Posted by Drs.H.Mutawalli,M.Pd.I on September 23, 2010
SETELAH
Medinah dikosongkan dari Banu Nadhir, kemudian setelah peristiwa Badr
Terakhir dan sesudah ekspedisi-ekspedisi Ghatafan dan
Dumat’l-Jandal berlalu, tiba waktunya kaum Muslimin sekarang
merasakan hidup yang lebih tenang di Medinah. Mereka sudah dapat
mengatur hidup, sudah tidak begitu banyak mengalami kesulitan berkat
adanya rampasan perang yang mereka peroleh dari peperangan selama
itu, meskipun dalam banyak hal kejadian ini telah membuat mereka
lupa terhadap masalah-masalah pertanian dan perdagangan. Tetapi
disamping ketenangan itu Muhammad selalu waspada terhadap segala
tipu-muslihat dan gerak-gerik musuh. Mata-mata selalu
disebarkan ke seluruh pelosok jazirah, mengumpulkan
berita-berita sekitar kegiatan masyarakat Arab yang hendak
berkomplot terhadap dirinya. Dengan demikian ia selalu dalam
siap-siaga, sehingga kaum Muslimin dapat selalu mempertahankan diri.
Tidak begitu sulit orang menilai
betapa perlunya harus bersikap waspada dan berhati-hati selalu setelah
kita melihat adanya segala macam tipu-muslihat Quraisy dan yang
bukan Quraisy terhadap kaum Muslimin, juga karena negeri-negeri masa
itu, juga sesudah itu sebagian besar dalam perkembangan
sejarahnya masing-masing mereka itu merupakan sekumpulan
republik-republik kecil, yang satu sama lain berdiri
sendiri-sendiri. Mereka masing-masing menggunakan system
organisasi yang lebih dekat pada cara-cara kabilah. Hal ini memaksa
mereka harus berlindung pada adat-lembaga dan tradisi yang ada, yang
tidak mudah dapat kita bayangkan seperti halnya pada bangsa-bangsa yang
sudah teratur. Dalam hal ini Muhammad pun sebagai orang Arab sangat
waspada sekali mengingat nafsu hendak membalas dendam yang ada dalam
naluri orang-orang Arab itu besar sekali. Baik Quraisy maupun Yahudi
Banu Qainuqa’ dan Yahudi Banu Nadzir, demikian juga
kabilah-kabilah Arab Ghatafan, Hudhail dan kabilah-kabilah yang
berbatasan dengan Syam, mereka saling menunggu, bahwa
Muhammad dan sahabat-sahabatnya itu akan binasa.Kalaupun mereka
akan mendapat kesempatan, masing-masing berharap akan dapat
mengadakan balas dendam terhadap laki-laki yang sekarang datang
mencerai-beraikan masyarakat Arab dengan kepercayaan mereka itu.
Laki-laki yang pergi keluar Mekah, mengungsi dalam keadaan tidak
berdaya, tidak punya kekuatan, selain iman yang telah memenuhi jiwanya
yang besar itu, dalam waktu lima tahun sekarang orang ini sudah
kuat, sudah mempunyai kemampuan, sehingga kota-kota dan
kabilah-kabilah Arab yang terkuat sekalipun, merasa segan kepadanya.
A.Orang Yahudi menghasut seluruh Jazirah untuk memerangi Muhammad saw
Orang-orang Yahudi ialah musuh
Muhammad yang paling tajam memperhatikan ajaran-ajaran dan cara
berdakwahnya. Dengan kemenangannya itu merekalah yang paling banyak
memperhitungkan nasib yang telah menimpa diri mereka. Mereka di
negeri-negeri Arab sebagai penganjur-penganjur ajaran tauhid
(monotheisma).
