Posted by Drs. H. Mutawalli, M.Pd.I on September 19, 2010
A. Khadijah bersama Rasul 17 tahun seb kenabian, 11 tahun masa kenabian
Muhammad
hidup hanya dengan Khadijah selama tujuh belas tahun sebelum
kerasulannya dan sebelas tahun sesudah itu; dan dalam pada itu pun
sama sekali tak terlintas dalam pikirannya ia ingin kawin lagi
dengan wanita lain. Baik pada masa Khadijah masih hidup, atau pun
pada waktu ia belum kawin dengan Khadijah, belum pernah
terdengar bahwa ia termasuk orang yang mudah tergoda oleh
kecantikan wanita-wanita yang pada waktu itu justeru wanita-wanita
belum tertutup. Bahkan mereka itu suka memamerkan diri dan memamerkan
segala macam perhiasan, yang kemudian dilarang oleh Islam. Sudah
tentu tidak wajar sekali apabila akan kita lihat, sesudah lampau
limapuluh tahun, mendadak sontak ia berubah demikian rupa sehingga
begitu ia melihat Zainab bint Jahsy - padahal waktu itu isterinya
sudah lima orang diantaranya Aisyah yang selalu dicintainya -
tiba-tiba ia tertarik sampai ia hanyut siang-malam memikirkannya.
Juga tidak wajar sekali apabila kita lihat, sesudah lampau
limapuluh tahun usianya, yang selama lima tahun sudah
beristerikan lebih dari tujuh orang, dan dalam tujuh tahun sembilan
orang isteri. Semuanya itu, motifnya hanya karena dia terdorong oleh
nafsu kepada wanita, sehingga ada beberapa penulis Muslim -
dan juga penulis-penulis Barat mengikuti jejaknya – melukiskannya
sedemikian rupa, demikian merendahkan yang bagi seorang materialis
sekalipun sudah tidak layak, apalagi buat orang besar, yang ajarannya
dapat mengubah dunia dan mengubah jalannya roda sejarah, dan masih
selalu akan mengubah dunia sekali lagi, dan akan mengubah jalannya
roda sejarah sekali lagi.
B. Khadija dalam usia senjanya mempunyai anak laki-laki dan perempuan bersama Rasul
Apabila ini suatu hal yang aneh dan
tidak wajar, maka akan jadi aneh juga kita melihat bahwa perkawinan
Muhammad dengan Khadijah telah memberikan keturunan, laki-laki
dan perempuan, sampai sebelum ia mencapai usia limapuluh tahun, dan
bahwa Maria melahirkan Ibrahim sesudah Muhammad berusia enampuluh tahun
dan hanya dari yang dua orang ini sajalah yang membawa keturunan.
Padahal isteri-isteri itu ada yang dalam usia muda, yang akan dapat juga
hamil dan melahirkan, baik dari pihak suami atau pihak isteri, dan
ada yang sudah cukup usia, sudah lebih dari tigapuluh tahun umurnya,
dan sebelum itu pun pernah pula punya anak. Bagaimana pula gejala
aneh dalam hidup Nabi ini ditafsirkan, suatu gejala yang tidak
tunduk kepada undang-undang yang biasa, yang sekaligus terhadap
kesembilan wanita itu?! Sebagai manusia, sudah tentu jiwa Muhammad
cenderung sekali ingin beroleh seorang putera, sekalipun – dalam
kedudukannya sebagai nabi dan rasul – dari segi rohani ia sudah
menjadi bapa seluruh umat Muslimin.
C. Sauda bint Zam’a, janda Sakran b. ‘Amr b. ‘Abd Syams.
Kemudian peristiwa-peristiwa sejarah
serta logikanya juga menjadi saksi yang jujur mendustakan
cerita misi-misi penginjil dan para Orientalis itu sehubungan dengan
poligami Nabi. Seperti kita sebutkan tadi, selama 28 tahun ia hanya
beristerikan Khadijah seorang, tiada yang lain. Setelah Khadijah
wafat, ia kawin dengan Sauda bint Zam’a, janda Sakran b. ‘Amr b.
‘Abd Syams. Tidak ada suatu sumber yang menyebutkan, bahwa Sauda
adalah seorang wanita yang cantik, atau berharta atau mempunyai
kedudukan yang akan memberi pengaruh karena hasrat duniawi dalam
perkawinannya itu. Melainkan soalnya ialah, Sauda adalah
isteri orang yang termasuk mula-mula dalam lslam, termasuk
orang-orang yang dalam membela agama, turut memikul pelbagai
macam penderitaan, turut berhijrah ke Abisinia setelah dianjurkan Nabi
hijrah ke seberang lautan itu. Sauda juga sudah Islam dan ikut hijrah
bersama-sama, ia juga turut sengsara, turut menderita. Kalau sesudah
itu Muhammad kemudian mengawininya untuk memberikan perlindungan
hidup dan untuk memberikan tempat setarap dengan Umm’l-Mu’minin, maka
hal ini patut sekali dipuji dan patut mendapat penghargaan yang
tinggi.
