Posted by Drs.H.Mutawalli, M.Pd.I on September 25, 2010
A. Ka’b Pemimpin Yahudi Madinah membuka pintu benteng dibujuk oleh Huyayy b. Akhtab Pemimpin Yahudi dalam perang Khandaq.
“Ka’b,
sungguh celaka,” katanya kemudian. “Saya datang pada waktu yang tepat
dan membawa tenaga yang tepat pula. Saya datang membawa Quraisy
dan Ghatafan dengan pemimpinpemimpin dan pemuka-pemuka mereka.
Mereka sudah berjanji kepadaku, bahwa mereka tidak akan beranjak
sebelum dapat mengikis habis Muhammad dan kawan-kawannya itu.”
Tetapi Ka’b masih juga maju mundur.
Disebutnya kejujuran serta kesetiaan Muhammad kepada perjanjian
itu. Ia kuatir akan akibatnya atas apa yang diminta oleh Huyayy itu.
Tetapi Huyayy masih terus menyebut-nyebut bencana yang dialami
orang-orang Yahudi karena Muhammad itu, dan juga bencana yang akan
mereka alami sendiri nanti bilamana Ahzab tidak berhasil mengikisnya.
Diuraikannya juga kekuatan pihak Ahzab
itu serta perlengkapan dan jumlah orangnya. Yang sekarang masih
merintangi mereka untuk menumpas semua orang-orang Islam dalam sekejap
mata itu, hanyalah parit itu saja. Sekarang Ka’b sudah mulai lunak.
“Kalau pasukan Ahzab itu berbalik?”
tanyanya kemudian. Di sini Huyayy memberikan jaminan, bahwa kalau
Quraisy dan Ghatafan sampai kembali dan tidak berhasil menghantam
Muhammad ia pun akan tinggal dalam benteng itu dan akan tetap
bersama-sama dalam seperjuangan. Dalam hati Ka’b nafsu Yahudinya
sudah mulai bergerak-gerak.Permintaan Huyayy itu diterimanya,
perjanjian dengan Muhammad & kaum Muslimin mulai dilanggarnya
dan ia sudah keluar dari sikap kenetralannya.
B.Yahudi Madinah Melanggar Janji dengan Muhammad saw
Berita-berita penggabungan Quraiza
dengan pihak Ahzab itu sampai juga kepada Muhammad dan
sahabat-sahabatnya. Mereka sangat terkejut sekali dan kuatir juga
akan akibat yang mungkin terjadi. Muhammad segera mengutus Sa’d
b. Mu’adh, pemimpin Aus dan Sa’d b. ‘Ubada, pemimpin Khazraj,
disertai pula oleh Abdullah b. Rawaha dan Khawat b. Jubair dengan
tujuan supaya mempelajari duduk perkara yang sebenarnya.
Bilamana mereka kembali pulang,
hendaknya dapat memberikan isyarat kalau memang hal itu benar, supaya
jangan nanti sampai mematahkan semangat orang. Tetapi sesampainya para
utusan itu kesana, mereka melihat keadaan Quraiza justeru lebih
jahat lagi dari apa yang pernah mereka dengar semula. Diusahakan juga
oleh utusan itu supaya mereka mau menghormati perjanjian yang
ada. Tetapi Ka’b berkata kepada mereka, supaya orang-orang Yahudi
Banu Nadzir dikembalikan ke kampung halaman mereka. Ketika itu Said
b. Mu’adh – yang juga bersahabat baik dengan pihak Quraiza – mencoba
meyakinkan supaya jangan sampai mereka mengalami nasib seperti yang
pernah dialami oleh Banu Nadzir, atau yang lebih parah lagi dari
itu. Pihak Yahudi sekarang mau terus melancarkan serangan kepada
Muhammad saw . ”Siapa Rasulullah itu!?” kata Ka’b. “Kami dengar Muhammad tidak terikat oleh sesuatu persahabatan atau perjanjian apa pun!”
Kedua belah pihak itu lalu saling adu mulut.
C. Utusan Nabi Muhammad melaporkan keadaan Banu Quraiza
Utusan-utusan Muhammad pulang. Mereka
melaporkan apa yang telah mereka saksikan. Bencana besar
kini mengancam. Kekuatiran makin menjadi-jadi. Penduduk Medinah kini
melihat pihak Quraiza telah membukakan jalan bagi Ahzab, yang akan
memasuki kota dan membasmi mereka. Hal ini bukan hanya sekedar khayal
dan ilusi saja. Terbukti Banu Quraiza sekarang sudah memutuskan segala
bantuan dan bahan makanan kepada mereka.
