Posted by Drs.H.Mutawalli, M.Pd.I on August 13, 2010
A. Perjalanan ke Taif.
Terasing
seorang diri, ia pergi ke Ta’if,2 dengan tiada orang yang
mengetahuinya. Ia pergi ingin mendapatkan dukungan dan suaka dari
Thaqif terhadap masyarakatnya sendiri, dengan harapan merekapun akan
dapat menerima Islam. Tetapi ternyata mereka juga menolaknya
secara kejam sekali. Kalaupun sudah begitu, ia masih mengharapkan
mereka jangan memberitahukan kedatangannya minta pertolongan itu,
supaya jangan ia disoraki oleh masyarakatnya sendiri. Tetapi
permintaannya itupun tidak didengar. Bahkan mereka menghasut
orang-orang pandir agar bersorak-sorai dan memakinya.
B. Rintihan Do’a Rasul ditengah ke galauan
Ia pergi lagi dari sana, berlindung
pada sebuah kebun kepunyaan ‘Utba dan Syaiba anak-anak Rabi’a.
Orang-orang yang pandir itu kembali pulang. Ia lalu duduk di bawah
naungan pohon anggur. Ketika itu keluarga Rabi’a sedang
memperhatikannya dan melihat pula kemalangan yang dideritanya. Sesudah
agak reda, ia mengangkat kepala menengadah ke atas, ia hanyut dalam
suatu doa yang berisi pengaduan yang sangat mengharukan:
“اللهم إليك أشكو ضعف بلدي وكذلك ، فإن عدم
القدرة فضلا عن نفسي في مواجهة لؤم الإنسان. اللهم الرحمن الرحيم ، ولكن
تقومون به من أجل حماية الضعفاء ، وأنت الفن حامي بلادي. لمن كنت ترك لي؟
إلى الناس الذين يواجهون الان الكئيبة في وجهي ، أو إلى عدو سيسيطر على
مشاعري؟ ما دمت لا غضب لي ، لا يهمني ، لأنه يمنح على نطاق واسع انت متعة
لي. أعوذ وجهك ضوء ساطع على الظلام ، وبالتالي تحقيق الخير للعالم والآخرة —
سيكون من غضبك حقت لكم على لي. يحق لك الحصول على توبيخ حتى لارضاء لكم.
وليس هناك جهد غير معكم أيضا “.
“Allahumma yang Allah,
kepadaMu juga aku mengadukan kelemahanku, kurangnya kemampuanku
serta kehinaan diriku di hadapan manusia. O Tuhan Maha
Pengasih, Maha Penyayang. Engkaulah yang melindungi si lemah, dan
Engkaulah Pelindungku. Kepada siapa hendak Kauserahkan daku?
Kepada orang yang jauhkah yang berwajah muram kepadaku, atau kepada
musuh yang akan menguasai diriku? Asalkan Engkau tidak murka
kepadaku, aku tidak peduli, sebab sungguh luas kenikmatan yang
Kaulimpahkan kepadaku. Aku berlindung kepada Nur Wajah-Mu yang
menyinari kegelapan, dan karenanya membawakan kebaikan bagi dunia dan
akhirat – daripada kemurkaanMu yang akan Kautimpakan kepadaku.
Engkaulah yang berhak menegur hingga berkenan pada-Mu. Dan tiada
daya upaya selain dengan Engkau juga.”3
C.Menerima Anggur dari Rabi’ah yang diantar Adas budak Nasrani
Dalam memperhatikan keadaan itu hati kedua orang anak Rabi’a itu merasa tersentak. Mereka merasa iba dan kasihan melihat nasib buruk yang dialaminya itu. Budak mereka, seorang beragama Nasrani bernama ‘Addas, diutus kepadanya membawakan buah anggur dari kebun itu. Sambil meletakkan tangan di atas buah-buahan itu Muhammad berkata: “Bismillah!” Lalu buah itu dimakannya. ‘Addas memandangnya keheranan. “Kata-kata ini tak pernah diucapkan oleh penduduk negeri ini,“ kata ‘Addas.
