Minggu, 10 Maret 2013

Perjuangan dan pengorbanan sebagai pengaruh kekalahan Uhud.(bag. Pertama)


Posted by Drs.H.Mutawalli,M.Pd.I    on September 14, 2010
 
ABU SUFYAN telah kembali dari  Uhud  ke  Mekah.  Berita-berita kemenangannya  sudah lebih dulu sampai, yang disambut penduduk dengan rasa gembira, karena  dianggap  sudah  dapat  menghapus cemar yang dialami Quraisy selama di Badr. Begitu sampai ia ke Mekah, langsung menuju Ka’bah  sebelum  ia  pulang  ke  rumah.
Kepada  Hubal  dewa  terbesar  ia  menyatakan puji dan syukur.
Dicukurnya lebih dulu rambut yang di bawah telinganya, lalu ia pulang  ke rumah sebagai orang yang sudah memenuhi janji bahwa ia  takkan  mendekati  isterinya  sebelum  dapat   mengalahkan Muhammad.
Sebaliknya  kalangan  Muslimin,  mereka  melihat  kota Medinah sudah  banyak  terasa  aneh  sekali,  meskipun   musuh   tetap mengejar-ngejar  mereka. Selama tiga hari terus-menerus mereka tetap tabah menghadapi musuh  yang  masih  tidak  mempunyai keberanian   menghadapi   mereka  itu.  Padahal  belum  selang duapuluh empat jam yang lalu musuh telah merasa sebagai  pihak yang menang.
Pihak Muslimin melihat keadaan Medinah itu sudah terasa banyak sekali mengalami perubahan,  meskipun  kekuasaan  Muhammad  di kota  itu tetap di atas. Dalam pada itu Nabi SAW. merasa, bahwa keadaan memang sudah sangat genting dan  gawat  sekali,  bukan hanya  dalam  kota  Medinah  saja, bahkan juga sudah melampaui sampai kepada kabilah-kabilah Arab lainnya, yang memang  sudah merasa  ketakutan. Peristiwa Uhud membawa perasaan lega kepada mereka, sehingga terpikir oleh mereka itu hendak  menentangnya lagi  dan  mengadakan  perlawanan.  Oleh  karena  itu ia ingin sekali mengikuti berita-berita sekitar  penduduk  Medinah  dan kalangan  Arab  umumnya,  yang  kiranya  akan memberikan suatu kemungkinan  menempatkan  kembali  kedudukan,   kekuatan   dan kewibawaan Muslimin kedalam hati mereka.
A. Tulaiha dan Salama bin Khuailid  ingin menyerang Kaum Muslimin
Berita  pertama  yang sampai kepadanya sesudah peristiwa Uhud, ialah bahwa Tulaiha dan Salama bin Khuailid dua  bersaudara  – dan  keduanya  waktu  itu  yang  memimpin  Banu Asad sedang mengerahkan masyarakatnya dan  mereka  yang  mau  mentaatinya, untuk  menyerang Medinah dan menyerbu Muhammad sampai ke dalam rumahnya  sendiri  dengan  maksud  memperoleh  keuntungan  dan merampas  ternak  Muslimin  yang  dipelihara  di ladang-ladang sekeliling kota itu. Yang menyebabkan  mereka  berani  berbuat begitu ialah karena anggapan bahwa Muhammad dan teman-temannya masih menderita karena telah mengalami pukulan hebat selama di Uhud.
