Minggu, 10 Maret 2013

Perang Badar Perang yang sangat menentukan(bagian ketiga)


Posted by Drs.H.Mutawalli, M.Pd.I   on August 30, 2010
A. Berita Kemenangan Pearang Badar
 
Serentak  pihak  Muslimin menyerbu kedepan, masih dalam jumlah yang lebih kecil dari jumlah Quraisy. Tetapi jiwa mereka sudah penuh terisi oleh semangat dari Tuhan. Sudah bukan mereka lagi yang membunuh musuh, sudah  bukan  mereka  lagi  yang  menawan tawanan  perang.  Hanya karena adanya semangat dari Tuhan yang tertanam  dalam  jiwa  mereka  itu   kekuatan   moril   mereka bertambah,  sehingga kekuatan materi merekapun bertambah pula. Dalam hal ini firman Allah turun:
“Ingat, ketika Tuhanmu mewahyukan kepada para  malaikat:  ‘Aku bersama  kamu.’ Teguhkanlah pendirian orang-orang beriman itu. Akan kutanamkan rasa gentar ke dalam  hati  orang-orang  kafir itu.  Pukullah  bagian atas leher mereka dan pukul pula setiap ujung jari mereka.” (Qur’an, 8: 12)
“Sebenarnya bukan kamu yang membunuh mereka,  melainkan  Allah juga  yang  telah  membunuh mereka. Juga ketika kau lemparkan, sebenarnya bukan engkau yang melakukan  itu,  melainkan  Tuhan juga.” (Qur’an, 8: 17)

Tatkala  Rasul melihat bahwa Tuhan telah melaksanakan janjiNya dan  setelah  ternyata  pula  kemenangan   berada   di   pihak orang-orang   Islam,  ia  kembali  ke  pondoknya.  Orang-orang Quraisy kabur. Oleh Muslimin mereka dikejar terus. Yang  tidak terbunuh dan tak berhasil melarikan diri, ditawan.
Inilah perang Badr, yang kemudian telah memberikan tempat yang stabil kepada umat Islam  di  seluruh  tanah  Arab,  dan  yang merupakan   suatu   pendahuluan   lahirnya  persatuan  seluruh semenanjung  di  bawah  naungan  Islam,  juga  sebagai   suatu pendahuluan  adanya persekemakmuran Islam yang terbentang luas sekali. Ia telah menanamkan sebuah peradaban besar  di  dunia, yang  sampai  sekarang masih dan akan terus mempunyai pengaruh yang dalam di dalam jantung kehidupan dunia.
B.Nabi Melaksanakan Negoisasi kepada Orang Musyrik yang berbuat baik kepada Islam
Bukan tidak  mungkin  orang  akan  merasa  kagum  sekali  bila mengetahui,  bahwa, meskipun Muhammad sudah begitu mengerahkan sahabat-sahabatnya dan mengharapkan  terkikisnya  musuh  Tuhan dan musuhnya itu, namun sejak semula terjadinya pertempuran ia sudah minta kepada Muslimin untuk tidak membunuh  Banu  Hasyim dan   tidak   membunuh   orang-orang  tertentu  dari  kalangan pembesar-pembesar Quraisy, sekalipun pada dasarnya mereka akan membunuh  setiap  orang  dari  pihak  Islam  yang dapat mereka bunuh. Dan jangan pula orang mengira, bahwa ia berbuat  begitu karena  ia  mau membela keluarganya atau siapa saja yang punya pertalian keluarga dengan dia. Jiwa Muhammad jauh lebih  besar daripada  akan  terpengaruh  oleh hal-hal serupa itu. Apa yang menjadi pertimbangannya ialah, ia masih ingat Banu Hasyim dulu yang telah berusaha melindunginya selama tigabelas tahun sejak mula masa kerasulannya hingga  masa  hijrahnya,  sampai-sampai Abbas  pamannya  ikut  menyertainya  pada malam diadakan ikrar ‘Aqaba. Juga jasa orang lain  yang  masih  kafir  di  kalangan Quraisy di luar Banu Hasyim yang menuntut dibatalkannya piagam pemboikotan, yang  oleh  Quraisy  dia  dan  sahabat-sahabatnya
dipaksa  tinggal di celah-celah gunung, setelah semua hubungan oleh  mereka  itu  diputuskan.  Segala  kebaikan  yang   telah diberikan  oleh  mereka  masing-masing  oleh Muhammad dianggap sebagai suatu jasa yang harus mendapat balasan setimpal, harus mendapat  balasan  sepuluh  kali  lipat.  Oleh karena itu oleh Muslimin   ia   dianggap   sebagai   perantara   bagi   mereka masing-masing selama terjadi pertempuran, meskipun di kalangan Quraisy sendiri masih ada yang menolak  pemberian  pengampunan itu seperti yang dilakukan oleh Abu’l-Bakhtari – salah seorang yang ikut  melaksanakan  dicabutnya  piagam.  Ia  menolak  dan terbunuh.
