadi penolongnya
dari kalangan orang banyak. Mereka yang telah mendengar tentang itu
lebih bersimpati kepadanya, lebih suka mereka menerima
ajakannya. Blokade yang dilakukan Quraisy kepadanya, kesabaran dan
ketabahan hatinya memikul semua itu demi risalahnya, telah dapat
memikat hati orang banyak, hati yang tidak begitu membatu, tidak
begitu kaku seperti hati Abu Jahl, Abu Lahab dan yang sebangsanya.
Akan tetapi, penderitaan yang begitu
lama, begitu banyak dialami kaum Muslimin karena kekerasan pihak
Quraisy – padahal mereka masih sekeluarga: saudara, ipar. sepupu
- banyak diantara mereka itu yang merasakan betapa beratnya kekerasan
dan kekejaman yang mereka lakukan itu. Dan sekiranya tidak ada dari
penduduk yang merasa simpati kepada kaum Muslimin, membawakan
makanan ke celah-celah gunung1 tempat mereka mengungsi itu, niscaya
mereka akan mati kelaparan. B.Zuhair dan Hisyam membatalkan piagam Pembaikotan
Dalam hal ini Hisyam ibn ‘Amr
termasuk salah seorang dari kalangan Quraisy yang paling simpati
kepada Muslimin. Tengah malam ia datang membawa unta yang sudah dimuati
makanan atau gandum. Bilamana ia sudah sampai di depan celah gunung
itu, dilepaskannya tali untanya lalu dipacunya supaya terus masuk ke
tempat mereka dalam celah itu. Merasa kesal melihat Muhammad dan
sahabat-sahabatnya dianiaya demikian rupa, ia pergi menemui Zuhair b.
Abi Umayya (Banu Makhzum). Ibu Zuhair ini adalah Atika bint
Abd’l-Muttalib (Banu Hasyim).
“Zuhair,” kata Hisyam “Kau sudi menikmati
makanan, pakaian dan wanita-wanita, padahal, seperti kau ketahui,
keluarga ibumu demikian rupa tidak boleh berhubungan dengan
orang, berjual-beli, tidak boleh saling mengawinkan? Aku bersumpah,
bahwa kalau mereka itu keluargaku dari pihak ibu, keluarga
Abu’l-Hakam ibn Hisyam, lalu aku diajak seperti mengajak kau, tentu
akan kutolak.”
Keduanya kemudian sepakat akan
sama-sama membatalkan piagam itu. Tapi meskipun begitu harus
mendapat dukungan juga dari yang lain, dan secara rahasia mereka
harus diyakinkan. Pendirian kedua orang itu kemudian disetujui oleh
Mut’im b. ‘Adi (Naufal), Abu’l-Bakhtari b. Hisyam dan Zamia
bin’l-Aswad (keduanya dari Asad). Kelima mereka lalu sepakat
akan mengatasi persoalan piagam itu dan akan membatalkannya.
Dengan tujuh kali mengelilingi Ka’bah
keesokannya pagi-pagi Zuhair b. Umayya berseru kepada orang banyak:
“Hai penduduk Mekah! Kamu sekalian enak-enak makan dan berpakaian
padahal Banu Hasyim binasa tidak dapat mengadakan hubungan dagang!
Demi Allah saya tidak akan duduk sebelum piagam yang kejam ini dirobek!”
Tetapi Abu Jahl, begitu mendengar ucapan itu, iapun berteriak: “Bohong!
Tidak akan kita robek!” Saat itu juga terdengar suara-suara Zam’a,
Abu’l-Bakhtari, Mut’im dan ‘Amr ibn Hisyam mendustakan Abu Jahl dan
mendukung Zuhair.
Abu Jahl segera menyadari bahwa
peristiwa ini akan terselesaikan juga malam itu dan orangpun
sudah menyetujui. Kalau dia menentang mereka juga, tentu akan timbul
bencana. Merasa kuatir, lalu cepat-cepat ia pergi. Waktu itu, ketika
Mut’im bersiap akan merobek piagam tersebut, dilihatnya sudah mulai
dimakan rayap, kecuali pada bagian pembukaannya yang berbunyi: “Atas
namaMu ya Allah…”
Dengan demikian terdapat kesempatan
pada Muhammad dan sahabat-sahabat pergi meninggalkan celah bukit
yang curam itu dan kembali ke Mekah. Kesempatan berjual-beli dengan
Quraisy juga terbuka, sekalipun hubungan antara keduanya seperti dulu
juga, masing-masing siap-siaga bila permusuhan itu kelak
sewaktu-waktu memuncak lagi.
