Posted by Drs.H.Mutawalli, M.Pd.I on August 30, 2010
A. Berita Kemenangan Pearang Badar
Serentak
pihak Muslimin menyerbu kedepan, masih dalam jumlah yang lebih kecil
dari jumlah Quraisy. Tetapi jiwa mereka sudah penuh terisi oleh semangat
dari Tuhan. Sudah bukan mereka lagi yang membunuh musuh, sudah bukan
mereka lagi yang menawan tawanan perang. Hanya karena adanya
semangat dari Tuhan yang tertanam dalam jiwa mereka itu kekuatan
moril mereka bertambah, sehingga kekuatan materi merekapun bertambah
pula. Dalam hal ini firman Allah turun:
“Ingat, ketika Tuhanmu
mewahyukan kepada para malaikat: ‘Aku bersama kamu.’ Teguhkanlah
pendirian orang-orang beriman itu. Akan kutanamkan rasa gentar ke dalam
hati orang-orang kafir itu. Pukullah bagian atas leher mereka dan
pukul pula setiap ujung jari mereka.” (Qur’an, 8: 12)
“Sebenarnya bukan kamu yang
membunuh mereka, melainkan Allah juga yang telah membunuh mereka.
Juga ketika kau lemparkan, sebenarnya bukan engkau yang melakukan itu,
melainkan Tuhan juga.” (Qur’an, 8: 17)
Tatkala Rasul melihat bahwa Tuhan telah melaksanakan janjiNya dan setelah ternyata pula kemenangan berada di pihak orang-orang Islam, ia kembali ke pondoknya. Orang-orang Quraisy kabur. Oleh Muslimin mereka dikejar terus. Yang tidak terbunuh dan tak berhasil melarikan diri, ditawan.
Inilah perang Badr, yang kemudian telah
memberikan tempat yang stabil kepada umat Islam di seluruh tanah
Arab, dan yang merupakan suatu pendahuluan lahirnya persatuan
seluruh semenanjung di bawah naungan Islam, juga sebagai suatu
pendahuluan adanya persekemakmuran Islam yang terbentang luas sekali.
Ia telah menanamkan sebuah peradaban besar di dunia, yang sampai
sekarang masih dan akan terus mempunyai pengaruh yang dalam di dalam
jantung kehidupan dunia.
B.Nabi Melaksanakan Negoisasi kepada Orang Musyrik yang berbuat baik kepada Islam
Bukan tidak mungkin orang akan
merasa kagum sekali bila mengetahui, bahwa, meskipun Muhammad sudah
begitu mengerahkan sahabat-sahabatnya dan mengharapkan terkikisnya
musuh Tuhan dan musuhnya itu, namun sejak semula terjadinya pertempuran
ia sudah minta kepada Muslimin untuk tidak membunuh Banu Hasyim dan
tidak membunuh orang-orang tertentu dari kalangan
pembesar-pembesar Quraisy, sekalipun pada dasarnya mereka akan membunuh
setiap orang dari pihak Islam yang dapat mereka bunuh. Dan jangan
pula orang mengira, bahwa ia berbuat begitu karena ia mau membela
keluarganya atau siapa saja yang punya pertalian keluarga dengan dia.
Jiwa Muhammad jauh lebih besar daripada akan terpengaruh oleh
hal-hal serupa itu. Apa yang menjadi pertimbangannya ialah, ia masih
ingat Banu Hasyim dulu yang telah berusaha melindunginya selama
tigabelas tahun sejak mula masa kerasulannya hingga masa hijrahnya,
sampai-sampai Abbas pamannya ikut menyertainya pada malam diadakan
ikrar ‘Aqaba. Juga jasa orang lain yang masih kafir di kalangan
Quraisy di luar Banu Hasyim yang menuntut dibatalkannya piagam
pemboikotan, yang oleh Quraisy dia dan sahabat-sahabatnya
dipaksa tinggal di celah-celah gunung,
setelah semua hubungan oleh mereka itu diputuskan. Segala kebaikan
yang telah diberikan oleh mereka masing-masing oleh Muhammad
dianggap sebagai suatu jasa yang harus mendapat balasan setimpal, harus
mendapat balasan sepuluh kali lipat. Oleh karena itu oleh
Muslimin ia dianggap sebagai perantara bagi mereka
masing-masing selama terjadi pertempuran, meskipun di kalangan Quraisy
sendiri masih ada yang menolak pemberian pengampunan itu seperti yang
dilakukan oleh Abu’l-Bakhtari – salah seorang yang ikut melaksanakan
dicabutnya piagam. Ia menolak dan terbunuh.
