Kegiatan
penghimpunan Hadis Nabi saw. yang dilakukan oleh para ulama Hadis
merupakan sebuah usaha yang tidak mudah dilakukan dan membutuhkan
perjalanan waktu yang panjang. Tidak mengherankan bila seorang ulama
dapat menghabiskan waktu belasan atau berpuluh tahun untuk menyusun
sebuah kitab Hadis.
Dalam
kegiatan penghimpunan Hadis tersebut, ulama Hadis mengadakan perlawatan
ke berbagai daerah untuk mengunjungi tempat tinggal para periwayat
Hadis.
Pada akhir
abad kedua sampai abad keempat Hijrah perubahan terjadi dengan
munculnya kitab-kitab Hadis yang hanya memuat Hadis Nabi dengan
pengaturan sistematika tertentu. Pada periode inilah munculnya
kitab-kitab Hadis yang dikenal dengan “Kutub al-Sittah”, yakni : Sahih al-Bukhari karya Imam al-Bukhari (w. 256 H / 870 M), Sahih Muslim karya Imam Muslim (w. 261 H / 875 M), Sunan Abu Dawud karya Imam Ab Dawud (w. 275 H / 888 M), Sunan at-Tirmizi karya Imam at-Tirmizi (w. 279 H / 875 M), Sunan Ibn Majah karya Imam Ibn Majah (w. 283 H / 896 M) dan Sunan al-Nasa’i karya Imam al-Nasa’i (w. 303 H / 915 M).
Kutub al-Sittah merupakan kitab Hadis yang pokok bagi umat Islam di seluruh dunia. Di antara kitab-kitab Hadis tersebut adalah Sahih al-Bukhari yang dipandang dan diakui sebagai kitab yang paling utama dan memiliki tingkat kredibilitas yang tinggi oleh umat Islam.
A- Biografi Imam Al-Bukhari
Nama
lengkap Imam al-Bukhari adalah Abu ‘Abd Allah Muhammad ibn Ismail ibn
Ibrahim ibn al-Mugirah ibn Bardizbah al-Ju’fi al-Bukhari.[1]
Beliau dilahirkan pada hari Jum’at, tanggal 13 Syawwal 194 H di kota
Bukhara dari keluarga ilmuwan yang taat beragama, dan selanjutnya beliau
dinisbahkan kepada kota kelahiran beliau tersebut sehingga beliau
dikenal dengan nama Imam al-Bukhari. Ayahnya, Ismail adalah seorang
ulama Hadis yang pernah belajar Hadis kepada beberapa ahli Hadis
terkenal di antaranya Hammad ibn Zaid, Imam Malik ibn Anas, dan Ibn
Mubarak.
Imam
al-Bukhari adalah seorang yang sangat cerdas, memiliki pikiran yang
tajam dan hafalan yang kuat, yang sudah tampak sejak dia masih
kanak-kanak. Pendidikan pertama diperoleh Bukhari dari ayahnya sendiri
sampai berusia lima tahun, karena sang ayah meninggal. Ketika berusia
sepuluh tahun ia sudah banyak menghafal Hadis. Mengenai kelebihannya
Muhammad ibn Abi Hatim menyatakan bahwa ia pernah mendengar Imam
al-Bukhari menceritakan bahwa dia dapat ilham untuk mampu menghafal
Hadis. ketika ditanya sejak usia berapa dia mendapat ilham tersebut,
Bukhari menjawab sejak usia sepuluh tahun atau bahkan kurang.[2]
Menjelang usia 16 tahun dia telah mampu menghafal sejumlah buku karya
ulama-ulama terkenal pada masa sebelumnya, seperti kitab Ibn al-Mubarak
dan Waki’. Selain itu ia juga dapat memahami pandangan ahlu ra’yi dan
mazhabnya.[3]
Dalam
rangka mendapatkan keterangan yang lengkap tentang suatu Hadis, baik
matan maupun sanadnya, al-Bukhari banyak mengadakan lawatan keberbagai
negeri, antara lain Syam, Mesir, dan Aljazair, masing-masing dua kali,
ke Basrah empat kali, menetap di Hijaz selama enam tahun, dan berulang
kali ke Kufah dan Bagdad. Di tempat-tempat yang dikunjunginya itu
al-Bukhari selalu menemui guru-guru ahli Hadis. Diantara guru-guru yang
ditemui Imam al-Bukhari adalah Ali ibn al-Madani, Ahmad ibn Hanbal,
Yahya ibn Ma’in, Muhammad ibn Yusuf al-Fariby, Muhammad ibn Yusuf
al-Baykundi, dan Muhammad ibn Rahawaih.
