Posted by Drs.H.Mutawalli, M.Pd.I on September 14, 2010
ABU
SUFYAN telah kembali dari Uhud ke Mekah. Berita-berita
kemenangannya sudah lebih dulu sampai, yang disambut penduduk dengan
rasa gembira, karena dianggap sudah dapat menghapus cemar yang
dialami Quraisy selama di Badr. Begitu sampai ia ke Mekah, langsung
menuju Ka’bah sebelum ia pulang ke rumah.
Kepada Hubal dewa terbesar ia menyatakan puji dan syukur.
Dicukurnya lebih dulu rambut yang di
bawah telinganya, lalu ia pulang ke rumah sebagai orang yang sudah
memenuhi janji bahwa ia takkan mendekati isterinya sebelum dapat
mengalahkan Muhammad.
Sebaliknya kalangan Muslimin, mereka
melihat kota Medinah sudah banyak terasa aneh sekali, meskipun
musuh tetap mengejar-ngejar mereka. Selama tiga hari terus-menerus
mereka tetap tabah menghadapi musuh yang masih tidak mempunyai
keberanian menghadapi mereka itu. Padahal belum selang duapuluh
empat jam yang lalu musuh telah merasa sebagai pihak yang menang.
Pihak Muslimin melihat keadaan Medinah
itu sudah terasa banyak sekali mengalami perubahan, meskipun
kekuasaan Muhammad di kota itu tetap di atas. Dalam pada itu Nabi
SAW. merasa, bahwa keadaan memang sudah sangat genting dan gawat
sekali, bukan hanya dalam kota Medinah saja, bahkan juga sudah
melampaui sampai kepada kabilah-kabilah Arab lainnya, yang memang sudah
merasa ketakutan. Peristiwa Uhud membawa perasaan lega kepada mereka,
sehingga terpikir oleh mereka itu hendak menentangnya lagi dan
mengadakan perlawanan. Oleh karena itu ia ingin sekali mengikuti
berita-berita sekitar penduduk Medinah dan kalangan Arab umumnya,
yang kiranya akan memberikan suatu kemungkinan menempatkan kembali
kedudukan, kekuatan dan kewibawaan Muslimin kedalam hati mereka.
A. Tulaiha dan Salama bin Khuailid ingin menyerang Kaum Muslimin
Berita pertama yang sampai kepadanya
sesudah peristiwa Uhud, ialah bahwa Tulaiha dan Salama bin Khuailid dua
bersaudara – dan keduanya waktu itu yang memimpin Banu Asad
sedang mengerahkan masyarakatnya dan mereka yang mau mentaatinya,
untuk menyerang Medinah dan menyerbu Muhammad sampai ke dalam rumahnya
sendiri dengan maksud memperoleh keuntungan dan merampas ternak
Muslimin yang dipelihara di ladang-ladang sekeliling kota itu. Yang
menyebabkan mereka berani berbuat begitu ialah karena anggapan bahwa
Muhammad dan teman-temannya masih menderita karena telah mengalami
pukulan hebat selama di Uhud.
AbuSalama b. Abd’l-Asad ditugaskan Rasul untuk menghilangkan gangguan Banu Asad
Berita itu terbetik juga oleh Nabi. Ia
segera memanggil Abu Salama b. Abd’l-Asad yang lalu diserahi pimpinan
pasukan yang terdiri dari 150 orang, termasuk Abu ‘Ubaida
bin’l-Jarrah, Sa’d b. Abi Waqqash dan Usaid b. Hudzair. Mereka
diperintahkan
supaya berjalan pada malam hari dan
siangnya bersembunyi dengan menempuh jalan yang tidak biasa dilalui
orang, supaya jangan ada orang yang mengenal jejak mereka. Dengan
demikian mereka akan dapat menyergap musuh dengan cara yang tiba-tiba
sekali. Perintah ini oleh Abu Salama dilaksanakan. Ia berhasil menyerbu
musuh dalam keadaan tidak siap. Dalam pagi buta mereka sudah
terkepung. Dikalahkannya anak buahnya dalam menghadapi perjuangan
itu. Tetapi pihak musyrik sudah tak dapat bertahan lagi. Dua
pasukan segera dikirim mengejar mereka dan merebut rampasan perang
yang ada. Ia dan anak buahnya menunggu di tempat itu sambil
menantikan pasukan pengejar itu kembali membawa rampasan perang.
Setelah seperlima rampasan itu
dikeluarkan untuk Tuhan, untuk Rasul, orang miskin dan orang
yang dalam perjalanan, selebihnya mereka bagi sesama mereka, lalu
mereka kembali ke Medinah dengan sudah membawa kemenangan.
