Minggu, 10 Maret 2013

Nabi Muhammad mempunyai isteri satu, usia senja berpoligami mengapa?(bag.III)


Posted by Drs.H.Mutawalli,M.Pd.I   on September 22, 2010
A. Pernikahan Zainab bt Jahsy dengan Zaid untuk menghilangkan Perbedaan disebabkan keturunan Oleh Islam dan sekaligus kedudukan anak angkat.
 
Dan apakah yang ialah dicatat oleh sejarah? Sejarah mencatat bahwa Muhammad telah melamar Zainab anak  bibinya  itu  buat Zaid  bekas  budaknya.  Abdullah  b.  Jahsy  saudara  Zainab menolak, kalau saudara perempuannya sebagai orang dari  suku Quraisy  dan  keluarga  Hasyim pula, di samping itu semua ia masih sepupu Rasul dari  pihak  ibu  akan  berada  di  bawah seorang   budak   belian  yang  dibeli  oleh  Khadijah  lalu dimerdekakan oleh Muhammad. Hal ini dianggap  sebagai  suatu aib  besar  buat  Zainab. Dan memang benar sekali hal ini di kalangan Arab  ketika itu merupakan  suatu  aib  yang  besar sekali.  Memang  tidak  ada  gadis-gadis kaum bangsawan yang terhormat akan kawin dengan bekas-bekas budak sekalipun yang sudah    dimerdekakan.   Tetapi   Muhammad   justeru   ingin menghilangkan segala macam pertimbangan yang masih  berkuasa dalam  jiwa mereka hanya atas dasar ashabia (fanatisma) itu. Ia ingin supaya orang mengerti bahwa orang Arab tidak  lebih tinggi dari yang bukan Arab, kecuali dengan takwa.
Bahwa   orang  yang  paling  mulia  di  antara  kamu  dalam pandangan Tuhan ialah orang yang lebih  bertakwa.”  (Qur’an, 49:13)

Sungguhpun begitu ia merasa tidak perlu memaksa wanita lain untuk itu di luar keluarganya. Biarlah Zainab bt. Jahsy, sepupunya sendiri  itu  juga  yang  menanggung, yang karena telah meninggalkan tradisi  dan  menghancurkan  adat-lembaga Arab,  menjadi  sasaran  buah  mulut  orang tentang dirinya, suatu hal yang memang tidak ingin didengarnya. Juga  biarlah Zaid, bekas budaknya yang dijadikannya anak angkat, dan yang menurut hukum  adat  dan  tradisi  Arab  orang  yang  berhak menerima  waris  sama  seperti anak-anaknya sendiri itu, dia juga yang mengawininya. Maka  dia  pun bersedia berkorban, karena  sudah  ditentukan  oleh  Tuhan bagi anak-anak angkat yang sudah dijadikan anaknya  itu.   Biarlah   Muhammad memperlihatkan  desakannya  itu supaya Zainab dan saudaranya Abdullah b. Jahsy juga mau menerima Zaid sebagai suami.  Dan untuk itu biarlah firman Tuhan juga yang datang:
Bagi  laki-laki dan wanita yang beriman, bilamana Allah dan RasulNya telah  menetapkan  suatu  ketentuan,  mereka  tidak boleh mengambil kemauan sendiri dalam urusan mereka itu. Dan barangsiapa tidak mematuhi Allah dan RasulNya, mereka  telah melakukan kesesatan yang nyata sekali.” (Qur’an, 33:36)
Setelah  turun ayat ini tak ada jalan lain buat Abdullah dan Zainab  saudaranya,  selain  harus  tunduk  menerima.  “Kami menerima,  Rasulullah,”  kata  mereka.  Lalu Zaid dikawinkan kepada Zainab setelah mas-kawinnya  oleh  Nabi  disampaikan.
Dan  sesudah  Zainab menjadi isteri, ternyata ia tidak mudah dikendalikan  dan  tidak  mau  tunduk. Malah  ia   banyak mengganggu  Zaid.  Ia  membanggakan diri kepadanya dari segi keturunan dan bahwa dia katanya tidak mau  ditundukkan  oleh seorang budak.
Sikap Zainab yang tidak baik kepadanya itu tidak jarang oleh Zaid diadukan kepada Nabi, dan bukan sekali saja ia  meminta ijin    kepadanya   hendak   menceraikannya.   Tetapi   Nabi menjawabnya: “Jaga baik-baik  isterimu,  jangan  diceraikan. Hendaklah engkau takut kepada Allah.” Tetapi  Zaid  tidak  tahan  lama-lama  bergaul dengan Zainab serta   sikapnya yang   angkuh   kepadanya    itu.    Lalu diceraikannya.
