Minggu, 10 Maret 2013

Nabi Muhammad mempunyai isteri satu, usia senja berpoligami mengapa?(bag.II)


Posted by Drs. H. Mutawalli, M.Pd.I   on September 19, 2010
A. Khadijah bersama Rasul 17 tahun seb kenabian, 11 tahun masa kenabian
 
Muhammad hidup hanya  dengan  Khadijah  selama  tujuh  belas tahun  sebelum  kerasulannya  dan sebelas tahun sesudah itu; dan dalam pada itu  pun  sama  sekali  tak  terlintas  dalam pikirannya ia ingin kawin lagi dengan wanita lain. Baik pada masa Khadijah masih hidup, atau  pun  pada  waktu  ia  belum kawin  dengan  Khadijah,  belum  pernah  terdengar  bahwa ia termasuk  orang   yang   mudah   tergoda   oleh   kecantikan wanita-wanita  yang  pada  waktu  itu  justeru wanita-wanita belum tertutup. Bahkan mereka itu suka memamerkan  diri  dan memamerkan  segala  macam  perhiasan, yang kemudian dilarang oleh Islam. Sudah tentu tidak wajar sekali apabila akan kita lihat,  sesudah  lampau  limapuluh tahun, mendadak sontak ia berubah demikian rupa sehingga begitu ia melihat Zainab bint Jahsy  -  padahal  waktu  itu  isterinya  sudah  lima  orang diantaranya Aisyah yang selalu dicintainya  -  tiba-tiba  ia tertarik  sampai  ia  hanyut siang-malam memikirkannya. Juga tidak  wajar  sekali  apabila  kita  lihat,  sesudah  lampau limapuluh  tahun  usianya,  yang  selama  lima  tahun  sudah beristerikan lebih dari tujuh orang, dan dalam  tujuh  tahun sembilan  orang  isteri. Semuanya itu, motifnya hanya karena dia  terdorong  oleh  nafsu  kepada  wanita,  sehingga   ada beberapa  penulis  Muslim  -  dan juga penulis-penulis Barat mengikuti jejaknya – melukiskannya sedemikian rupa, demikian merendahkan  yang  bagi  seorang  materialis sekalipun sudah tidak layak, apalagi buat orang besar, yang ajarannya  dapat mengubah dunia dan mengubah jalannya roda sejarah, dan masih selalu akan mengubah dunia sekali lagi,  dan  akan  mengubah jalannya roda sejarah sekali lagi.
B. Khadija dalam usia senjanya mempunyai anak laki-laki dan perempuan bersama Rasul
Apabila  ini  suatu hal yang aneh dan tidak wajar, maka akan jadi aneh juga kita melihat bahwa perkawinan Muhammad dengan Khadijah   telah   memberikan   keturunan,   laki-laki   dan perempuan, sampai sebelum ia mencapai usia limapuluh  tahun, dan  bahwa Maria melahirkan Ibrahim sesudah Muhammad berusia enampuluh tahun dan hanya dari yang dua  orang  ini  sajalah yang  membawa  keturunan. Padahal isteri-isteri itu ada yang dalam usia muda, yang akan dapat juga hamil dan  melahirkan, baik  dari pihak suami atau pihak isteri, dan ada yang sudah cukup usia, sudah lebih dari tigapuluh  tahun  umurnya,  dan sebelum  itu  pun  pernah  pula  punya  anak. Bagaimana pula gejala aneh dalam hidup Nabi ini ditafsirkan,  suatu  gejala yang  tidak  tunduk  kepada  undang-undang  yang biasa, yang sekaligus terhadap kesembilan wanita itu?! Sebagai  manusia, sudah  tentu  jiwa  Muhammad  cenderung sekali ingin beroleh seorang putera, sekalipun – dalam kedudukannya sebagai  nabi dan  rasul  – dari segi rohani ia sudah menjadi bapa seluruh umat Muslimin.