Dengan perasaan dongkol penduduk Mekah
lari tunggang langgang. Mereka sudah tak dapat mengangkat muka lagi.
Bila mata mereka tertumbuk pada salah seorang kawan sendiri,
karena rasa malunya ia segera membuang muka, mengingat nasib buruk
yang telah menimpa mereka semua.
C. Keterharuan Rasulullah Setelah Kemenangan di Badar dan kesedihan beliau melihat mayat bergelimpangan
Sampai sore itu pihak Muslimin masih
tinggal di Badr. Kemudian mayat-mayat Quraisy itu mereka kumpulkan dan
setelah dibuatkan sebuah perigi besar mereka semua dikuburkan. Malam
harinya Muhammad dan sahabat-sahabatnya sibuk di garis depan
menyelesaikan barang-barang rampasan perang serta berjaga-jaga terhadap
orang-orang tawanan. Tatkala malam sudah gelap Muhammad mulai
merenungkan pertolongan yang diberikan Tuhan kepada Muslimin yang
dengan jumlah yang begitu kecil telah dapat menghancurkan kaum
musyrik yang tidak mempunyai perisai kekuatan iman selain membanggakan
jumlah besarnya saja. Dalam ia merenungkan hal ini, pada
waktu larut malam itu sahabat-sahabatnya mendengar ia berkata:
“Wahai penghuni perigi!
Wahai ‘Utba b. Rabi’a! Syaiba b. Rabi’a! Umayya b. Khalaf!
Wahai Abu Jahl b. Hisyam! …” – Seterusnya ia menyebutkan nama
orang-orang yang dalam perigi itu satu satu. “Wahai penghuni perigi!
Adakah yang dijanjikan tuhanmu itu benar-benar ada. Aku telah bertemu
dengan apa yang telah dijanjikan Tuhanku.”
“Rasulullah, kenapa bicara dengan orang-orang yang sudah bangar?” kata kaum Muslimim kemudian bertanya.
“Apa yang saya katakan mereka lebih mendengar daripada kamu,” jawab Rasul. “Tetapi mereka tidak dapat menjawab.”
Ketika itu Rasulullah
melihat ke dalam wajah Abu Hudhaifa ibn ‘Utba. Ia tampak sedih dan
mukanya berubah. “Barangkali ada sesuatu dalam hatimu mengenai
ayahmu, Abu Hudhaifa”? tanyanya.
“Sekali-kali tidak,
Rasulullah,” jawab Abu Hudhaifa. “Tentang ayah, saya tidak sangsi lagi,
juga tentang kematiannya. Hanya saja yang saya ketahui pikirannya baik,
bijaksana dan berjasa. Jadi saya harapkan sekali ia akan mendapat
petunjuk menjadi seorang Islam. Tetapi sesudah saya lihat apa yang
teriadi, dan teringat pula hidupnya dulu dalam kekafiran, sesudah
makin jauh apa yang saya harapkan dari dia, itulah yang membuat saya
sedih.”
Tetapi Rasulullah menyebutkan yang baik tentang dia serta mendoakan kebaikan baginya.
Keesokan harinya pagi-pagi, bila Muslimin
sudah siap-siap akan berangkat pulang menuju Medinah, mulailah
timbul pertanyaan sekitar masalah harta rampasan, buat siapa
seharusnya. Kata mereka yang melakukan serangan: kami yang
mengumpulkannya; jadi itu buat kami. Lalu kata yang mengejar musuh
sampai pada waktu mereka mengalami kehancuran kalau tidak karena
kami, kamu tidak akan mendapatkannya. Dan kata mereka yang mengawal
Muhammad karena kuatir akan diserang musuh dari belakang: kamu sekalian
tak ada yang lebih berhak dari kami. Sebenarnya kami dapat memerangi
musuh dan mengambil harta mereka, ketika tak ada suatu pihakpun
yang akan melindungi mereka. Tetapi kami kuatir adanya serangan musuh
kepada Rasulullah. Oleh karena itu kami lalu menjaganya.