Juga terbukti sekembalinya Huyayy b.
Akhtab yang memberitahukan kepada mereka, bahwa Quraiza telah
tergabung dengan pihak Quraisy dan Ghatafan – jiwa mereka sudah berubah
dan mereka sudah siap-siap melakukan peperangan. Soalnya lagi pihak
Quraiza telah memperpanjang waktu selama sepuluh hari lagi buat pihak
Ahzab guna mengadakan persiapan, asal Ahzab selama sepuluh hari
itu benar-benar mau menyerbu kaum Muslimin.
D. Pasukan Ahzab membagi tiga pasukan yang oleh Ibnul Anwar as-Sulami, Uyayna b Hishn dan Abu Sufyan
Mereka telah menyusun tiga buah
pasukan besar guna memerangi Nabi. Sebuah pasukan dibawah pimpinan
Ibn’l-A’war as-Sulami didatangkan dari jurusan sebelah atas wadi,
pasukan yang dipimpin oleh ‘Uyayna b. Hishn datang dari sebelah samping,
dan pasukan yang dipimpin oleh Abu Sufyan ditempatkan di jurusan
parit. Dalam peristiwa inilah ayat berikut ini turun:
“Tatkala mereka datang
kepadamu dari jurusan atas dan bawah, dan pandangan mata sudah jadi
kabur, hati pun naik menyekat di kerongkongan (sangat gelisah), ketika
itu kamu berprasangka tentang Tuhan, prasangka yang salah
belaka. Saat itulah orang-orang yang beriman mendapat cobaan dan
mereka mengalami keguncangan yang hebat sekali. Dan ingat! ketika
orang-orang munafik dan orang-orang yang berpenyakit dalam hatinya
itu berkata: Apa yang dijanjikan Allah dan RasulNya kepada kami
hanyalah tipu daya belaka. Juga ketika ada satu golongan diantara
mereka itu berkata: “Wahai penduduk Yathrib! Tak ada tempat buat kamu.
Kembalilah kamu pulang.” Dan ada sebagian dari mereka itu yang
meminta ijin kepada Nabi seraya berkata: ‘Sesungguhnya rumah-rumah
kami terbuka.’ Tetapi sebenarnya tidak terbuka. Hanya saja mereka
itu ingin melarikan diri.” (Qur’an, 33: 10-13)
Tetapi buat penduduk Yathrib masih
dapat dimaafkan kalau mereka sampai begitu takut dan hati
mereka terguncang karenanya. Mereka yang masih dapat dimaafkan itu
ialah yang berpendapat: Dulu Muhammad menjanjikan kami, bahwa
kami mendapat harta kekayaan Kisra dan Kaisar Rumawi. Tetapi
sekarang orang sudah merasa tidak aman lagi sekalipun hanya akan
pergi ke kebun. Pandangan mata mereka yang jadi kabur pun dapat
dimaafkan. Demikian juga mereka yang merasa sangat gelisah dalam
ketakutan dapat juga dimaafkan. Bukankah maut juga yang sekarang
sedang menari-nari di depan matanya, menjilat-jilat menyala keluar
dari mata pedang yang di tangan Quraisy dan Ghatafan,
menyusup-nyusup kedalam hati sebagai ancaman, dan juga yang datang
dari rumah-rumah Banu Quraiza yang berkhianat itu? Sungguh
celaka orang-orang Yahudi. Sungguh patut sekali kalau Muhammad
mengikis habis saja Banu Nadzir itu daripada hanya sekedar
membiarkan mereka pergi dalam keadaan berkecukupan, serta
membiarkan Huyayy cs. menghasut masyarakat dan
kabilah-kabilah Arab supaya menghantam kaum Muslimin. Ya, sungguh
suatu bencana besar, suatu ancaman besar. “Tak ada daya upaya kalau
tidak dengan Allah juga.”
Dari segi moril pihak Ahzab sudah
merasa begitu tinggi, sehingga ada beberapa orang ksatria dari
Quraisy yang sudah berani maju kedepan, seperti ‘Amr b. ‘Abd Wudd,
‘Ikrima b. Abi Jahl dan Dzirar bin’l-Khattab. Mereka langsung menyerbu
parit itu. Mereka menuju ke suatu bagian yang agak sempit. Dipacunya
kuda mereka itu sehingga mereka dapat menyeberangi parit dan sampai di
Sabkha yang terletak antara parit dengan bukit Sal’. Ketika itu juga
Ali b. Abi Talib keluar dengan beberapa orang dari kalangan Muslimin,
terus cepat-cepat merebut sebuah rongga dalam parit yang telah
diserbu oleh pasukan berkuda mereka. Ketika itu ‘Amr b. ‘Abd. Wudd
memanggil-manggil: “Siapa berani bertanding?!”
