Posted by Drs.H.Mutawalli, M.Pd.I on August 28, 2010
A. Abu Jahl tidak setuju kembali ke Mekkah
Tetapi Abu Jahl ketika mendengar kata-kata ini, tiba-tiba berteriak:
“Kita tidak akan kembali
sebelum kita sampai di Badr. Kita akan tinggal tiga malam di tempat itu.
Kita memotong ternak, kita makan-makan, minum-minum
khamr, kita minta biduanita-biduanita bernyanyi. Biar
orang-orang Arab itu mendengar dan mengetahui perjalanan dan
persiapan kita. Biar mereka tidak lagi mau menakut-nakuti kita.”
Soalnya pada waktu itu Badr merupakan
tempat pesta tahunan. Apabila pihak Quraisy menarik diri dari
tempat itu setelah perdagangan mereka selamat, bisa jadi akan
ditafsirkan oleh orang-orang Arab - menurut pendapat Abu Jahl –
bahwa mereka takut kepada Muhammad dan teman-temannya. Dan ini
berarti kekuasaan Muhammad akan makin terasa, ajarannya akan makin
tersebar, makin kuat. Apalagi sesudah adanya satuan Abdullah b.
Jahsy, terbunuhnya Ibn’l-Hadzrami, dirampasnya dan ditawannya
orang-orang Quraisy.
Mereka jadi ragu-ragu: antara mau ikut
Abu Jahl karena takut dituduh pengecut, atau kembali saja
setelah kafilah perdagangan mereka selamat. Tetapi yang ternyata
kemudian kembali pulang hanya Banu Zuhra, setelah mereka mau
mendengarkan saran Akhnas b. Syariq, orang yang cukup ditaati mereka.
Pihak Quraisy yang lain ikut Abu Jahl.
Mereka berangkat menuju ke sebuah tempat perhentian, di tempat ini
mereka mengadakan persiapan perang, kemudian mengadakan perundingan.
Lalu mereka berangkat lagi ke tepi ujung wadi, berlindung di balik
sebuah bukit pasir.
Sebaliknya pihak Muslimin, yang sudah
kehilangan kesempatan mendapatkan harta rampasan, sudah sepakat
akan bertahan terhadap musuh bila kelak diserang. Oleh karena itu
merekapun segera berangkat ke tempat mata air di Badr itu, dan
perjalanan ini lebih mudah lagi karena waktu itu hujan turun. Setelah
mereka sudah mendekati mata air, Muhammad berhenti. Ada seseorang
yang bernama Hubab b. Mundhir b. Jamuh, orang yang paling banyak
mengenal tempat itu, setelah dilihatnya
Nabi turun di tempat tersebut, ia bertanya:
“Rasulullah, bagaimana
pendapat tuan berhenti di tempat ini? Kalau ini sudah wahyu Tuhan,
kita takkan maju atau mundur setapakpun dari tempat ini. Ataukah
ini sekedar pendapat tuan sendiri, suatu taktik perang belaka?”
“Sekedar pendapat saya dan sebagai taktik perang,” jawab Muhammad.
“Rasulullah,” katanya lagi. “Kalau
begitu, tidak tepat kita berhenti di tempat ini. Mari kita pindah
sampai ke tempat mata air terdekat dan mereka, lalu sumur-sumur
kering yang dibelakang itu kita timbun. Selanjutnya kita membuat
kolam, kita isi sepenuhnya. Barulah kita hadapi mereka berperang.
Kita akan mendapat air minum, mereka tidak.”
Melihat saran Hubab yang begitu
tepat itu, Muhammad dan rombongannya segera pula bersiap-siap dan
mengikuti pendapat temannya itu, sambil mengatakan kepada
sahabat-sahabatnya bahwa dia juga manusia seperti mereka, dan
bahwa sesuatu pendapat itu dapat dimusyawarahkan bersama-sama dan dia
tidak akan menggunakan pendapat sendiri di luar mereka. Dia perlu
sekali mendapat konsultasi yang baik dari sesama mereka sendiri.
