Sabtu, 12 April 2014

INTEGRASI ANTARA KAJIAN TASAWUF DENGAN PSIKOLOGI


A. Pendahuluan
Kajian Tasawuf pada era klasik diposisikan pada hasil pemikiran ulama yang sulit dipahami dan berkonsekuensi kurang diminati. Tasawuf  pada intinya adalah studi kejiwaan yang identik dengan psikologi dan perlu diapungkan agar berkembang pesat seperti keadaannya psikologi.  Kajian-kajian keislaman yang dilakukan di PTAI memerlukan rekontruksi islami agar berkembang seiring dengan perkembangan sains dan ilmu-ilmu sosial pada umumnya. Sehubungan dengan pemikiran tentang rekonstruksi islami bagi studi kejiwaan, M. Izzuddin Taufiq (2006: 28-53) mengemukakan tiga kelompok sikap umat Islam untuk ini. Pertama, sikap menentang dari kalangan Islam secara umum dengan alasan bahwa  Islam sangat kaya dan tidak memerlukan rekonstruksi. Di samping itu kebudayaan  mereka tidak memperbolehkan mereka  untuk membahas  studi kejiwaan secara spesifik.Kedua, sikap menentang dari kalangan psikologi sendiri karena mereka meragukan rekonstruksi tersebut. Berkenaan dengan hal itu, Ismail al Furuqi yang gencar melakukan Islamisasi ilmu pengetahuan mengemukakan keluhannya bahwa dalam lembaga dimana ia melakukan penelitian Terdapat seratus ribu anggota yang menyandang gelar magister dan doktoral, namun sedikit sekali yang dapat diperhitungkan keberadaannya, yang memiliki pemikiran kritis dalam memberikan label Islami. Banyak dari mereka yang hanya mengekor kepada kajian barat dan tidak peduli dengan rekonstruksi ini, bahkan menjadi orang yang paling ragu dan memandang mustahil perwujudannya dan lebih jauh melakukan provokasi terhadapnya. M. Malik B. Badri dalam bukunya Te Dilemma of Muslim Psychologst melancarkan kritik terhadap para psikolog muslim yang cenderung menggunakan aliran barat tanpa mempertimbangkan nilai-nilai psikologis yang terkandung dalam al-Qur’an dan Hadis.
Ketiga, menerima  pemikiran rekonstruksi dan terlibat aktif untuk mewujudkannya.  Sikap ini muncul dari kesadaran  bahwa psikologi barat telah maju dengan pesat dan pengaruhnya telah  dirasakan  dalam penelitian ilmiah.
Dalam studi Tasawuf, penulis  sependapat dengan kelompok ketiga di mana kajian tasawuf hari ini dapat berintegrasi dan berinterkoneksi dengan psikologi yang berkembang sangat pesat. Tasawuf dan Psikologi memberikan tempat yang sangat strategis terhadap potensi kepribadian manusia dalam menentukan arah jalan kehidupan. Kedua bidang ilmu ini telah berupaya mengkaji kepribadian manusia secara lebih komprehensif. Hanya saja perkembangan kajian Tasawuf relatif lambat dibanding  psikologi. Tasawuf dan Psikologi, keduanya unik, dialami secara pribadi dalam bentuk yang berbeda pada tiap orang.   Tasawuf mengacu kepada kesalehan pribadi dengan berupaya selalu mendekatkan diri kepada Tuhan atau berusaha tanpa putus untuk menghadirkan Tuhan di dalam hati.  Psikologi  menyangkut kajian tentang jiwa/mental atau kondisi dalam diri manusia, yang gejalanya teramati pada tingkah laku nyata. Dengan integrasi dan interkoneksi antara Tasawuf dan Psikologi, perpaduan ini dapat saling melengkapi dan berkembang secara bersama sehingga dikotomi ilmu dapat teratasi.
B. Tasawuf: Perkembangan dan Ajaran dalam Pembentukan Perilaku Manusia.
Tasawuf berasal dari kata “sufi” yang berarti “seseorang yang berbusana wol.” Pada abad kedelapan, kata tersebut adakalanya diterapkan kepada Muslim yang kecenderungan asketisnya mendorong mereka untuk mengenakan pakaian wol yang kasar dan tidak nyaman.(Esposito,jld 5, 2001:206).  Secara bertahap istilah ini mengacu kepada kelompok yang membedakan diri mereka dari yang lain dengan menekankan ajaran-ajaran dan praktek-praktek khusus tertentu dari al-Quran dan Sunnah. Pada abad kesembilan isim masdar (gerund) dari kata tersebut yakni tasawwuf yang secara harfiah berarti “menjadi sufi”  atau “sufisme” diadopsi oleh beberapa kelompok ini sebagai penamaan yang tepat.  Dalam bahasa Indonesia istilah tersebut ditulis dengan Tasawuf, sebagai bahasa yang diadopsi dari bahasa Arab.