Beberapa penulis biografi dalam hal
ini berpendapat, bahwa diantara mereka yang bertindak menghapuskan
piagam itu terdapat orang-orang yang masih menyembah berhala.
Untuk menghindarkan timbulnya bencana, mereka mendatangi Muhammad
dengan permintaan supaya ia mau saling mengulurkan tangan dengan
Quraisy dengan misalnya memberi hormat kepada dewa-dewa mereka
sekalipun cukup hanya dengan jari-jarinya saja dikelilingkan.
Agak cenderung juga hatinya atas usul itu, sebagai pengharapan
atas kebaikan hati mereka. Dalam hatinya seolah ia berkata: “Tidak apa
kalau saya lakukan itu. Allah bahwa saya tetap taat.”
Atau karena mereka yang telah
menghapuskan piagam dan beberapa orang lagi itu, pada suatu malam
mengadakan pertemuan dengan Muhammad sampai pagi. Dalam
perbicaraan itu mereka sangat menghormatinya, menempatkannya sebagai
yang dipertuan atas mereka, mengajaknya kompromi, seraya kata mereka:
“Tuan adalah pemimpin kami …”
Sementara mereka masih mengajaknya
bicara itu, sampai-sampai hampir saja ia mengalah atas beberapa hal
menurut kehendak mereka. Ini adalah dua sumber hadis, yang pertama
sebagian diceritakan oleh Sa’id b. Jubair, sedang yang kedua
olehQatada. Kata mereka kemudian Allah melindungi Muhammad dari
kesalahan, dengan firmanNya:
“Dan hampir-hampir saja
mereka itu menggoda kau tentang yang Sudah Kami wahyukan kepadamu,
supaya engkau mau atas nama Kami memalsukan dengan yang lain. Ketika
itulah mereka mengambil engkau menjadi kawan mereka. Dan kalaupun
tidak Kami tabahkan hatimu, niscaya engkau hampir cenderung juga
kepada mereka barang sedikit. Dalam hal ini, akan Kami timpakan
kepadamu hukuman berlipat ganda, dalam hidup dan mati. Selanjutnya
engkau tiada mempunyai penolong menghadapi Kami.” (Qur’an, 17: 73-75)
Ayat-ayat ini turun - menurut dugaan mereka yang membawa cerita gharaniq – sehubungan dengan cerita bohong itu seperti yang sudah kita lihat. Sedang kedua ahli hadis ini menghubungkannya pada cerita pembatalan piagam. Sebaliknya menurut hadis ‘Ata, lewat Ibn ‘Abbas, ayat-ayat ini turun sehubungan dengan delegasi Thaqif, yang datang meminta kepada Muhammad supaya lembah mereka dianggap suci seperti pohon, burung dan binatang di Mekah. Dalam hal ini Nabi a.s. masih maju-mundur sebelum ayat-ayat tersebut turun.
Apapun juga yang sebenarnya terjadi,
terhadap peristiwa yang menyebabkan turunnya ayat-ayat itu
sumber-sumber tersebut tidak berbeda, yaitu melukiskan salah satu segi
kebesaran jiwa Muhammad, di samping kejujuran dan keikhlasannya dengan
suatu lukisan yang sungguh kuat sekali. Segi ini yang juga
dilukiskan oleh ayat-ayat yang sudah kita kutipkan dari Surah
“Abasa” (80) dan pula seluruh
sejarah kehidupan Muhammad membuktikannya pula. Secara terus-terang
dikatakan, bahwa dia adalah manusia biasa seperti yang lain, tapi
yang telah mendapat wahyu Tuhan guna memberikan bimbingan, dan bahwa
dia, sebagai manusia biasa, tidak luput dari kesalahan kalau tidak
karena mendapat perlindungan Tuhan. Ia telah bersalah ketika bermuka
masam dan berpaling dari Ibn Umm Maktum, dan hamper pula salah
sehubungan dengan turunnya Surah “Isra” (17), juga hampir pula ia
tergoda tentang apa yang telah diwahyukan kepadanya untuk
dipalsukan dengan yang lain.