Kewibawaan yang karena peristiwa Uhud itu terasa sudah agak
berkuramg, kini mulai kembali lagi. Hanya saja Abu Salama sendiri
hidup tidak lama lagi sesudah ekspedisi itu. Ia menderita luka-luka
akibat perang Uhud dan luka-lukanya itu belum sembuh benar kecuali
yang tampak dari luar saja. Tetapi sesudah ia bekerja keras lukanya
itu terbuka dan kembali mengucurkan darah, yang diderita terus
sampai meninggalnya.
B.Khalid b. Sufyan b. Nubaih al-Hudhali ingin menyerang kaummuslimin
Sesudah itu kemudian sampai pula berita
kepada Muhammad bahwa Khalid b. Sufyan b. Nubaih al-Hudhali yang
tinggal di Nakhla atau di ‘Urana telah mengumpulkan orang
pula hendak menyerangnya. Mendengar ini Muhammad segera mengutus
Abdullah b. Unais meneliti dan mencek kebenaran berita tersebut.
Abdullah berjalan menuju ke tempat Khalid, yang ketika itu
dijumpainya ia sedang berada di rumah bersama dengan
isteri-isterinya.
“Siapa kamu,” tanya Khalid setelah
Abdullah sampai. “Saya dari golongan Arab juga,” jawabnya.
“Mendengar tuan mengumpulkan orang hendak menyerang Muhammad maka saya
datang kemari.”
Khalid berterus-terang, bahwa ia
memang sedang mengumpulkan orang hendak menyerang Medinah. Setelah
Abdullah melihat sekarang ia seorang diri jauh dari anak-buahnya –
kecuali isteri-isterinya – dicarinya jalan supaya ia mau berjalan
bersama-sama. Begitu ia mendapat kesempatan dihantamnya orang itu
dengan pedangnya dan dia pun menemui ajalnya. Dibiarkannya dia di
tangan isteri-isterinya yang berkerumun menangisinya. Sekembalinya ke
Medinah disampaikannya berita itu kepada Rasul.
C.Banu Lihyan membalas Kaum Muslimin dengan tipu Muslihat
Setelah kematian pemimpinnya itu, Banu
Lihyan sebagai cabang Hudhail yang selama beberapa waktu
tenang-tenang saja, sekarang mulai terpikir akan mengadakan
pembalasan dengan suatu tipu-muslihat.
Pada waktu itulah kabilah yang
berdekatan itu mengutus rombongan kepada Muhammad dengan mengatakan:
Di kalangan kami ada beberapa orang Islam. Kirimkanlah beberapa orang
sahabat tuan bersama kami, yang akan dapat kelak mengajarkan hokum
agama dan Qur’an kepada kami. Untuk menunaikan tugas agama yang mulia
itu, setiap diperlukan pada waktu itu Muhammad selalu siap mengutus
sahabat-sahabatnya untuk memberikan bimbingan kepada orang dalam
mengenal Tuhan dan agama yang benar, serta untuk menjadi pengikut
Muhammad dan sahabat-sahabatnya menghadapi lawan, seperti yang
sudah kita lihat, ketika mereka dulu diutus ke Medinah sesudah Ikrar
‘Aqaba kedua. Oleh karena itu enam orang sahabat besar kemudian
diutusnya berangkat bersama-sama dengan rombongan utusan itu. Banu Lihyan berkhianat
Tetapi sesampainya di suatu pangkalan
air kepunyaan Hudhail di bilangan Hijaz, di suatu daerah yang disebut
ar-Raji’, ternyata mereka telah dikhianati, dengan tindakan
rombongan itu yang sudah tentu dengan meminta bantuan Hudhail. Tetapi
ini tidak membuat keenam orang Muslimin itu jadi gugup ketakutan,
yang dalam perlengkapannya itu mereka hanya membawa pedang. Kaum
Muslimin itu segera mencabut pedang hendak mempertahankan diri.
Tetapi pihak Hudhail berkata kepada mereka:
“Demi Allah, kami tidak ingin
membunuh kamu. Tapi dengan kamu ini kami ingin memperoleh keuntungan
dari penduduk Mekah. Kami berjanji atas nama Tuhan bahwa kami tidak
bermaksud membunuh kamu.”
Keenam orang Muslim itu
berpandang-pandangan. Mereka sadar sudah bahwa dibawanya mereka
satu-satu ke Mekah itu berarti suatu penghinaan yang sebenarnya
lebih jahat dari pembunuhan. Mereka menolak janji Hudhail itu, dan
mereka tetap akan mengadakan perlawanan, meskipun mereka sudah
menyadari, bahwa dalam jumlah yang sekecil itu mereka tidak berdaya.