C. Sauda bint Zam’a, janda Sakran b. ‘Amr b. ‘Abd Syams.
Kemudian peristiwa-peristiwa sejarah  serta  logikanya  juga menjadi   saksi  yang  jujur  mendustakan  cerita  misi-misi penginjil dan para Orientalis itu sehubungan dengan poligami Nabi.  Seperti  kita sebutkan tadi, selama 28 tahun ia hanya beristerikan Khadijah  seorang,  tiada  yang  lain.  Setelah Khadijah  wafat,  ia  kawin  dengan  Sauda bint Zam’a, janda Sakran b. ‘Amr b. ‘Abd Syams. Tidak ada  suatu  sumber  yang menyebutkan,  bahwa Sauda adalah seorang wanita yang cantik, atau berharta atau mempunyai  kedudukan  yang  akan  memberi pengaruh  karena  hasrat  duniawi  dalam  perkawinannya itu. Melainkan soalnya ialah,  Sauda  adalah  isteri  orang  yang termasuk  mula-mula  dalam  lslam, termasuk orang-orang yang dalam  membela   agama,   turut   memikul   pelbagai   macam penderitaan,  turut berhijrah ke Abisinia setelah dianjurkan Nabi hijrah ke seberang lautan itu. Sauda juga  sudah  Islam dan  ikut hijrah bersama-sama, ia juga turut sengsara, turut menderita. Kalau sesudah itu Muhammad kemudian  mengawininya untuk  memberikan  perlindungan  hidup  dan untuk memberikan tempat setarap dengan Umm’l-Mu’minin,  maka  hal  ini  patut sekali dipuji dan patut mendapat penghargaan yang tinggi.
D. Aisyah dan Hafsah
Adapun  Aisyah  dan  Hafsha  adalah  puteri-puteri dua orang pembantu dekatnya, Abu  Bakr  dan  Umar.  Segi  inilah  yang membuat  Muhammad  mengikatkan  diri  dengan kedua orang itu dengan  ikatan  semenda  perkawinan   dengan   puteri-puteri mereka.  Sama  juga  halnya ia mengikatkan diri dengan Usman dan Ali dengan  jalan  mengawinkan  kedua  puterinya  kepada mereka.  Kalaupun  benar  kata  orang  mengenai Aisyah serta kecintaan Muhammad kepadanya  itu,  maka  cinta  itu  timbul sesudah perkawinan, bukan ketika  kawin.  Gadis  itu dipinangnya kepada orangtuanya tatkala ia berusia Sembilan tahun  dan  dibiarkannya   dua  tahun  sebelum  perkawinan dilangsungkan. Logika tidak akan menerima kiranya, bahwa dia sudah  mencintainya  dalam usia yang masih begitu kecil. Hal ini diperkuat lagi oleh perkawinannya dengan Hafsha bt. Umar yang juga bukan karena dorongan cinta berahi, dengan ayahnya sendiri sebagai saksi.
“Sungguh,” kata Umar, “tatkala kami  dalam  zaman  jahiliah, wanita-wanita  tidak  lagi  kami  hargai. Baru setelah Tuhan memberikan ketentuan tentang mereka dan memberikan pula  hak kepada  mereka.” Dan katanya lagi: “Ketika saya sedang dalam suatu  urusan  tiba-tiba  isteri  saya  berkata:  ‘Coba  kau berbuat  begini  atau  begitu.”  Jawab saya: “Ada urusan apa engkau disini, dan perlu apa engkau  dengan  urusanku!”  Dia pun  membalas:  “Aneh  sekali  engkau Umar. Engkau tidak mau ditentang,  padahal  puterimu  menentang  Rasulullah  s.a.w. sehingga  ia  gusar  sepanjang hari.” Kata Umar selanjutnya: Kuambil mantelku, lalu aku keluar,  pergi  menemui  Hafsha. “Anakku,” kataku  kepadanya.  “Engkau  menentang Rasulullah s.a.w. sampai  ia  merasa  gusar  sepanjang  hari?!” Hafsha menjawab:  “Memang  kami menentangnya.” “Engkau harus tahu,” kataku.  “Kuperingatkan  engkau  akan  siksaan  Tuhan  serta kemurkaan  RasulNya.  Anakku,  engkau  jangan teperdaya oleh kecintaan orang  yang  telah  terpesona  oleh  kecantikannya sendiri  dengan  kecintaan  Rasulullah s.a.w.” Katanya lagi: Engkau sudah mengetahui, Rasulullah tidak mencintaimu,  dan kalau tidak karena aku engkau tentu sudah diceraikan.”