Dari pengertian Tasawuf yang telah dikemukakan di atas dapat dipahami bahwa kaum sufi memandang diri mereka sebagai Muslim yang memperhatikan secara sungguh-sungguh seruan Allah untuk menyadari kehadiran-Nya, baik di dunia (alam) ini maupun di dalam diri mereka. Mereka cenderung menekankan hal-hal yang batiniah di atas yang lahiriah, kontemplasi di atas tindakan, perkembangan spiritual di atas aturan hukum, dan pembinaan jiwa di atas interaksi sosial.  Pada tingkat teologis, sufi berbicara masalah “ampunan, keanggunan, dan keindahan” Tuhan jauh melebihi perbincangan mereka mengenai “kemurkaan, kekerasan, dan kemegahan-Nya” yang memainkan peran penting dalam fiqh (hukum  Islam) maupun kalam (teologi dogmatis).  Tasawuf tidak saja dikaitkan dengan institusi-institusi dan individu-individu tertentu, tetapi juga dengan kepustakaan yang berlimpah dan kaya, terutama syair.
Dari segi kesejarahan, pemikiran tentang Tasawuf dapat dikelompokkan pada dua tingkat. Tingkat pertama, Tasawuf merupakan sesuatu yang tidak tampak, yang memberi semangat pada kehidupan komunitas Muslim. Pada tingkat kedua, kehadiran Tasawuf dikenal melalui karakteritik-karakteristik teramati tertentu yang melekat pada rakyat dan masyarakat maupun bentuk-bentuk kelembagaan yang spesifik. Para penulis sufi yang mengkaji Tasawuf pada tingkat kedua bermaksud menggambarkan bagaimana figur-figur Muslim besar mencapai tujuan kehidupan manusia, yakni kedekatan kepada Tuhan. Nama-nama sufi besar antara lain Ibn ‘Arabi, Jalaluddin ar-Ruumi, Rabi’ah al-Adawiyyah, al-Ghazali setelah merasa jenuh dengan Filsafat, dan lain-lain mengemukakan kajian tentang kedekatan dengan Allah melalui berbagai  maqaam (stasiun).
Al-Ghazali yang  terbiasa berpikir sistematis dengan panduan pemikiran filsafat mengemukakan  jenjang yang jelas dalam upaya  melakukan kedekatan kepada Allah. Jenjang tertinggi dia sebut  ma’rifah (mengenal Tuhan dari dekat).       Menurut al-Ghazali, manusia dapat sampai kepada tingkat ma’rifah dengan cara mengendalikan qalb. Ia berpendapat bahwa qalb manusia berbeda dengan hewan di mana qalb hewan hanya berfungsi fisiologis yakni memompakan darah ke seluruh tubuh, sementara qalb manusia berfungsi fisiologis dan psikologis. Secara psikologis qalb berisikan empat macam keinginan yakni sabu’iyyah (buas/agresi), bahimiyyah (nafsu makan, minum, dan syahwat), syaithaniyyah (keinginan untuk melanggar larangan Tuhan), dan rabbaniyyah (keinginan untuk merasa dekat dengan Tuhan) Tiga macam keinginan yakni sabu’iyyah, bahimiyyah, dan syaithaniyyah memotivasi manusia untuk bertingkah laku buruk, sementara hanya satu yaitu rabbaniyyah yang memotivasi untuk bertingkah laku baik.         Agar manusia mengalami ma’rifah, maka qalb perlu dilatih,  karena tanpa latihan, mustahil manusia dapat mencapai tingkat tersebut. (Al-Ghazali, juz 3: t.t : 7-9)
