Posted by Drs.H.Mutawalli,M.Pd.I on September 22, 2010
A. Pernikahan Zainab bt
Jahsy dengan Zaid untuk menghilangkan Perbedaan disebabkan keturunan
Oleh Islam dan sekaligus kedudukan anak angkat.
Dan
apakah yang ialah dicatat oleh sejarah? Sejarah mencatat bahwa Muhammad
telah melamar Zainab anak bibinya itu buat Zaid bekas budaknya.
Abdullah b. Jahsy saudara Zainab menolak, kalau saudara perempuannya
sebagai orang dari suku Quraisy dan keluarga Hasyim pula, di
samping itu semua ia masih sepupu Rasul dari pihak ibu akan berada
di bawah seorang budak belian yang dibeli oleh Khadijah lalu
dimerdekakan oleh Muhammad. Hal ini dianggap sebagai suatu aib besar
buat Zainab. Dan memang benar sekali hal ini di kalangan Arab ketika
itu merupakan suatu aib yang besar sekali. Memang tidak ada
gadis-gadis kaum bangsawan yang terhormat akan kawin dengan bekas-bekas
budak sekalipun yang sudah dimerdekakan. Tetapi Muhammad
justeru ingin menghilangkan segala macam pertimbangan yang masih
berkuasa dalam jiwa mereka hanya atas dasar ashabia (fanatisma) itu. Ia
ingin supaya orang mengerti bahwa orang Arab tidak lebih tinggi dari
yang bukan Arab, kecuali dengan takwa.
“Bahwa orang yang paling mulia di antara kamu dalam pandangan Tuhan ialah orang yang lebih bertakwa.” (Qur’an, 49:13)
Sungguhpun begitu ia merasa tidak perlu
memaksa wanita lain untuk itu di luar keluarganya. Biarlah Zainab bt.
Jahsy, sepupunya sendiri itu juga yang menanggung, yang karena telah
meninggalkan tradisi dan menghancurkan adat-lembaga Arab, menjadi
sasaran buah mulut orang tentang dirinya, suatu hal yang memang tidak
ingin didengarnya. Juga biarlah Zaid, bekas budaknya yang dijadikannya
anak angkat, dan yang menurut hukum adat dan tradisi Arab orang
yang berhak menerima waris sama seperti anak-anaknya sendiri itu,
dia juga yang mengawininya. Maka dia pun bersedia berkorban, karena
sudah ditentukan oleh Tuhan bagi anak-anak angkat yang sudah
dijadikan anaknya itu. Biarlah Muhammad memperlihatkan desakannya
itu supaya Zainab dan saudaranya Abdullah b. Jahsy juga mau menerima
Zaid sebagai suami. Dan untuk itu biarlah firman Tuhan juga yang
datang:
“Bagi laki-laki dan wanita
yang beriman, bilamana Allah dan RasulNya telah menetapkan suatu
ketentuan, mereka tidak boleh mengambil kemauan sendiri dalam urusan
mereka itu. Dan barangsiapa tidak mematuhi Allah dan RasulNya, mereka
telah melakukan kesesatan yang nyata sekali.” (Qur’an, 33:36)
Setelah turun ayat ini tak ada jalan
lain buat Abdullah dan Zainab saudaranya, selain harus tunduk
menerima. “Kami menerima, Rasulullah,” kata mereka. Lalu Zaid
dikawinkan kepada Zainab setelah mas-kawinnya oleh Nabi disampaikan.
Dan sesudah Zainab menjadi isteri,
ternyata ia tidak mudah dikendalikan dan tidak mau tunduk. Malah
ia banyak mengganggu Zaid. Ia membanggakan diri kepadanya dari segi
keturunan dan bahwa dia katanya tidak mau ditundukkan oleh seorang
budak.
Sikap Zainab yang tidak baik kepadanya
itu tidak jarang oleh Zaid diadukan kepada Nabi, dan bukan sekali saja
ia meminta ijin kepadanya hendak menceraikannya. Tetapi Nabi
menjawabnya: “Jaga baik-baik isterimu, jangan diceraikan. Hendaklah
engkau takut kepada Allah.” Tetapi Zaid tidak tahan lama-lama
bergaul dengan Zainab serta sikapnya yang angkuh kepadanya
itu. Lalu diceraikannya.
