Posted by Drs.H.Mutawalli, M.Pd.I on September 1, 2010
Di kalangan para nabi seperti Isa tatkala ia berkata: “Kalaupun mereka Engkau siksa, mereka itu semua hambaMu; dan kalau Engkau ampuni, Engkau Maha Kuasa dan Bijaksana.” (Qur’an, 5: 118)
Sedang Umar, dalam malaikat
contohnya seperti Jibril, diturunkan membawa kemurkaan dari Tuhan
dan bencana terhadap musuh-musuhNya. Di lingkungan para nabi ia seperti
Nuh tatkala berkata: “Tuhan, jangan biarkan orang-orang yang ingkar itu punya tempat-tinggal di muka bumi ini.” (Qur’an, 71: 26)
Atau seperti Musa bila ia berkata: “O
Tuhan! Binasakanlah harta-benda mereka itu, dan tutuplah hati
mereka. Mereka takkan percaya sebelum siksa yang pedih mereka
rasakan.” (Qur’an, 10: 88)
Kemudian katanya:“Kamu semua mempunyai tanggungan. Jangan ada yang lolos mereka itu, harus dengan ditebus atau dipenggal lehernya.“
A. Abu ‘Azza ‘Amr b. Abdullah b. ‘Umair al-Jumahi Tawanan Badar Yang dibebaskan dengan Jaminan Nabi
Kaum MusliminLalu mereka berunding lagi
dengan sesamanya. Di antara mereka itu ada seorang penyair, yaitu Abu
‘Azza ‘Amr b. Abdullah b. ‘Umair al-Jumahi. Melihat adanya
pertentangan pendapat itu cepat-cepat ia mau menyelamatkan diri.
“Muhammad,” katanya, “Saya punya lima anak perempuan dan mereka
tidak punya apa-apa. Maka sedekahkan sajalah aku ini kepada mereka.
Aku berjanji dan memberikan jaminan, bahwa aku tidak akan memerangi kau
lagi, juga sama sekali aku tidak akan memaki-maki kau lagi.”
Orang ini mendapat jaminan Nabi dan
dibebaskan tanpa membayar uang tebusan. Hanya dialah satu-satunya
tawanan yang berhasil mendapat jaminan demikian. Tetapi kemudian
ia memungkiri janjinya, dan kembali ia setahun kemudian ikut
berperang di Uhud. Ia kena tawan lagi lalu terbunuh.
Pihak Muslimin, sesudah lama berunding
akhirnya memutuskan, bahwa mereka dapat mengabulkan cara penebusan
itu. Dengan dikabulkannya itu ayat ini turun.
“Tidak sepatutnya
seorang nabi itu akan mempunyai tawanan-tawanan perang,
sebelum ia selesai berjuang di dunia. Kamu menghendaki harta-benda
dunia, sedang Allah menghendaki akhirat. Allah Maha Kuasa dan
Bijaksana.” (Qur’an, 8: 67)
Menanggapi masalah tawanan-tawanan Badr
ini serta terbunuhnya Nadzr dan ‘Uqba ada beberapa orang Orientalis
yang masih bertanya-tanya: bukankah dengan demikian ini sudah
membuktikan bahwa agama baru ini sangat haus darah? Kalau tidak
tentu kedua orang itu tidak akan dibunuh. Bukankah sesudah mendapat
kemenangan dalam pertempuran akan lebih terhormat bagi kaum Muslimin
jika mengembalikan saja para tawanan itu, dan mereka sudah cukup
memperoleh rampasan perang?
Maksudnya dengan pertanyaan ini ialah
hendak membangkitkan rasa simpati dalam hati orang yang selama itu
belum menjadi masalah, supaya seribu tahun kemudian sesudah perang Badr
dan peperangan-peperangan yang terjadi berikutnya akan dijadikan alat
untuk mendiskreditkan agama ini serta pembawany
Tetapi ternyata pertanyaan semacam ini
kemudian jadi gugur sendiri apabila terbunuhnya Nadzr dan
‘Uqba ini kita bandingkan dengan apa yang terjadi dewasa ini dan akan
selalu terjadi, selama perabadan Barat, yang memakai jubah Kristen
itu masih tetap menguasai dunia. Terhadap apa yang telah terjadi
di negara-negara yang dikuasai oleh penjajah secara paksa atas nama
hendak memadamkan pemberontakan itu, dapatkah peristiwa di atas
tadi - sedikit saja - dijadikan perbandingan? Dapatkah hal
itu - sedikit saja - kita bandingkan dengan penyembelihan
yang terjadi dalam Perang Dunia? Selanjutnya, dapatkah peristiwa
itu kita bandingkan pula - sedikit saja – dengan apa yang telah
terjadi selama Revolusi Perancis, dalam pelbagai revolusi yang pernah
terjadi dan akan selalu terjadi pada bangsa-bangsa Eropa lainnya?