Dalam perkembangannya kemudian, islam termanifestasi melalui syari’at dan yurisprudensi, sementara iman terlembagakan melalui kalam dan bentuk-bentuk lain ajaran-ajaran doktrinal. Syari’at atau yurisprudensi membuat aturan dan batasan mengenai sikap dan tingkah laku yang seharusnya dilakukan orang yang menundukkan aktivitas mereka kepada Allah. Kalam mendefinisikan muatan keyakinan Islam dan sekaligus menyediakan pertahanan rasional bagi al-Quran dan Hadis. Sebagian sufi memfokuskan  pada memenuhi kewajiban berserah diri dan keimanan. Dalam hal ini ia berfungsi pada dua tingkat yakni teori dan praktek. Pada tingkat teoritis, Tasawuf menjelaskan basis rasional bagi iman maupun islam. Penjelasannya mengenai iman berbeda dengan penjelasan yang diberikan oleh kalam, baik dalam perspektif maupun dalam fokus. Pada tingkat praktis, Tasawuf atau sufisme menjelaskan makna-makna yang dapat digunakan oleh Muslim untuk memperkuat pemahaman dan pelaksanaan Islam mereka dengan pandangan menuju penemuan kehadiran Tuhan dalam diri mereka maupun di dunia. Tasawuf mengintensifkan kehidupan ritual Islam melalui perhatian yang seksama terhadap detail-detail Sunnah dengan cara memusatkan perhatian kepada mengingat Allah (zikir).  Zikir secara tipikal mengambil bentuk mengulang-ulang nama-nama Tuhan. Dalam acara-acara pertemuan bersama, kaum sufi lazim melantunkan zikir dengan suara keras dan sering diiringi dengan musik. Di beberapa kelompok sufi, pertemuan-pertemuan bersama ini menjadi ritual dasar, dengan pengabaian pelbagai aspek Sunnah. Pada titik ini, praktek sufi menjadi tertuduh, tidak saja di mata ahli fiqh, tetapi juga di mata kebanyakan orang sufi.    Serangan yang berulang-ulang ditujukan pada tasawuf dalam sejarah Islam memiliki banyak penyebab. Tidak sedikit diantara penyebab itu berupa pengaruh sosial dan politik para guru sufi, yang sering mengancam kekuasaan serta hak-hak istimewa para ahli hukum, bahkan penguasa.
Sebagaimana cabang-cabang pembelajaran Islam lainnya, tasawuf diturunkan dari guru. Ritus permulaan yang dipandang sebagai ciri tasawuf mengambil model pada acara jabat tangan, yang dikenal sebagai bai’atur ridhwan, yang dipersyaratkan oleh Rasul dari para sahabatnya di Hudaibiyah. Ritus tersebut dipahami sebagai memindahkan kekuatan spiritual yang tidak tampak ataupun rahmat (barakah) yang memungkinkan berlangsungnya transformasi jiwa sang pengikut. Kepedulian fundamental sang guru adalah membentuk karakter (akhlaq) sang pengikut sehingga sesuai dengan model kenabian.
Teori yang diajukan oleh kalangan sufi menawarkan perspektif teologis yang jauh lebih mendalam bagi bagian terbesar mayoritas Muslim dibandingkan kalam, yang merupakan kajian akademis dengan dampak praktis yang kecil terhadap kebanyakan orang. Sejak awal para ahli kalam berusaha memahami ajaran-ajaran al-Quran  dalam pengertian rasional dengan bantuan metode yang ditarik dari pemikiran Yunani. Agar tetap sesuai dengan kecenderungan akal untuk mencermati dan membedakan, kalam mengikat seluruh ayat al-Quran yang menegaskan transendensi dan keberbedaan Allah, maka kalam menjelaskan melalui penafsiran (takwil).
Ketika kalam dan fiqih bergantung pada akal untuk menetapkan ketegori-kategori dan pemilahan-pemilahan, maka Tasawuf bergantung kepada aspek jiwa yang lain untuk menjembatani kesenjangan dan membuat jalinan. Banyak diantara kaum sufi merujuk aspek ini sebagai imajinasi (khayal) dan menganggapnya sebagai kekuatan jiwa yang mampu menangkap kehadiran Tuhan dalam seluruh benda. Misalnya, mereka membaca secara harfiah ayat al-Quran surat al-Baqarah, 2:115 “Kemanapun engkau berpaling, di situlah wajah Allah.”