AbuSalama b. Abd’l-Asad  ditugaskan Rasul untuk menghilangkan gangguan Banu Asad
Berita  itu  terbetik  juga oleh Nabi. Ia segera memanggil Abu Salama b. Abd’l-Asad yang lalu diserahi pimpinan pasukan  yang terdiri  dari  150  orang,  termasuk Abu ‘Ubaida bin’l-Jarrah, Sa’d b. Abi Waqqash dan Usaid b. Hudzair. Mereka diperintahkan
supaya  berjalan  pada  malam  hari  dan  siangnya bersembunyi dengan menempuh jalan yang tidak biasa dilalui  orang,  supaya jangan  ada  orang yang mengenal jejak mereka. Dengan demikian mereka akan dapat menyergap musuh dengan cara  yang  tiba-tiba sekali. Perintah ini oleh Abu Salama dilaksanakan. Ia berhasil menyerbu musuh dalam  keadaan  tidak  siap.  Dalam  pagi  buta mereka  sudah  terkepung.  Dikalahkannya  anak  buahnya  dalam menghadapi perjuangan itu.  Tetapi  pihak  musyrik  sudah  tak dapat  bertahan  lagi.  Dua  pasukan  segera  dikirim mengejar mereka dan merebut rampasan  perang  yang  ada.  Ia  dan  anak buahnya  menunggu  di  tempat  itu  sambil  menantikan pasukan pengejar itu kembali membawa rampasan perang.
Setelah seperlima rampasan itu dikeluarkan untuk Tuhan,  untuk Rasul,   orang   miskin   dan  orang  yang  dalam  perjalanan, selebihnya mereka bagi sesama mereka, lalu mereka  kembali  ke Medinah  dengan  sudah  membawa  kemenangan.  Kewibawaan  yang karena peristiwa Uhud itu terasa sudah  agak  berkuramg,  kini mulai  kembali lagi. Hanya saja Abu Salama sendiri hidup tidak lama lagi sesudah ekspedisi itu. Ia menderita luka-luka akibat perang  Uhud  dan  luka-lukanya itu belum sembuh benar kecuali yang tampak dari luar saja. Tetapi sesudah  ia  bekerja  keras lukanya  itu  terbuka  dan  kembali  mengucurkan  darah,  yang diderita terus sampai meninggalnya.
B.Khalid  b.  Sufyan b. Nubaih al-Hudhali  ingin menyerang kaummuslimin
Sesudah itu kemudian sampai pula berita kepada Muhammad  bahwa Khalid  b.  Sufyan b. Nubaih al-Hudhali yang tinggal di Nakhla atau  di  ‘Urana  telah   mengumpulkan   orang   pula   hendak menyerangnya.  Mendengar ini Muhammad segera mengutus Abdullah b.  Unais  meneliti  dan  mencek  kebenaran  berita  tersebut. Abdullah  berjalan  menuju  ke  tempat Khalid, yang ketika itu dijumpainya  ia  sedang  berada  di   rumah   bersama   dengan isteri-isterinya.
“Siapa kamu,” tanya Khalid setelah Abdullah sampai. “Saya  dari  golongan  Arab  juga,”  jawabnya. “Mendengar tuan mengumpulkan orang hendak menyerang Muhammad maka saya  datang kemari.”
Khalid  berterus-terang,  bahwa  ia memang sedang mengumpulkan orang  hendak  menyerang  Medinah.  Setelah  Abdullah  melihat sekarang  ia  seorang  diri  jauh  dari anak-buahnya – kecuali isteri-isterinya – dicarinya  jalan  supaya  ia  mau  berjalan bersama-sama.  Begitu ia mendapat kesempatan dihantamnya orang itu dengan pedangnya dan dia pun menemui ajalnya. Dibiarkannya dia  di  tangan isteri-isterinya yang berkerumun menangisinya. Sekembalinya  ke  Medinah  disampaikannya  berita  itu  kepada Rasul.
C.Banu Lihyan  membalas Kaum Muslimin dengan tipu Muslihat
Setelah  kematian  pemimpinnya itu, Banu Lihyan sebagai cabang Hudhail  yang  selama  beberapa  waktu   tenang-tenang   saja, sekarang  mulai  terpikir  akan  mengadakan  pembalasan dengan suatu tipu-muslihat.