Kita  sudah  melihat  bukan, bahwa Muhammad mengawini Aisyah atau mengawini Hafsha  bukan  karena  cintanya  atau  karena suatu  dorongan  berahi, tapi karena hendak memperkukuh tali masyarakat Islam yang  baru  tumbuh  dalam  diri  dua  orang pembantu  dekatnya  itu.  Sama halnya ketika ia kawin dengan Sauda,  maksudnya  supaya   pejuang-pejuang   Muslimin   itu mengetahui,  bahwa  kalau  mereka  gugur  untuk agama Allah, isteri-isteri dan  anak-anak  mereka  tidak  akan  dibiarkan hidup sengsara dalam kemiskinan.
E. Zainab  bt.  Khuzaima
Perkawinannya dengah Zainab bt. Khuzaima  dan dengan Umm Salama  mempertegas  lagi  hal  itu.  Zainab  adalah  isteri ‘Ubaida  bin’l-Harith bin’l-Muttalib yang telah mati syahid, gugur dalam perang Badr. Dia tidak  cantik,  hanya  terkenal karena  kebaikan  hatinya dan suka menolong orang, sampai ia diberi gelar Umm’l-Masakin (Ibu orang-orang miskin). Umurnya pun  sudah  tidak  muda lagi. Hanya setahun dua saja sesudah itu ia pun meninggal. Sesudah Khadijah  dialah  satu-satunya isteri Nabi yang telah wafat mendahuluinya.
F.Umm  Salama
Sedang  Umm  Salama  sudah banyak anaknya sebagai isteri Abu Salama, seperti  sudah  disebutkan  di  atas,  bahwa  dalam perang Uhud ia menderita luka-luka, kemudian sembuh kembali. Oleh Nabi ia diserahi pimpinan untuk  menghadapi  Banu  Asad yang  berhasil  di  kucar-kacirkan dan ia kembali ke Medinah dengan membawa rampasan perang.Tetapi bekas lukanya di Uhud itu  terbuka  dan kembali mengucurkan darah yang dideritanya terus sampai meninggalnya.  Ketika  sudah  di  atas  ranjang kematiannya, Nabi juga hadir dan terus mendampinginya sambil mendoakan untuk kebaikannya, sampai ia  wafat.  Empat  bulan setelah  kematiannya itu Muhammad meminta tangan Umm Salama.
Tetapi wanita ini menolak  dengan  lemah  lembut  karena  ia sudah  banyak  anak  dan  sudah tidak muda lagi. Hanya dalam pada itu akhirnya sampai juga ia mengawini dan  dia  sendiri yang bertindak menguruskan dan memelihara anak-anaknya.
Adakah  sesudah ini semua para misi penginjil dan Orientalis itu masih akan  mendakwakan,  bahwa  karena  kecantikan  Umm Salama  itulah  maka Muhammad terdorong hendak mengawininya? Kalau hanya karena itu saja, masih banyak  gadis-gadis  kaum Muhajirin  dan  Anshar  yang  lain,  yang jauh lebih cantik, lebih muda, lebih kaya dan bersemarak,  dan  tidak  pula  ia akan  dibebani  dengan anak-anaknya. Akan tetapi sebaliknya, ia mengawininya itu karena pertimbangan yang luhur itu juga, sama halnya dengan perkawinannya dengan Zainab bt. Khuzaima, yang membuat kaum Muslimin bahkan makin cinta kepadanya  dan membuat  mereka  lebih-lebih  lagi memandangnya sebagai Nabi dan Rasul Allah. Di samping itu mereka  semua  memang  sudah menganggapnya  sebagai  ayah mereka. Ayah bagi segenap orang miskin,  orang  yang  tertekan,  orang  lemah,  orang   yang sengsara  dan  tak  berdaya.  Ayah  bagi  setiap  orang yang kehilangan ayah, yang gugur membela agama Allah.