Tiga orang dari mereka ini dibunuh oleh Hudhail, sedang sisanya
sudah makin tak berdaya. Mereka semua ditangkap dan dibawa sebagai
tawanan, yang kemudian dibawa ke Mekah dan dijual. Abdullah b. Tariq,
salah seorang dari ketiga orang Islam itu di tengah jalan berhasil
melepaskan belenggu dari tangannya lalu ia mencabut pedang. Oleh
karena rombongan yang lain berada di belakangnya, dihujaninya ia
dengan batu dan ia puntewas karenanya.
Kedua orang tawanan lainnya sempat
dibawa oleh Hudhail ke Mekah, lalu dijual. Zaid bin’d-Dathinna
dijual kepada Shafwan b. Umayya yang sengaja membelinya untuk dibunuh.
Ia diserahkan kepada Nastas, budaknya supaya membunuhnya sebagai
balasan atas kematian ayahnya Umayya b. Khalaf. Ketika dibawa, oleh
Abu Sufyan ia ditanya:
“Zaid, sangat kuharapkan sekali.
Bersediakah engkau memberikan tempatmu itu kepada Muhammad? Dialah
yang harus dipenggal lehernya, sedang engkau dapat kembali
kepada keluargamu.” “Tidak,” jawab Zaid. “Sekiranya Muhammad
ditempatnya sekarang ini akan menderita karena tusukan duri
sekalipun, sedang aku di tempat keluarga, aku tidak sudi.”
Abu Sufyan kagum sekali, seraya katanya:
“Belum pernah aku melihat seseorang mencintai kawannya
demikian rupa seperti sahabat-sahabat Muhammad mencintai
Muhammad.”
Zaid lalu dibunuh oleh Nastas. Maka
ia pun gugur sebagai syahid yang memegang teguh agama dan amanat
Nabi. Adapun Khubaib waktu itu dalam penjara, yang kemudian dibawa
keluar untuk disalib. Tapi ia berkata kepada mereka: “Dapatkah kamu
membiarkan aku sekadar melakukan salat dua raka’at?”
Permintaan demikian itu dikabulkan.
Iapun sembahyang dua raka’at dengan baik dan sempurna. Kemudian ia
menghadap mereka lagi:
“Kalau tidak karena kamu akan
menyangka saya sengaja memperlambat karena takut dibunuh, niscaya
saya masih akan sembahyang lebih banyak lagi.” Setelah ia
dinaikkan dan diikat di atas tonggak kayu, dipandangnya mereka itu
dengan mata sayu seraya katanya: “Ya Allah, hitungkan
bilangan mereka itu, binasakan mereka dalam keadaan cerai-berai dan
jangan dibiarkan seorangpun dari mereka itu.”
Mendengar suara yang keras itu
mereka gemetar, mereka merebahkan diri takut terkena kutukannya.
Sesudah itu ia pun dibunuh. Seperti Zaid yang telah gugur sebagai
syahid, Khubaib juga kemudian gugur pula sebagai syahid untuk agama dan
untuk Nabi. Dua ruh yang suci itu pun kini melayang pula. Padahal,
sebenarnya mereka akan dapat menyelamatkan diri dari
pembunuhan itu kalau saja mereka mau jadi murtad meninggalkan
agamanya. Tetapi demi keyakinan mereka kepada Tuhan, kepada keluhuran
rohani dan hari kemudian – tatkala setiap jiwa hanya akan mendapat
balasan sesuai dengan perbuatannya dan tak ada orang yang akan memikul
beban orang lain – mereka melihat maut itu - sebagai tujuan hidup –
adalah tujuan yang paling baik dalam hidupnya demi akidah, demi iman
dan demi kebenaran.
Mereka pun yakin bahwa darah mereka,
yang kini ditumpahkan di atas bumi Mekah, akan memanggil
saudara-saudaranya kaum Muslimin supaya memasuki kota itu sebagai
pihak yang menang, yang akan menghancurkan berhala-berhala, akan
membersihkan segala noda paganisma dan kehidupan syirik. Dan
kesucian Ka’bah sebagai Baitullah akan dikembalikan juga sebagaimana
mestinya, bersih dari segala sebutan nama-nama selain asma Allah.