D. Aisyah dan Hafsah
Adapun Aisyah dan Hafsha adalah
puteri-puteri dua orang pembantu dekatnya, Abu Bakr dan Umar. Segi
inilah yang membuat Muhammad mengikatkan diri dengan kedua orang
itu dengan ikatan semenda perkawinan dengan puteri-puteri
mereka. Sama juga halnya ia mengikatkan diri dengan Usman dan Ali
dengan jalan mengawinkan kedua puterinya kepada mereka. Kalaupun
benar kata orang mengenai Aisyah serta kecintaan Muhammad kepadanya
itu, maka cinta itu timbul sesudah perkawinan, bukan ketika kawin.
Gadis itu dipinangnya kepada orangtuanya tatkala ia berusia Sembilan
tahun dan dibiarkannya dua tahun sebelum perkawinan
dilangsungkan. Logika tidak akan menerima kiranya, bahwa dia sudah
mencintainya dalam usia yang masih begitu kecil. Hal ini diperkuat lagi
oleh perkawinannya dengan Hafsha bt. Umar yang juga bukan karena
dorongan cinta berahi, dengan ayahnya sendiri sebagai saksi.
“Sungguh,” kata Umar, “tatkala
kami dalam zaman jahiliah, wanita-wanita tidak lagi kami hargai.
Baru setelah Tuhan memberikan ketentuan tentang mereka dan memberikan
pula hak kepada mereka.” Dan katanya lagi: “Ketika saya sedang dalam suatu urusan tiba-tiba isteri saya berkata: ‘Coba kau berbuat begini atau begitu.” Jawab saya: “Ada urusan apa engkau disini, dan perlu apa engkau dengan urusanku!” Dia pun membalas: “Aneh
sekali engkau Umar. Engkau tidak mau ditentang, padahal puterimu
menentang Rasulullah s.a.w. sehingga ia gusar sepanjang hari.” Kata Umar selanjutnya: “Kuambil mantelku, lalu aku keluar, pergi menemui Hafsha. “Anakku,” kataku kepadanya. “Engkau menentang Rasulullah s.a.w. sampai ia merasa gusar sepanjang hari?!” Hafsha menjawab: “Memang kami menentangnya.” “Engkau harus tahu,” kataku. “Kuperingatkan
engkau akan siksaan Tuhan serta kemurkaan RasulNya. Anakku,
engkau jangan teperdaya oleh kecintaan orang yang telah terpesona
oleh kecantikannya sendiri dengan kecintaan Rasulullah s.a.w.” Katanya lagi: “Engkau sudah mengetahui, Rasulullah tidak mencintaimu, dan kalau tidak karena aku engkau tentu sudah diceraikan.”
Kita sudah melihat bukan, bahwa
Muhammad mengawini Aisyah atau mengawini Hafsha bukan karena
cintanya atau karena suatu dorongan berahi, tapi karena hendak
memperkukuh tali masyarakat Islam yang baru tumbuh dalam diri dua
orang pembantu dekatnya itu. Sama halnya ketika ia kawin dengan
Sauda, maksudnya supaya pejuang-pejuang Muslimin itu
mengetahui, bahwa kalau mereka gugur untuk agama Allah,
isteri-isteri dan anak-anak mereka tidak akan dibiarkan hidup
sengsara dalam kemiskinan.
E. Zainab bt. Khuzaima
Perkawinannya dengah Zainab bt. Khuzaima
dan dengan Umm Salama mempertegas lagi hal itu. Zainab adalah
isteri ‘Ubaida bin’l-Harith bin’l-Muttalib yang telah mati syahid,
gugur dalam perang Badr. Dia tidak cantik, hanya terkenal karena
kebaikan hatinya dan suka menolong orang, sampai ia diberi gelar
Umm’l-Masakin (Ibu orang-orang miskin). Umurnya pun sudah tidak muda
lagi. Hanya setahun dua saja sesudah itu ia pun meninggal. Sesudah
Khadijah dialah satu-satunya isteri Nabi yang telah wafat
mendahuluinya.