Pada perkembangan selanjutnya kira-kira abad keduabelas Masehi atau abad kelima Hijriyah, kelompok-kelompok sufi mengikatkan diri mereka ke dalam kelompok-kelompok khusus yang dikenal dengan tarikat. Dalam seluruh tarikat sufi terdapat kegiatan ritual sentral yang melibatkan pertemuan-pertemuan kelompok secara teratur untuk melakukan pembacaan do’a, sya’ir, dan ayat-ayat pilihan dari al-Quran. Pertemuan-pertemuan tersebut lazim digambarkan sebagai tindakan “mengingat Allah” atau zikir. Selain  dari itu, kegiatan-kegiatan pemujaan harian bagi para pengikut juga ditetapkan, misalnya meditasi khusus, asketisme, dan pemujaan.  Struktur dan format ritual yang menjadi karakter khas suatu tarekat disiapkan oleh individu yang mendirikan tarekat. Pendiri tarekat merupakan pembimbing spiritual bagi seluruh pengikut di dalam tarekat, yang mengucapkan sumpah setia khusus kepadanya sebagai syekh atau guru mereka. Dengan berlanjutnya tarekat, catatan mengenai penerusan ritual itu akan dipelihara dalam suatu rantai keturunan spiritual, yang disebut silsilah. Silsilah tersebut merupakan garis yang berlanjut mundur hingga ke pendirinya, bahkan sampai kepada Nabi Muhammad s.a.w. Pada kondisi inilah barangkali tasawuf menjadi tertuduh sebagai biang kemunduran umat Islam. Pada era kontemporer, di mana manusia modern lebih berorientasi materi dan hal-hal yang bersifat duniawi ternyata kajian tasawuf lebih diminati. Identitas Islam inklusif dengan penekanan yang besar pada kesalehan individual dan pengalaman kelompok-kelompok kecil. Pada akhir abad keduapuluh, tradisi tarekat-tarekat sufi memiliki kekuatan-kekuatan khusus dalam situasi yang mengandung derajat pluralisme keagamaan yang tinggi. 
Ajaran pokok Tasawuf berkisar sekitar proses penyucian jiwa dan jalan pendekatan diri menuju Tuhan. Proses dan jalan itu sangat panjang dan melalui tahapan-tahapan yang disebut maqamat. Abu Bakar al-Kalabadzi (w. 380 H/990 M) menyebutkan tujuh maqam yang harus dilalui sufi menuju Tuhan yaitu tobat, zuhud, sabar, tawakal, ridha, mahabbah, dan ma’rifah. Tobat merupakan awal semua maqamat yang memiliki kedudukan ibarat fondasi sebuah bangunan. Adapun peringkat tobat ada tiga yakni rendah, sedang, dan tinggi. Menurut Abu Ishak Ibrahim al-Matbuli (w. 291 H/904 M) tobat peringkat terendah adalah bertobat dari berbagai dosa besar (menyekutukan Allah, durhaka kepada orangtua, berbuat zina, meminum khamar, melakukan sumpah palsu, membunuh tanpa alasan yang dibolehkan agama). Peringkat sedang yaitu tobat dari dosa-dosa kecil misalnya, perbuatan makruh, sikap dan tindakan yang menyimpang dari keutamaan antara lain merasa diri suci, merasa diri telah dekat dengan Tuhan, dan sebagainya. Peringkat tobat yang paling tinggi adalah tobat dari kelengahan hati mengingat Allah walaupun sekejap.
Zuhud secara bahasa meninggalkan sesuatu lantaran kekurangan dan kehinaannya dan dalam terminologi tasawuf diartikan sebagai kebencian hati terhadap hal ihwal keduniaan dan menjauhkan diri darinya ketika ada kesempatan untuk memperolehnya, karena menaati Allah. Menurut Abu al-Hasan al-Syazili (w. 656 H/1258 M) pengertian zuhud adalah menggunakan hal ihwal keduniaan sekedar untuk memenuhi hajat hidup, bukan untuk berlebihan dan berfoya-foya Zuhud juga memiliki peringkat  rendah, sedang, dan tinggi. Zuhud terendah yakni zuhud terhadap hal-hal duniawi, orang yang zuhud berupaya meninggalkan hal-hal keduniaan. Zuhud peringkat sedang yaitu orang yang telah sanggup meninggalkan hal ihwal keduniaan, karena dipandangnya sebagai sesuatu yang tidak memiliki  nilai dan hatinya cenderung berusaha meraih kebahagiaan yang lebih besar di sisi Allah. Zuhud peringkat tertinggi yakni orang zuhud yang semata-mata mengharap ridha Allah. Menurut Imam al-Ghazali ada tiga indikator yang menunjukkan bahwa orang tersebut telah mencapai peringkat zuhud tertinggi yakni: 1) tidak gembira dengan apa yang telah diperoleh  dan tidak berduka dengan kehilangan. Ini menyangkut  harta benda; 2) bersikap sama dalam menerima  pujian dan ejekan; hal ini menyangkut pangkat dan kedudukan; 3) hatinya senantiasa diliputi kemesraan dalam mengingat Allah dan merasakan nikmatnya beribadah.