Dalam menghadapi peristiwa ini pihak
Orientalis tidak bicara apa-apa seperti ketika menghadapi peristiwa
tawanan Badr yang dibunuh pihak Muslimin. Mereka tidak berusaha untuk
memandang jijik perbuatan khianat yang diiakukan Banu Hudhail terhadap
dua orang yang tidak berdosa itu, yang bukan ditawan dari medan
perang, tapi diambil dengan cara tipu-muslihat, yang berangkat
karena perintah Rasul dengan maksud supaya mengajarkan agama
kepada orang-orang yang mengkhianati mereka itu, orang-orang yang
menyerahkan mereka kepada Quraisy, setelah kawan-kawannya yang lain
pun dibunuh secara gelap dan licik. Kaum Orientalis tidak
menganggap jijik perbuatan Quraisy terhadap dua orang yang tak
bersenjata itu, padahal apa yang mereka lakukan adalah suatu perbuatan
pengecut dan tindakan permusuhan yang rendah sekali. Pada dasarnya
prinsip kejujuran yang harus menjadi pegangan kaum Orientalis, yang
merasa tidak dapat menerima apa yang dilakukan kaum Muslimin terhadap
dua tawanan perang Badr itu, ialah akan merasa jijik sekali terhadap
pengkhianatan Quraisy yang menerima penyerahan dua orang untuk dibunuh
itu, sesudah empat orang lainnya yang didatangkan atas permintaan
mereka untuk mengajarkan agama, telah lebih dulu pula mereka bunuh.
Semua Muslimin merasa sedih, Muhammad
juga merasa sedih sekali atas malapetaka yang telah menimpa keenam
orang yang gugur sebagai syahid di jalan Tuhan karena pengkhianatan
Hudhail itu. Ketika itulah Hassan b. Thabit mengirimkan sajak-sajaknya
sebagai elegi yang mendalam sekali buat Khubaib dan Zaid.
D.Abu Bara’ ‘Amir b. Malik sekalipun dia belum Islam menawar jasa untuk derdakwah di kaumnya dalam jaminnya
Dalam pada itu lebih banyak lagi
Muhammad memikirkan keadaan umat Muslimin. Kuatir sekali ia kalau hal
semacam itu terulang lagi. Masyarakat Arab akan sangat merendahkan
mereka. Sementara ia sedang berpikir-pikir demikian itu tiba-tiba
datang Abu Bara’ ‘Amir b. Malik. Muhammad menawarkan kepadanya supaya ia
sudi masuk Islam, tapi ia menolak. Sungguhpun begitu juga ia tidak
menunjukkan sikap permusuhannya terhadap Islam. Bahkan katanya:
“Muhammad, kalau ada sahabat-sahabatmu yang dapat diutus ke Najd dan
mengajak mereka itu menerima ajaranmu saya harap mereka itu akan
menerima.”
Tetapi Muhammad masih kuatir akan
melepaskan sahabat-sahabatnya itu ke Najd dan takut ia penduduk
daerah itu nanti akan mengkhianati mereka seperti pernah dilakukan
Hudhail terhadap Khubaib dan kawan-kawan. Ia tidak yakin dan tidak
dapat mengabulkan permintaan Abu Bara’. “Saya menjamin mereka,”
katanya lagi.
“Kirimkanlah utusan kesana untuk
mengajak mereka menerima ajaranmu.”Abu Bara’ adalah orang yang ditaati
di kalangan masyarakatnya dan didengar orang perkataannya.
Barangsiapa yang sudah diberinya perlindungan ia tidak kuatir akan
mendapat serangan pihak lain.
Nabi Muhammad mengutus al-Mundhir b. ‘Amr dari Banu Sa’ida
Dengan demikian Muhammad mengutus
al-Mundhir b. ‘Amr dari Banu Sa’ida dengan memimpin 40 orang Muslimin
pilihan. Mereka pun berangkat. Sampai di Bi’ir Masuna – antara daerah
Banu ‘Amir dan Banu Sulaim – mereka berhenti. Dari sana mereka
mengutus Haram b. Milhan membawa surat Muhammad kepada ‘Amir
bin’t-Tufail. Tetapi oleh ‘Amir surat itu tidak dibacanya, malah
orang yang membawanya dibunuh, dan dia minta bantuan Banu ‘Amir
supaya membunuhi kaum Muslimin. Tetapi setelah mereka menolak untuk
melakukan pelanggaran atas pertanggung-jawaban dan perlindungan
yang telah diberikan oleh Abu Bara’ ‘Amir meminta bantuan
kabilah-kabilah lain.
Permintaan ini oleh mereka dipenuhi dan
kemudian bersama-sama dia mereka berangkat dan mengepung rombongan
Muslimin di tempat itu. Melihat keadaan ini pihak Muslimin pun
segera mencabut pedang. Mereka mengadakan perlawanan mati-matian
sampai akhirnya mereka terbunuh semua.