Dengan perasaan dongkol penduduk Mekah lari tunggang langgang. Mereka sudah tak dapat mengangkat muka lagi. Bila mata  mereka tertumbuk  pada  salah  seorang  kawan  sendiri,  karena  rasa malunya ia segera membuang muka, mengingat  nasib  buruk  yang telah menimpa mereka semua.
C. Keterharuan Rasulullah Setelah Kemenangan di Badar dan kesedihan beliau melihat mayat bergelimpangan
Sampai sore itu pihak Muslimin masih tinggal di Badr. Kemudian mayat-mayat Quraisy itu mereka kumpulkan dan setelah dibuatkan sebuah  perigi  besar  mereka  semua dikuburkan. Malam harinya Muhammad  dan  sahabat-sahabatnya   sibuk   di   garis   depan menyelesaikan barang-barang rampasan perang serta berjaga-jaga terhadap  orang-orang  tawanan.  Tatkala  malam  sudah   gelap Muhammad  mulai  merenungkan  pertolongan yang diberikan Tuhan kepada Muslimin yang dengan jumlah  yang  begitu  kecil  telah dapat  menghancurkan kaum musyrik yang tidak mempunyai perisai kekuatan iman selain membanggakan jumlah besarnya saja.  Dalam ia   merenungkan   hal   ini,   pada  waktu  larut  malam  itu sahabat-sahabatnya mendengar ia berkata:
“Wahai penghuni perigi!  Wahai  ‘Utba  b.  Rabi’a!  Syaiba  b. Rabi’a!  Umayya  b.  Khalaf!  Wahai Abu Jahl b. Hisyam! …” – Seterusnya ia menyebutkan nama orang-orang yang  dalam  perigi itu  satu satu. “Wahai penghuni perigi! Adakah yang dijanjikan tuhanmu itu benar-benar ada. Aku telah bertemu dengan apa yang telah dijanjikan Tuhanku.”
“Rasulullah,  kenapa  bicara  dengan  orang-orang  yang  sudah bangar?” kata kaum Muslimim kemudian bertanya.
“Apa yang saya katakan mereka lebih mendengar daripada  kamu,” jawab Rasul. “Tetapi mereka tidak dapat menjawab.”
Ketika  itu Rasulullah melihat ke dalam wajah Abu Hudhaifa ibn ‘Utba. Ia tampak sedih dan mukanya berubah. “Barangkali ada sesuatu  dalam  hatimu  mengenai  ayahmu,  Abu Hudhaifa”? tanyanya.
“Sekali-kali  tidak, Rasulullah,” jawab Abu Hudhaifa. “Tentang ayah, saya tidak sangsi lagi, juga tentang kematiannya.  Hanya saja yang saya ketahui pikirannya baik, bijaksana dan berjasa. Jadi saya harapkan sekali ia akan  mendapat  petunjuk  menjadi seorang Islam. Tetapi sesudah saya lihat apa yang teriadi, dan teringat pula hidupnya dulu  dalam  kekafiran,  sesudah  makin jauh apa yang saya harapkan dari dia, itulah yang membuat saya sedih.”
Tetapi Rasulullah menyebutkan  yang  baik  tentang  dia  serta mendoakan kebaikan baginya.
Keesokan harinya pagi-pagi, bila Muslimin sudah siap-siap akan berangkat pulang menuju Medinah,  mulailah  timbul  pertanyaan sekitar  masalah  harta  rampasan, buat siapa seharusnya. Kata mereka yang melakukan  serangan:  kami  yang  mengumpulkannya; jadi  itu buat kami. Lalu kata yang mengejar musuh sampai pada waktu mereka mengalami kehancuran  kalau  tidak  karena  kami, kamu  tidak akan mendapatkannya. Dan kata mereka yang mengawal Muhammad karena kuatir akan diserang musuh dari belakang: kamu sekalian  tak ada yang lebih berhak dari kami. Sebenarnya kami dapat memerangi musuh dan mengambil harta mereka,  ketika  tak ada  suatu  pihakpun  yang akan melindungi mereka. Tetapi kami kuatir adanya serangan musuh kepada  Rasulullah.  Oleh  karena itu kami lalu menjaganya.