Dari apa yang sudah diuraikan di atas, apakah yang  dapat disimpulkan  oleh  penelitian sejarah yang murni? Yang dapat disimpulkan ialah  bahwa  Muhammad   menganjurkan   orang beristeri  satu  dalam kehidupan biasa. Ia menganjurkan cara demikian seperti contoh yang sudah diberikannya selama  masa Khadijah. Untuk itu firman Tuhan dalam Qur’an menyebutkan:
“Dan  kalau  kamu kuatir takkan dapat berlaku lurus terhadap anak-anak yatim itu, maka kawinilah wanita-wanita yang  kamu sukai:  dua,  tiga  dan  (sampai)  empat.  Tetapi kalau kamu kuatir takkan dapat berlaku  adil,  hendaklah  seorang  saja atau yang sudah ada menjadi milik kamu.” (Qur’an, 4:3)
“Dan  (itu  pun) tidak akan kamu dapat berlaku adil terhadap wanita, betapa kamu sendiri  menginginkan  itu.  Sebab  itu, janganlah  kamu  terlalu  condong  kepada yang seorang, lalu kamu biarkan dia terkatung-katung.” (Qur’an, 4:129)
Ayat-ayat ini turun pada akhir-akhir tahun kedelapan Hijrah, setelah  Nabi  kawin dengan semua isterinya, maksudnya untuk membatasi jumlah isteri itu sampai  empat  orang,  sementara sebelum  turun  ayat tersebut pembatasan tidak ada. Ini juga yang   telah   menggugurkan   kata-kata   orang:    Muhammad membolehkan  buat  dirinya  sendiri  dan melarang buat orang lain. Kemudian  turun  ayat  yang  memperkuat  diutamakannya isteri  satu  dan  menganjurkan  demikian karena dikuatirkan takkan berlaku adil dengan ditekankan bahwa berlaku adil itu tidak  akan  disanggupi.  Hanya saja dalam keadaan kehidupan masyarakat yang dikecualikan ia  melihat  suatu  kemungkinan yang  mendesak  perlunya  kawin  sampai  empat dengan syarat berlaku adil. Dia telah melakukan  itu  dengan  contoh  yang diberikannya  ketika kaum Muslimin terlibat dalam peperangan dan banyak di antara mereka itu yang gugur dan mati syahid.
Tolonglah sebutkan! Pada waktu peperangan sedang berkecamuk, panyakit   menular  berjangkit  dan  pemberontakan  berkobar merenggut ribuan bahkan jutaan umat manusia, dapatkah  orang memastikan,  bahwa membatasi pada isteri satu itu lebih baik dan poligami yang dibolehkan dengan jalan  kekecualian  itu?
Dapatkah orang-orang Eropa – pada waktu ini, setelah selesai Perang Dunia – mengatakan bahwa sistem monogami  itu  system yang  paling tepat dalam praktek, karena mereka memang sudah mengatakan bahwa  sistem   itu   tepat    sekali    dalam undang-undang?  Bukankah  tirnbulnya  kekacauan  ekonomi dan sosial setelah perang disebabkan oleh tidak adanya kerjasama yang  teratur antara pria dan wanita dalam perkawinan, suatu kerjasama yang kiranya sedikit  banyak  akan  dapat  membawa keseimbangan ekonomi? Saya tidak bermaksud dengan ini hendak membuat suatu keputusan hukum. Saya serahkan soal ini kepada ahli-ahli  pikir, kepada pihak penguasa untuk memikirkan dan merencanakannya,  dengan  catatan  selalu,  bahwa   bilamana keadaan  hidup  sudah  kembali  biasa, maka yang paling baik dapat  menjamin  kebahagiaan  masyarakat   ialah   membatasi laki-laki hanya pada satu isteri.