Setelah ajakannya itu disambut oleh
Ali b. Abi Talib, ia berkata lagi dengan congkak sekali: “Oh
kemenakanku ! Aku tidak ingin membunuhmu.” “Tapi aku ingin membunuh
kau,” sahut Ali.
Kemudian duel itu terjadi, dan Ali
berhasil membunuhnya. Saat itu juga pasukan berkuda pihak Ahzab
lari kucar-kacir, sehingga mereka terbentur sekali lagi ke dalam
parit sambil lari terus tanpa melihat kekanan-kiri lagi. Tatkala
matahari sudah terbenam, ketika itu datang pula Naufal b. Abdullah
bin’l-Mughira dengan menunggang kudanya hendak menyeberangi parit itu,
tapi saat itu juga ia mendapat pukulan hebat sehingga ia berikut
kudanya itu mati dan hancur di tempat tersebut. Dalam hal ini Abu
Sufyan menyampaikan tawaran hendak menebus mayat kawannya itu dengan
seratus ekor unta, Tetapi itu oleh Nabi a.s. ditolak, seraya berkata:
“Ambillah mayat itu. Barang yang kotor tebusannya kotor juga.”
Dengan cara yang berlebih-lebihan pihak
Ahzab sekarang mulai lagi hendak mengobarkan api permusuhannya
dengan maksud menakut-nakuti dan melemahkan jiwa kaum Muslimin.
Orang-orang Quraiza yang bersemangat mulai turun dari benteng-benteng
dan kubu-kubu mereka. Mereka memasuki rumah-rumah di Medinah yang
terdekat pada mereka. Maksud mereka mau menakut-nakuti penduduk.
Pada waktu itu Shafia bt. Abd’l-Muttalib
sedang berada dalam Fari’, benteng Hassan b. Thabit. Juga Hassan
ketika itu disana dengan kaum wanita dan anak-anak. Waktu itu ada
seorang orang Yahudi yang mundar-mandir sekeliling benteng itu.
“Kaulihat bukan?” kata Shafia kepada Hassan, “Orang Yahudi itu
mundar-mandir sekeliling benteng kita. Sungguh aku tidak
mempercayainya. Ia akan menunjukkan rahasia kita kepada pihak Yahudi.
Sedang Rasulullah dan sahabat-sahabat sedang sibuk. Turunlah kau dan
bunuh orang itu.” “Semoga Tuhan mengampunimu, Shafia,” jawab Hassan.
“Engkau tahu, aku bukan orangnya akan melakukan itu.” Mendengar itu
Shafia langsung mengambil sebatang tongkat. Ia turun dari benteng itu
dan orang Yahudi tadi dipukulnya Sampai ia menemui ajalnya.
“Hassan, turunlah dan lucuti dia. Sayang
dia laki-laki; kalau tidak aku sendiri yang akan melakukannya.”
“Shafia, tidak perlu aku melucuti dia,” jawab Hassan. Penduduk Medinah
masih dalam ketakutan, hati mereka masih gelisah selalu. Dalam
pada itu yang selalu menjadi pikiran Muhammad ialah bagaimana caranya
mencari jalan keluar. Harus ada suatu taktik. Dikirimnya utusan
kepada pihak Ghatafan dengan menjanjikan sepertiga hasil buah-buahan
Medinah untuk mereka asal mereka mau pergi meninggalkan tempat itu.
E. Nu’aim b. Mas’ud Mengadakan siasat
Pihak Ghatafan sendiri sebenarnya sudah
mulai jemu. Mereka sudah memperlihatkan perasaan muak, karena begitu
lama mereka mengadakan pengepungan dengan segala jerih payah yang
mereka hadapi selama itu. Soalnya hanyalah karena mau memenuhi ajakan
Huyayy b, Akhtab dan orang-orang Yahudi yang menjadi
pengikutnya. Di samping itu, Nu’aim b. Mas’ud, dengan perintah Rasul
telah pergi hendak menemui pihak Quraiza, yang ketika itu belum
mengetahui bahwa dia sudah masuk Islam. Pada zaman jahiliah ia
bergaul rapat sekali dengan pihak Quraiza.