Lalu Muhammad menanyakan negeri asal
dan agama orang itu. Setelah diketahui bahwa orang tersebut
beragama Nasrani dari Nineveh, katanya: “Dari negeri orang baik-baik, Yunus anak Matta.” “Dari mana tuan kenal nama Yunus anak Matta!” tanya ‘Addas.
“Dia saudaraku. Dia seorang nabi, dan aku juga Nabi,” jawab Muhammad.
Saat itu ‘Addas lalu membungkuk
mencium kepala, tangan dan kaki Muhammad. Sudah tentu kejadian ini
menimbulkan keheranan keluarga Rabi’a yang melihatnya. Sungguhpun
begitu mereka tidak sampai akan meninggalkan kepercayaan mereka. Dan
tatkala ‘Addas sudah kembali mereka berkata:
“‘Addas, jangan sampai orang itu memalingkan kau dari agamamu, yang masih lebih baik daripada agamanya.”
Gangguan orang yang pernah dialami
Muhammad seolah dapat meringankan perbuatan buruk yang
dilakukan Thaqif itu, meskipun mereka tetap kaku tidak mau
mengikutinya. Keadaan itu sudah diketahui pula oleh Quraisy sehingga
gangguan mereka kepada Muhammad makin menjadi-jadi. Tetapi hal
ini tidak mengurangi kemauan Muhammad menyampaikan dakwah Islam.
Kepada kabilah-kabilah Arab pada musim ziarah, itu ia memperkenalkan
diri, mengajak mereka mengenal arti kebenaran.
Diberitahukannya kepada mereka, bahwa
ia adalah Nabi yang diutus, dan dimintanya mereka mempercayainya.
Namun sungguhpun begitu, Abu Lahab pamannya tidak
membiarkannya, bahkan dibuntutinya ke mana ia pergi.
Dihasutnya orang supaya jangan mau mendengarkan.
Muhammad sendiri tidak cukup hanya
memperkenalkan diri kepada kabilah-kabilah Arab pada musim ziarah di
Mekah saja, bahkan ia mendatangi Banu Kinda4 ke rumah-rumah mereka,
mendatangi Banu Kalb,5 juga ke rumah-rumah mereka, Banu Hanifa6 dan
Banu ‘Amir bin Sha’sha’a.7 Tapi tak seorangpun dari mereka yang mau
mendengarkan. Banu Hanifa bahkan menolak dengan cara yang buruk
sekali. Sedang Banu ‘Amir menunjukkan ambisinya, bahwa kalau Muhammad
mendapat kemenangan, maka sebagai penggantinya, segala persoalan nanti
harus berada di tangan mereka. Tetapi setelah dijawab, bahwa masalah
itu berada di tangan Tuhan,
merekapun lalu membuang muka dan menolaknya seperti yang lain-lain.
Adakah kegigihan kabilah-kabilah yang
mengadakan oposisi terhadap Muhammad itu karena sebab-sebab yang
sama seperti yang dilakukan oleh Quraisy? Kita sudah melihat, bahwa
Banu ‘Amir ini mempunyai ambisi ingin memegang kekuasaan bila
bersama-sama mereka nanti ia mendapat
kemenangan. Sebaliknya kabilah Thaqif pandangannya lain lagi.
Ta’if di samping sebagai tempat musim panas bagi penduduk Mekah karena
udaranya yang sejuk dan buah anggurnya yang manis-manis, juga kota ini
merupakan pusat tempat penyembahan Lat. Ke tempat itu orang
berziarah dan menyembah berhala. Kalau Thaqif ini sampai menjadi
pengikut Muhammad, maka kedudukan Lat akan hilang. Permusuhan
mereka dengan Quraisypun akan timbul, yang sudah tentu akibatnya akan
mempengaruhi perekonomian mereka pada musim dingin. Begitu juga
halnya dengan yang lain, setiap kabilah mempunyai penyakit sendiri
yang disebabkan oleh keadaan perekonomian setempat. Dalam
menentang Islam itu, pengaruh ini lebih besar terhadap mereka
daripada pengaruh kepercayaan mereka dan kepercayaan
nenek-moyang mereka, termasuk penyembahan berhala-berhala.
Makin besar oposisi yang dilakukan
kabilah-kabilah itu, Muhammad makin mau menyendiri. Makin gigih
pihak Quraisy melakukan gangguan kepada sahabat-sahabatnya, makin
pula ia merasakan pedihnya.