Hasil
pertemuan dengan guru-guru (± 1.080), Bukhari berhasil menghimpun Hadis
sebanyak 600.000 buah; 300.000 buah di antaranya berhasil dihafalnya
(terdiri dari 200.000 buah Hadis yang tidak sahih, dan 100.000 buah
Hadis sahih).[4]
Dengan kesabaran dan kecintaannya terhadap ilmu, terutama bidang Hadis
menempatkan Bukhari pada martabat yang mulia di masanya sehingga ia
digelari sebagai Amir al-Mu’minin fi al-Hadis.[5]
Imam
Bukhari wafat pada hari sabtu malam Idul Fitri tahun 256 H, dalam usia
62 tahun kurang 13 hari di suatu perkampungan di Samarkand. Beliau
meninggalkan lebih dari lima belas karya dalam bidang Hadis dan disiplin
ilmu lainnya, yang mengindikasikan kedalaman ilmunya. Dan diantara
karyanya yang paling fenomenal dan terpenting adalah Al-Jami’ al-Sahih atau yang lebih dikenal dengan Sahih Bukhari yang akan diterangkan kemudian.
B- Nama Lengkap Kitab Hadis Sahih Bukhari
Dari sekian banyak karya Imam al-Bukhari, yang paling terkenal di antaranya adalah kitab Sahih al-Bukhari. Judul lengkap kitab tersebut adalah al-Jami’ al-Musnad al-Sahih al-Mukhtasar min Umur Rasulillah wa Sunanih wa Ayyamih. Kitab
ini disusunnya dalam kurun waktu lebih kurang 16 tahun. Imam al-Bukhari
mulai membuat kerangka penulisan kitab tersebut pada saat ia berada di
Masjidil Haram, Mekkah, dan secara terus menerus dia menulis kitab
tersebut sampai kepada draft terakhir yang dikerjakannya di Mesjid
Nabawi di Madinah.
Ada
beberapa faktor yang menyebabkan Imam al-Bukhari menyusun kitab ini,
diantaranya adalah: kondisi saat itu yang langka akan kitab yang
benar-benar bisa dijadikan rujukan yang kuat. Karena hampir semua
literatur yang ada, semuanya bercampur aduk antara Hadis yang sahih, hasan dan da’if, sehingga sangat menyulitkan bagi orang yang ingin mendalami bahasan-bahasan tertentu untuk membedakan antara Hadis-hadis sahih
dan lainnya. Selain itu, juga literatur yang ada belum mengelompokkan
pokok-pokok bahasan tertentu bab demi bab, karena tujuan utama
penulisannya adalah ‘masih sekedar’ untuk mengumpulkan Hadis dan sebagai
sarana untuk menghafalkannya bagi umat.[6]
Selain itu, adanya unsur ‘meremehkan’ fiqh al-Hadis dan segala yang berkaitan dengannya, dari lafaz, ma’na dan fawaid
yang terdapat dalam Hadis-Hadis pada sebagian ahli Hadis dan rawi. Hal
ini membawa implikasi pada lemahnya ahli-ahli Hadis ketika harus
berhadapan dengan ahli-ahli bid’ah yang sengaja menyebarkan Hadis-hadis da’if bahkan
Hadis-hadis palsu di dalam berargumentasi. Hal ini sangat mempengaruhi
Imam Bukhari untuk segera mencari solusi atas masalah yang sangat
berdampak negatif terhadap umat. Terlebih setelah ia melihat banyaknya
ahli-ahli yang mulai lebih mengutamakan logika sekalipun menyalahi sunnah yang datang dari Rasulullah saw.[7]
Selain
dari faktor-faktor tersebut di atas, faktor penting lainnya yang
memotivasi Imam Bukhari adalah ucapan gurunya Ishaq ibn Rahawaih
“Tulislah sebuah kitab kecil tentang Hadis sahih Rasulullah
saw.”. Bukhari mengatakan: “perkataan guruku itu ternyata sangat
menyentuh hatiku, maka aku mulai untuk menuliskan buku tersebut…..”[8]
C- Jumlah Hadis Sahih Bukhari
Para ulama berbeda pendapat mengenai jumlah Hadis yang terdapat dalam Sahih Bukhari. Menurut penelitian Azami, ada 9.082 Hadis yang dimuat Imam al-Bukhari ke dalam kitab Sahih-nya,
dan apabila dihitung tanpa memasukkan Hadis yang berulang, maka
jumlahnya adalah 2.602 Hadis. Jumlah ini tidak termasuk di dalamnya
Hadis Mauquf dan Hadis Maqtu’. Sementara itu, menurut
Ibnu Shalah dan Imam an-Nawawi, kitab ini memuat 7.275 buah Hadis,
dengan adanya pengulangan, dan bila tidak diulang jumlahnya hanya 4.000
buah.