Pada  waktu  itulah  kabilah  yang  berdekatan  itu   mengutus rombongan  kepada Muhammad dengan mengatakan: Di kalangan kami ada beberapa orang Islam. Kirimkanlah beberapa  orang  sahabat tuan  bersama  kami,  yang  akan dapat kelak mengajarkan hokum agama dan Qur’an kepada kami. Untuk menunaikan tugas agama yang mulia itu, setiap diperlukan pada waktu itu Muhammad  selalu  siap    mengutus sahabat-sahabatnya untuk  memberikan  bimbingan  kepada  orang dalam mengenal Tuhan dan agama yang benar, serta untuk menjadi pengikut Muhammad  dan  sahabat-sahabatnya  menghadapi  lawan, seperti  yang  sudah  kita lihat, ketika mereka dulu diutus ke Medinah sesudah Ikrar ‘Aqaba kedua. Oleh karena itu enam orang sahabat besar kemudian diutusnya berangkat bersama-sama dengan rombongan utusan itu. Banu Lihyan  berkhianat
Tetapi sesampainya  di  suatu  pangkalan air  kepunyaan Hudhail di bilangan Hijaz, di suatu daerah yang disebut ar-Raji’, ternyata  mereka  telah  dikhianati,  dengan tindakan rombongan itu yang sudah tentu dengan meminta bantuan Hudhail. Tetapi ini tidak membuat keenam  orang  Muslimin  itu jadi  gugup  ketakutan,  yang dalam perlengkapannya itu mereka hanya membawa pedang. Kaum Muslimin itu segera mencabut pedang hendak  mempertahankan  diri.  Tetapi  pihak  Hudhail  berkata kepada mereka:
Demi Allah, kami tidak ingin membunuh kamu. Tapi dengan  kamu ini kami ingin memperoleh keuntungan dari penduduk Mekah. Kami berjanji atas nama Tuhan bahwa kami tidak  bermaksud  membunuh kamu.”
Keenam  orang  Muslim  itu  berpandang-pandangan. Mereka sadar sudah bahwa dibawanya mereka satu-satu ke  Mekah  itu  berarti suatu  penghinaan yang sebenarnya lebih jahat dari pembunuhan. Mereka menolak  janji  Hudhail  itu,  dan  mereka  tetap  akan mengadakan  perlawanan, meskipun mereka sudah menyadari, bahwa dalam jumlah yang sekecil itu mereka tidak berdaya. Tiga orang dari  mereka  ini  dibunuh  oleh Hudhail, sedang sisanya sudah makin tak berdaya. Mereka semua ditangkap dan  dibawa  sebagai tawanan, yang kemudian dibawa ke Mekah dan dijual. Abdullah b. Tariq, salah seorang dari ketiga orang  Islam  itu  di  tengah jalan  berhasil  melepaskan  belenggu  dari  tangannya lalu ia mencabut pedang. Oleh karena rombongan  yang  lain  berada  di belakangnya,  dihujaninya  ia  dengan  batu  dan  ia  puntewas karenanya.
Kedua orang tawanan lainnya  sempat  dibawa  oleh  Hudhail  ke Mekah,  lalu dijual. Zaid bin’d-Dathinna dijual kepada Shafwan b. Umayya yang sengaja membelinya untuk dibunuh. Ia diserahkan kepada  Nastas,  budaknya  supaya  membunuhnya sebagai balasan atas kematian ayahnya Umayya b. Khalaf.  Ketika  dibawa,  oleh Abu Sufyan ia ditanya:
“Zaid,   sangat   kuharapkan   sekali.   Bersediakah   engkau memberikan tempatmu itu kepada Muhammad?  Dialah  yang  harus dipenggal   lehernya,   sedang  engkau  dapat  kembali  kepada keluargamu.” “Tidak,” jawab Zaid. “Sekiranya Muhammad ditempatnya  sekarang ini  akan  menderita karena tusukan duri sekalipun, sedang aku di tempat keluarga, aku tidak sudi.”
Abu Sufyan kagum sekali, seraya katanya: “Belum  pernah  aku  melihat  seseorang   mencintai   kawannya demikian   rupa  seperti  sahabat-sahabat  Muhammad  mencintai Muhammad.”
Zaid lalu dibunuh oleh  Nastas.  Maka  ia  pun  gugur  sebagai syahid yang memegang teguh agama dan amanat Nabi. Adapun  Khubaib  waktu itu dalam penjara, yang kemudian dibawa keluar untuk disalib. Tapi ia berkata kepada mereka: “Dapatkah kamu membiarkan  aku  sekadar  melakukan  salat  dua raka’at?”