Selesai kolam itu dibuat, Sa’d b. Mu’adh mengusulkan: “Rasulullah,”7
katanya, “kami akan membuatkan sebuah dangau buat tempat Tuan
tinggal, kendaraan Tuan kami sediakan. Kemudian biarlah kami
yang menghadapi musuh. Kalau Tuhan memberi kemenangan kepada kita
atas musuh kita, itulah yang kita harapkan. Tetapi kalaupun
sebaliknya yang terjadi; dengan kendaraan itu Tuan dapat menyusul
teman-teman yang ada di belakang kita. Rasulullah,7 masih banyak
sahabat-sahabat kita yang tinggal di belakang, dan cinta mereka kepada
tuan tidak kurang dari cinta kami ini kepada tuan. Sekiranya mereka
dapat menduga bahwa tuan akan dihadapkan pada perang, niscaya mereka
tidak akan berpisah dari tuan. Dengan mereka Tuhan menjaga tuan.
Mereka benar-benar ikhlas kepada tuan, berjuang bersama tuan.”
Muhammad sangat menghargai dan
menerima baik saran Sa’d itu. Sebuah dangau buat Nabi lalu
dibangun. Jadi bila nanti kemenangan bukan di tangan Muslimin, ia
takkan jatuh ke tangan musuh, dan masih akan dapat
bergabung dengan sahabat-sahabatnya di Yathrib.
Disini orang perlu berhenti sejenak
dengan penuh kekaguman, kagum melihat kesetiaan Muslimin yang
begitu dalam, rasa kecintaan mereka yang begitu besar kepada
Muhammad, serta dengan kepercayaan penuh kepada ajarannya. Semua
mereka mengetahui, bahwa kekuatan Quraisy jauh lebih besar dari
kekuatan mereka, jumlahnya tiga kali lipat banyaknya. Tetapi,
sungguhpun begitu, mereka sanggup menghadapi, mereka sanggup melawan.
Dan mereka inilah yang sudah kehilangan kesempatan mendapatkan
harta rampasan. Tetapi sungguhpun begitu karena bukan pengaruh materi
itu yang mendorong mereka bertempur, mereka selalu siap
disamping Nabi, memberikan dukungan, memberikan kekuatan. Dan
mereka inilah yang juga sangsi, antara harapan akan menang, dan
kecemasan akan kalah. Tetapi, sungguhpun begitu, pikiran mereka
selalu hendak melindungi Nabi, hendak menyelamatkannya dari
tangan musuh. Mereka menyiapkan jalan baginya untuk menghubungi
orang-orang yang masih tinggal di Medinah. Suasana yang bagaimana
lagi yang lebih patut dikagumi daripada ini? Iman mana lagi yang lebih
menjamin akan memberikan kemenangan seperti iman yang ada ini?
Sekarang pihak Quraisy sudah turun ke
medan perang. Mereka mengutus orang yang akan memberikan laporan
tentang keadaan kaum Muslimin. Mereka lalu mengetahui, bahwa
jumlah kaum Muslimin lebih kurang tiga ratus orang, tanpa
pasukan pengintai, tanpa bala bantuan. Tetapi mereka adalah
orang-orang yang hanya berlindung pada pedang mereka sendiri. Tiada
seorang dan mereka akan rela mati terbunuh, sebelum dapat membunuh
lawan.
Mengingat bahwa gembong-gembong Quraisy
telah juga ikut serta dalam angkatan perang ini, beberapa orang dari
kalangan ahli pikir mereka merasa kuatir, kalau-kalau banyak dari mereka
itu yang akan terbunuh, sehingga Mekah sendiri nanti akan
kehilangan arti. Sungguhpun begitu mereka masih takut kepada Abu Jahl
yang begitu keras, juga mereka takut dituduh pengecut dan penakut.