Masa berkabung terhadap Khadijah
itupun sudah pula berlalu. Terpikir olehnya akan beristeri,
kalau-kalau isterinya itu kelak akan dapat juga menghiburnya, dapat
mengobati luka dalam hatinya, seperti dilakukan Khadijah dulu. Tetapi
dalam hal ini ia melihat pertaliannya dengan orang-orang Islam
yang mula-mula itu harus makin dekat dan perlu dipererat lagi. Itu
sebabnya ia segera melamar puteri Abu Bakr, Aisyah. Oleh karena
waktu itu ia masih gadis kecil yang baru berusia tujuh tahun, maka
yang sudah dilangsungkan baru akad nikah, sedang perkawinan berlangsung
dua tahun kemudian, ketika usianya mencapai sembilan tahun.
Sementara itu ia kawin pula dengan
Sauda, seorang janda yang suaminya pernah ikut mengungsi ke
Abisinia dan kemudian meninggal setelah kembali ke Mekah. Saya rasa
pembacapun akan dapat menangkap arti kedua ikatan ini. Arti
pertalian
perkawinan dan semenda yang dilakukan oleh Muhammad itu, nanti akan lebih jelas.
D. Peristiwa Israk dan Mikraj
Pada masa itulah Isra’ dan Mi’raj
terjadi. Malam itu Muhammad sedang berada di rumah saudara
sepupunya, Hindun puteri Abu Talib yang mendapat nama panggilan Umm
Hani’. Ketika itu Hindun mengatakan:
“Malam itu Rasulullah bermalam di
rumah saya. Selesai salat akhir malam, ia tidur dan kamipun tidur.
Pada waktu sebelum fajar Rasulullah sudah membangunkan kami.
Sesudah melakukan ibadat pagi bersama-sama kami, ia berkata: ‘Umm
Hani’, saya sudah salat akhir malam bersama kamu sekalian seperti
yang kaulihat di lembah ini. Kemudian saya ke Bait’l-Maqdis
(Yerusalem) dan bersembahyang di sana. Sekarang saya
sembahyang siang bersama-sama kamu seperti kaulihat.”
Kataku: “Rasulullah, janganlah
menceritakan ini kepada orang lain. Orang akan mendustakan dan
mengganggumu lagi!” “Tapi harus saya ceritakan kepada mereka,” jawabnya.
Orang yang mengatakan, bahwa Isra’
dan Mi’raj Muhammad ‘alaihissalam dengan ruh itu berpegang kepada
keterangan Umm Hani’ ini, dan juga kepada yang pernah dikatakan oleh
Aisyah: “Jasad Rasulullah s.a.w. tidak hilang, tetapi Allah menjadikan
isra’8 itu dengan ruhnya.” Juga Mu’awiya b. Abi Sufyan ketika ditanya
tentang isra’ Rasul menyatakan: Itu adalah mimpi yang benar dari
Tuhan. Di samping semua itu orang berpegang kepada firman Tuhan: “Tidak
lain mimpi yang Kami perlihatkan kepadamu adalah sebagai ujian bagi
manusia.” (Qur’an, 17:60)
Sebaliknya orang yang berpendapat,
bahwa isra’ dari Mekah ke Bait’l-Maqdis itu dengan jasad, landasannya
ialah apa yang pernah dikatakan oleh Muhammad, bahwa dalam isra’
itu ia berada di pedalaman, seperti yang akan disebutkan ceritanya
nanti. Sedang mi’raj ke langit adalah dengan ruh. Disamping mereka
itu ada lagi pendapat bahwa isra’ dan mi’raj itu keduanya dengan
jasad. Polemik sekitar perbedaan pendapat ini di kalangan ahli-ahli
iImu kalam banyak sekali dan ribuan pula
tulisan-tulisan sudah dikemukakan
orang. Sekitar arti isra’ ini kami sendiri sudah mempunyai pendapat
yang ingin kami kemukakan juga. Kita belum mengetahui, sudah adakah
orang yang mengemukakannya sebelum kita, atau belum. Tetapi,
sebelum pendapat ini kita kemukakan – dan supaya dapat kita kemukakan –
perlu sekali kita menyampaikan kisah isra, dan mi’raj ini seperti
yang terdapat dalam buku-buku sejarah hidup Nabi.