G. Zainab bt. Jahsy
Sehubungan  dengan cerita tentang Zainab bt. Jahsy serta apa yang ditambah-tambahkan oleh beberapa orang ahli hadis, oleh kaum Orientalis dan misi-misi    penginjil   dengan bermacam-macam tabir khayal  sehingga  ia  dijadikan  sebuah cerita  roman  percintaan,  sejarah  yang  sebenarnya  dapat mencatat, bahwa teladan yang  diberikan  oleh  Muhammad  dan patut  dibanggakan,  dan  sebagai contoh iman yang sempurna, ialah bahwa dia telah menerapkan bunyi hadis yang maksudnya: Iman   seseorang   belum   sempurna   sebelum  ia  mencintai saudaranya seperti mencintai dirinya sendiri.1 Dirinya telah dijadikan  contoh  pertama  manakala  ia  melaksanakan suatu hukum yang pada dasarnya hendak menghapus tradisi dan segala adat-istiadat  jahiliah,  dan  yang  sekaligus dengan itu ia menetapkan peraturan baru,  yang  diturunkan  Tuhan  sebagai bimbingan dan rahmat buat semesta alam.
Untuk  menghapuskan  semua  cerita mereka yang kita baca itu dari dasarnya, cukup kalau kita sebutkan, bahwa  Zainab  bt. Jahsy  ini  adalah  puteri  Umaima  bt. Abd’l-Muttalib, bibi Rasulullah a.s. Ia dibesarkan di bawah asuhannya sendiri dan dengan  bantuannya  pula.  Maka  dengan  demikian  ia  sudah seperti puterinya atau seperti  adiknya  sendiri.  Ia  sudah mengenal  Zainab dan mengetahui benar apakah dia cantik atau tidak,  sebelum  ia  dikawinkan  dengan   Zaid.   Ia   sudah melihatnya sejak dari mula pertumbuhannya, sebagai bayi yang masih merangkak hingga menjelang gadis  remaja  dan  dewasa, dan dia juga yang melamarnya buat Zaid bekas budaknya itu.
Jadi, kalau orang sudah mengetahui semua ini, maka hancurlah segala macam khayal dan cerita-cerita yang menyebutkan bahwa dia  pernah  kerumah Zaid dan orang ini tidak di rumah, lalu dilihatnya  Zainab,  ia  terpesona  sekali  melihat   begitu cantik,  sampai  ia  berkata: “Maha  suci Tuhan, Yang telah membalikkan hati manusia!” Atau juga ketika ia membuka pintu rumah  Zaid,  kebetulan angin bertiup menguakkan tirai kamar Zainab, lalu dilihatnya wanita  itu  dengan  gaunnya  sedang berbaring  -  seolah-olah seperti Madame Recamier – mendadak sontak hatinya  berubah.  Lupa  ia  kepada  Sauda,  Aisyah, Hafsha,  Zainab  bt.  Khuzaima dan Umm Salama. Juga Khadijah sudah dilupakannya, yang seperti kata Aisyah, bahwa  dirinya tidak  pernah  cemburu  terhadap  isteri-isteri Nabi seperti terhadap Khadijah ketika disebut-sebut.
Kalau perasaan cinta itu sedikit banyak sudah terlintas dalam hati, tentu ia akan melamar kepada keluarganya untuk dirinya, bukan untuk  Zaid. Dengan  melihat  hubungan  Zainab  dengan Muhammad ini serta gambaran yang kita kemukakan  di  atas,  maka  segala  macam cerita  khayal yang dibawa orang itu, sudah tidak lagi dapat dipertahankan dan ternyata samasekali memang tidak mempunyai dasar yang benar.
Sumber: S E J A R A H    H I D U P    M U H A M M A D
oleh MUHAMMAD HUSAIN HAEKAL diterjemahkan dari bahasa Arab oleh Ali Audah
Penerbit PUSTAKA JAYA jln. Kramat II, No. 31 A, Jakarta Pusat Cetakan Kelima, 1980