Memang sudah tak dapat disangkal
bahwa apa yang dialami Muhammad dan sahabat-sahabatnya itu adalah
suatu revolusi yang dahsyat dan Muhammad yang diutus Tuhan,
berhadapan dengan paganisma dan orang-orang musyrik sebagai
penyembahnya. Suatu revolusi, yang pada mulanya berkecamuk di Mekah,
dan yang oleh karenanya, berbagai macam siksaan dan penderitaan dialami
oleh Muhammad dan sahabat-sahabatnya selama tigabelas tahun
terus-menerus. Kemudian kaum Muslimin pindah ke Medinah. Di tempat
ini mereka nengumpulkan tenaga dan kekuatan. Sementara itu benih-benih
revolusi masih terus tumbuh dalam hati mereka, juga dalam hati semua
orang Quraisy.
Pindahnya Muslimin ke Medinah,
perjanjian mereka dengan orang-orang Yahudi setempat, terjadinya
benterokan-benterokan sebelum peristiwa Badr, lalu Perang Badr itu
sendiri – semua itu adalah suatu siasat revolusi, bukan prinsip.
Kebijaksanaan
yang telah ditentukan oleh
pemimpin revolusi dan sahabat-sahabatnya itu akan disusul pula oleh
adanya ketentuan prinsip-prinsip yang luhur, yang telah dibawa oleh
Rasul.
Jadi, siasat revolusi itu lain dan
prinsip-prinsip revolusi lain lagi. Juga kondisi yang terjadi
berikutnya kadang sama sekali berbeda dari tujuan pokok kondisi itu.
Dalam hal Islam telah menjadikan rasa persaudaraan
sebagai dasar peradaban Islam, maka untuk mencapai sukses jalan itu
harus ditempuh, sekalipun untuk itu harus berlaku suatu kekerasan kalau
memang sudah tak dapat dihindarkan lagi.
Tindakan kaum Muslimin terhadap
tawanan-tawanan perang Badr adalah suatu teladan yang baik dan
penuh kasih-sayang, dibandingkan dengan apa yang terjadi dalam
beberapa revolusi yang oleh pencetusnya diagungkan dengan arti
keadilan dan kasih-sayang. Dan inipun merupakan satu bagian saja di
samping penyembelihan-penyembelihan yang banyak terjadi atas nama
Kristus, seperti penyembelihan Saint Bartholomew (Saint
Barthelemy), suatu peristiwa penyembelihan yang dapat dianggap sebagai
suatu aib besar dalam sejarah Kristen, yang dalam sejarah Islam
contoh semacam itu samasekali tidak pernah ada.
Penyembelihan ini diatur pada waktu
malam. Orang-orang Katolik di Paris membantai orang-orang
Protestan dengan jalan tipu-muslihat dan penghkianatan, suatu
gambaran tipu-muslihat dan penghianatan yang sungguh rendah dan kotor.
Jadi kalau dua orang saja dari lima
puluh tawanan Badr itu yang dibunuh oleh Muslimin, karena mereka
selama tiga belas tahun memang begitu kejam terhadap kaum Muslimin,
yang sampai menderita pelbagai macam siksaan selama di Mekah,
itupun karena adanya sikap kasihan yang berlebih-lebihan dan dianggap
sebagai suatu keuntungan yang terlalu pagi seperti disebutkan dalam
ayat:
“Tidak sepatutnya
seorang nabi itu akan mempunyai tawanan-tawanan perang, sebelum
ia selesai berjuang di dunia. Kamu menghendaki kekayaan duniawi,
sedang Allah menghendaki akhirat. Allah Maha Kuasa dan Bijaksana.” (Qur’an, 8: 67)
Sementara orang-orang Islam sedang
bersukaria karena dengan anugerah Tuhan mereka mendapat
kemenangan berikut harta rampasan, Haisuman b. Abdullah al-Khuza’i
secara tergesa-gesa sekali berangkat pula menuju Mekah. Dia menjadi
orang yamg pertama masuk di Mekah dan memberitahukan penduduk
mengenai hancurnya pasukan Quraisy serta bencana yang telah menimpa
pembesar-pembesar, pemimpin-pemimpin dan bangsawan-bangsawan mereka.
Pada mulanya Mekah terkejut sekali, dan tidak mempercayai
berita itu. Betapa takkan terkejut mendengar berita kehancuran itu
serta terbunuhnya pemimpin-pemimpin dan
bangsawan-bangsawan mereka! Tetapi
tampaknya Haisuman memang tidak mengigau, diyakinkannya sekali apa
yang dikatakannya. Dari pihak Quraisy dia sendiri memang yang
merasa paling terpukul dengan bencana itu.