Tetapi kemudian Muhammad menyuruh
mengembalikan semua harta rampasan yang ada ditangan mereka itu, dan
dimintanya supaya dibawa agar ia dapat memberikan pendapat atau
akan ada ketentuan Tuhan yang akan menjadi keputusan.
Muhammad mengutus Abdullah b. Rawaha dan
Zaid b. Haritha ke Medinah guna menyampaikan berita gembira
kepada penduduk tentang kemenangan yang telah dicapai kaum Muslimin.
Sedang dia sendiri dengan sahabat-sahabatnya berangkat pula menuju
Medinah dengan membawa tawanan dan rampasan perang yang telah
diperolehnya dari kaum musyrik, dan diserahkan pimpinannya kepada
Abdullah b. Ka’b.
D. Rampasan Perang Badar Badar
Mereka berangkat. Sesudah menyeberangi
selat Shafra’, pada sebuah bukit pasir Muhammad berhenti. Di tempat
ini rampasan perang yang sudah ditentukan Allah bagi Muslimin itu
dibagi rata. Beberapa ahli sejarah mengatakan, bahwa pembagian kepada
mereka itu sesudah dikurangi seperlimanya sesuai dengan firman Allah:
“Dan hendaklah kamu
ketahui, bahwa rampasan perang yang kamu peroleh, seperlimanya untuk
Tuhan, untuk Rasul, untuk para kerabat dan anak-anak yatim,
orang-orang miskin dan orang yang terlantar dalam perjalanan, kalau
kamu benar-benar beriman kepada Allah dan pada apa yang Kami turunkan
kepada hamba Kami pada hari yang menentukan itu, hari, ketika dua
golongan itu saling berhadapan. Dan atas segala sesuatu Allah Maha
Kuasa.” (Qur’an, 8: 41)
Sebahagian besar penulis-penulis
sejarah Nabi berpendapat, terutama angkatan lamanya – bahwa ayat
tersebut turun sesudah peristiwa Badr dan sesudah rampasan perang
dibagi, dan bahwa Muhammad membaginya secara merata di kalangan
Muslimin, dan bahwa untuk kuda disamakannya dengan apa yang ada
pada penunggangnya, bagian mereka yang gugur di Badr diberikan
kepada ahli warisnya, mereka yang tinggal di Medinah dan tidak ikut ke
Badr karena bertugas mengurus keperluan Muslimin, dan mereka yang
dikerahkan berangkat ke Badr tapi tertinggal di
belakang karena sesuatu alasan yang dapat
diterima oleh Rasul, juga mendapat bagian. Dengan demikian rampasan
perang itu dibagi secara adil. Yang ikut bersama dalam perang
dan mendapat kemenangan bukan hanya yang bertempur saja, melainkan yang
ikut bersama-sama dalam perang dan mendapat kemenangan itu ialah
siapa saja yang ikut bekerja kearah itu, baik yang di garis depan atau
yang jauh dari sana.
E. Dua Tawanan Perang yang membahayakan dibunuh atas Perintah Rasul
Sementara kaum Muslimin dalam
perjalanan ke Medinah itu, dua orang tawanan telah mati terbunuh, yakni
seorang bernama Nadzr bin’l-Harith dan yang seorang lagi bernama
‘Uqba b. Abi Mu’ait. Sampai pada waktu itu baik Muhammad
atau sahabat-sahabatnya belum lagi membuat suatu peraturan tertentu
dalam menghadapi para tawanan itu yang akan mengharuskan mereka
dibunuh, ditebus atau dijadikan budak. Tetapi Nadzr dan ‘Uqba ini
keduanya merupakan bahaya yang selalu mengancam Muslimin selama
di Mekah dulu. Setiap ada kesempatan kedua orang ini selalu mengganggu
mereka.