Diingatkannya kembali hubungan dan
persahabatan mereka masa dahulu itu. Kemudian disebut-sebutnya juga
bahwa mereka telah mendukung Quraisy dan Ghatafan dalam menghadapi
Muhammad, sedang baik Quraisy maupun Ghatafan mungkin tidak akan tahan
lama tinggal di tempat itu. Kedua kabilah ini tentu akan
berangkat pulang, dan mereka akan ditinggalkan sendirian
menghadapi Muhammad yang tentunya nanti akan menghajar mereka pula.
Oleh karena itu dinasehatinya supaya mereka jangan mau ikut golongan
itu sebelum mendapat jaminan beberapa orang sebagai sandera dari
kedua golongan itu. Dengan demikian Quraisy dan Ghatafan tidak akan
meninggalkan mereka. Quraiza merasa puas dengan keterangan Nu’aim itu.
Selanjutnya ia pergi lagi kepada Quraisy dengan membisikkan, bahwa
sebenarnya pihak Quraiza merasa menyesal sekali atas tindakannya
melanggar perjanjian dengan Muhammad dan bahwa mereka sekarang
berusaha hendak mengambil hatinya dan mengadakan tali
persahabatan lagi dengan jalan hendak menyerahkan
pemimpin-pemimpin Quraisy kepadanya supaya dibunuh. Oleh karena
itu lalu disarankannya, bahwa bilamana nanti pihak Yahudi mengutus
orang meminta jaminan berupa pemimpin-pemimpin mereka, jangan
dikabulkan. Seperti terhadap Quraisy, kemudian Nu’aim melakukan hal yang
sama pula terhadap Ghatafan. Keterangan Nu’aim ini telah
menimbulkan keraguan dalam hati Quraisy dan Ghatafan.
Pemimpin-pemimpin mereka segera
berunding. Abu Sufyan lalu mengutus orang menemui Ka’b, pemimpin
Banu Quraiza dengan pesan: “Kami sudah cukup lama tinggal di tempat dan
mengepung orang itu. Menurut hemat kami besok kamu harus sudah
menyerbu Muhammad dan kami dibelakangmu.”
Tetapi utusan Abu Sutyan itu kembali
dengan membawa jawaban pemimpin Quraiza: “Besok hari Sabtu, dan pada
hari Sabtu itu kami tidak dapat berperang atau bekerja apa pun.”
Mendengar itu Abu Sufyan naik pitam.
Benar juga kata Nu’aim kalau begitu. Utusan itu disuruhnya kembali
dengan mengatakan kepada pihak Quraiza: “Cari Sabtu4 lain saja sebagai
pengganti Sabtu besok, sebab besok Muhammad harus sudah diserbu. Kalau
kami sudah mulai menyerang Muhammad sedang kamu tidak ikut serta
dengan kami, maka persekutuan kita dengan sendirinya bubar, dan
kamulah yang akan kami serbu lebih dulu sebelum Muhammad.”
Pernyataan Abu Sufyan itu oleh Quraiza
tetap dijawab dengan mengulangi bahwa mereka tidak akan melanggar hari
Sabtu. Ada golongan mereka yang telah mendapat kemurkaan Tuhan
karena telah melanggar hari Sabtu sehingga mereka itu menjadi monyet
dan babi. Kemudian disebutnya juga jaminan yang mereka minta sebagai
sandera, supaya mereka lebih yakin akan perjuangan mereka itu.
Mendengar permintaan semacam itu Abu
Sufyan lebih yakin lagi akan keterangan yang telah diberikan Nu’aim
itu. Terpikir olehnya sekarang apa yang harus diperbuatnya. Ketika
hal ini dibicarakan dengan pihak Ghatafan ternyata mereka juga masih
maju-mundur hendak memerangi Muhammad. Mereka terpengaruh oleh janji
yang pernah diberikan kepada mereka, bahwa sepertiga hasil
buah-buahan kota Medinah nanti untuk mereka, tapi janji tersebut belum
ter]aksana karena masih mendapat tantangan dari Said b. Mu’adh dan
pemuka-pemuka Medinah, baik kalangan Aus dan Khazraj maupun dari
sahabat-sahabat Rasulullah.
Malam harinya angin topan bertiup
kencang sekali, disertai oleh hujan yang turun dengan
lebatnya. Bunyi petir menderu-deru diselingi oleh halilintar yang
sambung- menyambung. Tiba-tiba angin topan itu bertiup kencang sekali
dan kuali-kuali tempat mereka masak terbalik belaka. Sekarang
timbul rasa takut dalam hati. Terbayang oleh mereka bahwa kaum
Muslimin akan mengambil kesempatan ini untuk menyerang dan
menghantam mereka. Ketika itu Tulaiha b. Khuailid tampil seraya
berteriak:
“Muhammad telah mendahului menyerang
kita. Selamatkan dirimu ! Selamatkan!” “Saudara-saudara dari Quraisy,”
kata Abu Sufyan. “Tidak layak lagi kita tinggal lama-lama di tempat ini.