Mengenai penguasaan bidang ini mereka
bersaingan sekali dengan pihak Kristen. Mereka selalu berharap akan
dapat mengalahkan lawannya ini. Dan barangkali mereka benar juga
mengingat bahwa orang-orang Yahudi ialah bangsa Semit yang pada dasarnya
lebih condong pada pengertian monotheisma. Sementara ajaran trinitas
Kristen suatu hal yang tidak mudah dapat
dicernakan oleh jiwa Semit. Dan sekarang Muhammad, orang yang
berasal dari pusat Arab dan dari pusat orang-orang Semit sendiri,
menganjurkan ajaran tauhid dengan cara yang sungguh kuat dan
mempesonakan sekali, dapat menjelajahi dan merasuk sampai ke lubuk
hati orang, dan mengangkat martabat manusia ke tingkat yang lebih
tinggi. Sekarang ia sudah begitu kuat, dapat mengeluarkan Banu Qainuqa’
dari Medinah, mengusir Banu Nadzir dari daerah koloni mereka. Dapatkah
mereka membiarkannya terus begitu, dan mereka sendiri pergi ke Syam
atau pulang ke tanah air mereka yang pertama, ke Bait’l-Maqdis
(Yerusalem) di Negeri yang Dijanjikan – Ardz’l-Mi’ad –
(Palestina), ataukah mereka harus berusaha menghasut orang-orang Arab
itu supaya dapat membalas dendam kepada Muhammad?
Rencana hendak menghasut orang-orang
Arab adalah yang paling terutama menguasai pikiran pemuka-pemuka Banu
Nadzir. Untuk melaksanakan rencana itu, beberapa orang dari kalangan
mereka pergi hendak menemui Quraisy di Mekah. Mereka terdiri dari
Huyayy b. Akhtab. Sallam b. Abi’l-Huqaiq dan Kinana
bin’l-Huqaiq, bersama-sama dengan beberapa orang dari Banu Wa’il
Hawadha b. Qais dan Abu ‘Ammar.
Ketika oleh pihak Mekah, Huyayy ditanya
mengenai golongannya itu ia menjawab: “Mereka saya biarkan
mundar-mandir ke Khaibar dan ke Medinah sampai tuan-tuan nanti
datang ke tempat mereka dan berangkat bersama-sama menghadapi Muhammad
dan sahabatsahabatnya.”
Ketika oleh mereka ditanya tentang
Quraiza, ia menjawab: “Mereka tinggal di Medinah sekedar mau
mengelabui Muhammad. Kalau tuan-tuan sudah datang mereka akan
bersama-sama dengan tuan-tuan.” Pihak Quraisy jadi ragu-ragu akan
maju, atau mundur saja. Mereka dengan Muhammad tidak berselisih
apa-apa, selain ajarannya tentang Tuhan. Bukan tidak mungkinkah bahwa
dia juga yang benar, sebab makin hari ajarannya itu ternyata makin kuat
dan tinggi juga?
“Tuan-tuan dari golongan Yahudi,”
kata pihak-Quraisy. “Tuan-tuan adalah ahli kitab yang
mula-mula dan sudah mengetahui pula apa yang menjadi pertentangan
antara kami dengan Muhammad. Soalnya sekarang: manakah yang lebih
baik, agama kami atau agamanya.”
Pihak Yahudi menjawab: “Tentu agama tuan-tuan yang lebih baik, sebab tuan-tuan lebih benar dari dia.”
Dalam hal ini firman Tuhan dalam Qur’an menyebutkan;
“Tidakkah engkau perhatikan orang-orang yang telah diberi sebahagian kitab? Mereka percaya kepada sihir dan berhala dan mereka berkata kepada orang-orang kafir: ‘Jalan mereka lebih benar dari orang yang beriman.’ Mereka itulah yang dikutuk oleh Tuhan. Dan barangsiapa yang dikutuk Tuhan, maka baginya takkan ada penolong.” (Qur’an, 4: 51-52)