Kehendak Tuhan juga kiranya yang mau
menghapuskan melekatnya hubungan anak angkat dengan keluarga
bersangkutan dan asal-usul keluarga itu, yang selama itu menjadi
anutan masyarakat Arab, juga pemberian segala hak anak kandung
kepada anak angkat, segala pelaksanaan hukum termasuk hokum waris dan
nasab, dan supaya anak angkat dan pengikut itu hanya mempunyai
hak sebagai pengikut dan sebagai saudara seagama. Demikian firman
Tuhan turun:
“Dan tiada pula Ia menjadikan
anak-anak angkat kamu menjadi anak-anak kamu. Itu hanya kata-kata
kamu dengan mulut kamu saja. Tuhan mengatakan yang sebenarnya dan Dia
menunjukkan jalan yang benar.” (Qur’an, 33:4)
Ini berarti bahwa anak angkat boleh
kawin dengan bekas isteri bapa angkatnya, dan bapa boleh kawin
dengan bekas isteri anak angkatnya. Tetapi bagaimana caranya
melaksanakan ini? Siapa pula dari kalangan Arab yang dapat
membongkar adat-istiadat yang sudah turun-temurun itu. Muhammad sendiri
kendatipun dengan kemauannya yang sudah begitu keras dan memahami
benar arti perintah Tuhan itu, masih merasa kurang mampu melaksanakan
ketentuan itu dengan jalan mengawini Zainab setelah diceraikan
oleh Zaid, masih terlintas dalam pikirannya apa yang kira-kira akan
dikatakan orang, karena dia telah mendobrak adat lapuk yang sudah
berurat berakar dalam jiwa masyarakat Arab itu. Itulah yang
dikehendaki Tuhan dalam firmanNya:
“Dan engkau menyembunyikan sesuatu dalam hatimu yang oleh Tuhan sudah diterangkan. Engkau takut kepada manusia padahal hanya Allah yang lebih patut kautakuti.” (Qur’an, 33:37)
Akan tetapi Muhammad adalah
suri-teladan dalam segala hal, yang oleh Tuhan telah diperintahkan
dan telah dibebankan kepadanya supaya disampaikan kepada umat
manusia.Tidak takut ia apa yang akan dikatakan orang dalam
hal perkawinannya dengan isteri bekas budaknya itu. Takut kepada manusia
tak ada artinya dibandingkan dengan takutnya kepada Tuhan dalam
melaksanakan segala perintahNya. Biarlah dia kawin saja dengan Zainab
supaya menjadi teladan akan apa yang telah dihapuskan Tuhan
mengenai hak-hak yang sudah ditentukan dalam hal bapa angkat dan anak
angkat itu. Dalam hal inilah firman Tuhan itu turun:
“Maka setelah Zaid meluluskan kehendak wanita itu, Kami kawinkan dia dengan engkau, supaya kelak tidak menjadi alangan bagi orang-orang beriman kawin dengan (bekas) isteri-isteri anak-anak angkat mereka, bilamana kehendak mereka (wanita-wanita) itu sudah diluluskan. Perintah Allah itu mesti dilaksanakan.” (Qur’an, 33:37)
Inilah peristiwa sejarah yang sebenarnya
sehubungan dengan soal Zainab bt. Jahsy serta perkawinannya dengan
Muhammad. Dia adalah puteri bibinya, sudah dilihatnya dan sudah
diketahuinya sampai berapa jauh kecantikannya sebelum dikawinkan
dengan Zaid, dan dia pula yang melamarnya buat Zaid, juga dia
melihatnya setelah perkawinannya dengan Zaid, karena pada waktu itu
bertutup muka belum lagi dikenal. Sungguhpun begitu dari pihak Zainab
sendiri, sesuai dengan ketentuan hubungan kekeluargaan dari satu
segi, dan sebagai isteri Zaid anak angkatnya dari segi lain,
Zainab menghubungi dia karena beberapa hal dalam urusannya sendiri dan
juga karena seringnya Zaid mengadukan halnya itu. Semua ketentuan
hukum itu sudah diturunkan. Lalu diperkuat lagi dengan peristiwa