Sabar   dikelompokkan oleh Syekh Abdul Qadir al-Jailani (w. 561 H/1166 M) pada tiga tingkatan. Pertama,  sabar untuk Allah (sabr li Allah) yaitu keteguhan hati dalam melaksanakan perintah Allah dan menjauhi laranganNya. Kedua, sabar bersama Allah (sabr ma’a Allah) yakni keteguhan hati menerima segala keputusan dan tindakan Allah. Ketiga, sabar atas Allah (sabr ‘ala Allah) adalah keteguhan hati dan kemantapan sikap dalam menghadapi apa yang dijanjikan Allah berupa rezki, kelapangan hidup, dan lain-lain.
Tawakal secara bahasa berarti “mempercayakan” atau “mewakilkan”. Menurut istilah tasawuf, tawakal berarti mempercayakan atau menyerahkan segenap masalah kepada Allah dan mewakilkan kepada-Nya penanganan berbagai masalah yang dihadapi. Menurut Zunnun al-Misri (w. 180 H/796 M) bahwa tawakal adalah meninggalkan pertimbangan terhadap diri sendiri dengan menghapuskan daya dan kekuatan. Seorang yang bertawakal tidak melihat adanya daya dan kekuatan, kecuali daya dan kekuatan Allah. Al-Ghazali membagi tawakal pada tiga tingakatan pula. Pertama, menyerahkan diri kepada Allah, seperti seseorang  yang menyerahkan suatu urusan  kepada wakilnya setelah ia meyakini kebenaran, kejujuran, dan kesungguhan wakilnya  dalam menangani urusan itu. Kedua, menyerahkan diri kepada Allah, seperti seorang anak kecil menyerahkan segala persoalannya kepada ibunya. Ketiga, menyerahkan diri kepada Allah, laksana mayat di tangan orang yang memandikannya.
Puncak perkembangan sikap tawakal adalah maqam ridha yakni menerima apa saja yang telah ditetapkan Allah, baik kesusahan maupun kesenangan. Ridha itu muncul dari keyakinan bahwa ketetapan Allah untuk seseorang lebih baik daripada keputusan orang itu sendiri bagi dirinya.
Setelah maqam ridha, seorang sufi akan mencapai maqam puncak yaitu mahabbah dan ma’rifah. Dalam Lisan al-‘Arab ada dua akar  kata yang  digunakan untuk mahabbah yaitu hibbah dan hubb. Kata hibbah berarti benih yang jatuh ke bumi di mana cinta adalah sumber kehidupan sebagaimana benih adalah sumber tanaman. Kata hubb berarti tempayan yang penuh dengan air yang tenang, karena bila cinta telah memenuhi hati, maka tidak ada tempat lagi bagi yang lain selain yang dicintai. Menurut  Abu Nasr al-Sarraj al-Tusi, cinta seorang hamba kepada Allah pertama sekali muncul  dari pandangan mata lahirnya terhadap nikmat  yang telah diberikan Allah kepadanya, sementara mata hatinya memandang kedekatan Allah, merasakan pertolongnnya yang besar, serta pemeliharaan dan pengawasan Allah terhadap dirinya. Setelah sampai pada maqam mahabbah muncul ma’rifah atau sebaliknya ma’rifah lebih dulu muncul, baru mahabbah. Para sufi berpendapat bahwa ma’rifah Allah adalah melihat Allah dengan hati nurani dan  ma’rifah adalah itu sendiri adalah kurnia Allah
Abdul Karim al-Qusyairi, tokoh tasawuf Sunni mengemukakan tiga media dalam diri manusia yang dapat digunakan untuk ma’rifah Allah yaitu qalb (hati/kalbu), ruh (roh), dan sirr. Qalb untuk mengetahui sifat-sifat Tuhan, roh untuk mencintai Tuhan, dan sirr untuk mengenal Tuhan. Sirr inilah yang dapat menerima pancaran cahaya ilahi, ketika ia telah disucikan dari berbagai kotoran. Al-Ghazali m3nggambarkannya sebagai daya yag paling peka dalam diri manusia.(Asep Usman Ismail dlm Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, 2002:307-315)
Di samping maqamat  terdapat pula ahwal (keadaan) di mana maqam lebih merupakan tempat atau martabat seorang hamba di depan Allah  pada saat ia berdiri di hadapan-Nya. Maqam diperoleh dengan latihan (riyadhah) dalam hidup keseharian, sementara ahwal adalah kurnia Allah yang datang secara tiba-tiba. Maqamat merupakan proses pembelajaran untuk smpai kepada tujuan ideal tasawuf. Secara garis besar proses pembelajaran tersebut memiliki tiga tahap. Pertama,    takhalli yakni mengosongkan diri dari sifat-sifat keduniawian yang tercela. Kedua, tahalli yaitu mengisi dan menghiasi diri serta membiasakan diri dengan sifat, sikap, dan perbuatan yang baik. Ketiga, tajalli adalah lenyapnya sifat-sifat kemanusiaan yang rendah dan digantikan dengan sifat-sifat ketuhanan.