Terbunuhnya Nadzr ini ialah tatkala
mereka sampai di Uthail para tawanan itu diperlihatkan kepada
Nabi a.s. Ditatapnya Nadzr ini dengan pandangan mata yang demikian
rupa, sehingga tawanan ini gemetar seraya berkata kepada
seseorang yang berada di sampingnya: “Muhammad pasti akan membunuh
aku,” katanya. “Ia menatapku dengan pandangan mata yang mengandung
maut.” “Ini hanya karena kau merasa takut saja,” jawab orang yang di
sebelahnya.
Sekarang Nadzr berkata kepada Mushiab b. ‘Umair - orang yang paling banyak punya rasa belas-kasihan di tempat itu.
“Katakan kepada temanmu itu supaya aku
dipandang sebagai salah seorang sahabatnya. Kalau ini tidak kaulakukan
pasti dia akan membunuh aku.”
“Tetapi dulu kau mengatakan begini
dan begitu tentang Kitabullah dan tentang diri Nabi,” kata
Mushiab. “Dulu kau menyiksa sahabat-sahabatnya.”
“Sekiranya engkau yang ditawan oleh Quraisy, kau takkan dibunuh selama aku masih hidup,” kata Nadzr lagi.
“Engkau tak dapat dipercaya,” kata Mush’ab. “Dan lagi aku tidak seperti engkau. Janji Islam dengan kau sudah terputus.”
Sebenarnya Nadzr adalah tawanan Miqdad,
yang dalam hal ini ia ingin memperoleh tebusan yang cukup besar dari
keluarganya. Mendengar percakapan tentang akan dibunuhnya itu ia
segera berkata:
“Nadzr tawananku,” teriaknya. “Pukul lehernya,” kata Nabi a.s. “Ya Allah. Semoga Miqdad mendapat karuniaMu.”
Dengan pukulan pedang kemudian ia dibunuh oleh Ali b. Abi Talib.
Pada waktu mereka dalam
perjalanan ke ‘Irq’z-Zubya diperintahkan oleh Nabi supaya ‘Uqba
b. Abi Mu’ait juga dibunuh. “Muhammad,” katanya, “siapa yang akan
mengurus anak-anak?” “Api,” jawabnya.
Lalu iapun dibunuh oleh Ali b. Abi Talib atau oleh ‘Ashim b. Thabit, sumbernya berlain-lain.
Sehari sebelum Nabi dan Muslimin
sampai di Medinah kedua utusannya Zaid b. Haritha dan Abdullah b.
Rawaha sudah lebih dulu sampai. Mereka masing-masing memasuki kota
dari jurusan yang berlain-lainan. Dan atas unta yang dikendarainya
itu Abdullah mengumumkan dan memberikan kabar gembira kepada
Anshar tentang kemenangan Rasulullah dan sahabat-sahabat, sambil
menyebutkan siapa-siapa dan pihak musyrik yang terbunuh. Begitu
juga Zaid b. Haritha melakukan hal yang sama sambil ia menunggang
Al-Qashwa’, unta kendaraan Nabi. Kaum Muslimin bergembira ria. Mereka
berkumpul, dan mereka yang masih berada dalam rumah pun
keluar beramai-ramai dan berangkat menyambut berita kemenangan besar
ini.
E. Orang Yahudi dan Orang Musyrik berusaha membalikkan fakta
Sebaliknya orang-orang musyrik dan
orang-orang Yahudi merasa terpukul sekali dengan berita itu.
Mereka berusaha akan meyakinkan diri mereka sendiri dan
meyakinkan orang-orang Islam yang tinggal di Medinah, bahwa berita itu
tidak benar.
“Muhammad sudah
terbunuh dan teman-temannya sudah ditaklukkan,” ternak mereka.
“Ini untanya seperti sudah sama-sama kita kenal. Kalau dia yang
menang, niscaya unta ini masih di sana. Apa yang dikatakan Zaid hanya
mengigau saja dia, karena sudah gugup dan ketakutan.”