F.Umm Salama
Sedang Umm Salama sudah banyak anaknya
sebagai isteri Abu Salama, seperti sudah disebutkan di atas,
bahwa dalam perang Uhud ia menderita luka-luka, kemudian sembuh
kembali. Oleh Nabi ia diserahi pimpinan untuk menghadapi Banu Asad
yang berhasil di kucar-kacirkan dan ia kembali ke Medinah dengan
membawa rampasan perang.Tetapi bekas lukanya di Uhud itu terbuka dan
kembali mengucurkan darah yang dideritanya terus sampai meninggalnya.
Ketika sudah di atas ranjang kematiannya, Nabi juga hadir dan terus
mendampinginya sambil mendoakan untuk kebaikannya, sampai ia wafat.
Empat bulan setelah kematiannya itu Muhammad meminta tangan Umm
Salama.
Tetapi wanita ini menolak dengan lemah
lembut karena ia sudah banyak anak dan sudah tidak muda lagi.
Hanya dalam pada itu akhirnya sampai juga ia mengawini dan dia sendiri
yang bertindak menguruskan dan memelihara anak-anaknya.
Adakah sesudah ini semua para misi
penginjil dan Orientalis itu masih akan mendakwakan, bahwa karena
kecantikan Umm Salama itulah maka Muhammad terdorong hendak
mengawininya? Kalau hanya karena itu saja, masih banyak gadis-gadis
kaum Muhajirin dan Anshar yang lain, yang jauh lebih cantik, lebih
muda, lebih kaya dan bersemarak, dan tidak pula ia akan dibebani
dengan anak-anaknya. Akan tetapi sebaliknya, ia mengawininya itu karena
pertimbangan yang luhur itu juga, sama halnya dengan perkawinannya
dengan Zainab bt. Khuzaima, yang membuat kaum Muslimin bahkan makin
cinta kepadanya dan membuat mereka lebih-lebih lagi memandangnya
sebagai Nabi dan Rasul Allah. Di samping itu mereka semua memang
sudah menganggapnya sebagai ayah mereka. Ayah bagi segenap orang
miskin, orang yang tertekan, orang lemah, orang yang sengsara
dan tak berdaya. Ayah bagi setiap orang yang kehilangan ayah, yang
gugur membela agama Allah.
Dari apa yang sudah diuraikan di atas,
apakah yang dapat disimpulkan oleh penelitian sejarah yang murni?
Yang dapat disimpulkan ialah bahwa Muhammad menganjurkan orang
beristeri satu dalam kehidupan biasa. Ia menganjurkan cara demikian
seperti contoh yang sudah diberikannya selama masa Khadijah. Untuk itu
firman Tuhan dalam Qur’an menyebutkan:
“Dan kalau kamu kuatir
takkan dapat berlaku lurus terhadap anak-anak yatim itu, maka kawinilah
wanita-wanita yang kamu sukai: dua, tiga dan (sampai) empat.
Tetapi kalau kamu kuatir takkan dapat berlaku adil, hendaklah
seorang saja atau yang sudah ada menjadi milik kamu.” (Qur’an, 4:3)
“Dan (itu pun) tidak akan
kamu dapat berlaku adil terhadap wanita, betapa kamu sendiri
menginginkan itu. Sebab itu, janganlah kamu terlalu condong
kepada yang seorang, lalu kamu biarkan dia terkatung-katung.” (Qur’an,
4:129)
Ayat-ayat ini turun pada akhir-akhir tahun kedelapan Hijrah,
setelah Nabi kawin dengan semua isterinya, maksudnya untuk membatasi
jumlah isteri itu sampai empat orang, sementara sebelum turun ayat
tersebut pembatasan tidak ada. Ini juga yang telah menggugurkan
kata-kata orang: Muhammad membolehkan buat dirinya sendiri dan melarang buat orang lain. Kemudian turun ayat yang memperkuat diutamakannya isteri satu dan menganjurkan demikian karena dikuatirkan takkan berlaku adil dengan ditekankan bahwa berlaku adil itu tidak akan disanggupi. Hanya saja dalam keadaan kehidupan masyarakat yang dikecualikan ia melihat suatu kemungkinan yang mendesak perlunya kawin sampai empat dengan syarat berlaku adil. Dia telah melakukan itu dengan contoh yang diberikannya ketika kaum Muslimin terlibat dalam peperangan dan banyak di antara mereka itu yang gugur dan mati syahid.
Tolonglah sebutkan! Pada waktu peperangan
sedang berkecamuk, panyakit menular berjangkit dan pemberontakan
berkobar merenggut ribuan bahkan jutaan umat manusia, dapatkah orang
memastikan, bahwa membatasi pada isteri satu itu lebih baik dan
poligami yang dibolehkan dengan jalan kekecualian itu?