Apabila wahyu turun kepadanya
memberi peringatan atas perbuatannya terhadap orang buta itu, dan
terhadap godaan Quraisy yang hampir menjerumuskannya, maka
kejujurannya dalam menyampaikan wahyu itu kepada orang sama pula
seperti ketika menyampaikan amanat Tuhan itu. Tak ada sesuatu
yang akan menghalanginya ia menyatakan apa yang sebenarnya tentang
dirinya itu. Tak ada sikap sombong dan congkak, tidak ada rasa tinggi
hati.
Jadi kebenaranlah, dan hanya kebenaran
semata yang ada dalam risalahnya itu. Apabila dalam menanggung
siksaan orang lain demi idea yang diyakininya, orang yang berjiwa
besar masih sanggup memikulnya, maka pengakuan orang besar itu bahwa
ia hampir-hampir tergoda, tidaklah menjadi kebiasaan, sekalipun oleh
orang-orang besar sendiri. Hal-hal semacam itu biasanya oleh mereka
disembunyikan dan yang diperhitungkan hanya harga dirinya, meskipun
dengan susah payah. Inilah kebesaran yang tak ada taranya, lebih
besar dari orang besar. Itulah sebenarnya kebesaran jiwa yang
dapat memperlihatkan kebenaran secara keseluruhan. Itulah yang juga
lebih luhur dari segala kebesaran, dan lebih besar dari segala yang
besar, yakni sifat kenabian yang menyertai Rasul itu dengan segala
keikhlasan dan kejujurannya meneruskan Risalah Kebenaran Tertinggi.
Sesudah piagam disobek, Muhammad dan
pengikut-pengikutnyapun keluar dari lembah bukit-bukit itu. Seruannya
dikumandangkan lagi kepada penduduk Mekah dan kepada kabilah-kabilah
yang pada bulan-bulan suci itu datang berziarah ke Mekah. Meskipun
ajakan Muhammad sudah tersiar kepada seluruh kabilah Arab di samping
banyaknya mereka yang sudah menjadi pengikutnya, tapi sahabat-sahabat
itu tidak selamat dari siksaan Quraisy, juga dia tidak dapat
mencegahnya.
Beberapa bulan kemudian sesudah
penghapusan piagam itu, secara tiba-tiba sekali dalam satu tahun
saja Muhammad mengalami dukacita yang sangat menekan perasaan, yakni
kematian Abu Talib dan Khadijah secara berturut-turut. Waktu itu Abu
Talib sudah berusia delapanpuluh tahun lebih. Setelah Quraisy
mengetahui ia dalam keadaan sakit yang akan merupakan akhir hayatnya,
mereka merasa kuatir apa yang akan terjadi nanti antara mereka
dengan Muhammad dan sahabat-sahabatnya. Apalagi sesudah ada Hamzah dan
Umar yang terkenal garang dan keras.
Karena itu pemuka-pemuka Quraisy segera
mendatangi Abu Talib, untuk kemudian mengatakan: “Abu Talib, seperti kau
ketahui, kau adalah dari keluarga kami juga. Keadaan sekarang
seperti kau ketahui sendiri, sangat mencemaskan kami. Engkau juga
sudah mengetahui keadaan kami dengan kemenakanmu itu. Panggillah
dia. Kami akan saling memberi dan saling menerima. Dia angkat
tangan dari kami, kamipun akan demikian. Biarlah kami dengan agama
kami dan dia dengan agamanya sendiri pula.”
Muhammad datang tatkala mereka masih
berada di tempat pamannya itu. Setelah diketahuinya maksud
kedatangan mereka, iapun berkata:
“Sepatah kata saja saya minta, yang
akan membuat mereka merajai semua orang Arab dan bukan Arab.” “Ya,
demi bapamu,” jawab Abu Jahl. “Sepuluh kata sekalipun
silakan!”