Tetapi tiba-tiba tampil ‘Utba b. Rabi’a ke hadapan mereka itu
sambil berkata:
“Saudara-saudara kaum
Quraisy, apa yang tuan-tuan lakukan hendak memerangi Muhammad dan
kawan-kawannya itu, sebenarnya tak ada gunanya. Kalau dia sampai
binasa karena tuan-tuan, masih ada orang lain dari kalangan tuan-tuan
sendin yang akan melihat, bahwa yang terbunuh itu adalah saudara
sepupunya, dari pihak bapa atau pihak ibu, atau siapa saja
dari keluarganya. Kembali sajalah dan biarkan Muhammad dengan
teman-temannya itu. Kalau dia binasa karena pihak lain, maka itu
yang tuan-tuan kehendaki. Tetapi kalau bukan itu yang terjadi, kita
tidak perlu melibatkan diri dalam hal-hal yang tidak kita inginkan.”
Mendengar kata-kata ‘Utba itu, Abu Jahl naik darah. Ia segera memanggil ‘Amir bin’l-Hadzrami dengan mengatakan:
“Sekutumu ini ingin supaya
orang pulang. Kau sudah melihat dengan mata kepala sendiri siapa
yang harus dituntut balas. Sekarang, tuntutlah pembunuhan terhadap
saudaramu!”8
‘Amir segera bangkit dan berteriak:”O saudaraku! Tak ada jalan lain mesti perang!”
Dengan dipercepatnya pertempuran itu Aswad b. ‘Abd’l-Asad (Makhzum) keluar dari barisan Quraisy langsung menyerbu ke tengah-tengah barisan Muslimin dengan maksud hendak menghancurkan kolam air yang sudah selesai dibuat. Tetapi ketika itu juga Hamzah b. Abd’l-Muttalib segera menyambutnya dengan satu pukulan yang mengenai kakinya, sehingga ia tersungkur dengan kaki yang sudah berlumuran darah. Sekali lagi Hamzah memberikan pukulan, sehingga ia tewas di belakang kolam itu. Buat mata pedang memang tak ada yang tampak lebih tajam daripada darah. Juga tak ada sesuatu yang lebih keras membakar semangat perang dan pertempuran dalam jiwa manusia daripada melihat orang yang mati di tangan musuh sedang teman-temannya berdiri menyaksikan.
Begitu melihat Aswad jatuh, maka
tampillah ‘Utba b. Rabi’a didampingi oleh Syaiba saudaranya dan
Walid b. ‘Utba anaknya, sambil menyerukan mengajak duel. Seruannya itu
disambut oleh pemuda-pemuda dari Medinah. Tetapi setelah melihat
mereka ini ia berkata lagi:
“Kami tidak memerlukan kamu. Yang kami maksudkan ialah golongan kami.”
Lalu dari mereka ada yang memanggil-manggil:
“Hai Muhammad! Suruh mereka yang berwibawa dari asal golongan kami itu tampil!”
B. Perang Badar diawali dengan satu lawan satu
Ketika itu juga yang tampil menghadapi
mereka adalah Hamzah b. Abd’l-Muttalib, Ali b. Abi Talib dan ‘Ubaida
bin’l-Harith. Hamzah tidak lagi memberi kesempatan kepada Syaiba,
juga Ali tidak memberi kesempatan kepada Walid, mereka itu ditewaskan.
Lalu keduanya segera membantu ‘Ubaida yang kini sedang
diterkam oleh ‘Utba. Sesudah Quraisy sekarang melihat kenyataan
ini mereka semua maju menyerbu.