Dalam
menyeleksi Hadis-hadis yang akan dimuat dalam kitabnya, Bukhari sangat
cermat dan teliti, sehingga dari 600.000 Hadis yang ia dapatkan hanya
4.000 saja yang dimuat. Diriwayatkan bahwa karena kehati-hatiannya,
setiap kali hendak menulis Hadis al-Bukhari selalu mandi dulu dan shalat
istikharah dua raka’at untuk meyakinkan bahwa Hadis yang akan
ditulisnya itu benar-benar Sahih. Hal tersebut terlihat dari pernyataan
al-Bukhari sendiri, sebagai berikut:
قال إبراهيم : و سمعته يقول: ما أدخلت في كتابي الصحيح إلا ما صح….
قال محمد بن إسماعيل : ما وضعت في كتابي الصحيح حديثا إلا اغتسلت قبل ذلك وصليت ركعتين.[9]
(Ibrahim berkata: “Saya mendengar dia (Bukhari) berkata: Saya tidak masukkan ke dalam kitab Sahihku kecuali Hadis yang sahih”
Muhammad
ibn Ismail (al-Bukhari) berkata:” Aku tidak akan memasukkan satu Hadis
pun kedalam kitab sahihku kecuali setelah aku mandi dan shalat dua
rakaa’at sebelumnya.”)
Menurut Bukhari, sebuah Hadis baru dikatakan sahih apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
- Perawinya harus Muslim, sadiq, berakal sehat, tidak mudallis, tidak mukhtalit, adil, sehat panca indra, tidak suka ragu-ragu dan memiliki ‘itikad yang baik dalam meriwayatkan Hadis;
- Sanadnya bersambung sampai kepada Nabi saw; dan
- 3. Matannya tidak syaz dan tidak mu’allalah
Selain memiliki kualitas pribadi seperti tersebut diatas, menurut Bukhari, perawi Hadis harus mu’asirah (satu masa), liqa’ (bertemu) dan subut simaihi (mendengar langsung secara pasti) dengan gurunya.
Berdasarkan
hal diatas maka Imam Bukhari adalah seorang ulama yang paling ketat
dalam mengajukan syarat-syarat kesahihan sebuah Hadis, dan ia juga
sangat teliti dalam meriwayatkan Hadis, sehingga para ulama Hadis
belakangan menempatkan kitab Sahih Bukhari pada peringkat yang pertama
dalam urutan kitab-kitab yang muktabar.
D- Penilaian Ulama terhadap Sahih Bukhari
Telah menjadi kesepakatan ulama dan umat Islam bahwa kitab Sahih al-Bukhari adalah
kitab yang paling otentik dan menduduki tempat terhormat setelah
Alquran. Diantara para ulama yang mengemukakan demikian adalah Ibnu
Salah, beliau mengemukakan, kitab yang paling otentik sesudah Al-Quran
adalah Sahih Bukhari dan Sahih Muslim. Akan tetapi sebahagian
kecil dari ulama, seperti Abu Ali al-Naisaburi, Abu Muhammad ibn Hazm
al-Zahiri dan sebahagian ulama Maghribi mengunggulkan Sahih Muslim daripada Sahih Bukhari, yaitu alasan keunggulan Sahih Bukhari dari Sahih Muslim
adalah pada keunggulan pribadi Imam Bukhari dari Imam Muslim, dan
ketaatan Bukhari dalam memilih perawi daripada muslim. Sementara alasan
keunggulan Sahih Muslim daripada Sahih Bukhari lebih difokuskan kepada metode dan sistematika penyusunannya, dimana Sahih Muslim lebih baik dan lebih teratur sistematikanya dibandingkan Sahih Bukhari.
