Selasa, 29 Oktober 2013

Imam Al-Bukhari dan Kitab Sahih Bukhari


Kegiatan penghimpunan Hadis Nabi saw. yang dilakukan oleh para ulama Hadis merupakan sebuah usaha yang tidak mudah dilakukan dan membutuhkan perjalanan waktu yang panjang. Tidak mengherankan bila seorang ulama dapat menghabiskan waktu belasan atau berpuluh tahun untuk menyusun sebuah kitab Hadis.
Dalam kegiatan penghimpunan Hadis tersebut, ulama Hadis mengadakan perlawatan ke berbagai daerah untuk mengunjungi tempat tinggal para periwayat Hadis.
Pada akhir abad kedua sampai abad keempat Hijrah perubahan terjadi dengan munculnya kitab-kitab Hadis yang hanya memuat Hadis Nabi dengan pengaturan sistematika tertentu. Pada periode inilah munculnya kitab-kitab Hadis yang dikenal dengan “Kutub al-Sittah”, yakni : Sahih al-Bukhari karya Imam al-Bukhari (w. 256 H / 870 M), Sahih Muslim karya Imam Muslim (w. 261 H / 875 M), Sunan Abu­ Dawud karya Imam Ab­ Dawud (w. 275 H / 888 M), Sunan at-Tirmizi karya Imam at-Tirmizi  (w. 279 H / 875 M), Sunan Ibn Majah karya Imam Ibn Majah (w. 283 H / 896 M) dan Sunan al-Nasa’i karya Imam al-Nasa’i (w. 303 H / 915 M).
Kutub al-Sittah merupakan kitab Hadis yang pokok bagi umat Islam di seluruh dunia. Di antara kitab-kitab Hadis tersebut adalah Sahih al-Bukhari yang dipandang dan diakui sebagai kitab yang paling utama dan memiliki tingkat kredibilitas yang tinggi oleh umat Islam.
A- Biografi Imam Al-Bukhari
Nama lengkap Imam al-Bukhari adalah Abu ‘Abd Allah Muhammad ibn Ismail ibn Ibrahim ibn al-Mugirah ibn Bardizbah al-Ju’fi al-Bukhari.[1] Beliau dilahirkan pada hari Jum’at, tanggal 13 Syawwal 194 H di kota Bukhara dari keluarga ilmuwan yang taat beragama, dan selanjutnya beliau dinisbahkan kepada kota kelahiran beliau tersebut sehingga beliau dikenal dengan nama Imam al-Bukhari. Ayahnya, Ismail adalah seorang ulama Hadis yang pernah belajar Hadis kepada beberapa ahli Hadis terkenal di antaranya Hammad ibn Zaid, Imam Malik ibn Anas, dan Ibn Mubarak.
Imam al-Bukhari adalah seorang yang sangat cerdas, memiliki pikiran yang tajam dan hafalan yang kuat, yang sudah tampak sejak dia masih kanak-kanak. Pendidikan pertama diperoleh Bukhari dari ayahnya sendiri sampai berusia lima tahun, karena sang ayah meninggal. Ketika berusia sepuluh tahun ia sudah banyak menghafal Hadis. Mengenai kelebihannya Muhammad ibn Abi Hatim menyatakan bahwa ia pernah mendengar Imam al-Bukhari menceritakan bahwa dia dapat ilham untuk mampu menghafal Hadis. ketika ditanya sejak usia berapa dia mendapat ilham tersebut, Bukhari menjawab sejak usia sepuluh tahun atau bahkan kurang.[2] Menjelang usia 16 tahun dia telah mampu menghafal sejumlah buku karya ulama-ulama terkenal pada masa sebelumnya, seperti kitab Ibn al-Mubarak dan Waki’. Selain itu ia juga dapat memahami pandangan ahlu ra’yi dan mazhabnya.[3]
Dalam rangka mendapatkan keterangan yang lengkap tentang suatu Hadis, baik matan maupun sanadnya, al-Bukhari banyak mengadakan lawatan keberbagai negeri, antara lain Syam, Mesir, dan Aljazair, masing-masing dua kali, ke Basrah empat kali, menetap di Hijaz selama enam tahun, dan berulang kali ke Kufah dan Bagdad. Di tempat-tempat yang dikunjunginya itu al-Bukhari selalu menemui guru-guru ahli Hadis.  Diantara guru-guru yang ditemui Imam al-Bukhari adalah Ali ibn al-Madani, Ahmad ibn Hanbal, Yahya ibn Ma’in, Muhammad ibn Yusuf al-Fariby, Muhammad ibn Yusuf al-Baykundi, dan Muhammad ibn Rahawaih.