Hanya Ka’b b. Zaid yang masih selamat,
yang dibiarkan begitu saja oleh Ibn’t-Tufail. Ternyata ia belum mati.
Kemudian ia pun pergi pulang ke Madinah. Demikian juga ‘Amr b.
Umayya, yang oleh ‘Amir bin’t-Tufail dimerdekakan karena dikiranya ia
masih terikat dengan suatu niat ibunya. Dalam perjalanan pulang di
tengah jalan ‘Amr bertemu dengan dua orang yang dikiranya turut
menyerang kawan-kawannya. Dibiarkannya kedua orang itu sampai tidur
lebih dulu, kemudian diserangnya dan dibunuhnya. Sesudah itu ia
melanjutkan lagi perjalanannya.
Sesampainya di Medinah
diberitahukannya perbuatannya itu kepada Rasul a.s. Ternyata kedua
orang itu dari Banu ‘Amir, dari golongan Abu Bara’ dan yang juga
terikat oleh suatu perjanjian Jiwar (bertetangga baik) dengan
Rasulullah, dan ini berarti harus diselesaikan dengan diat.
Bukan main Muhammad menahan perasaan pilu
karena pembunuhan di Bi’ir Ma’una itu. Sungguh berat hatinya menahan
dukacita atas sahabat-sahabatnya itu. Ia berkata: “Ini adalah perbuatan
Abu Bara’. Sejak semula saya sudah berat hati dan kuatir sekali.”
Abu Bara’ juga merasa sangat terpukul
karena pelanggaran ‘Amir bin’t-Tufail atas dirinya itu. Karena itu,
Rabi’a anaknya lalu bertindak menghantam ‘Amir dengan tombak sebagai
balasan atas perbuatannya terhadap ayahnya. Begitu dalamnya rasa
dukacita Muhammad sehingga sebulan penuh setiap selesai salat Subuh ia
berdoa semoga Tuhan mengadakan pembalasan terhadap mereka yang telah
membunuh sahabat-sahabatnya itu. Demikian juga seluruh umat Muslimin
turut merasa pilu karena malapetaka yang telah menimpa
saudara-saudaranya seagama itu, meskipun sudah dengan penuh iman bahwa
mereka semua gugur sebagai syuhada, dan mereka semua akan mendapat
surga.
E. Menghadapi Yahudi dan kaum Munafiq di Madinah.
Malapetaka yang telah menimpa kaum
Muslimin di Raji’ dan di Bi’ir Ma’una mengingatkan kaum munafik dan
Yahudi Medinah akan kemenangan Quraisy di Uhud, dan membuat mereka
lupa akan kemenangan Muslimin atas Banu Asad, juga mengurangi
pandangan mereka terhadap kewibawaan Muhammad dan sahabat-sahabatnya.
Dalam menghadapi hal ini sekarang Nabi
saw berpikir dengan suatu pemikiran politik yang cermat sekali
serta pandangan yang jauh. Ketika itu bahaya yang paling besar
mengancam kaum Muslimin ialah sikap penduduk Medinah yang
kiranya akan merendahkan kewibawaan mereka. Begitu juga yang
sangat diharapkan oleh kabilah-kabilah Arab, mereka akan dapat
menanamkan perpecahan didalam, yang berarti akan dapat
menimbulkan perang saudara jika nanti ada saja tetangga yang menyerbu
Medinah. Disamping itu pihak Yahudi dan orang-orang munafik
seolah-olah memang sedang menantikan bencana yang akan menimpa itu.
Karena itu dilihatnya tak ada jalan lain yang lebih baik daripada
membiarkan mereka, supaya nanti niat mereka terbongkar.
Oleh karena Yahudi Banu Nadzir itu
sekutu Banu ‘Amir, maka Nabi berangkat sendiri ke tempat mereka
- yang tidak jauh dari Quba’- dengan membawa sepuluh orang
Muslimin terkemuka, diantaranya Abu Bakr, Umar dan Ali. Ia minta
bantuan Banu Nadzir dalam membayar diat dua orang yang telah dibunuh
tidak sengaja oleh ‘Amr b. Umayya itu dan tidak diketahuinya pula
bahwa Nabi telah memberikan perlindungan kepada mereka.
Sumber :S E J A R A H H I D U P M U H A M M A D
oleh MUHAMMAD HUSAIN HAEKAL diterjemahkan dari bahasa Arab oleh Ali Audah
Penerbit PUSTAKA JAYA Jln. Kramat II, No. 31 A, Jakarta Pusat Cetakan Kelima, 1980