Tetapi pihak Muslimin setelah mendapat
kepastian benar dari kedua utusan itu dan yakin sekali akan kebenaran
berita itu, sebenarnya mereka malah makin gembira, kalau tidak
lalu terjadi suatu penstiwa yang mengurangi rasa kegembiraan mereka
itu, yakni penstiwa kematian Ruqayya puteri Nabi. Tatkala
ditinggalkan pergi ke Badr ia dalam keadaan sakit, dan
suaminya, Usman b. ‘Affan, juga ditinggalkan supaya
merawatnya.
Apabila kemudian temyata bahwa Muhammad
yang menang, mereka merasa sangat terkejut. Posisi mereka terhadap
Muslimin jadi lebih rendah dan hina sekali, sampai-sampai ada salah
seorang pembesar Yahudi yang mengatakan:
“Bagi kita sekarang lebih
baik berkalang tanah daripada tinggal di atas bumi ini
sesudah kaum bangsawan, Pemimpin-pemimpin dan pemuka-pemuka Arab
serta penduduk tanah suci itu mendatangkan bencana.”
Rasa Kemanusiaan Sauda Isteri Rasulullah
Kaum Muslimin memasuki Medinah sehari sebelum tawanan-tawanan perang sampai. Setelah mereka dibawa dan Sauda bt. Zam’a isteri Nabi baru saja pulang melawati11 orang mati pada kabilah Banu ‘Afra’, tempat asalnya, dilihatnya Abu Yazid Suhail b. ‘Amr, salah seorang tawanan, yang kedua belah tangannya diikat dengan tali ke tengkuk, ia tak dapat menahan diri. Dihampirinya orang itu seraya katanya:”Oh Abu Yazid! Kamu sudah menyerahkan diri. Lebih baik mati sajalah dengan terhormat!.”
“Sauda!” Muhammad memanggilnya dan dalam rumah. “Kau membangkitkan semangatnya melawan Allah dan RasulNya!”
“Rasulullah,“ katanya. “Demi
Allah Yang telah mengutusmu dengan segala kebenaran. Saya sudah
tak dapat menahan diri ketika melihat Abu Yazid dengan tangannya
terikat di tengkuk sehingga saya berkata begitu.”
F. Perlakuan Untuk Tawanan Badar
Sesudah itu kemudian Muhammad memisah-misahkan para tawanan itu di antara sahabat-sahabatnya, sambil berkata kepada mereka:”Perlakukanlah mereka sebaik-baiknya.”
Hal ini kemudian menjadi pikiran baginya, apa yang harus dilakukannya terhadap mereka itu. Dibunuh saja atau harus meminta tebusan dari mereka? Mereka itu orang-orang yang keras dalam perang, orang yang kuat bertempur. Hati mereka penuh rasa dengki dan dendam setelah mereka mengalami kehancuran di Badr, serta akibatnya yang telah membawa keaiban sebagai tawanan perang. Apabila ia mau menerima tebusan, ini berarti mereka akan berkomplot dan akan kembali memeranginya lagi; kalau dibunuh saja mereka itu, akan menimbulkan sesuatu dalam
hati keluarga-keluarga Quraisy, yang bila dapat ditebus barangkali akan jadi tenang.
Ia menyerahkan masalah ini ketangan
sahabat-sahabat kaum Muslimin. Diajaknya mereka bermusyawarah dan
pilihan terserah kepada mereka. Kalangan Muslimin sendiri
melihat tawanan-tawanan ini ternyata masih ingin hidup dan akan
bersedia membayar tebusan dengan harga tinggi.
“Lebih baik kita mengirim orang kepada
Abu Bakr,” kata mereka. “Dari kerabat kita ia orang Quraisy yang
pertama, dan yang paling lembut dan banyak punya rasa belas-kasihan.
Kita tidak melihat Muhammad menyukai yang lain lebih dari dia.”
Lalu mereka mengutus orang menemui Abu Bakr.