B. Dr. Israel Wilfinson Tarikh’l-Yahudi fi Bilad’l-’Arab tentang sikap Yahudi dizaman hidup Muhammad saw.
Dalam posisi orang-orang Yahudi
menghadapi Quraisy ini dengan sikap lebih mengutamakan paganisma
mereka daripada tauhid Muhammad, maka dalam Tarikh’l-Yahudi fi Bilad’l-’Arab, Dr. Israel Wilfinson menyebutkan: “Seharusnya mereka itu tidak boleh sampai terjerumus ke dalam kesalahan yang begitu kotor, dan jangan pula berkata dengan terus-terang di depan pemuka-pemuka Quraisy, bahwa cara menyembah berhala itu lebih baik daripada tauhid seperti yang diajarkan Islam, meskipun hal itu akan mengakibatkan permintaan mereka tidak akan dipenuhi. Oleh karena orang-orang Israil sejak berabad-abad lamanya atas nama nenek-moyang dahulu kala sebagai pengemban panji tauhid (monotheisma) diantara bangsa-bangsa di dunia, dan
telah pula mengalami pelbagai macam penderitaan, pembunuhan
dan penindasan hanya karena iman mereka kepada Tuhan Yang Tunggal
itu, yang mereka alami dalam berbagai zaman selama dalam perkembangan
sejarah, maka sudah seharusnya mereka itu bersedia mengorbankan
hidup mereka, mengorbankan segala yang mereka cintai dalam menghadapi
dan menaklukan kaum musyrik itu. Apalagi dengan minta perlindungan
kepada pihak penyembah berhala, itu berarti mereka telah memerangi
diri sendiri serta menentang ajaran-ajaran Taurat yang meminta
mereka menjauhi penyembah-penyembah berhala dan dalam
menghadapi mereka supaya bersikap seperti menghadapi musuh.
C. Huyayy b. Akhtab Pemimipim Yahudi .
Huyayy b. Akhtab dan orang-orang Yahudi
yang sepaham dengan dia, yang telah mengatakan kepada Quraisy
bahwa paganism mereka lebih baik daripada tauhid Muhammad dengan
maksud supaya mereka sudi memeranginya, dan yang akan mereka
laksanakan setelah sekian bulan disiapkan, tampaknya tidak cukup
sampai di situ saja. Malah orang-orang Yahudi itu pergi lagi menemui
kabilah Ghatafan2 yang terdiri dari Qais ‘Ailan, Banu Fazara, Asyja’
Sulaim, Banu Sa’d dan Asad, serta semua pihak yang ingin menuntut balas
kepada Muslimin. Mereka ini aktif sekali mengerahkan orang supaya
menuntut balas dengan menyebutkan bahwa Quraisy juga ikut serta
memerangi Muhammad. Paganisma Quraisy mereka puji dan mereka
menjanjikan, bahwa mereka pasti akan mendapat kemenangan.
D.Yahudi ingin memerangi Muhammad saw.
Kelompok-kelompok3 yang
sudah diorganisasikan oleh pihak Yahudi itu kini berangkat
hendak memerangi Muhammad dan sahabat-sahabatnya. Dari pihak Quraisy
yang dipimpin oleh Abu Sufyan sudah disiapkan 4000 orang prajurit,
tiga ratus ekor kuda dan 1500 orang dengan unta. Pimpinan brigade yang
disusun di Dar’n-Nadwa diserahkan kepada ‘Uthman b. Talha. Ayah orang
ini telah mati terbunuh dalam memimpin pasukan di Uhud. Banu Fazara
yang dipimpin oleh ‘Uyaina b. Hishn b. Hudhaifa telah siap dengan
sejumlah pasukan besar dan 100 unta. Sedang Asyja’ dan Murra
masing-masing membawa 400 prajurit. Pihak Murra dipimpin oleh
Al-Harith b. ‘Auf dan dari pihak Asyja’ oleh Misiar ibn
Rukhaila. Menyusul pula Sulaim, biang-keladi peristiwa Bi’r Ma’una,
dengan 700 orang. Mereka itu semua berkumpul, yang kemudian
datang pula Banu Sa’d dan Asad menggabungkan diri. Jumlah mereka
kurang lebih semuanya menjadi 10.000 orang. Semua mereka itu
berangkat menuju Medinah dibawah pimpinan Abu Sufyan.
Setelah mereka sampai, selama dalam
perang, pemuka-pemuka kabilah itu saling bergantian pimpinan,
masing-masing sehari mendapat giliran.
E. Kaum Muslimin merasa gentar
Berita keberangkatan mereka ini sampai
juga kepada Muhammad dan kaum Muslimin di Medinah. Mereka
merasa gentar. Ya, sekarang seluruh kabilah Arab sudah bersatu
sepakat hendak menumpas dan memusnahkan mereka, sudah datang
dengan perlengkapan dan jumlah manusia yang besar, suatu hal yang
dalam sejarah peperangan Arab secara keseluruhannya belum pernah
terjadi. Apabila dalam perang Uhud Quraisy telah mendapat
kemenangan atas mereka, ketika mereka keluar menyongsong keluar
Medinah, padahal baik jumlah perlengkapan maupun jumlah manusia
jauh di bawah pasukan sekutu ini, apa lagi yang dapat dilakukan
kaum Muslimin sekarang dalam menghadapi jumlah pasukan yang
terdiri dari beribu-ribu rnanusia itu - barisan berkuda, unta,
persenjataan serta perlengkapan lainnya?! Tidak ada jalan lain, hanya
bertahan di Yathrib yang masih perawan ini, seperti dikatakan
oleh Abdullah b. Ubayy.