C. Psikologi Memandang Manusia.
Berangkat dari pengertian psikologi sebagai ilmu yang menelaah perilaku manusia, para ahli psikologi umumnya berpandangan bahwa kondisi ragawi, kualitas kejiwaan, dan situasi lingkungan merupakan penentu utama perilaku dan corak kepribadian manusia. Dalam hal ini unsur rohani  tidak masuk hitungan, karena dianggap termasuk dimensi kejiwaan dan merupakan penghayatan subjektif semata.  Di samping itu, filsafat manusia yang melandasi psikologi bercorak antroposentrisme di mana manusia ditempatkan sebagai pusat dari segala pegalaman dan segenap relasinya serta penentu utama segala peristiwa yang berkaitan dengan manusia dan kemanusiaan.
Sampai akhir abad keduapuluh, terdapat empat aliran besar psikologi yakni Psikoanalisis, Perilaku (Behaviorisme), Humanistik, dan Transpersonal. Masing-masing aliran melihat manusia dari sudut pandang berbeda, dan dengan metodologi tertentu berhasil menentukan berbagai dimensi dan asas tentang kehidupan manusia, lalu membangun teori dan filsafat tentang manusia.
Aliran Psikoanalisis yang dipelopori oleh Freud (1856 – 1939) berangkat dari pengalaman dengan para pasiennnya. Ia menemukan berbagai dimensi dan prinsip tentang manusia, kemudian menyususn teori yang sangat mendasar, majemuk, serta luas implikasinya dalam bidang ilmu-ilmu sosial, humaniora, filsafat, dan ilmu agama, serta memberikan inspirasi terhadap berbagai karya seni.
Freud berpendapat bahwa kepribadian manusia terdiri atas tiga sistem yaitu Id (dorongan-dorongan biologis), Ego (kesadaran terhadap realitas kehidupan), dan Superego (kesadaran normatif) yang berinteraksi satu sama lain dan masing-masing  memiliki fungsi dan mekanisme yang khusus. Id adalah berbagai potensi yang terbawa sejak lahir, insting dan nafsu primer, sumber energi psikis yang memberi daya kepada Ego dan Superego untuk menjalankan fungsi-fungsinya.  Selain dari itu, manusia juga memiliki tiga tingkatan kesadaran yaitu Alam Sadar (The Conscious), Alam Prasadar (The Preconscious), dan Alam Taksadar (The Unconscious).  Psikoanalisis klasik dari Freud beranggapan bahwa perilaku manusia banyak dipengaruhi  oleh Alam Taksadar dan dorongan-dorongan biologis (termasuk nafsu) yang selalu menuntut kenikmatan untuk segera dipenuhi. Dengan demikian, Psikoanalisis klasik beranggapan bahwa pada hakikatnya manusia adalah buruk, liar, kejam, sarat nafsu, egois dan sejenisnya yang berorientasi pada kenikmatan jasmani.
Aliran  Perilaku (Behaviorisme) beranggapan bahwa manusia pada hakikatnya netral, baik buruknya perilaku seseorang dipengaruhi oleh situasi dan perlakuan yang dialaminya. Psikologi Perilaku memberikan sumbangan besar dengan ditemukannya asas-asas perubahan perilaku yang banyak digunakan dalam kegiatan pendidikan, psikoterapi, pembentukan kebiasaan, perubahan sikap, dan penertiban sosial melalui law enforcement dalam bentuk:
a) Classical Conditioning (pembiasaan klasik) yaitu rangsang (stimulus) netral akan menimbulkan pola reaksi tertentu apabila rangsang itu sering diberikan bersamaan dengan rangsang lain yang secara alamiah menimbulkan pola reaksi tersebut.
b) Law of effect (hukum akibat) yakni perilaku yang menimbulkan akibat-akibat yang memuaskan pelaku cenderung diulangi; sebaliknya  perilaku yang menimbulkan akibat tidak memuaskan atau merugikan cenderung dihentikan.
c)   Operant conditioning (pembiasaan operan): suatu pola perilaku akan mantap apabila berhasil diperoleh hal-hal yang diinginkan pelaku (penguat positif) atau mengakibatkan hilangnya hal-hal yang tak diinginkan (penguat negatif). Di sisi lain suatu pola perilaku tertentu akan menghilang apabila perilaku itu mengakibatkan dialaminya hal-hal yang tidak menyenangkan (Hukuman), atau mengakibatkan hilangnya hal-hal yang menyenangkan pelaku (Penghapusan).
d)  Modeling (peneladanan): perubahan perilaku dalam kehidupan sosial terjadi karena proses dan peneladanan terhadap perilaku orang lain yang disenangi dan dikagumi.