Meskipun dinilai paling otentik setelah Alqur’an dan menduduki tempat terhormat, kitab Sahih Bukhari tetaplah buah karya manusia yang tidak pernah luput dari kritik. Sahih Bukhari mendapat kritik, baik dari segi sanad maupun matannya, baik dikalangan ulama sendiri maupun orang non Muslim.
Daruqutni dan Abu Ali al-Ghassani dari ulama masa lalu, menilai bahwa sebagian Hadis-hadis Bukhari adalah da’if karena adanya sanad yang terputus dan dinilai dari segi ilmu Hadis sangat lunak. Daruquthni dalam kitabnya Al-Istidarakat mengkritik ada 200 buah Hadis dalam Sahih Bukhari dan Sahih Muslim.
Menurut Imam Nawawi kritikan itu barawal dari tuduhan bahwa dalam
Hadis-hadis tersebut Bukhari tidak menepati dan memenuhi persyaratan
yang ia tetapkan. Kritik Daruqutni berdasarkan kriteria yang telah
ditetapkan sejumlah ahli Hadis yang justru dinilai dari segi ilmu Hadis
sangat lunak, karena berlawanan dengan kriteria jumhur ulama. Sementara
Daruqutni menyoroti sanad dalam arti rangkaian perawi Hadis, para ahli
lain menyoroti pribadi perawinya. Dari kajian tentang sanad, Daruqutni
mendapatkan adanya sanad yang terputus, karenanya Hadis itu dinilai da’if. Namun, Setelah diteliti ternyata Hadis yang dituduh Mursal itu terdapat diriwayat lain, sementara riwayat yang terdapat dalam Sahih Bukhari tidak terputus. Pencantuman sanad yang mursal
itu dimaksudkan sebagai pembuktian bahwa Hadis tersebut diriwayatkan
pula oleh penulis Hadis lain dengan sanad yang lain juga. Periwayatan
semacam ini dalam ilmu Hadis disebut Hadis syahid atau Hadis muttabi’.
Sebagian ahli Hadis lain berpendapat ada beberapa perawi dalam Sahih ini
tidak memenuhi syarat untuk diterima Hadisnya. Ibn Hajar membantah
pendapat ini, tidak dapat diterima kecuali perawi-perawi itu terbukti
jelas mempunyai sifat-sifat atau hal-hal yang yang menyebabkan Hadisnya
ditolak. Setelah diteliti ternyata tidak ada satu perawi pun yang
mempunyai sifat-sifat dan perbuatan seperti itu. Syeikh Ahmad Syakir
berkomentar, seluruh Hadis Bukhari adalah sahih. Kritik Daruqutni dan
lainnya hanya karena beberapa Hadis yang ada tidak memenuhi persyaratan
mereka. Namun, apabila Hadis-hadis itu dikembalikan kepada persyaratan
ahli Hadis pada umumnya, semuanya sahih.[10]
Selain
pendapat tersebut di atas, kaum orientalis, seperti Ignaz Goldziher,
A.J. Wensik dan Maurice Bucaille, turut juga mengajukan kritik, yang
kemudian dikenal dengan kritik matan Hadis. Menurut
mereka, para ahli Hadis terdahulu hanya mengkritik Hadis dari sanad atau
perawi saja, sehingga banyak Hadis yang terdapat dalam sahih Bukhari
yang kemudian hari ternyata tidak sahih ditinjau dari segi sosial,
politik, sains dan lain-lain. Di antara Hadis yang dikritik itu adalah
Hadis yang berasal dari al-Zuhri, bahwa Rasulullah saw. Bersabda, “
tidak diperintahkan pergi kecuali menuju tiga mesjid, yaitu Mesjid
al-Haram, Mesjid Rasul, dan Mesjid al-Aqsa”. Hadis ini menurut Goldziher
adalah Hadis palsu yang sengaja dibuat al-Zuhri untuk kepentingan
politik semata. Sedangkan Hadis tentang “lalat masuk air minum”, “demam
berasal dari neraka”, dan “perkembangan embrio” dikritik Maurice
Bucaille karena isinya bertentangan dengan sains.