Kehendak Tuhan juga kiranya yang mau menghapuskan melekatnya hubungan  anak  angkat  dengan  keluarga  bersangkutan   dan asal-usul  keluarga  itu,  yang  selama  itu  menjadi anutan masyarakat Arab, juga  pemberian  segala  hak  anak  kandung kepada  anak angkat, segala pelaksanaan hukum termasuk hokum waris dan nasab, dan supaya anak  angkat  dan  pengikut  itu hanya  mempunyai  hak  sebagai  pengikut dan sebagai saudara seagama. Demikian firman Tuhan turun:
Dan tiada pula Ia menjadikan anak-anak angkat kamu  menjadi anak-anak  kamu.  Itu hanya kata-kata kamu dengan mulut kamu saja. Tuhan mengatakan yang sebenarnya dan  Dia  menunjukkan jalan yang benar.” (Qur’an, 33:4)
Ini  berarti  bahwa  anak  angkat  boleh  kawin dengan bekas isteri bapa angkatnya, dan bapa  boleh  kawin  dengan  bekas isteri anak angkatnya. Tetapi bagaimana caranya melaksanakan ini? Siapa pula dari kalangan  Arab  yang  dapat  membongkar adat-istiadat yang sudah turun-temurun itu. Muhammad sendiri kendatipun dengan kemauannya yang  sudah  begitu  keras  dan memahami  benar arti perintah Tuhan itu, masih merasa kurang mampu melaksanakan  ketentuan  itu  dengan  jalan  mengawini Zainab  setelah  diceraikan oleh Zaid, masih terlintas dalam pikirannya apa yang kira-kira akan dikatakan orang, karena dia  telah  mendobrak  adat lapuk yang sudah berurat berakar dalam jiwa masyarakat  Arab  itu.  Itulah  yang  dikehendaki Tuhan dalam firmanNya:
Dan  engkau  menyembunyikan  sesuatu dalam hatimu yang oleh Tuhan sudah diterangkan. Engkau takut kepada manusia padahal hanya Allah yang lebih patut kautakuti.” (Qur’an, 33:37)
Akan  tetapi  Muhammad adalah suri-teladan dalam segala hal, yang oleh Tuhan telah  diperintahkan  dan  telah  dibebankan kepadanya  supaya  disampaikan  kepada  umat  manusia.Tidak takut ia  apa  yang  akan   dikatakan   orang   dalam   hal perkawinannya dengan isteri bekas budaknya itu. Takut kepada manusia tak ada artinya dibandingkan dengan takutnya  kepada Tuhan  dalam  melaksanakan  segala  perintahNya. Biarlah dia kawin saja dengan Zainab supaya  menjadi  teladan  akan  apa yang  telah  dihapuskan  Tuhan  mengenai  hak-hak yang sudah ditentukan dalam hal bapa angkat dan anak angkat itu.  Dalam hal inilah firman Tuhan itu turun:
Maka  setelah  Zaid  meluluskan  kehendak  wanita itu, Kami kawinkan dia  dengan  engkau,  supaya  kelak  tidak  menjadi alangan   bagi  orang-orang  beriman  kawin  dengan  (bekas) isteri-isteri anak-anak  angkat  mereka,  bilamana  kehendak mereka  (wanita-wanita) itu sudah diluluskan. Perintah Allah itu mesti dilaksanakan.” (Qur’an, 33:37)
Inilah peristiwa sejarah yang sebenarnya  sehubungan  dengan soal  Zainab  bt. Jahsy serta perkawinannya dengan Muhammad. Dia  adalah  puteri  bibinya,  sudah  dilihatnya  dan  sudah diketahuinya   sampai   berapa  jauh  kecantikannya  sebelum dikawinkan dengan Zaid, dan dia pula  yang  melamarnya  buat Zaid, juga dia melihatnya setelah perkawinannya dengan Zaid, karena pada waktu itu bertutup muka belum lagi dikenal. Sungguhpun begitu dari pihak Zainab sendiri,  sesuai  dengan ketentuan  hubungan kekeluargaan dari satu segi, dan sebagai isteri  Zaid  anak  angkatnya   dari   segi   lain,   Zainab menghubungi  dia karena beberapa hal dalam urusannya sendiri dan juga karena seringnya Zaid mengadukan halnya itu.  