Setelah ternyata berita kejadian
tersebut memang benar, seolah-olah mereka tersungkur jatuh pingsan.
Abu Lahab jatuh demam, dan tujuh hari kemudian iapun meninggal.
Sekarang orang-orang mengadakan perundingan, apa yang harus mereka
lakukan. Kemudian dicapai kata sepakat untuk tidak menyatakan
duka-cita atas kematian mereka, sebab apabila nanti ini
terdengar oleh Muhammad dan sahabat-sahabatnya, mereka akan diejek.
Juga tidak akan mengrim orang untuk menebus para tawanan
itu, supaya jangan sampai Muhammad dan sahabat-sahabatnya
nanti memperketat mereka dan meminta tebusan yang terlampau
tinggi.
Haripun berjalan juga. Orang-orang
Quraisy sedang menahan hati mengalami cobaan itu sambil menunggu
kesempatan sampai dapat tawanan-tawanan mereka itu nanti tertebus.
Hari itu yang datang adalah Mikraz b. Hafz, hendak menebus Suhail b.
‘Amr. Rupanya Umar bin’l-Khattab keberatan kalau orang itu bebas
tanpa mendapat sesuatu gangguan. Maka lalu ia berkata:
“Rasulullah. Ijinkan saya
mencabut dua gigi seri Suhail b. ‘Amr ini, supaya lidahnya
menjulur keluar dan tidak lagi berpidato mencercamu di mana-mana.”
Tapi ini dijawab oleh Nabi dengan suatu jawaban yang sungguh agung:
“Aku tidak akan memperlakukannya secara kasar, supaya Tuhan tidak memperlakukan aku demikian, sekalipun aku seorang nabi.”
Zainab puteri Nabi juga lalu
mengirimkan tebusan hendak membebaskan suaminya, Abu’l-’Ash b.
Rabi’. Diantara yang dipakai penebus itu ialah sebentuk kalung
pemberian Khadijah ketika dulu ia akan dikawinkan dengan Abu’l-’Ash.
Melihat kalung itu, Nabi merasa sangat terharu sekali
“Kalau tuan-tuan hendak
melepaskan seorang tawanan dan mengembalikan barang tebusannya
kepada sipemilik, silakan saja,” kata Nabi. Kemudian ia mendapat
kata sepakat dengan Abu’l-’Ash untuk menceraikan Zainab, yang
menurut hukum Islam mereka sudah bercerai. Dalam pada itu Muhammad
mengutus Zaid b. Haritha dan seorang sahabat lagi guna menjemput Zainab
dan membawanya ke Medinah.
B.Abu’l-Ash Serang Tawanan
Akan tetapi sesudah sekian lama
Abu’l-’Ash dibebaskan sebagai tawanan, ia berangkat ke Syam membawa
barang dagangan Quraisy. Sesampainya di dekat Medinah, ia bertemu
dengan satuan Muslimin. Barang-barang bawaannya mereka ambil. Ia
meneruskan perjalanan dalam gelap malam itu hingga ke tempat Zainab.
Ia minta perlindungan dari Zainab dan Zainabpun melindunginya pula.
Ketika itu barang-barang dagangannya dikembalikan oleh Muslimin
kepadanya dan dengan aman ia kembali ke Mekah. Setelah
barang-barang tersebut dikembalikan kepada pemiliknya masing-masing dari
kalangan Quraisy, ia berkata:
“Masyarakat Quraisy! masih adakah
dari kamu yang belum mengambil barangnya?” “Tidak ada,” jawab
mereka. “Mudah-mudahan Tuhan membalas kebaikanmu. Engkau ternyata
orang yang jujur dan murah hati.” “Saya naik saksi,” katanya lagi
kemudian, “bahwa tak ada Tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad
adalah hamba dan RasulNya. Sebenarnya saya dapat saja masuk Islam di
kotanya itu, tapi saya kuatir tuan-tuan akan menduga, bahwa saya
hanya ingin makan harta tuan-tuan ini. Setelah semua ini saya
kembalikan kepada tuan-tuan dan tugas saya selesai, maka sekarang
saya masuk Islam.”
Kemudian ia kembali ke Medinah.
Zainab juga oleh Nabi dikembalikan lagi kepadanya. Dalam pada itu
pihak Quraisy terus saja menebus tawanannya. Nilai tebusan waktu itu
berkisar antara seribu sampai empat ribu dirham untuk tiap orang.
Kecuali yang tidak punya apa-apa dengan kemurahan hati Muhammad
membebaskannya.