perkawinan Zaid dengan Zainab serta kemudian perceraiannya, lalu
perkawinan Muhammad dengan dia sesudah itu. Semua ketentuan hukum
ini, yang mengangkat martabat orang yang dimerdekakan ke tingkat
orang merdeka yang terhormat, dan yang menghapuskan hak anak-anak
angkat dengan jalan praktek yang tidak dapat dikaburkan atau
ditafsir-tafsirkan lagi. Sesudah semua itu, masih adakah pengaruh
cerita-cerita yang selalu diulang-ulang oleh pihak Orientalis
dan oleh misi-misi penginjil, oleh Muir, Irving, Sprenger, Well,
Dermenghem, Lammens dan yang lain, yang suka menulis sejarah hidup
Muhammad? Ya, kadang ini adalah napsu misi penginjilan yang secara
terang-terangan, kadang cara misi penginjilan atas nama ilmu
pengetahuan. Adanya permusuhan lama terhadap Islam adalah permusuhan
yang sudah berurat berakar dalam jiwa mereka, sejak terjadinya
serentetan perang Salib dahulu. Itulah yang mengilhami mereka semua
dalam menulis, yang dalam menghadapi soal perkawinan, khususnya
perkawinan Muhammad dengan Zainab bt. Jahsy, membuat mereka sampai
memperkosa sejarah, mereka mencari cerita-cerita yang paling
lemah sekalipun asal dapat dimasukkan dan dihubung-hubungkan
kepadanya.
Andaikata apa yang mereka katakan itu
memang benar, tentu saja kita pun masih akan dapat menolaknya dengan
mengatakan, bahwa kebesaran itu tidak tunduk kepada undang-undang. Bahwa
sebelum itu, Musa, Isa dan Yunus, mereka itu berada di atas hukum
alam, diatas ketentuan-ketentuan masyarakat yang berlaku. Ada
yang karena kelahirannya, ada pula yang dalam masa kehidupannya, tapi
itu tidak sampai mendiskreditkan kebesaran mereka. Sebaliknya
Muhammad, ia telah meletakkan ketentuan-ketentuan masyarakat yang
sebaik-baiknya dengan wahyu Tuhan, dan dilaksanakan atas perintah
Tuhan, yang dalam hal ini merupakan contoh yang tinggi sekali, sebagai
teladan yang sangat baik dalam melaksanakan apa yang telah
diperintahkan Tuhan itu. Ataukah barangkali yang dikehendaki oleh
misi-misi penginjil itu supaya ia menceraikan isteri-isterinya
dan jangan lebih dari empat orang saja seperti yang kemudian
disyariatkan kepada kaum Muslimin, setelah perkawinannya dengan mereka
semua itu?
Adakah juga pada waktu itu ia akan
selamat dari kritik mereka? Sebenarnya hubungan Muhammad dengan
isteri-isterinya itu adalah hubungan yang sungguh terhormat dan
agung, seperti sudah kita lihat seperlunya dalam keterangan Umar
bin’l-Khattab yang sudah kita sebutkan; dan contoh semacam itu akan
banyak kita jumpai dalam beberapa bagian buku ini. Semua itu akan
menjadi contoh yang berbicara sendiri, bahwa belum ada orang yang
dapat menghormati wanita seperti yang pernah diberikan oleh Muhammad,
belum ada orang yang dapat mengangkat martabat wanita ketempat yang
layak seperti yang dilakukan oleh Muhammad itu.
Catatan kaki:
1
Harfiah: Seseorang dari kamu tidak beriman sebelum ia menyukai
buat saudaranya apa yang disukai buat dirinya sendiri. Terjemahan
di atas didasarkan kepada komentar Nuruddin as-Sindi sebagai
anotasi pada Shahih Al-Bukhari 1/12 (A).
Sumber : S E J A R A H H I D U P M U H A M M A D
oleh MUHAMMAD HUSAIN HAEKAL diterjemahkan
dari bahasa Arab oleh Ali Audah Penerbit PUSTAKA JAYA Jln. Kramat II,
No. 31 A, Jakarta Pusat Cetakan Kelima, 1980