Hasil pertemuan dengan guru-guru (± 1.080), Bukhari berhasil menghimpun Hadis sebanyak 600.000 buah; 300.000 buah di antaranya berhasil dihafalnya (terdiri dari 200.000 buah Hadis yang tidak sahih, dan 100.000 buah Hadis sahih).[4] Dengan kesabaran dan kecintaannya terhadap ilmu, terutama bidang Hadis menempatkan Bukhari pada martabat yang mulia di masanya sehingga ia digelari sebagai Amir al-Mu’minin fi al-Hadis.[5]
Imam Bukhari wafat pada hari sabtu malam Idul Fitri tahun 256 H, dalam usia 62 tahun kurang 13 hari di suatu perkampungan di Samarkand. Beliau meninggalkan lebih dari lima belas karya dalam bidang Hadis dan disiplin ilmu lainnya, yang mengindikasikan kedalaman ilmunya. Dan diantara karyanya yang paling fenomenal dan terpenting adalah Al-Jami’ al-Sahih atau yang lebih dikenal dengan Sahih Bukhari yang akan diterangkan kemudian.
B- Nama Lengkap Kitab Hadis Sahih Bukhari
Dari sekian banyak karya Imam al-Bukhari, yang paling terkenal di antaranya adalah kitab Sahih al-Bukhari. Judul lengkap kitab tersebut adalah al-Jami’ al-Musnad al-Sahih al-Mukhtasar min Umur Rasulillah wa Sunanih wa Ayyamih. Kitab ini disusunnya dalam kurun waktu lebih kurang 16 tahun. Imam al-Bukhari mulai membuat kerangka penulisan kitab tersebut pada saat ia berada di Masjidil Haram, Mekkah, dan secara terus menerus dia menulis kitab tersebut sampai kepada draft terakhir yang dikerjakannya di Mesjid Nabawi di Madinah.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan Imam al-Bukhari menyusun kitab ini, diantaranya adalah: kondisi saat itu yang langka akan kitab yang benar-benar bisa dijadikan rujukan yang kuat. Karena hampir semua literatur yang ada, semuanya bercampur aduk antara Hadis yang sahih, hasan dan da’if, sehingga sangat menyulitkan bagi orang yang ingin mendalami bahasan-bahasan tertentu untuk membedakan antara Hadis-hadis sahih dan lainnya. Selain itu, juga literatur yang ada belum mengelompokkan pokok-pokok bahasan tertentu bab demi bab, karena tujuan utama penulisannya adalah ‘masih sekedar’ untuk mengumpulkan Hadis dan sebagai sarana untuk menghafalkannya bagi umat.[6]
Selain itu, adanya unsur ‘meremehkan’ fiqh al-Hadis dan segala yang berkaitan dengannya, dari lafaz, ma’na dan fawaid yang terdapat dalam Hadis-Hadis pada sebagian ahli Hadis dan rawi. Hal ini membawa implikasi pada lemahnya ahli-ahli Hadis ketika harus berhadapan dengan ahli-ahli bid’ah yang sengaja menyebarkan Hadis-hadis da’if bahkan Hadis-hadis palsu di dalam berargumentasi. Hal ini sangat mempengaruhi Imam Bukhari untuk segera mencari solusi atas masalah yang sangat berdampak negatif terhadap umat. Terlebih setelah ia melihat banyaknya ahli-ahli yang mulai lebih mengutamakan logika sekalipun menyalahi sunnah yang datang dari Rasulullah saw.[7]
Selain dari faktor-faktor tersebut di atas, faktor penting lainnya yang memotivasi Imam Bukhari adalah ucapan gurunya Ishaq ibn Rahawaih “Tulislah sebuah kitab kecil tentang Hadis sahih Rasulullah saw.”. Bukhari mengatakan: “perkataan guruku itu ternyata sangat menyentuh hatiku, maka aku mulai untuk menuliskan buku tersebut…..”[8]
C- Jumlah Hadis Sahih Bukhari
Para ulama berbeda pendapat mengenai jumlah Hadis yang terdapat dalam Sahih Bukhari. Menurut penelitian Azami, ada 9.082 Hadis yang dimuat Imam al-Bukhari ke dalam kitab Sahih-nya, dan apabila dihitung tanpa memasukkan Hadis yang berulang, maka jumlahnya adalah 2.602 Hadis. Jumlah ini tidak termasuk di dalamnya Hadis Mauquf dan Hadis Maqtu’. Sementara itu, menurut Ibnu Shalah dan Imam an-Nawawi, kitab ini memuat 7.275 buah Hadis, dengan adanya pengulangan, dan bila tidak diulang jumlahnya hanya 4.000 buah.