Keempat asas perubahan perilaku itu berkaitan langsung dengan proses belajar yang melibatkan unsur-unsur kognisi (pemikiran), afeksi (perasaan), konasi (kemauan), dan aksi (tindakan) atau dengan kata lain meliputi unsur cipta, rasa, karsa, dan karya.
Aliran psikologi Humanistik memandang manusia berbeda dengan Psikoanalisa yang beranggapan bahwa manusia pada hakikatnya buruk, berbeda pula dengan aliran Behaviorisme yang menganggap manusia pada hakikatnya netral. Aliran ini menganggap manusia pada dasarnya memiliki potensi-potensi baik. Asumsi dasar yang digunakan dalam memandang manusia bahwa manusia memiliki otoritas atas kehidupan dirinya sendiri. Aliran Logonterapi yang dikelompokkan orang pada aliran Humanistik menemukan ada dimensi lain dalam diri manusia selain dari dimensi raga (pisik) dan kejiwaan (psikis). Dimensi lain itu adalah noetik atau disebut juga dimensi kerohanian, namun tidak mengandung konotasi agamis. Victor Frankl yang menemukan Logoterapi memandang dimensi ini sebagai inti kemanusiaan dan merupakan sumber makna hidup.
Aliran Tanspersonal berpandangan bahwa manusia memiliki potensi-potensi luhur (the highest potentials) dan fenomena kesadaran (states of consciousness). Gambaran selintas tentang Psikologi Transpersonal bahwa aliran ini mencoba menjajaki dan melakukan telaah ilmiah terhadap suatu dimensi yang sejauh ini lebih dianggap sebagai garapan kalangan kebatinan dan mistikus. Aliran ini berpendapat bahwa di luar alam kesadaran biasa terdapat ragam dimensi lain yang luar biasa potensinya. (Bastaman,  2005:49-54)
Teori-teori yang  dikonstruksi oleh para ahli psikologi dalam berbagai aliran telah memberikan sumbangan besar dalam pembentukan perilaku dan kepribadian manusia. Di samping itu, perkembangan psikologi yang sangat pesat dengan berbagai cabang antara lain, Psikologi Perkembangan, Psikologi Pendidikan,   Psikologi Komunikasi, Psikologi  Abnormal,   dan lain-lain telah mendominasi ilmu-ilmu sosial dan humaniora.  Teori-teori yang dihasilkan   telah diaplikasikan untuk berbagai lini kehidupan dan boleh dikatakan cukup efektif dalam pembentukan perilaku.
D. Aplikasi Integrasi dan Interkoneksi
Telah dikemukakan di atas bahwa ajaran pokok tasawuf berkisar sekitar proses penyucian jiwa dan jalan pendekatan diri menuju Tuhan. Pembentukan perilaku saleh dan mendekatkan diri pada Allah terus menerus tanpa putus menjadi tujuan dari tasawuf. Teori-teori psikologi yang telah ditemukan para ahli Psikologi  dengan berbagai aliran dapat berintegrasi dan berinterkoneksi dengan Tasawuf.
Secara sepintas dipahami bahwa aliran Humanistik lebih mirip dengan kajian tasawuf, namun terdapat perbedaan yang mendasar. Dalam mengadakan penelitian, mengikuti cara fenomenologis di mana penelitian dilakukan terhadap manusia dengan mengungkap apa-apa yang dirasakan dan dipikirkan, tanpa membawa praduga terlebih dahulu. Logonterapi yang termasuk aliran ini melihat bahwa ada dimensi lain dalam diri manusia yakni noetik (kerohanian) hanya saja tidak memperlihatkan nuansa agama. Penelitian-penelitian yang dilakukan dengan menggunakan berbagai teknik antara lain yang dilakukan oleh Abraham Maslow menemukan lima jenjang kebutuhan manusia yakni kebutuhan fisiologis, kebutuhan akan rasa aman, kebutuhan akan rasa cinta dan memiliki, kebutuhan akan harga diri, dan kebutuhan akan aktualisasi diri. Hanya saja tidak dapat dijelaskan apakah setelah lima jenjang kebutuhan tersebut terpenuhi, manusia akan menjadi statis dan berhenti berperilaku atau tetap berperilaku. Seandainya tetap berperilaku dikhawatirkan muncul sikap antroposetrisme di mana manusia percaya diri dengan kemampuannya dan memperlakukan manusia lain sesuai kemauannya. Pada hakikatnya, kajian tasawuf dapat mengisi ruang ini dengan mengaitkan pada ajaran Tuhan.