Dengan indah sekali Dermenghem
melukiskan kisah ini yang disarikannya dari pelbagai buku sejarah
hidup Nabi, yang terjemahannya sebagai berikut:
“Pada tengah malam yang sunyi
dan hening, burung-burung malampun diam membisu, binatang-binatang
buas sudah berdiam diri, gemercik air dan siulan angin juga sudah
tak terdengar lagi, ketika itu Muhammad terbangun oleh suara
yang
memanggilnya: “Hai orang yang sedang
tidur, bangunlah!” Dan bila ia bangun, dihadapannya sudah berdiri
Malaikat Jibril dengan wajah yang putih berseri dan berkilauan seperti
salju, melepaskan rambutnya yang pirang terurai, dengan mengenakan
pakaian berumbaikan mutiara dan emas. Dan dari sekelilingnya
sayap-sayap yang beraneka warna bergeleparan. Tangannya memegang
seekor hewan yang ajaib, yaitu buraq yang bersayap seperti sayap
garuda. Hewan itu membungkuk di hadapan Rasul, dan Rasulpun naik.
“Maka meluncurlah buraq itu seperti
anak panah membubung di atas pegunungan Mekah, di atas pasir-pasir
sahara menuju arah ke utara. Dalam perjalanan itu ia ditemani oleh
malaikat. Lalu berhenti di gunung Sinai di tempat Tuhan berbicara
dengan Musa. Kemudian berhenti lagi di Bethlehem tempat Isa
dilahirkan. Sesudah itu kemudian meluncur di udara.
“Sementara itu ada suara-suara misterius
mencoba menghentikan Nabi, orang yang begitu ikhlas menjalankan
risalahnya. Ia melihat, bahwa hanya Tuhanlah yang dapat menghentikan
hewan itu di mana saja dikehendakiNya.
“Seterusnya mereka sampai ke
Bait’l-Maqdis. Muhammad mengikatkan hewan kendaraannya itu. Di
puing-puing kuil Sulaiman ia bersembahyang bersama-sama Ibrahim, Musa
dan Isa. Kemudian dibawakan tangga, yang lalu dipancangkan diatas batu
Ya’qub. Dengan tangga itu Muhammad cepat-cepat naik ke langit.
“Langit pertama terbuat dari
perak murni dengan bintang-bintang yang digantungkan dengan
rantai-rantai emas. Tiap langit itu dijaga oleh malaikat, supaya
jangan ada setan-setan yang bisa naik ke atas atau akan ada jin yang
akan
mendengarkan rahasia-rahasia langit. Di
langit inilah Muhammad memberi hormat kepada Adam. Di tempat ini pula
semua makhluk memuja dan memuji Tuhan. Pada keenam langit
berikutnya
Muhammad bertemu dengan Nuh, Harun,
Musa, Ibrahim, Daud, Sulaiman, Idris, Yahya dan Isa. Juga di tempat
itu ia melihat Malaikat maut Izrail, yang karena besarnya jarak antara
kedua matanya adalah sejauh tujuh ribu hari perjalanan. Dan karena
kekuasaanNya, maka yang berada di bawah perintahnya adalah seratus
ribu kelompok. Ia sedang mencatat nama-nama mereka yang lahir dan
mereka yang mati, dalam sebuah buku besar. Ia melihat juga Malaikat
Airmata, yang menangis karena dosa-dosa orang, Malaikat Dendam yang
berwajah tembaga yang menguasai anasir api dan sedang duduk di atas
singgasana dari nyala api.
Dan dilihatnya juga ada malaikat yang
besar luar biasa, separo dari api dan separo lagi dari salju,
dikelilingi oleh malaikat-malaikat yang merupakan kelompok yang tiada
hentinya menyebut-nyebut nama Tuhan: O Tuhan, Engkau telah menyatukan
salju dengan api, telah menyatukan semua hambaMu setia menurut ketentuan
Mu.