Dalam menyeleksi Hadis-hadis yang akan dimuat dalam kitabnya, Bukhari sangat cermat dan teliti, sehingga dari 600.000 Hadis yang ia dapatkan hanya 4.000 saja yang dimuat. Diriwayatkan bahwa karena kehati-hatiannya, setiap kali hendak menulis Hadis al-Bukhari selalu mandi dulu dan shalat istikharah dua raka’at untuk meyakinkan bahwa Hadis yang akan ditulisnya itu benar-benar Sahih. Hal tersebut terlihat dari pernyataan al-Bukhari sendiri, sebagai berikut:
قال إبراهيم : و سمعته يقول: ما أدخلت في كتابي الصحيح إلا ما صح….
قال محمد بن إسماعيل : ما وضعت في كتابي الصحيح حديثا إلا اغتسلت قبل ذلك وصليت ركعتين.[9]
(Ibrahim berkata: “Saya mendengar dia (Bukhari) berkata: Saya tidak masukkan ke dalam kitab Sahihku kecuali Hadis yang sahih”
Muhammad ibn Ismail (al-Bukhari) berkata:” Aku tidak akan memasukkan satu Hadis pun kedalam kitab sahihku kecuali setelah aku mandi dan shalat dua rakaa’at sebelumnya.”)
Menurut Bukhari, sebuah Hadis baru dikatakan sahih apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
  1. Perawinya harus Muslim, sadiq, berakal sehat, tidak mudallis, tidak mukhtalit, adil, sehat panca indra, tidak suka ragu-ragu dan memiliki ‘itikad yang baik dalam meriwayatkan Hadis;
  2. Sanadnya bersambung sampai kepada Nabi saw; dan
  3. 3. Matannya tidak syaz dan tidak mu’allalah
Selain memiliki kualitas pribadi seperti tersebut diatas, menurut Bukhari, perawi Hadis harus mu’asirah (satu masa), liqa’ (bertemu) dan subut simaihi (mendengar langsung secara pasti) dengan gurunya.
Berdasarkan hal diatas maka Imam Bukhari adalah seorang ulama yang paling ketat dalam mengajukan syarat-syarat kesahihan sebuah Hadis, dan ia juga sangat teliti dalam meriwayatkan Hadis, sehingga para ulama Hadis belakangan menempatkan kitab Sahih Bukhari pada peringkat yang pertama dalam urutan kitab-kitab yang muktabar.
D- Penilaian Ulama terhadap Sahih Bukhari
Telah menjadi kesepakatan ulama dan umat Islam bahwa kitab Sahih al-Bukhari adalah kitab yang paling otentik dan menduduki tempat terhormat setelah Alquran. Diantara para ulama yang  mengemukakan demikian adalah Ibnu Salah, beliau mengemukakan, kitab yang paling otentik sesudah Al-Quran adalah Sahih Bukhari dan Sahih Muslim. Akan tetapi sebahagian kecil dari ulama, seperti Abu Ali al-Naisaburi, Abu Muhammad ibn Hazm al-Zahiri dan sebahagian ulama Maghribi mengunggulkan Sahih Muslim daripada Sahih Bukhari, yaitu alasan keunggulan Sahih Bukhari dari Sahih Muslim adalah pada keunggulan pribadi Imam Bukhari dari Imam Muslim, dan ketaatan Bukhari dalam memilih perawi daripada muslim. Sementara alasan keunggulan Sahih Muslim daripada Sahih Bukhari lebih difokuskan kepada metode dan sistematika penyusunannya, dimana Sahih Muslim lebih baik dan lebih teratur sistematikanya dibandingkan Sahih Bukhari.