Permintaan  demikian  itu  dikabulkan.  Iapun  sembahyang  dua raka’at dengan baik dan sempurna. Kemudian ia menghadap mereka lagi:
“Kalau   tidak   karena   kamu  akan  menyangka  saya  sengaja memperlambat karena takut dibunuh,  niscaya  saya  masih  akan sembahyang lebih banyak lagi.” Setelah   ia  dinaikkan  dan  diikat  di  atas  tonggak  kayu, dipandangnya mereka itu dengan mata sayu seraya katanya: “Ya Allah, hitungkan bilangan  mereka  itu,  binasakan  mereka dalam keadaan cerai-berai dan jangan dibiarkan seorangpun dari mereka itu.”
Mendengar  suara  yang  keras  itu  mereka   gemetar,   mereka merebahkan  diri  takut terkena kutukannya. Sesudah itu ia pun dibunuh. Seperti Zaid yang telah gugur sebagai syahid, Khubaib juga  kemudian gugur pula sebagai syahid untuk agama dan untuk Nabi. Dua ruh yang suci itu pun kini melayang  pula.  Padahal, sebenarnya   mereka   akan   dapat   menyelamatkan  diri  dari pembunuhan itu kalau saja mereka mau jadi murtad  meninggalkan agamanya.  Tetapi  demi  keyakinan mereka kepada Tuhan, kepada keluhuran rohani dan hari kemudian – tatkala setiap jiwa hanya akan  mendapat  balasan sesuai dengan perbuatannya dan tak ada orang yang akan memikul beban orang lain – mereka melihat maut itu  -  sebagai  tujuan hidup – adalah tujuan yang paling baik dalam hidupnya demi akidah,  demi  iman  dan  demi  kebenaran.
Mereka  pun yakin bahwa darah mereka, yang kini ditumpahkan di atas  bumi  Mekah,  akan  memanggil  saudara-saudaranya   kaum Muslimin  supaya  memasuki kota itu sebagai pihak yang menang, yang akan  menghancurkan  berhala-berhala,  akan  membersihkan segala  noda  paganisma  dan  kehidupan  syirik.  Dan kesucian Ka’bah sebagai Baitullah akan  dikembalikan  juga  sebagaimana mestinya,  bersih  dari  segala  sebutan nama-nama selain asma Allah.
Dalam menghadapi peristiwa ini pihak Orientalis  tidak  bicara apa-apa  seperti ketika menghadapi peristiwa tawanan Badr yang dibunuh pihak Muslimin. Mereka tidak berusaha untuk  memandang jijik  perbuatan  khianat yang diiakukan Banu Hudhail terhadap dua orang yang tidak berdosa  itu,  yang  bukan  ditawan  dari medan  perang,  tapi  diambil  dengan cara tipu-muslihat, yang berangkat  karena  perintah   Rasul   dengan   maksud   supaya mengajarkan  agama kepada orang-orang yang mengkhianati mereka itu,  orang-orang  yang  menyerahkan  mereka  kepada  Quraisy, setelah  kawan-kawannya yang lain pun dibunuh secara gelap dan licik.  Kaum  Orientalis  tidak  menganggap  jijik   perbuatan Quraisy  terhadap  dua  orang yang tak bersenjata itu, padahal apa yang mereka lakukan adalah suatu  perbuatan  pengecut  dan tindakan  permusuhan yang rendah sekali. Pada dasarnya prinsip kejujuran yang harus menjadi pegangan  kaum  Orientalis,  yang merasa  tidak  dapat menerima apa yang dilakukan kaum Muslimin terhadap dua tawanan perang Badr itu, ialah akan merasa  jijik sekali terhadap pengkhianatan Quraisy yang menerima penyerahan dua orang untuk dibunuh itu, sesudah empat orang lainnya  yang didatangkan  atas  permintaan  mereka untuk mengajarkan agama, telah lebih dulu pula mereka bunuh.