“Abu Bakr,” kata mereka. “Di
antara kita ada yang masih pernah ayah, saudara, paman atau mamak
kita serta saudara sepupu kita. Orang yang jauh dari kitapun
masih kerabat kita. Bicarakanlah dengan sahabatmu itu supaya bermurah
hati kepada kami atau menerima penebusan kami.”
Dalam hal ini Abu Bakr berjanji akan berusaha. Tetapi mereka kuatir Umar ibn’l-Khattab akan mempersulit urusan mereka ini.
Maka mereka mengutus
beberapa orang lagi kepadanya, dengan menyatakan seperti yang
dikatakan kepada Abu Bakr. Tetapi Umar menatap mereka penuh curiga.
Kemudian kedua sahabat besar Muhammad ini berangkat
menemuinya. Abu Bakr berusaha melunakkan dan meredakan kemarahannya.
“Rasulullah,” katanya. “Demi
ayah dan ibuku. Mereka itu masih keluarga kita; ada ayah, ada anak
atau paman, ada sepupu atau saudara-saudara. Orang yang jauh dari
kitapun masih kerabat kita. Bermurah hatilah kita kepada mereka
itu. Semoga Tuhan memberi kemurahan kepada kita. Atau kita terimalah
tebusan dari mereka, semoga Tuhan akan menyelamatkan mereka dari api
neraka. Maka apa yang kita ambil dari mereka akan memperkuat Muslimin
juga. Semoga Allah kelak membalikkan hati mereka.”
Muhammad diam, tidak menjawab. Kemudian ia berdiri dan pergi menyendiri. Oleh Umar ia didekati dan duduk di sebelahnya.
“Rasulullah,” katanya.
“Mereka itu musuh-musuh Tuhan. Mendustakan tuan, memerangi tuan
dan mengusir tuan. Penggal sajalah leher mereka. Mereka inilah
kepala-kepala orang kafir, pemuka-pemuka orang yang sesat. Orang-orang
musyrik itu adalah orang-orang yang sudah dihinakan Tuhan.”
Juga Muhammad tidak menjawab.
Sekarang Abu Bakr kembali
ke tempat duduknya semula. Begitu lemah-lembut ia bersikap sambil
mengharapkan sikap yang lebih lunak. Disebutnya adanya pertalian
famili dan kerabat, dan kalau para tawanan itu masih hidup,
diharapkannya akan mendapat petunjuk Tuhan. Sedang Umar kembali
memperlihatkan sikapnya yang adil dan keras. Baginya lemah-lembut
atau kasihan tidak ada.
Selesai Abu Bakr dan Umar
bicara, Muhammad berdiri. Ia kembali ke kamarnya. Ia tinggal sejenak di
sana. Kemudian ia kembali keluar. Orang ramai segera melibatkan
diri dalam persoalan ini. Satu pihak mendukung pendapat Abu Bakr, yang
lain memihak kepada Umar. Nabi mengajak mereka berunding, apa yang
harus dilakukannya. Lalu dibuatnya suatu perumpamaan tentang Abu
Bakr dan Umar. Abu Bakr adalah seperti Mikail, diturunkan Tuhan
dengan membawa sifat pemaaf kepada hambaNya. Dan dari kalangan
nabi-nabi seperti Ibrahim. Ia sangat lemah-lembut terhadap
masyarakatnya. Oleh masyarakatnya sendiri ia dibawa dan dicampakkan
ke dalam api.
Tapi Nabi Mengatakan Firman Allah:
“Cih! Kenapa kamu menyembah sesuatu selain Allah? Tidakkah kamu berakal?” (Qur’an, 21: 67)
Atau seperti katanya:
“Yang ikut aku, dia itulah
yang di pihakku. Tapi terhadap yang membangkang kepadaku, Engkau Maha
Pengampun dan Penyayang.” (Qur’an. 14: 36)
Sumber :S E J A R A H H I D U P M U H A M M A D
oleh MUHAMMAD HUSAIN HAEKAL diterjemahkan dari bahasa Arab oleh Ali Audah
Penerbit PUSTAKA JAYA Jln. Kramat II, No. 31 A, Jakarta Pusat Cetakan Kelima, 1980