Ulama
kontemporer, seperti Ahmad Amin dan Muhammad al-Ghazali, juga mengajukan
kritik terhadap Hadis Bukhari. Ahmad Amin mengatakan, meskipun Bukhari
tinggi reputasinya dan cermat pemikirannya, tetapi di masih menetapkan
Hadis-hadis yang tidak sahih ditinjau dari segi perkembangan zaman dan
penemuan ilmiah, karena penelitiannya terbatas pada kritik sanad saja.
Di antara Hadis yang dikritiknya adalah tentang “ seratus tahun lagi
tidak ada orang yang masih hidup di atas bumi”. Dan “ Barang siapa makan
tujuh kurma ajwah setiap hari, ia akan selamat dari racun maupun sihir pada hari itu sampai malam”.
Muhammad
al-Ghazali menyatakan apabila suatu Hadis bertentangan dengan sains,
Hadis itu harus ditolak meskipun ia terdapat dalam sahih Bukhari, sebab menurutnya, Imam Bukhari itu bukan seorang yang ma’sum.
Seperti Hadis tentang “Seandainya tidak ada Bani Israil, makanan dan
daging tidak akan busuk” adalah Hadis da’if karena tidak sesuai dengan
sains.
Kritik-kritik
dari kaum orientalis dan ulama kontemporer tersebut telah mendorong
lahirnya para pembela Imam Bukhari untuk menyanggah kritik-kritikan
tersebut seperti Muhammad Mustafa ‘Azami dan Mustafa al-Siba’i dengan
sanggahan itu membuat semakin menambah kualitas Sahih al-Bukhari dan mendorong munculnya ulama Hadis sesudah al-Bukhari untuk membuat syarah maupun ikhtisar kitab Sahih ini, dan membuat jawaban yang lebih luas dan mendalam terhadap kritik-kritik ini.[11]
E- Kitab-kitab Syarah Sahih Bukhari
Sejumlah ulama telah menulis kitab-kitab syarah terhadap kitab-kitab Hadis standard, termasuk kitab syarah terhadap Sahih al-Bukhari. Al-‘Azami menyebutkan bahwa ratusan kitab syarah telah ditulis, bahkan ada di antaranya yang mencapai lebih dari 25 jilid.
Diantara kitab syarah dari Sahih Bukhari ini, maka yang terbaik menurut Al-‘Azami adalah:
- Kitab Fath al-Bariy fi Syarh Sahih al-Bukhari, oleh Ibn Hajar al-Asqalaniy (773-852 H). Kitab ini terdiri dari 13 jilid ditambah satu jilid Muqaddimah nya;
- Kitab ‘Umdat al-Qari, oleh Badr al-Din Mahmud Ibn Ahmad Ibn Musa al-Qahiri al-‘Aini al-Hanafi (762-885 H).
- Kitab Irsyad al-Sair, oleh Qasthallaniy (w. 923 H).
Dan di antara hasil karya Imam Bukhari yang lain adalah sebagai berikut: al-Jami’ as-Sahih (Sahih Bukhari), Al-Adab al-Mufrad, At-Tarikh as-Shagir, At-Tarikh al-Ausat, At-Tarikh al-Kabir, Al-Musnad al-Kabir, Kitab al-‘Ilal, Raf’u al-Yadain fi al-Salat, Birru al-Walidain, Kitab al-Asyribah, al-Qira’ah Khalf al-Imam, Kitab ad-Du’afa, Asami as-Sahabat dan Kitab al-Kun.
F- Sistematika Pembahasan Sahih Bukhari
Hadis-hadis yang terdapat dalam Sahih Bukhari dikelompokkan
berdasarkan topik-topik tertentu yang tersusun dalam beberapa kitab dan
bab. Jumlah Hadis dalam setiap kitab dan bab bervariasi. Pada satu bab
bisa memuat Hadis yang banyak, namun pada bab yang lain bisa hanya
memuat satu atau dua Hadis saja. Bahkan pada beberapa bab hanya berisi
ayat-ayat Al-Quran saja tanpa satu pun Hadis didalamnya, atau hanya
terdapat judul bab tanpa ada satu pun Hadis maupun ayat-ayat Alquran di
dalamnya, untuk memudahkan baginya menemukan Hadis sesuai dengan bab
tersebut pada suatu saat.