“Langit ketujuh adalah tempat
orang-orang yang adil, dengan malaikat yang lebih besar dari bumi
ini seluruhnya. Ia mempunyai tujuhpuluh ribu kepala, tiap kepala
tujuhpuluh ribu mulut, tiap mulut tujuhpuluh ribu lidah, tiap lidah
dapat berbicara dalam tujuh puluh ribu bahasa, tiap bahasa dengan
tujuhpuluh ribu dialek. Semua itu memuja dan memuji serta
mengkuduskan Tuhan.
“Sementara ia sedang merenungkan
makhluk-makhluk ajaib itu, tiba-tiba ia membubung lagi sampai di
Sidrat’l-Muntaha yang terletak di sebelah kanan ‘Arsy, menaungi
berjuta-juta ruh malaikat. Sesudah melangkah, tidak sampai sekejap
matapun ia sudah menyeberangi lautan-lautan yang begitu luas
dan daerah-daerah cahaya yang terang-benderang, lalu bagian yang
gelap gulita disertai berjuta juta tabir kegelapan, api, air, udara dan
angkasa. Tiap macam dipisahkan oleh jarak 500 tahun perjalanan. Ia
melintasi tabir-tabir keindahan, kesempurnaan, rahasia, keagungan dan
kesatuan. Dibalik itu terdapat tujuhpuluh ribu kelompok malaikat
yang bersujud tidak bergerak dan tidak pula diperkenankan meninggalkan
tempat.
“Kemudian terasa lagi ia membubung ke
atas ke tempat Yang Maha Tinggi. Terpesona sekali ia. Tiba-tiba bumi dan
langit menjadi satu, hampir-hampir tak dapat lagi ia melihatnya,
seolah-olah sudah hilang tertelan. Keduanya tampak hanya
sebesar
biji-bijian di tengah-tengah ladang yang membentang luas.
“Begitu seharusnya manusia itu, di
hadapan Raja semesta alam. “Kemudian lagi ia sudah berada di hadapan
‘Arsy, sudah dekat sekali. Ia sudah dapat melihat Tuhan dengan
persepsinya, dan melihat segalanya yang tidak dapat dilukiskan dengan
lidah, di luar jangkauan otak manusia akan dapat menangkapnya. Maha
Agung Tuhan mengulurkan kasih saying-Nya di dada Muhammad dan yang
sebelah lagi di bahunya. Ketika itu Nabi merasakan kesejukan di
tulang punggungnya. Kemudian rasa tenang, damai, lalu fana di hadapan
Tuhan yang terasa membawa kenikmatan.
“Sesudah berbicara… Tuhan memerintahkan
hambaNya itu supaya setiap Muslim setiap hari sembahyang limapuluh
kali. Begitu Muhammad kembali turun dari langit, ia bertemu dengan
Musa. Musa berkata kepadanya: ”Bagaimana kauharapkan
pengikut-pengikutmu akan dapat melakukan salat limapuluh kali
tiap hari? Sebelum engkau aku sudah punya pengalaman, sudah kucoba
terhadap anak-anak Israil sejauh yang dapat kulakukan. Percayalah
dan kembali kepada Tuhan, minta supaya dikurangi jumlah sembahyang itu.
“Muhammadpun kembali. Jumlah sembahyang
juga lalu dikurangi menjadi empatpuluh. Tetapi Musa menganggap itu
masih di luar kemampuan orang. Disuruhnya lagi Nabi penggantinya
itu berkali-kali kembali kepada Tuhan sehingga berakhir dengan
ketentuan yang lima kali.
“Sekarang Jibril membawa Nabi
mengunjungi surga yang sudah disediakan sesudah hari kebangkitan,
bagi mereka yang teguh iman. Kemudian Muhammad kembali dengan tangga
itu ke bumi.
Buraqpun dilepaskan. Lalu ia kembali dari Bait’l-Maqdis ke Mekah naik hewan bersayap.”
Sumber : S E J A R A H H I D U P M U H A M M A D
oleh MUHAMMAD HUSAIN HAEKAL diterjemahkan dari bahasa Arab oleh Ali Audah
Penerbit PUSTAKA JAYA Jln. Kramat II, No. 31 A, Jakarta Pusat Cetakan Kelima, 1980