Meskipun dinilai paling otentik setelah Alqur’an dan menduduki tempat terhormat, kitab Sahih Bukhari tetaplah buah karya manusia yang tidak pernah luput dari kritik. Sahih Bukhari mendapat kritik, baik dari segi sanad maupun matannya, baik dikalangan ulama sendiri maupun orang non Muslim.
Daruqutni dan Abu Ali al-Ghassani dari ulama masa lalu, menilai bahwa sebagian Hadis-hadis Bukhari adalah daif karena adanya sanad yang terputus dan dinilai dari segi ilmu Hadis sangat lunak. Daruquthni dalam kitabnya Al-Istidarakat mengkritik ada 200 buah Hadis dalam Sahih  Bukhari dan Sahih Muslim. Menurut Imam Nawawi kritikan itu barawal dari tuduhan bahwa dalam Hadis-hadis tersebut Bukhari tidak menepati dan memenuhi persyaratan yang ia tetapkan. Kritik Daruqutni berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan sejumlah ahli Hadis yang justru dinilai dari segi ilmu Hadis sangat lunak, karena berlawanan dengan kriteria jumhur ulama. Sementara Daruqutni menyoroti sanad dalam arti rangkaian perawi Hadis, para ahli lain menyoroti pribadi perawinya. Dari kajian tentang sanad, Daruqutni mendapatkan adanya sanad yang terputus, karenanya Hadis itu dinilai da’if. Namun, Setelah diteliti ternyata Hadis yang dituduh Mursal itu terdapat diriwayat lain, sementara riwayat yang terdapat dalam Sahih  Bukhari tidak terputus. Pencantuman sanad yang mursal itu dimaksudkan sebagai pembuktian bahwa Hadis tersebut diriwayatkan pula oleh penulis Hadis lain dengan sanad yang lain juga. Periwayatan semacam ini dalam ilmu Hadis disebut Hadis syahid atau Hadis muttabi’.
Sebagian ahli Hadis lain berpendapat ada beberapa perawi dalam Sahih ini tidak memenuhi syarat untuk diterima Hadisnya. Ibn Hajar membantah pendapat ini, tidak dapat diterima kecuali perawi-perawi itu terbukti jelas mempunyai sifat-sifat atau hal-hal yang yang menyebabkan Hadisnya ditolak. Setelah diteliti ternyata tidak ada satu perawi pun yang mempunyai sifat-sifat dan perbuatan seperti itu. Syeikh Ahmad Syakir berkomentar, seluruh Hadis Bukhari adalah sahih. Kritik Daruqutni dan lainnya hanya karena beberapa Hadis yang ada tidak memenuhi persyaratan mereka. Namun, apabila Hadis-hadis itu dikembalikan kepada persyaratan ahli Hadis pada umumnya, semuanya sahih.[10]
Selain pendapat tersebut di atas, kaum orientalis, seperti Ignaz Goldziher, A.J. Wensik dan Maurice Bucaille, turut juga mengajukan kritik, yang kemudian dikenal dengan kritik matan Hadis. Menurut mereka, para ahli Hadis terdahulu hanya mengkritik Hadis dari sanad atau perawi saja, sehingga banyak Hadis yang terdapat dalam sahih Bukhari yang kemudian hari ternyata tidak sahih ditinjau dari segi sosial, politik, sains dan lain-lain. Di antara Hadis yang dikritik itu adalah Hadis yang berasal dari al-Zuhri, bahwa Rasulullah saw. Bersabda, “ tidak diperintahkan pergi kecuali menuju tiga mesjid, yaitu Mesjid al-Haram, Mesjid Rasul, dan Mesjid al-Aqsa”. Hadis ini menurut Goldziher adalah Hadis palsu yang sengaja dibuat al-Zuhri untuk kepentingan politik semata. Sedangkan Hadis tentang “lalat masuk air minum”, “demam berasal dari neraka”, dan “perkembangan embrio” dikritik Maurice Bucaille karena isinya bertentangan dengan sains.