Kata Muhammad: “Katakan, tak ada
tuhan selain Allah, dan tinggalkan segala penyembahan yang selain
Allah.” “Muhammad, maksudmu supaya tuhan-tuhan itu dijadikan satu
Tuhan saja?” kata mereka. Kemudian mereka berkata satu sama lain: “Orang
ini tidak akan memberikan apa-apa seperti yang kamu kehendaki.
Pergilah
kalian!”
C.Wafat nya Abu Talib dan Khodijah
Ketika Abu Talib meninggal hubungan
Muhammad dengan pihak Quraisy lebih buruk lagi dari yang sudah-sudah.
Dan sesudah Abu Talib, disusul pula dengan kematian Khadijah, Khadijah
yang menjadi sandaran Muhammad, Khadijah yang telah
mencurahkan segala rasa cinta dan
kesetiaannya, dengan perasaan yang lemah-lembut, dengan hati yang
bersih, dengan kekuatan iman yang ada padanya. Khadijah,
yang dulu menghiburnya bila ia mendapat kesedihan, mendapat tekanan
dan yang menghilangkan rasa takut dalam hatinya. Ia adalah
bidadari yang penuh kasih sayang. Pada kedua mata dan bibirnya Muhammad
melihat arti yang penuh percaya kepadanya, sehingga ia sendiripun
tambah percaya kepada dirinya. Abu Talibpun meninggal, orang yang
menjadi pelindung dan perisai terhadap segala tindakan musuh.
Pengaruh apakah yang begitu sedih, begitu pedih menusuk jiwa
Muhammad ‘alaihissalam?! Yang pasti, dua peristiwa itu akan
meninggalkan luka parah dalam jiwa orang - yang bagaimanapun
kuatnya – akan menusukkan racun
putus asa kedalam hatinya. Ia akan
dikuasai perasaan sedih dan duka, akan dirundung kepiluan dan akan
membuatnya jadi lemah, tak dapat berpikir lain diluar dua peristiwa
yang sangat mengharukan itu.
Sesudah kehilangan dua orang yang
selalu membelanya itu Muhammad melihat Quraisy makin keras
mengganggunya. Yang paling ringan diantaranya ialah ketika seorang
pandir Quraisy mencegatnya di tengah jalan lalu menyiramkan tanah ke
atas
kepalanya. Tahukah orang apa yang
dilakukan Muhammad? Ia pulang ke rumah dengan tanah yang masih diatas
kepala. Fatimah puterinya lalu datang mencucikan tanah yang di kepala
itu. Ia membersihkannya sambil menangis. Tak ada yang lebih pilu
rasanya dalam hati seorang ayah dari pada mendengar tangis anaknya,
lebih-lebih anak perempuan. Setitik air mata kesedihan yang
mengalir dari kelopak mata seorang puteri adalah sepercik api yang
membakar jantung, membuatnya kaku
karena pilu, dan karena pilunya ia
akan menangis kesakitan. Juga secercah duka yang menyelinap
kedalam hati adalah rintihan jiwa yang sungguh keras, terasa
mencekik leher dan hampir pula menggenangi mata.
Sebenarnya Muhammad adalah seorang ayah
yang sungguh bijaksana dan penuh kasih kepada puteri-puterinya.
Apakah yang kita lihat ia lakukan terhadap tangisan anak perempuan
yang baru saja kehilangan ibunya itu? Yang menangis hanya
karena malapetaka yang menimpa ayahnya? Tidak lebih dan semua itu ia
hanya menghadapkan hatinya kepada Allah dengan penuh iman akan segala
pertolonganNya.
“Jangan menangis anakku,” katanya kepada puterinya yang sedang berlinang air mata itu. “Tuhan akan melindungi ayahmu.”
Kemudian diulangnya: “Sebelum wafat
Abu Talib orang-orang Quraisy itu tidak seberapa mengganggu saya.”
Sesudah peristiwa itu gangguan Quraisy kepada Muhammad makin
menjadi-jadi. Ia merasa tertekan sekali.
Sumber :S E J A R A H H I D U P M U H A M M A D
oleh MUHAMMAD HUSAIN HAEKAL diterjemahkan dari bahasa Arab oleh Ali Audah
PUSTAKA JAYA Jln. Kramat II, No. 31 A, Jakarta Pusat Cetakan Kelima, 1980