Semua Muslimin merasa sedih, Muhammad juga merasa sedih sekali atas  malapetaka  yang  telah  menimpa keenam orang yang gugur sebagai syahid di jalan  Tuhan  karena  pengkhianatan  Hudhail itu. Ketika itulah Hassan b. Thabit mengirimkan sajak-sajaknya sebagai elegi yang mendalam sekali buat Khubaib dan Zaid.
D.Abu Bara’ ‘Amir b. Malik sekalipun dia belum Islam menawar jasa untuk derdakwah di kaumnya dalam jaminnya
Dalam pada itu lebih banyak lagi Muhammad  memikirkan  keadaan umat Muslimin. Kuatir sekali ia kalau hal semacam itu terulang lagi. Masyarakat Arab akan sangat merendahkan mereka. Sementara ia  sedang  berpikir-pikir  demikian  itu  tiba-tiba datang Abu Bara’ ‘Amir b. Malik. Muhammad menawarkan kepadanya supaya ia sudi masuk Islam, tapi ia menolak. Sungguhpun begitu juga  ia tidak menunjukkan sikap permusuhannya terhadap Islam. Bahkan katanya: “Muhammad, kalau  ada  sahabat-sahabatmu  yang dapat diutus ke Najd dan mengajak mereka itu menerima ajaranmu saya harap mereka itu akan menerima.”
Tetapi Muhammad masih kuatir  akan  melepaskan sahabat-sahabatnya  itu  ke  Najd dan takut ia penduduk daerah itu nanti akan mengkhianati mereka  seperti  pernah  dilakukan Hudhail  terhadap  Khubaib dan kawan-kawan. Ia tidak yakin dan tidak dapat mengabulkan permintaan Abu Bara’. “Saya menjamin  mereka,”  katanya  lagi.
“Kirimkanlah  utusan kesana untuk mengajak mereka menerima ajaranmu.”Abu  Bara’ adalah orang yang ditaati di kalangan masyarakatnya dan didengar  orang  perkataannya.  Barangsiapa  yang   sudah diberinya  perlindungan ia tidak kuatir akan mendapat serangan pihak lain.
Nabi Muhammad mengutus al-Mundhir b. ‘Amr dari Banu Sa’ida
Dengan demikian Muhammad mengutus al-Mundhir b. ‘Amr dari Banu Sa’ida  dengan  memimpin 40 orang Muslimin pilihan. Mereka pun berangkat. Sampai di Bi’ir Masuna – antara daerah  Banu  ‘Amir dan  Banu  Sulaim – mereka berhenti. Dari sana mereka mengutus Haram  b.  Milhan  membawa   surat   Muhammad   kepada   ‘Amir bin’t-Tufail.  Tetapi  oleh  ‘Amir  surat itu tidak dibacanya, malah orang yang membawanya dibunuh,  dan  dia  minta  bantuan Banu  ‘Amir  supaya  membunuhi  kaum  Muslimin. Tetapi setelah mereka menolak  untuk  melakukan    pelanggaran    atas pertanggung-jawaban dan perlindungan yang telah diberikan oleh Abu  Bara’  ‘Amir  meminta   bantuan   kabilah-kabilah   lain.
Permintaan  ini oleh mereka dipenuhi dan kemudian bersama-sama dia mereka  berangkat  dan  mengepung  rombongan  Muslimin  di tempat  itu.  Melihat  keadaan  ini  pihak Muslimin pun segera mencabut  pedang.  Mereka  mengadakan  perlawanan  mati-matian sampai akhirnya mereka terbunuh semua.
Hanya  Ka’b  b. Zaid yang masih selamat, yang dibiarkan begitu saja oleh Ibn’t-Tufail. Ternyata ia belum  mati.  Kemudian  ia pun  pergi  pulang  ke  Madinah. Demikian juga ‘Amr b. Umayya, yang oleh ‘Amir bin’t-Tufail dimerdekakan karena dikiranya  ia masih  terikat  dengan  suatu  niat  ibunya.  Dalam perjalanan pulang di tengah jalan ‘Amr  bertemu  dengan  dua  orang  yang dikiranya  turut  menyerang kawan-kawannya. Dibiarkannya kedua orang itu sampai tidur lebih dulu,  kemudian  diserangnya  dan dibunuhnya.  Sesudah  itu  ia  melanjutkan lagi perjalanannya.