F. Salman al-Farisi menyarankan penggalian parit
Tetapi cukup hanya bertahan sajakah
menghadapi kekuatan raksasa itu? Salman al-Farisi adalah orang
yang banyak mengetahui seluk-beluk peperangan, yang belum
dikenal di daerah-daerah Arab. Ia menyarankan supaya di sekitar
Medinah itu digali parit dan keadaan kota diperkuat dari dalam. Saran
ini segera dilaksanakan oleh kaum Muslimin. Ketika menggali parit
itu Nabi a.s. juga dengan tangannya sendiri ikut bekerja. Ia
turut mengangkat tanah dan sambil terus member semangat, dengan
menganjurkan kepada mereka supaya terus melipat gandakan
kegiatan. Pihak Muslimin sudah membawa alat-alat yang
diperlukan, terdiri dari sekop, cangkul dan keranjang pengangkut
tanah dari tempat orang-orang Yahudi Quraiza yang masih berada di
bawah pihak Islam. Dengan bekerja giat terus-menerus penggalian parit
itu selesai dalam waktu enam hari. Dalam pada itu dinding-dinding
rumah yang menghadap ke arah datangnya musuh, yang jaraknya dengan
parit itu kira-kira dua farsakh, diperkuat pula. Rumah-rumah yang ada
di belakang parit itu dikosongkan. Wanita dan anak-anak
ditempatkan dalam rumah-rumah yang sudah diperkuat, dan di samping
parit dari arah Medinah ditaruh pula batu supaya di waktu perlu dapat
dilemparkan sebagai senjata.
Tatkala pihak Quraisy dan
kelompok-kelompoknya itu datang dengan harapan akan menemui Muhammad di
Uhud, ternyata tempat itu kosong. Mereka meneruskan perjalanan ke
Medinah; tapi mereka dikejutkan oleh adanya parit. Di luar dugaan
semula, mereka heran sekali melihat jenis pertahanan yang masih asing
bagi mereka itu. Dibawa oleh perasaan jengkel, mereka pun
menganggap bahwa berlindung di balik parit semacam itu adalah suatu
perbuatan pengecut yang belum pernah terjadi di kalangan masyarakat
Arab. Pasukan Quraisy dan sekutu-sekutunya lalu bermarkas di Mujtama’l'-As-yal di daerah Ruma, dan pasukan Ghatafan serta pengikut-pengikutnya dari Najd, bermarkas di Dhanab Naqama. Sedang Muhammad sekarang berangkat dengan tiga ribu orang Muslimin, dengan membelakanyi bukit Sal’ dan dijadikannya parit itu sebagai batas dengan pihak musuh. Di tempat inilah ia bermarkas dan memasang kemahnya yang berwarna merah.
Pihak Quraisy dan kabilah-kabilah Arab
lainnya melihat, bahwa tidak mungkin mereka menerobos parit itu.
Dengan demikian selama beberapa hari mereka hanya saling
melemparkan anak panah. Abu Sufyan sendiri dengan pengikutpengikutnya
pun yakin bahwa akan sia-sia saja mereka lama-lama menghadapi kota
Yathrib dengan paritnya itu, karena tidak akan dapat mereka
menerobosnya
Pada waktu itu sedang terjadi musim
dingin yang luarbiasa disertai angin badai yang bertiup
kencang, sehingga sewaktu-waktu dikawatirkan hujan lebat akan
turun. Kalau orang-orang Mekah dan orang-orang Ghatafan dengan mudah
saja dapat berlindung dalam rumah-rumah mereka di Mekah atau di
Ghatafan, maka kemah-kemah yang mereka pasang sekarang di depan
kota Yathrib itu sama-sekali takkan dapat melindungi mereka.