Ulama kontemporer, seperti Ahmad Amin dan Muhammad al-Ghazali, juga mengajukan kritik terhadap Hadis Bukhari. Ahmad Amin mengatakan, meskipun Bukhari tinggi reputasinya dan cermat pemikirannya, tetapi di masih menetapkan Hadis-hadis yang tidak sahih ditinjau dari segi perkembangan zaman dan penemuan ilmiah, karena penelitiannya terbatas pada kritik sanad saja. Di antara Hadis yang dikritiknya adalah tentang “ seratus tahun lagi tidak ada orang yang masih hidup di atas bumi”. Dan “ Barang siapa makan tujuh kurma ajwah setiap hari, ia akan selamat dari racun maupun sihir pada hari itu sampai malam”.
Muhammad al-Ghazali menyatakan apabila suatu Hadis bertentangan dengan sains, Hadis itu harus ditolak meskipun ia terdapat dalam sahih Bukhari, sebab menurutnya, Imam Bukhari itu bukan seorang yang ma’sum. Seperti Hadis tentang “Seandainya tidak ada Bani Israil, makanan dan daging tidak akan busuk” adalah Hadis da’if karena tidak sesuai dengan sains.
Kritik-kritik dari kaum orientalis dan ulama kontemporer tersebut telah mendorong lahirnya para pembela Imam Bukhari untuk menyanggah kritik-kritikan tersebut seperti Muhammad Mustafa ‘Azami dan Mustafa al-Siba’i dengan sanggahan itu membuat semakin menambah kualitas Sahih al-Bukhari dan mendorong munculnya ulama  Hadis sesudah al-Bukhari untuk membuat syarah maupun ikhtisar kitab Sahih ini, dan membuat jawaban yang lebih luas dan mendalam terhadap kritik-kritik ini.[11]
E- Kitab-kitab Syarah Sahih Bukhari
Sejumlah ulama telah menulis kitab-kitab syarah terhadap kitab-kitab Hadis standard, termasuk kitab syarah terhadap Sahih al-Bukhari.  Al-‘Azami menyebutkan bahwa ratusan kitab syarah telah ditulis, bahkan ada di antaranya yang mencapai lebih dari 25 jilid.
Diantara kitab syarah dari Sahih Bukhari ini, maka yang terbaik menurut Al-‘Azami adalah:
  1. Kitab Fath  al-Bariy  fi  Syarh  Sahih al-Bukhari, oleh Ibn Hajar al-Asqalaniy (773-852 H).  Kitab ini terdiri dari 13 jilid ditambah satu jilid Muqaddimah nya;
  2. Kitab ‘Umdat al-Qari, oleh Badr al-Din Mahmud Ibn Ahmad Ibn Musa al-Qahiri al-‘Aini al-Hanafi (762-885 H).
  3. Kitab Irsyad al-Sair, oleh Qasthallaniy (w. 923 H).
Dan di antara hasil karya Imam Bukhari  yang lain adalah sebagai berikut:  al-Jami’ as-Sahih (Sahih Bukhari), Al-Adab al-Mufrad, At-Tarikh as-Shagir, At-Tarikh al-Ausat, At-Tarikh al-Kabir, Al-Musnad al-Kabir, Kitab al-‘Ilal, Raf’u al-Yadain fi al-Salat, Birru al-Walidain, Kitab al-Asyribah, al-Qira’ah Khalf al-Imam, Kitab ad-Du’afa, Asami as-Sahabat dan Kitab al-Kun.
F- Sistematika Pembahasan Sahih Bukhari
Hadis-hadis yang terdapat dalam Sahih Bukhari dikelompokkan berdasarkan topik-topik tertentu yang tersusun dalam beberapa kitab dan bab. Jumlah Hadis dalam setiap kitab dan bab bervariasi. Pada satu bab bisa memuat Hadis yang banyak, namun pada bab yang lain bisa hanya memuat satu atau dua Hadis saja. Bahkan pada beberapa bab hanya berisi ayat-ayat Al-Quran saja tanpa satu pun Hadis didalamnya, atau hanya terdapat judul bab tanpa ada satu pun Hadis maupun ayat-ayat Alquran di dalamnya, untuk memudahkan baginya menemukan Hadis sesuai dengan bab tersebut pada suatu saat.