Sesampainya  di  Medinah  diberitahukannya  perbuatannya   itu kepada  Rasul  a.s.  Ternyata kedua orang itu dari Banu ‘Amir, dari golongan Abu Bara’  dan  yang  juga  terikat  oleh  suatu perjanjian Jiwar (bertetangga baik) dengan Rasulullah, dan ini berarti harus diselesaikan dengan diat.
Bukan main Muhammad menahan perasaan pilu karena pembunuhan di Bi’ir  Ma’una itu. Sungguh berat hatinya menahan dukacita atas sahabat-sahabatnya itu. Ia berkata: “Ini adalah perbuatan  Abu Bara’. Sejak semula saya sudah berat hati dan kuatir sekali.”
Abu Bara’ juga merasa sangat terpukul karena pelanggaran ‘Amir bin’t-Tufail atas dirinya itu. Karena itu, Rabi’a anaknya lalu bertindak  menghantam ‘Amir dengan tombak sebagai balasan atas perbuatannya terhadap ayahnya. Begitu dalamnya  rasa  dukacita Muhammad  sehingga sebulan penuh setiap selesai salat Subuh ia berdoa semoga Tuhan mengadakan pembalasan terhadap mereka yang telah  membunuh  sahabat-sahabatnya itu. Demikian juga seluruh umat Muslimin turut merasa pilu karena malapetaka  yang  telah menimpa  saudara-saudaranya seagama itu, meskipun sudah dengan penuh iman bahwa  mereka  semua  gugur  sebagai  syuhada,  dan mereka semua akan mendapat surga.
E. Menghadapi Yahudi dan kaum Munafiq di Madinah.
Malapetaka  yang  telah  menimpa kaum Muslimin di Raji’ dan di Bi’ir Ma’una mengingatkan kaum munafik dan Yahudi Medinah akan kemenangan  Quraisy  di  Uhud,  dan  membuat  mereka lupa akan kemenangan Muslimin atas Banu Asad, juga mengurangi  pandangan mereka  terhadap  kewibawaan  Muhammad dan sahabat-sahabatnya.
Dalam menghadapi hal ini sekarang Nabi  saw   berpikir  dengan suatu  pemikiran  politik  yang  cermat sekali serta pandangan yang jauh. Ketika itu bahaya yang paling besar mengancam  kaum Muslimin  ialah  sikap  penduduk  Medinah  yang  kiranya  akan merendahkan  kewibawaan  mereka.  Begitu  juga   yang   sangat diharapkan   oleh  kabilah-kabilah  Arab,  mereka  akan  dapat menanamkan  perpecahan  didalam,  yang  berarti   akan   dapat menimbulkan  perang  saudara jika nanti ada saja tetangga yang menyerbu Medinah. Disamping itu pihak Yahudi  dan  orang-orang munafik seolah-olah memang sedang menantikan bencana yang akan menimpa itu. Karena itu dilihatnya tak  ada  jalan  lain  yang lebih  baik  daripada  membiarkan  mereka,  supaya  nanti niat mereka terbongkar.
Oleh karena Yahudi Banu Nadzir itu  sekutu  Banu  ‘Amir,  maka Nabi berangkat  sendiri  ke  tempat  mereka -  yang tidak jauh dari Quba’-    dengan  membawa   sepuluh   orang   Muslimin terkemuka,  diantaranya  Abu  Bakr,  Umar  dan  Ali.  Ia minta bantuan Banu Nadzir dalam membayar diat dua orang  yang  telah dibunuh  tidak  sengaja  oleh  ‘Amr  b.  Umayya  itu dan tidak diketahuinya pula bahwa  Nabi  telah  memberikan  perlindungan kepada mereka.
Sumber :S E J A R A H    H I D U P    M U H A M M A D
oleh MUHAMMAD HUSAIN HAEKAL diterjemahkan dari bahasa Arab oleh Ali Audah
Penerbit PUSTAKA JAYA Jln. Kramat II, No. 31 A, Jakarta Pusat Cetakan Kelima, 1980