Semua ketentuan  hukum  itu  sudah diturunkan. Lalu diperkuat lagi dengan  peristiwa  perkawinan  Zaid  dengan   Zainab   serta kemudian  perceraiannya, lalu perkawinan Muhammad dengan dia sesudah itu. Semua  ketentuan  hukum  ini,  yang  mengangkat martabat  orang  yang  dimerdekakan ke tingkat orang merdeka yang terhormat, dan yang menghapuskan hak  anak-anak  angkat dengan  jalan  praktek  yang  tidak  dapat  dikaburkan  atau ditafsir-tafsirkan lagi. Sesudah semua itu, masih adakah pengaruh cerita-cerita  yang selalu   diulang-ulang   oleh   pihak  Orientalis  dan  oleh misi-misi penginjil,  oleh  Muir,  Irving,  Sprenger,  Well, Dermenghem, Lammens dan yang lain, yang suka menulis sejarah hidup Muhammad? Ya, kadang ini adalah napsu misi penginjilan yang  secara  terang-terangan,  kadang cara misi penginjilan atas nama ilmu pengetahuan. Adanya permusuhan lama  terhadap Islam  adalah  permusuhan  yang  sudah berurat berakar dalam jiwa  mereka,  sejak  terjadinya  serentetan  perang   Salib dahulu.  Itulah  yang mengilhami mereka semua dalam menulis, yang dalam menghadapi soal perkawinan, khususnya  perkawinan Muhammad  dengan  Zainab  bt.  Jahsy,  membuat mereka sampai memperkosa  sejarah,  mereka  mencari  cerita-cerita   yang paling   lemah   sekalipun   asal   dapat   dimasukkan   dan dihubung-hubungkan kepadanya.
Andaikata apa yang mereka katakan itu  memang  benar,  tentu saja kita pun masih akan dapat menolaknya dengan mengatakan, bahwa kebesaran itu tidak tunduk kepada undang-undang. Bahwa sebelum  itu, Musa, Isa dan Yunus, mereka itu berada di atas hukum  alam,  diatas  ketentuan-ketentuan  masyarakat   yang berlaku.  Ada  yang karena kelahirannya, ada pula yang dalam masa kehidupannya, tapi  itu  tidak  sampai  mendiskreditkan kebesaran  mereka.  Sebaliknya Muhammad, ia telah meletakkan ketentuan-ketentuan masyarakat  yang  sebaik-baiknya  dengan wahyu  Tuhan,  dan  dilaksanakan  atas  perintah Tuhan, yang dalam hal ini merupakan contoh yang tinggi  sekali,  sebagai teladan  yang  sangat baik dalam melaksanakan apa yang telah diperintahkan Tuhan itu. Ataukah barangkali yang dikehendaki oleh   misi-misi   penginjil   itu   supaya  ia  menceraikan isteri-isterinya dan jangan  lebih  dari  empat  orang  saja seperti  yang  kemudian  disyariatkan  kepada kaum Muslimin, setelah perkawinannya dengan mereka semua itu?
Adakah juga pada waktu  itu  ia  akan  selamat  dari  kritik mereka? Sebenarnya hubungan Muhammad dengan isteri-isterinya itu  adalah  hubungan  yang  sungguh  terhormat  dan  agung, seperti  sudah  kita  lihat seperlunya dalam keterangan Umar bin’l-Khattab yang sudah kita sebutkan; dan  contoh  semacam itu  akan banyak kita jumpai dalam beberapa bagian buku ini. Semua itu akan menjadi contoh yang berbicara sendiri,  bahwa belum  ada  orang yang dapat menghormati wanita seperti yang pernah diberikan oleh Muhammad, belum ada orang  yang  dapat mengangkat  martabat wanita ketempat yang layak seperti yang dilakukan oleh Muhammad itu.
Catatan kaki:
1 Harfiah: Seseorang dari  kamu  tidak  beriman  sebelum  ia menyukai  buat  saudaranya  apa  yang  disukai  buat dirinya sendiri.  Terjemahan  di  atas  didasarkan  kepada  komentar Nuruddin  as-Sindi  sebagai  anotasi  pada Shahih Al-Bukhari 1/12 (A).
Sumber :  S E J A R A H    H I D U P    M U H A M M A D
oleh MUHAMMAD HUSAIN HAEKAL diterjemahkan dari bahasa Arab oleh Ali Audah Penerbit PUSTAKA JAYA Jln. Kramat II, No. 31 A, Jakarta Pusat Cetakan Kelima, 1980