Tetapi  kemudian  Muhammad  menyuruh mengembalikan semua harta rampasan yang ada ditangan mereka itu, dan  dimintanya  supaya dibawa  agar  ia  dapat  memberikan  pendapat  atau  akan  ada ketentuan Tuhan yang akan menjadi keputusan.
Muhammad mengutus Abdullah b. Rawaha dan Zaid  b.  Haritha  ke Medinah  guna  menyampaikan  berita  gembira  kepada  penduduk tentang kemenangan yang telah dicapai  kaum  Muslimin.  Sedang dia  sendiri  dengan  sahabat-sahabatnya berangkat pula menuju Medinah dengan membawa tawanan dan rampasan perang yang  telah diperolehnya  dari  kaum  musyrik,  dan diserahkan pimpinannya kepada Abdullah b. Ka’b.
D. Rampasan Perang Badar Badar
Mereka berangkat. Sesudah  menyeberangi  selat  Shafra’,  pada sebuah  bukit  pasir Muhammad berhenti. Di tempat ini rampasan perang yang sudah ditentukan Allah bagi  Muslimin  itu  dibagi rata. Beberapa ahli sejarah mengatakan, bahwa pembagian kepada mereka itu sesudah dikurangi seperlimanya sesuai dengan firman Allah:
“Dan  hendaklah  kamu ketahui, bahwa rampasan perang yang kamu peroleh, seperlimanya untuk Tuhan,  untuk  Rasul,  untuk  para kerabat dan anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang yang terlantar dalam perjalanan,  kalau  kamu  benar-benar  beriman kepada Allah dan pada apa yang Kami turunkan kepada hamba Kami pada hari yang menentukan itu, hari, ketika dua  golongan  itu saling  berhadapan. Dan atas segala sesuatu Allah Maha Kuasa.” (Qur’an, 8: 41)
Sebahagian besar  penulis-penulis  sejarah  Nabi  berpendapat, terutama  angkatan lamanya – bahwa ayat tersebut turun sesudah peristiwa Badr dan sesudah rampasan perang dibagi,  dan  bahwa Muhammad  membaginya  secara  merata di kalangan Muslimin, dan bahwa  untuk  kuda  disamakannya  dengan  apa  yang  ada  pada penunggangnya,  bagian  mereka  yang  gugur  di Badr diberikan kepada ahli warisnya, mereka yang tinggal di Medinah dan tidak ikut  ke Badr karena bertugas mengurus keperluan Muslimin, dan mereka yang dikerahkan berangkat ke Badr  tapi  tertinggal  di
belakang karena sesuatu alasan yang dapat diterima oleh Rasul, juga mendapat bagian.  Dengan  demikian  rampasan  perang  itu dibagi  secara  adil.  Yang  ikut  bersama  dalam  perang  dan mendapat kemenangan bukan hanya yang bertempur saja, melainkan yang  ikut  bersama-sama  dalam perang dan mendapat kemenangan itu ialah siapa saja yang ikut bekerja kearah itu,  baik  yang di garis depan atau yang jauh dari sana.
E. Dua Tawanan Perang yang membahayakan dibunuh atas Perintah Rasul
Sementara  kaum  Muslimin dalam perjalanan ke Medinah itu, dua orang tawanan telah mati terbunuh, yakni seorang bernama Nadzr bin’l-Harith  dan  yang  seorang  lagi  bernama  ‘Uqba  b. Abi Mu’ait.   Sampai   pada   waktu   itu   baik   Muhammad   atau sahabat-sahabatnya belum lagi membuat suatu peraturan tertentu dalam menghadapi  para  tawanan  itu  yang  akan  mengharuskan mereka dibunuh, ditebus atau dijadikan budak. Tetapi Nadzr dan ‘Uqba ini keduanya  merupakan  bahaya  yang  selalu  mengancam Muslimin  selama  di  Mekah  dulu. Setiap ada kesempatan kedua orang ini selalu mengganggu mereka.