Dapatkah orang-orang Eropa – pada waktu
ini, setelah selesai Perang Dunia – mengatakan bahwa sistem monogami
itu system yang paling tepat dalam praktek, karena mereka memang sudah
mengatakan bahwa sistem itu tepat sekali dalam
undang-undang? Bukankah tirnbulnya kekacauan ekonomi dan sosial
setelah perang disebabkan oleh tidak adanya kerjasama yang teratur
antara pria dan wanita dalam perkawinan, suatu kerjasama yang kiranya
sedikit banyak akan dapat membawa keseimbangan ekonomi? Saya tidak
bermaksud dengan ini hendak membuat suatu keputusan hukum. Saya serahkan
soal ini kepada ahli-ahli pikir, kepada pihak penguasa untuk
memikirkan dan merencanakannya, dengan catatan selalu, bahwa
bilamana keadaan hidup sudah kembali biasa, maka yang paling baik
dapat menjamin kebahagiaan masyarakat ialah membatasi laki-laki
hanya pada satu isteri.
G. Zainab bt. Jahsy
Sehubungan dengan cerita tentang Zainab
bt. Jahsy serta apa yang ditambah-tambahkan oleh beberapa orang ahli
hadis, oleh kaum Orientalis dan misi-misi penginjil dengan
bermacam-macam tabir khayal sehingga ia dijadikan sebuah cerita
roman percintaan, sejarah yang sebenarnya dapat mencatat, bahwa
teladan yang diberikan oleh Muhammad dan patut dibanggakan, dan
sebagai contoh iman yang sempurna, ialah bahwa dia telah menerapkan
bunyi hadis yang maksudnya: Iman seseorang belum sempurna
sebelum ia mencintai saudaranya seperti mencintai dirinya sendiri.1
Dirinya telah dijadikan contoh pertama manakala ia melaksanakan
suatu hukum yang pada dasarnya hendak menghapus tradisi dan segala
adat-istiadat jahiliah, dan yang sekaligus dengan itu ia menetapkan
peraturan baru, yang diturunkan Tuhan sebagai bimbingan dan rahmat
buat semesta alam.
Untuk menghapuskan semua cerita mereka
yang kita baca itu dari dasarnya, cukup kalau kita sebutkan, bahwa
Zainab bt. Jahsy ini adalah puteri Umaima bt. Abd’l-Muttalib, bibi
Rasulullah a.s. Ia dibesarkan di bawah asuhannya sendiri dan dengan
bantuannya pula. Maka dengan demikian ia sudah seperti puterinya
atau seperti adiknya sendiri. Ia sudah mengenal Zainab dan
mengetahui benar apakah dia cantik atau tidak, sebelum ia dikawinkan
dengan Zaid. Ia sudah melihatnya sejak dari mula pertumbuhannya,
sebagai bayi yang masih merangkak hingga menjelang gadis remaja dan
dewasa, dan dia juga yang melamarnya buat Zaid bekas budaknya itu.
Jadi, kalau orang sudah mengetahui semua
ini, maka hancurlah segala macam khayal dan cerita-cerita yang
menyebutkan bahwa dia pernah kerumah Zaid dan orang ini tidak di
rumah, lalu dilihatnya Zainab, ia terpesona sekali melihat begitu
cantik, sampai ia berkata: “Maha suci Tuhan, Yang telah membalikkan
hati manusia!” Atau juga ketika ia membuka pintu rumah Zaid,
kebetulan angin bertiup menguakkan tirai kamar Zainab, lalu dilihatnya
wanita itu dengan gaunnya sedang berbaring - seolah-olah seperti
Madame Recamier – mendadak sontak hatinya berubah. Lupa ia kepada
Sauda, Aisyah, Hafsha, Zainab bt. Khuzaima dan Umm Salama. Juga
Khadijah sudah dilupakannya, yang seperti kata Aisyah, bahwa dirinya
tidak pernah cemburu terhadap isteri-isteri Nabi seperti terhadap
Khadijah ketika disebut-sebut.
Kalau perasaan cinta itu sedikit banyak
sudah terlintas dalam hati, tentu ia akan melamar kepada keluarganya
untuk dirinya, bukan untuk Zaid. Dengan melihat hubungan Zainab
dengan Muhammad ini serta gambaran yang kita kemukakan di atas, maka
segala macam cerita khayal yang dibawa orang itu, sudah tidak lagi
dapat dipertahankan dan ternyata samasekali memang tidak mempunyai dasar
yang benar.
Sumber: S E J A R A H H I D U P M U H A M M A D
oleh MUHAMMAD HUSAIN HAEKAL diterjemahkan dari bahasa Arab oleh Ali Audah
Penerbit PUSTAKA JAYA jln. Kramat II, No. 31 A, Jakarta Pusat Cetakan Kelima, 1980