Pada pagi Jum’at 17 Ramadan itulah
kedua pasukan itu berhadap-hadapan muka. Sekarang Muhammad
sendiri yang tampil memimpin Muslimin, mengatur barisan. Tetapi
ketika dilihatnya pasukan Quraisy begitu besar, sedang anak
buahnya sedikit sekali, disamping perlengkapan yang sangat lemah
dibanding dengan perlengkapan Quraisy, ia kembali ke pondoknya
ditemani oleh Abu Bakr. Sungguh cemas ia akan peristiwa yang akan
terjadi hari itu, sungguh pilu hatinya melihat nasib yang akan
menimpa Islam sekiranya Muslimin tidak sampai mendapat kemenangan.
Muhammad kini menghadapkan wajahnya ke
kiblat, dengan seluruh jiwanya ia menghadapkan diri kepada Tuhan, ia
mengimbau Tuhan akan segala apa yang telah dijanjikan
kepadanya, ia membisikkan permohonan dalam hatinya agar Tuhan
memberikan pertolongan. Begitu dalam ia hanyut dalam doa,
dalam permohonan, sambil berkata:
“Allahumma ya Allah. Ini
Quraisy sekarang datang dengan segala kecongkakannya, berusaha hendak
mendustakan RasulMu. Ya Allah, pertolonganMu juga yang Kaujanjikan
kepadaku. Ya Allah, jika pasukan ini sekarang binasa tidak lagi ada
ibadat kepadaMu.”
Sementara ia masih hanyut dalam doa
kepada Tuhan sambil merentangkan tangan menghadap kiblat itu,
mantelnya terjatuh. Ketika itu Abu Bakr lalu meletakkan mantel itu
kembali ke bahunya, sambil ia bermohon:
“Rasulullah, dengan doamu itu Tuhan akan mengabulkan apa yang telah dijanjikan kepadamu.”
Tetapi sungguhpun begitu, Muhammad makin
dalam terbawa dalam doa, dalam tawajuh kepada Allah; dengan penuh
khusyu’ dan kesungguhan hati ia terus memanjatkan doa, memohonkan
isyarat dan pertolongan Tuhan dalam menghadapi peristiwa, yang oleh
kaum Muslimin sama sekali tidak diharapkan, dan untuk itu tidak
pula mereka punya persiapan. Karena yang demikian inilah akhirnya ia
sampai terangguk dalam keadaan mengantuk. Dalam pada itu tampak
olehnya pertolongan Tuhan itu ada. Ia sadar kembali, kemudian ia bangun
dengan penuh rasa gembira.
Sekarang ia keluar menemui sahabat-sahabatnya; dikerahkannya mereka sambil berkata:
“Demi Dia Yang memegang hidup Muhammad.9 Setiap orang yang sekarang bertempur dengan tabah, bertahan mati-matian, terus maju dan pantang mundur, lalu ia tewas, maka Allah akan menempatkannya di dalam surga.”
Jiwanya yang begitu kuat, yang telah
diberikan Tuhan begitu tinggi melampaui segala kekuatan, telah
tertanam pula dengan ajarannya ke dalam jiwa orang-orang beriman.
Dan kekuatan mereka itu sudah melampaui semangat mereka sendiri,
sehingga setiap orang dari mereka sama dengan dua orang, bahkan sama
dengan sepuluh orang.
Akan lebih mudah orang memahami ini bila
diingat arti kekuatan moril yang begitu besar pengaruhnya dalam jiwa
seseorang, dan ini akan bertambah besar pengaruhnya apabila kekuatan
moril ini ada pula dasarnya. Semangat nasionalisma juga dapat
menambah ini. Seorang prajurit yang mempertahankan tanah air yang
terancam bahaya, jiwanya penuh dengan semangat patriotisma,
akan bertambah kekuatan morilnya sesuai dengan besar cintanya kepada
tanah air serta kekuatirannya akan bahaya yang mengancam tanah air
itu dari pihak musuh.