Rasanya tidak ringan nasib yang
menimpa Quraisy itu, juga mereka tidak mau menghentikan permusuhan
dengan Muhammad atau melupakan kekalahan yang mereka alami. Bahkan
sesudah itu kemudian wanita-wanita Quraisy itu ramai-ramai selama
sebulan penuh menangisi mayat mereka. Rambut kepala mereka sendiri
mereka gunting. Kendaraan atau kuda orang yang sudah mati itu dibawa,
lalu mereka menangis mengelilinginya.
Dalam hal ini tak ada yang ketinggalan,
kecuali Hindun bt. ‘Utba, isteri Abu Sufyan. Ketika pada suatu hari
ia didatangi oleh wanita-wanita dengan mengatakan: “Kau tidak
menangisi ayahmu, saudaramu, pamanmu dan keluargamu?”
Ia menjawab:
“Aku menangisi mereka?
Supaya kalau nanti didengar oleh Muhammad dan teman-temannya
mereka menyoraki kita? Dan wanita-wanita Khazraj juga akan
menyoraki kita? Tidak! Aku mesti menuntut balas kepada Muhammad dan
teman-temannya! Haram kita memakai minyak sebelum dapat kita
memerangi Muhammad. Sungguh, kalau aku dapat mengetahui, bahwa kesedihan
itu bisa hilang dari hatiku, tentu aku menangis. Tetapi ini baru
akan hilang kalau mangsaku yang membunuh orang-orang yang kucintai itu
sudah kulihat dengan mata kepalaku sendiri!”
Memang, ia tidak lagi memakai
minyak atau mendekati tempat-tidur Abu Sufyan. Ia terus mengerahkan
orang sampai pada waktu pecah perang Uhud. Sedang Abu Sufyan,
sesudah peristiwa Badr, ia bernazar tidak akan bersuci kepala dengan
air sebelum ia memerangi Muhammad.
Catatan kaki:
- 1. Pada umumnya istilah ghazwa dan sarinya, dibedakan dengan pengertian, bahwa ghazwa (jamak ghazawat), pasukan yang bergerak bersama-sama dengan Nabi, sedang sariya (jamak saraya) pasukan yang bergerak tanpa Nabi ikut serta. Kata ghazwa pada umumnya diterjemahkan dengan perang. Dalam terjemahan ini dipergunakan tiga pengertian: perang ekspedisi dan razzia atau pembersihan. Buku yang lebih khusus membicarakan strategi perang antara lain: Mayor Muh. Abd’l-Fattah Ibrahim, Muhammad al-Qa’id, Cairo 1945/1964; Muhammad Hamidullah, The Battlefields of the Prophet Muhammad, Working, England, 1952, 1953; Jenderal Mahmud Syait Khattab Ar-Rasul’l-Qa’id, Cairo, 1964. Badr adalah sebuah desa di barat daya Medinah, sebuah pangkalan air terkenal yang terletak antara Medinah dan Mekah, tak seberapa jauh dari pantai Laut Merah (A).
- 2. Al-Haura, sebuah distrik di sebelah Mesir pada akhir perbatasan dengan Hijaz di Laut Merah, yang merupakan pelabuhan kapal-kapal Mesir ke Medinah. Cf. Jenderal Mahmud Syeit Khattab, ar-Rasul’l-Qa’id, hal. 90 (A).
- 3. Julukan Umayya b. Khalaf (A).
- 4. Ihda’t-ta’ifatain, harfiah, salah satu dari dua kelompok. Dua kelompok ialah kafilah Quraisy yang datang dari Suria membawa harta dagangan yang besar, terdiri dari 40 orang tak bersenjata di bawah pimpinan Abu Sufyan. 2) Angkatan bersenjata Quraisy terdiri dan 1000 orang dengan perenjataan lengkap datang dan Mekah di bawah pimpinan Abu Jahl. (A).
- 5. ‘Udwa ‘tepi wadi’ (LA). Al-’udwat’l-qashwa ‘tepi wadi yang lebih dekat ke arah Mekah’ sebaliknya daripada ’al-’udwat’d-dunya’ ‘tepi wadi yang lebih dekat ke arah Medinah’ (L4) (A)
- 6. Qur’an, 8: 7. (Lihat juga catatan bahwa halaman 268) (A).
- 7. Aslinya “Ya Nabiullah” (A).
- 8. Maksudnya ‘Amr bin’l-Hadzami yang tewas dalam bentrokan dengan satuan Abdullah b. Jahsy (A).
- 9. “Demi Allah” (A).
10. Suatu pernyataan Tauhid (A).
11. Manaha harfiah berarti ‘tempat wanita-wanita menangisi mayat’ (LA). (A).
Sumber: S E J A R A H H I D U P M U H A M M A D
oleh MUHAMMAD HUSAIN HAEKAL diterjemahkan dari bahasa Arab oleh Ali Audah
Penerbit PUSTAKA JAYA Jln. Kramat II, No. 31 A, Jakarta Pusat Cetakan Kelima, 1980