Disamping itu tadinya memang mereka mengharap akan memperoleh
kemenangan secara lebih mudah, tidak perlu susah-payah seperti
pada waktu di Uhud. Mereka akan kembali pulang dengan menyanyikan
lagu-lagu kemenangan serta menikmati adanya pembagian barang-barang
jarahan dan rampasan perang.
Jadi apalagi kalau begitu yang masih
menahan Ghatafan buat kembali pulang?! Mereka ikut melibatkan diri
dalam perang itu hanya karena pihak Yahudi pernah menjanjikan mereka
dengan buah-buahan hasil pertanian dan perkebunan Khaibar, apabila
mereka memperoleh kemenangan, Tetapi sekarang mereka melihat untuk
memperoleh kemenangan itu tampaknya tidak mudah, atau setidak-tidaknya
sudah diluar kenyataan. Dalam musim dingin yang begitu hebat
rupanya diperlukan kerja keras yang luarbiasa yang akan membuat
mereka lupa segala buah-buahan berikut kebun-kebunnya itu!
Sebaliknya pihak Quraisy yang hendak
menuntut balas karena peristiwa Badr dan kekalahan-kekalahan lain
sesudah Badr, pada suatu waktu masih akan dapat mengejar dengan harapan
parit itu tidak akan selamanya berada dalam genggaman Muhammad dan
selama pihak Banu Quraiza masih bersedia memberikan bantuan kepada
penduduk Yathrib, yang akan memperpanjang perlawanan mereka sampai
berbulan-bulan. Bukankah lebih baik pihak Ahzab itu kembali pulang saja?
Ya! Akan tetapi mengumpulkan kembali kelompok-kelompok itu nanti
buat memerangi Muhammad lagi bukanlah soal yang mudah. Sebenarnya
orang-orang Yahudi itu, terutama Huyayy b. Akhtab
sebagai pemimpin mereka, sekali itu telah berhasil mengumpulkan
kabilah-kabilah itu untuk membalas dendam golongannya dan golongan
Banu Qainuqa’ terhadap Muhammad dan sahabat-sahabatnya. Apabila
kesempatan itu sudah hilang, maka jangan diharap ia akan kembali,
dan bilamana Muhammad mendapat kemenangan dengan ditariknya pihak
Ahzab itu, maka bahaya besar akan mengancam pihak Yahudi.
Semua itu sudah diperhitungkan oleh
Huyayy b. Akhtab. Ia kuatir akan akibatnya. jalan lain tidak
ada. Ia harus mempertaruhkan nasib terakhir. Kepada pihak Ahzab
itu ia membisikkan, bahwa ia sudah dapat meyakinkan Banu Quraiza
supaya membatalkan perjanjian perdamaiannya dengan Muhammad dan pihak
Muslimin, dan selanjutnya akan menggabungkan diri dengan mereka,
dan bahwa begitu Banu Quraiza melaksanakan hal ini, maka dari suatu
segi terputuslah semua perbekalan dan bala bantuan kepada
Muhammad itu, dan dari, segi lain jalan masuk ke Yathrib akan terbuka.
Quraisy dan Ghatafan merasa gembira atas keterangan Huyayy itu.
Huyayy sendiri cepat-cepat berangkat hendak menemui Ka’b b.
Asad, orang yang berkepentingan dengan adanya perjanjian Banu
Quraiza itu.
Tetapi begitu mengetahui kedatangannya
itu Ka’b sudah menutup pintu bentengnya, dengan perhitungan bahwa
pembelotan Banu Quraiza terhadap Muhammad dan membatalkan perjanjiannya
secara sepihak kemudian menggabungkan diri dengan musuhnya,
adakalanya memang akan menguntungkan pihak Yahudi kalaupun pihak
Muslimin yang dapat dihancurkan. Tetapi sebaliknya sudah seharusnya pula
mereka akan habis samasekali bila pihak Ahzab itu yang mengalami
kekalahan dan kekuatan mereka hilang dari Medinah. Sungguhpun begitu
Huyayy terus juga berusaha, hingga akhirnya pintu benteng itu dibuka.
Sumber : S E J A R A H H I D U P M U H A M M A D
oleh MUHAMMAD HUSAIN HAEKAL diterjemahkan dari bahasa Arab oleh Ali Audah
Penerbit PUSTAKA JAYA Jln. Kramat II, No. 31 A, Jakarta Pusat Cetakan Kelima, 1980