Oleh karena itu semangat patriotisma
dan pengorbanan untuk tanah air oleh bangsa-bangsa di dunia telah
ditanamkan kepada warga negaranya sejak semasa mereka kecil. Adanya
kepercayaan kepada kebenaran, kepada keadilan, kebebasan serta
arti kemanusiaan yang tinggi menambah pula kekuatan moril dalam jiwa
orang. Ini berarti melipat-gandakan kekuatan materi. Dan orang yang
masih ingat akan propaganda anti-Jerman yang begitu luas disebarkan
pihak Sekutu dalam Perang Dunia I, yang pada dasarnya mereka
berperang melawan kekuatan senjata Jerman itu karena hendak membela
kebebasan dan kebenaran serta mempersiapkan suatu perjanjian
perdamaian, akan menyadari betapa sesungguhnya propaganda itu
dapat melipat-gandakan kekuatan semangat prajurit-prajurit
Sekutu di samping menimbulkan simpati sebagian besar bangsa-bangsa di
dunia.
Apa artinya nasionalisma dan masalah
perdamaian, dibandingkan dengan tujuan yang diserukan Muhammad itu!
Tujuan komunikasi manusia dengan seluruh wujud, suatu komunikasi
yang akan meleburkannya dan keluar menjadi salah satu kekuatan
alam semesta, yang akan memberi arah kepadanya menuju kebaikan
hidup, kenikmatan dan kesempurnaan yang integral.
Ya! Apa artinya nasionalisma dan masalah
perdamaian disamping kewajibannya disisi Tuhan, membela orang-orang
yang beriman dari renggutan mereka yang hendak membuat fitnah dan
godaan, dari mereka yang mengalangi jalan kebenaran, mereka yang
hendak menjerumuskan umat manusia ke jurang paganisma dan syirik.
Apabila dengan rasa cinta tanah air jiwa itu makin kuat, sesuai
dengan semua kekuatan tanah air yang ada, dan dengan rasa cinta
perdamaian untuk seluruh umat manusia jiwa itupun makin kuat, sesuai
dengan kekuatan semua umat manusia
yang ada, maka betapa pula dahsyatnya
kekuatan jiwa yang dibawa oleh adanya iman kepada semesta wujud
dan Pencipta seluruh wujud ini! Iman itulah yang akan membuat
tenaga manusia mampu memindahkan gunung, menggerakkan isi dunia. Ia
dapat mengawasi – dengan kemampuan
morilnya - segala yang masih berada di bawah taraf itu. Dan
kemampuan moril ini akan berlipat ganda pula kekuatannya.
Apabila secara integral kemampuan
moril ini belum lagi mencapai tujuannya disebabkan oleh adanya
perbedaan pendapat di kalangan Muslimin sebelum terjadi perang, belum
dicapainya kekuatan materi sebagaimana yang diharapkan, maka dengan
daya iman itu justru ia mempunyai kelebihannya. Hal ini bertambah
kuat lagi tatkala Muhammad dan sahabat-sahabatnya dapat
mengerahkan mereka. Maka dengan demikian, jumlah manusia dan
perlengkapan yang sangat sedikit itu telah rnendapat
kompensasi. Dalam keadaan Nabi dan sahabat-sahabatnya yang demikian
inilah kedua ayat ini turun:
“O Nabi! Bangunkanlah semangat
orang-orang beriman itu dalam menghadapi perang. Bila kamu berjumlah
duapuluh orang yang tabah, mereka ini akan mengalahkan duaratus
orang. Bila kamu berjumlah seratus orang, niscaya akan mengalahkan
seribu orang kafir; sebab mereka adalah orang-orang yang tidak
mengerti. Sekarang Tuhan meringankan kamu, karena Ia mengetahui, bahwa
pada kamu masih ada kelemahan. Maka, jika kamu berjumlah seratus
orang yang tabah, akan dapat mengalahkan duaratus orang, dan
jika kamu seribu orang, akan dapat mengalahkan duaribu dengan ijin
Allah. Dan Allah bersama orang-orang yang berhati tabah.” (Qur’an,
8:55-56.)