Terbunuhnya Nadzr ini ialah tatkala mereka  sampai  di  Uthail para  tawanan  itu  diperlihatkan  kepada Nabi a.s. Ditatapnya Nadzr ini dengan pandangan mata yang demikian  rupa,  sehingga tawanan  ini  gemetar  seraya  berkata  kepada  seseorang yang berada di sampingnya: “Muhammad pasti akan membunuh  aku,”  katanya.  “Ia  menatapku dengan pandangan mata yang mengandung maut.” “Ini  hanya karena kau merasa takut saja,” jawab orang yang di sebelahnya.
Sekarang Nadzr berkata kepada Mushiab b. ‘Umair -  orang  yang paling banyak punya rasa belas-kasihan di tempat itu.
“Katakan kepada temanmu itu supaya aku dipandang sebagai salah seorang sahabatnya. Kalau ini tidak kaulakukan pasti dia  akan membunuh aku.”
“Tetapi   dulu   kau  mengatakan  begini  dan  begitu  tentang Kitabullah dan tentang diri Nabi,”  kata  Mushiab.  “Dulu  kau menyiksa sahabat-sahabatnya.”
“Sekiranya  engkau  yang  ditawan  oleh  Quraisy,  kau  takkan dibunuh selama aku masih hidup,” kata Nadzr lagi.
“Engkau tak dapat dipercaya,”  kata  Mush’ab.  “Dan  lagi  aku tidak seperti engkau. Janji Islam dengan kau sudah terputus.”
Sebenarnya  Nadzr adalah tawanan Miqdad, yang dalam hal ini ia ingin memperoleh tebusan yang  cukup  besar  dari  keluarganya. Mendengar  percakapan  tentang  akan  dibunuhnya itu ia segera berkata:
“Nadzr tawananku,” teriaknya. “Pukul lehernya,” kata Nabi  a.s.  “Ya  Allah.  Semoga  Miqdad mendapat karuniaMu.”
Dengan  pukulan  pedang  kemudian  ia  dibunuh oleh Ali b. Abi Talib.
Pada   waktu   mereka   dalam   perjalanan   ke   ‘Irq’z-Zubya diperintahkan  oleh  Nabi  supaya  ‘Uqba  b.  Abi  Mu’ait juga dibunuh. “Muhammad,” katanya, “siapa yang akan mengurus anak-anak?” “Api,” jawabnya.
Lalu iapun dibunuh oleh Ali b. Abi Talib atau oleh  ‘Ashim  b. Thabit, sumbernya berlain-lain.
Sehari  sebelum  Nabi  dan  Muslimin  sampai  di Medinah kedua utusannya Zaid b. Haritha dan Abdullah b. Rawaha  sudah  lebih dulu  sampai.  Mereka masing-masing memasuki kota dari jurusan yang berlain-lainan. Dan  atas  unta  yang  dikendarainya  itu Abdullah  mengumumkan  dan  memberikan  kabar  gembira  kepada Anshar  tentang  kemenangan  Rasulullah  dan  sahabat-sahabat, sambil   menyebutkan   siapa-siapa   dan  pihak  musyrik  yang terbunuh. Begitu juga Zaid b. Haritha melakukan hal yang  sama sambil  ia  menunggang  Al-Qashwa’,  unta kendaraan Nabi. Kaum Muslimin bergembira ria. Mereka  berkumpul,  dan  mereka  yang masih   berada   dalam  rumah  pun  keluar  beramai-ramai  dan berangkat menyambut berita kemenangan besar ini.
E. Orang Yahudi dan Orang Musyrik berusaha membalikkan fakta
Sebaliknya orang-orang musyrik dan orang-orang  Yahudi  merasa terpukul  sekali  dengan  berita  itu.  Mereka  berusaha  akan meyakinkan diri  mereka  sendiri  dan  meyakinkan  orang-orang Islam yang tinggal di Medinah, bahwa berita itu tidak benar.
Muhammad    sudah    terbunuh    dan   teman-temannya   sudah ditaklukkan,”  ternak  mereka.  “Ini  untanya   seperti   sudah sama-sama  kita kenal. Kalau dia yang menang, niscaya unta ini masih di sana. Apa yang dikatakan  Zaid  hanya  mengigau  saja dia, karena sudah gugup dan ketakutan.”