Isi kitab Sahih al-Bukhari dibagi ke dalam lebih dari 100 bagian  dan  3.450 bab. Dimulai dari pembahasan tentang wahyu dan ditutup dengan pembahasan tauhid. Dalam menyusun kitabnya al-Bukhari menggunakan susunan dan topik-topik yang lazim digunakan dalam ilmu fiqih. Hadis-hadis dipilah-pilah dan dikelompokkan berdasarkan bidang-bidang yang menjelaskan bagian-bagian yang ada, dengan menyebutkan secara lengkap sanad-sanadnya.[12]
Metode dan sistematika penulisannya adalah :
  1. Mengulangi Hadis jika diperlukan dan memasukkan ayat-ayat Al-Quran;
  2. Memasukkan fatwa sahabat dan tabi’in sebagai penjelas terhadap Hadis yang ia kemukakan;
  3. Menta’liqkan (menghilangkan sanad) pada Hadis yang diulang karena pada tempat lain sudah ada sanadnya yang bersambung;
  4. Menerapkan prinsip-prinsip al-jarh wa at-ta’dil;
  5. Mempergunakan berbagai sigat tahammul;
  6. Disusun berdasar tertib fiqih.
Adapun teknik penulisan yang digunakan adalah:
  1. Memulainya dengan menerangkan wahyu, karena ia adalah dasar segala syari’at;
  2. Kitabnya tersusun dari berbagai tema;
  3. Setiap tema berisi topik-topik ;
  4. Pengulangan Hadis disesuaikan dengan topik yang dikehendaki tatkala mengistinbatkan hukum.
Salah satu contoh Hadis yang terdapat di dalam Sahih Bukhari adalah:
حدّثنا عبد الله بن موسى قال: أخبرنا حنظلة بن أبي سفيان عن عكرمة بن خالد عن ابن عمر رضى الله عنهما قال : قال رسول الله صلى الله عليه و سلم : (بُنِيَ الإسلامُ علىَ خَمْسٍ : شَهَادَةِ أنْ لا إله إلا الله , و أنَّ محمدا رسولُ الله , و إقامِ الصلاةِ , و إيتاء الزكاةِ, و الحج, و صوم رمضانَ)[13]
Artinya: “Telah meriwayatkan kepada kami ‘Ubadullah bin Musa telah berkata dia: telah mengkhabarkan kepada kami Handalah bin Abi Sufyan dari ‘Ikrimah bin Khalid dari ibn ‘Umar ra berkata: bersabda Rasulullah saw.: (Islam dibangun atas lima perkara: bersaksi bahwa tiada tuhan kecuali Allah, dan bahwa Muhammad utusan Allah, mendirikan salat, menunaikan zakat, haji dan puasa di bulan Ramadan)”.
(Penyusun: Nani Endri Santi/Mahasiswi PPs IAIN SU)
Daftar Pustaka

[1] Muhammad  Ajjaj al-Khatib, Usul  al-Hadis , ‘Ulumuh wa Mustalahuh (Beirut: Dar al-Fikr,1966) h.309.
[2] Muhammad Ab­ Zahw, al-Hadis wa al-Muhaddisin awInayat al-Ummat al-Islamiyyah bi al-Sunnah al-Nabawiyyah (Mesir: Dar al-Fikr al Araby, tt), h. 353.
[3] Nawir Yuslem, Kitab Induk Hadis, (Jakarta: Hijir Pustaka Utama, 2006), h. 51.
[4] Ibid, h. 52.
[5] Ajjaj al-Khatib, Usul al-Hadis, h. 210.
[6] Ab­ Zahw, Al-Muhaddisun, h. 378.
[7] Ibid
[8] Muhammad Muhammad Abu Syuhbah, Fi  Rihab al Sunnah al-Kitab al-Sahih al-Sittah (Kairo: al-Buhus al-Islamiyah, T. Th.), h. 57.
[9] Ibn Hajar al-Asqalani, Hady al-Sari (Riyad: Riasah Idarah al-Buhus al-Islamiyah wa-alIfta wa al-Da’wah wa al-Irsyad, t.th), h. 6-7.
[10] Muhammad Adib Salih, Lamhat fi Usul al-Hadis (Beirut: al-Maktab al-Islami, 1399 H), h. 123-125.
[11] Nawir Yuslem, Kitab Induk Hadis, h. 56-58.
[12] Ibid, h. 56.
[13] Bukhari, Sahih Bukhari (Beirut: Dar al-Kutub ‘Ilmiah, T.Th), Juz 1, h. 9.