Keadaan Muslimin ternyata bertambah
kuat setelah Muhammad membangkitkan semangat mereka, turut hadir di
tengah-tengah mereka, mendorong mereka mengadakan perlawanan terhadap
musuh. Ia menyerukan kepada mereka, bahwa surga bagi mereka yang
telah teruji baik dan langsung terjun ke tengah-tengah musuh.
Dalam hal ini kaum Muslimin
mengarahkan perhatiannya pada pemuka-pemuka dan pemimpin-pemimpin
Quraisy. Mereka hendak dikikis habis sebagai balasan yang seimbang
tatkala mereka disiksa di Mekah dulu, dirintangi memasuki Mesjid
Suci dan berjuang untuk Allah. Bilal melihat Umayya b. Khalaf dan
anaknya, begitu juga beberapa orang Islam melihat mereka yang
dikenalnya di Mekah dulu. Umayya ini adalah orang yang pernah menyiksa
Bilal dulu, ketika ia dibawanya ketengah-tengah padang pasir yang
paling panas di Mekah. Ditelentangkannya ia di tempat itu lalu
ditindihkannya batu besar di dadanya, dengan maksud supaya ia
meninggalkan Islam. Tetapi Bilal hanya berkata: “Ahad, Ahad.10 Yang
Satu, Yang Satu.” Ketika dilihatnya Umayya, Bilal berkata:
“Umayya, moyang kafir. Takkan selamat aku, kalau kau lolos!”
Beberapa orang dari kalangan
Muslimin mengelilingi Umayya dengan tujuan jangan sampai ia terbunuh
dan akan dibawanya sebagai tawanan.
Tetapi Bilal di tengah-tengah orang banyak itu berteriak sekeras-kerasnya:
“Sekalian tentara Tuhan! Ini Umayya b. Khalaf kepala kafir. Takkan selamat aku kalau ia lolos.”
Orang banyak berkumpul. Tetapi Bilal tak
dapat diredakan lagi, dan Umayya dibunuhnya. Ketika itu Mu’adh b. ‘Amr
b. Jamuh juga dapat menewaskan Abu Jahl b. Hisyam. Kemudian Hamzah, Ali
dan pahlawan-pahlawan Islam yang lain menyerbu ke tengah-tengah
pertempuran sengit itu. Mereka sudah lupa akan dirinya
masing-masing dan lupa pula akan jumlah kawan-kawannya yang hanya
sedikit berhadapan dengan musuh yang begitu besar.
Debu dan pasir halus membubung dan
beterbangan memenuhi udara. Kepala-kepala ketika itu sudah lepas
berjatuhan dari tubuh Quraisy. Berkat iman yang teguh keadaan
Muslimin bertambah kuat juga. Dengan gembira mereka berseru: Ahad,
Ahad. Di hadapan mereka kini terbuka tabir ruang dan waktu, sebagai
bantuan Tuhan kepada mereka dengan para malaikat yang
memberikan berita gembira, yang membuat iman mereka bertambah teguh,
sehingga bila salah seorang dari mereka mengangkat pedang dan
mengayunkannya ke leher musuh, seolah-olah tangan mereka digerakkan
dengan tenaga Tuhan.
Di tengah-tengah medan pertempuran
yang sedang sibuk dikunjungi malaikat maut memunguti leher
orang-orang kafir itu, Muhammad berdiri. Diambilnya segenggam
pasir, dihadapkannya kepada Quraisy. “Celakalah wajah-wajah mereka itu!” katanya sambil menaburkan pasir itu kearah mereka. Sahabat-sahabatnya lalu diberi komando:”Serbu!”
Sumber : S E J A R A H H I D U P M U H A M M A D
oleh MUHAMMAD HUSAIN HAEKAL diterjemahkan dari bahasa Arab oleh Ali Audah
Penerbit PUSTAKA JAYA Jln. Kramat II, No. 31 A, Jakarta Pusat Cetakan Kelima, 1980