Tetapi  pihak  Muslimin  setelah mendapat kepastian benar dari kedua utusan itu dan yakin sekali akan kebenaran  berita  itu, sebenarnya  mereka  malah  makin  gembira,  kalau  tidak  lalu terjadi suatu penstiwa yang mengurangi rasa kegembiraan mereka itu,  yakni  penstiwa  kematian  Ruqayya  puteri Nabi. Tatkala ditinggalkan  pergi  ke  Badr  ia  dalam  keadaan  sakit,  dan suaminya,   Usman   b.   ‘Affan,   juga   ditinggalkan  supaya merawatnya.
Apabila kemudian temyata bahwa Muhammad  yang  menang,  mereka merasa  sangat  terkejut. Posisi mereka terhadap Muslimin jadi lebih rendah dan hina sekali, sampai-sampai ada salah  seorang pembesar Yahudi yang mengatakan:
“Bagi  kita  sekarang  lebih  baik  berkalang  tanah  daripada tinggal   di   atas   bumi   ini   sesudah   kaum   bangsawan, Pemimpin-pemimpin  dan  pemuka-pemuka Arab serta penduduk tanah suci itu mendatangkan  bencana.”
Rasa Kemanusiaan Sauda Isteri Rasulullah
Kaum Muslimin memasuki Medinah sehari sebelum  tawanan-tawanan perang  sampai.  Setelah  mereka  dibawa  dan  Sauda bt. Zam’a isteri Nabi  baru  saja  pulang  melawati11  orang  mati  pada kabilah  Banu  ‘Afra’,  tempat  asalnya,  dilihatnya Abu Yazid Suhail b.  ‘Amr,  salah  seorang  tawanan,  yang  kedua  belah tangannya  diikat dengan tali ke tengkuk, ia tak dapat menahan diri. Dihampirinya orang itu seraya katanya:”Oh Abu Yazid! Kamu sudah menyerahkan diri.  Lebih  baik  mati sajalah dengan terhormat!.”
“Sauda!”   Muhammad   memanggilnya   dan   dalam  rumah.  “Kau membangkitkan semangatnya melawan Allah dan RasulNya!”
Rasulullah,“  katanya.  “Demi  Allah  Yang  telah  mengutusmu dengan  segala  kebenaran.  Saya  sudah tak dapat menahan diri ketika melihat Abu Yazid dengan tangannya terikat  di  tengkuk sehingga saya berkata begitu.”
F. Perlakuan Untuk Tawanan Badar
Sesudah  itu  kemudian  Muhammad memisah-misahkan para tawanan itu  di  antara  sahabat-sahabatnya,  sambil  berkata   kepada mereka:”Perlakukanlah mereka sebaik-baiknya.”
Hal  ini  kemudian  menjadi  pikiran  baginya,  apa yang harus dilakukannya terhadap mereka  itu.  Dibunuh  saja  atau  harus meminta tebusan dari mereka? Mereka itu orang-orang yang keras dalam perang, orang yang kuat  bertempur.  Hati  mereka  penuh rasa  dengki dan dendam setelah mereka mengalami kehancuran di Badr, serta  akibatnya  yang  telah  membawa  keaiban  sebagai tawanan  perang.  Apabila ia mau menerima tebusan, ini berarti mereka akan berkomplot dan  akan  kembali  memeranginya  lagi; kalau  dibunuh saja mereka itu, akan menimbulkan sesuatu dalam
hati  keluarga-keluarga  Quraisy,  yang  bila  dapat   ditebus barangkali akan jadi tenang.
Ia  menyerahkan  masalah  ini  ketangan  sahabat-sahabat  kaum Muslimin. Diajaknya mereka bermusyawarah dan pilihan  terserah kepada    mereka.    Kalangan    Muslimin    sendiri   melihat tawanan-tawanan  ini  ternyata  masih  ingin  hidup  dan  akan bersedia membayar tebusan dengan harga tinggi.
“Lebih baik kita mengirim orang kepada Abu Bakr,” kata mereka. “Dari kerabat kita ia orang Quraisy  yang  pertama,  dan  yang paling  lembut dan banyak punya rasa belas-kasihan. Kita tidak melihat Muhammad menyukai yang lain lebih dari dia.”
Lalu mereka mengutus orang menemui Abu Bakr.