Isi kitab Sahih al-Bukhari dibagi
ke dalam lebih dari 100 bagian dan 3.450 bab. Dimulai dari pembahasan
tentang wahyu dan ditutup dengan pembahasan tauhid. Dalam menyusun
kitabnya al-Bukhari menggunakan susunan dan topik-topik yang lazim
digunakan dalam ilmu fiqih. Hadis-hadis dipilah-pilah dan dikelompokkan
berdasarkan bidang-bidang yang menjelaskan bagian-bagian yang ada,
dengan menyebutkan secara lengkap sanad-sanadnya.[12]
Metode dan sistematika penulisannya adalah :
- Mengulangi Hadis jika diperlukan dan memasukkan ayat-ayat Al-Quran;
- Memasukkan fatwa sahabat dan tabi’in sebagai penjelas terhadap Hadis yang ia kemukakan;
- Menta’liqkan (menghilangkan sanad) pada Hadis yang diulang karena pada tempat lain sudah ada sanadnya yang bersambung;
- Menerapkan prinsip-prinsip al-jarh wa at-ta’dil;
- Mempergunakan berbagai sigat tahammul;
- Disusun berdasar tertib fiqih.
Adapun teknik penulisan yang digunakan adalah:
- Memulainya dengan menerangkan wahyu, karena ia adalah dasar segala syari’at;
- Kitabnya tersusun dari berbagai tema;
- Setiap tema berisi topik-topik ;
- Pengulangan Hadis disesuaikan dengan topik yang dikehendaki tatkala mengistinbatkan hukum.
Salah satu contoh Hadis yang terdapat di dalam Sahih Bukhari adalah:
حدّثنا عبد
الله بن موسى قال: أخبرنا حنظلة بن أبي سفيان عن عكرمة بن خالد عن ابن عمر
رضى الله عنهما قال : قال رسول الله صلى الله عليه و سلم : (بُنِيَ
الإسلامُ علىَ خَمْسٍ : شَهَادَةِ أنْ لا إله إلا الله , و أنَّ محمدا
رسولُ الله , و إقامِ الصلاةِ , و إيتاء الزكاةِ, و الحج, و صوم رمضانَ)[13]
Artinya:
“Telah meriwayatkan kepada kami ‘Ubadullah bin Musa telah berkata dia:
telah mengkhabarkan kepada kami Handalah bin Abi Sufyan dari ‘Ikrimah
bin Khalid dari ibn ‘Umar ra berkata: bersabda Rasulullah saw.: (Islam
dibangun atas lima perkara: bersaksi bahwa tiada tuhan kecuali Allah,
dan bahwa Muhammad utusan Allah, mendirikan salat, menunaikan zakat,
haji dan puasa di bulan Ramadan)”.
(Penyusun: Nani Endri Santi/Mahasiswi PPs IAIN SU)
Daftar Pustaka
[1] Muhammad Ajjaj al-Khatib, Usul al-Hadis , ‘Ulumuh wa Mustalahuh (Beirut: Dar al-Fikr,1966) h.309.
[2] Muhammad Ab Zahw, al-Hadis wa al-Muhaddisin aw ‘Inayat al-Ummat al-Islamiyyah bi al-Sunnah al-Nabawiyyah (Mesir: Dar al-Fikr al Araby, tt), h. 353.
[3] Nawir Yuslem, Kitab Induk Hadis, (Jakarta: Hijir Pustaka Utama, 2006), h. 51.
[4] Ibid, h. 52.
[5] Ajjaj al-Khatib, Usul al-Hadis, h. 210.
[6] Ab Zahw, Al-Muhaddisun, h. 378.
[7] Ibid
[8] Muhammad Muhammad Abu Syuhbah, Fi Rihab al Sunnah al-Kitab al-Sahih al-Sittah (Kairo: al-Buhus al-Islamiyah, T. Th.), h. 57.
[9] Ibn Hajar al-Asqalani, Hady al-Sari (Riyad: Riasah Idarah al-Buhus al-Islamiyah wa-alIfta wa al-Da’wah wa al-Irsyad, t.th), h. 6-7.
[10] Muhammad Adib Salih, Lamhat fi Usul al-Hadis (Beirut: al-Maktab al-Islami, 1399 H), h. 123-125.
[11] Nawir Yuslem, Kitab Induk Hadis, h. 56-58.
[12] Ibid, h. 56.
[13] Bukhari, Sahih Bukhari (Beirut: Dar al-Kutub ‘Ilmiah, T.Th), Juz 1, h. 9.