Pasukan kita yang terdiri dari kuda dan unta sudah binasa, Banu
Quraiza sudah tidak menepati janjinya lagi dengan kita, bahkan
kita mendengar hal-hal dari mereka yang tidak menyenangkan hati.
Ditambah lagi kita menghadapi angin yang begitu dahsyat. Maka lebih
baik pulang sajalah. Saya pun akan berangkat pulang.”
Ditengah-tengah angin yang masih
bertiup kencang, rombongan itu berangkat dengan membawa perbekalan
seringan mungkin, diikuti oleh Ghatafan dan kelompok-kelompok lainnya.
Keesokan harinya sudah tidak seorang
juga yang dijumpai oleh Muhammad di tempat itu. Ia pun lalu kembali
pulang ke Medinah bersama-sama umat Islam yang lain. Mereka
bersama-sama menyatakan rasa syukur yang sedalam-dalamnya kepada
Tuhan, karena mereka telah terhindar dari segala mara bahaya,
orang-orang beriman itu tidak sampai terlibat dalam
pertempuran.
F. Nabi Muhammad saw mengatur strategi penyelamatan Madinah dari Bahaya Yahudi
Setelah pihak Ahzab berangkat pulang,
Muhammad kembali memikirkan keadaannya. Tuhan telah menyelamatkannya
dari musuh yang selama ini mengancamnya. Tetapi sungguhpun begitu
pihak Yahudi dapat saja mengulang kembali peristiwa semacam itu,
dapat saja mereka mencari kesempatan lain, tidak lagi pada musim
dingin yang begitu dahsyat seperti dalam tahun ini, yang telah merupakan
bantuan Tuhan dalam menghancurkan pihak musuh.
Disamping itu, kalaupun tidak karena
Azhab telah pergi, dan peristiwa perpecahan di pihaknya sendiri
telah terjadi, niscaya Banu Quraiza itu sudah siap-siap pula
turun ke Medinah, akan menghantam dan akan memberikan segala macam
bantuan dalam menghancurkan kaum Muslimin. Jadi, jangan membiarkan ekor
ular yang sudah dipotong. Atas perbuatannya itu Banu Quraiza
harus dibasmi. Dalam hal ini Nabi a.s. memerintahkan supaya diserukan
kepada segenap orang, yakni: Barangsiapa yang tetap setia, bersembahyang
Asar supaya dilakukan di perkampungan Banu Quraiza. Lalu Ali
diberangkatkan lebih dulu dengan membawa bendera ke tempat itu.
Sungguhpun pihak Muslimin sudah begitu payah akibat pengepungan
Quraisy dan Ghatafan yang cukup lama, namun mereka segera bergegas ke
medan perang lagi. Mereka yakin bahwa mereka akan mendapat
kemenangan. Memang benar, bahwa Banu Quraiza tinggal dalam
benteng-benteng yang begitu kukuh seperti perbentengan Banu
Nadzir, tetapi kendatipun benteng-benteng itu dapat melindungi
mereka, namun mereka tidak akan dapat tahan menghadapi pihak
Muslimin. Persediaan bahan makanan kini berada di tangan penduduk
Medinah, setelah pihak Ahzab meninggalkan tempat tersebut. Oleh
karena itu, pihak Muslimin pun dengan perasaan gembira bergegas
pula berangkat di belakang Ali, menuju ke tempat Banu Quraiza.
Ternyata mereka itu – juga Huyayy b.
Akhtab dari Banu Nadzir ada di tempat itu – melemparkan kata-kata yang
tidak senonoh dialamatkan kepada Muhammad. Mereka
mendustakannya dan memakinya serta mau mencemarkan nama baik
isterinya. Setelah kekalahan pasukan Ahzab di Medinah, seolah mereka
memang sudah merasakan apa yang akan terjadi terhadap diri mereka.
Sumber: S E J A R A H H I D U P M U H A M M A D
oleh MUHAMMAD HUSAIN HAEKAL diterjemahkan dari bahasa Arab oleh Ali Audah
Penerbit PUSTAKA JAYA Jln. Kramat II, No. 31 A, Jakarta Pusat Cetakan Kelima, 1980