“Abu Bakr,” kata mereka. “Di antara kita ada yang masih pernah ayah,  saudara,  paman  atau  mamak  kita serta saudara sepupu kita.  Orang  yang  jauh  dari  kitapun  masih  kerabat  kita. Bicarakanlah  dengan sahabatmu itu supaya bermurah hati kepada kami atau menerima penebusan kami.”
Dalam hal ini Abu Bakr berjanji akan berusaha.  Tetapi  mereka kuatir  Umar ibn’l-Khattab akan mempersulit urusan mereka ini.
Maka mereka mengutus beberapa  orang  lagi  kepadanya,  dengan menyatakan seperti yang dikatakan kepada Abu Bakr. Tetapi Umar menatap mereka penuh  curiga.  Kemudian  kedua  sahabat  besar Muhammad   ini   berangkat   menemuinya.   Abu  Bakr  berusaha melunakkan dan meredakan kemarahannya.
“Rasulullah,” katanya. “Demi ayah dan ibuku. Mereka itu  masih keluarga  kita; ada ayah, ada anak atau paman, ada sepupu atau saudara-saudara. Orang yang jauh dari  kitapun  masih  kerabat kita.  Bermurah  hatilah  kita kepada mereka itu. Semoga Tuhan memberi kemurahan kepada kita.  Atau  kita  terimalah  tebusan dari  mereka,  semoga Tuhan akan menyelamatkan mereka dari api neraka. Maka apa yang kita ambil dari mereka  akan  memperkuat Muslimin  juga.  Semoga  Allah  kelak  membalikkan  hati mereka.”
Muhammad diam, tidak menjawab. Kemudian ia berdiri  dan  pergi menyendiri. Oleh Umar ia didekati dan duduk di sebelahnya.
“Rasulullah,”   katanya.   “Mereka   itu   musuh-musuh  Tuhan. Mendustakan tuan, memerangi tuan dan  mengusir  tuan.  Penggal sajalah leher mereka. Mereka inilah kepala-kepala orang kafir, pemuka-pemuka orang yang sesat. Orang-orang musyrik itu adalah orang-orang yang sudah dihinakan Tuhan.”
Juga Muhammad tidak menjawab.
Sekarang  Abu  Bakr  kembali ke tempat duduknya semula. Begitu lemah-lembut ia bersikap sambil mengharapkan sikap yang  lebih lunak.  Disebutnya  adanya  pertalian  famili dan kerabat, dan kalau  para  tawanan  itu  masih  hidup,  diharapkannya   akan mendapat  petunjuk  Tuhan.  Sedang Umar kembali memperlihatkan sikapnya  yang  adil  dan  keras.  Baginya  lemah-lembut  atau kasihan tidak ada.
Selesai Abu Bakr dan Umar bicara, Muhammad berdiri. Ia kembali ke kamarnya. Ia tinggal sejenak di sana. Kemudian  ia  kembali keluar.  Orang  ramai  segera  melibatkan diri dalam persoalan ini. Satu pihak mendukung pendapat Abu Bakr, yang lain memihak kepada  Umar.  Nabi  mengajak mereka berunding, apa yang harus dilakukannya. Lalu dibuatnya  suatu  perumpamaan  tentang  Abu Bakr  dan  Umar.  Abu  Bakr  adalah seperti Mikail, diturunkan Tuhan dengan membawa sifat pemaaf kepada  hambaNya.  Dan  dari kalangan  nabi-nabi  seperti  Ibrahim.  Ia sangat lemah-lembut terhadap masyarakatnya. Oleh masyarakatnya sendiri  ia  dibawa dan  dicampakkan  ke  dalam  api.
Tapi  Nabi Mengatakan Firman Allah:
“Cih! Kenapa kamu menyembah  sesuatu  selain  Allah?  Tidakkah kamu berakal?” (Qur’an, 21: 67)
Atau seperti katanya:
“Yang ikut aku, dia itulah yang di pihakku. Tapi terhadap yang membangkang kepadaku, Engkau Maha  Pengampun  dan  Penyayang.” (Qur’an. 14: 36)
Sumber :S E J A R A H    H I D U P    M U H A M M A D
oleh MUHAMMAD HUSAIN HAEKAL diterjemahkan dari bahasa Arab oleh Ali Audah
Penerbit PUSTAKA JAYA Jln. Kramat II, No. 31 A, Jakarta Pusat Cetakan Kelima, 1980