Ajaran ini memberikan rambu-rambu tentang  cara berhubungan dengan Tuhan dan berhubungan dengan manusia. Dalam dua bentuk hubungan itu harus ada keadilan dan keseimbangan agar menjadi   manusia sempurna (insan kamil). Ajaran tasawuf dengan berbagai maqamat yang harus dilewatinya selalu melatih dan membiasakan diri dengan takhalli                  ( mengosongkan diri dari sifat-sifat buruk/keduniaan), tahalli (membiasakan diri dan memakai sifat-sifat terpuji), dan tajalli (merealisasikan sifat-sifat terpuji dalam kehidupan).  Agar pelaksanaan latihan tersebut dapat  dilakukan dengan baik,  diperlukan bantuan psikologi yang telah menemukan teknik pembelajaran dan perubahan perilaku yang telah ditemukan oleh tokoh-tokoh aliran Behaviorisme..
Teori Abraham Maslow tentang pengalaman puncak (peak experinence) boleh dikatakan mirip dengan maqam tertinggi wahdatul wujud dari Ibnu ‘Arabi. Keduanya mengemukakan pendapat  tentang bersatunya individu dengan alam, hanya saja Ibnu ‘Arabi menghubungkan dengan Tuhan, Pencipta alam di mana dia melihat bayangan Tuhan di alam, semetara Maslow tidak menyertakan nuansa keagamaan.  
Selain dari itu teknik-teknik asesmen dalam psikologi untuk mengukur berbagai perilaku dapat pula digunakan buat mengukur perilaku saleh yang dikemukakan dalam tasawuf.  Psikologi telah menemukan teknik-teknik yang relatif tepat untuk mengetahui dimensi kejujuran, keamanahan, meningkatkan semangat kerja, dan lain-lain, namun  belum  memasukkan dimensi pengontrolan Tuhan terhadap perilaku manusia. Perilaku beriman dan berihsan dengan menyeimbangkan antara hakikat dan syari’at dapat diketahui dengan teknik-teknik asesmen tersebut.
Penelitian-penelitian masyarakat yang bernuansa Tasawuf dapat pula diintegrasikan dengan Psikologi. Konsep-konsep tasawuf diupayakan pengukurannya dengan teknik pengukuran pskologis. Hal ini dapat dilakukan baik untuk metode penelitian dengan jenis  kuantitatif, maupun kualitatif.  Tanpa menghiraukan kelebihan dan kekurangan dari masing-masing metode, menurut penulis  penelitian kualitatif lebih mendekati kebenaran untuk penelitian tasawuf daripada penelitian kuantitatif.  Dengan demikian,  penelitian tasawuf tidak hanya dapat dilakukan dengan library research, tetapi juga berlaku untuk penelitian lapangan atau penelitian konteks.
D. Kesimpulan
Kajian  keislaman diantaranya Tasawuf dapat  berintegrasi dan berinterkoneksi dengan Psikologi.  Dengan perpaduan tersebut,  kajian tasawuf lebih diminati dan dapat berkembang seiring dengan perkembangan Ilmu-ilmu Sosial  dan Humaniora.  Kajian-kajian yang dilakukan oleh Perguruan Tinggi Agama, sudah waktunya mengembangkan perpaduan demikian agar kajiannya lebih prospektif..

KEPUSTAKAAN
Bastaman, Hanna Djumhana, Integrasi Psikologi dengan Islam, Yogyakarta: Yayayasan Insan Kamil & Pustaka Pelajar, cet. IV, 2005.
Esposito,  John L. (ed) terj. Eva Y. N dkk. “Sufisme” dalam Ensiklopedi Oxford Dunia Islam   Modern , Jilid 5, Bandung: Mizan, 2001.
Fromm, Erich. The Anatomy of Human Destructiveness, terj. Imam Muttaqin. Akar Kekerasan, Analisis Sosio Psikologis atas Watak Manusia, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, cet II, 2001
Al-Ghazali. Ihyaa! ‘Ulumud Diin, juz 3,  Mesir: ‘Isa al-Babiy al-Halabiy wa   Syurakauh, tt.
Goble, Frank G. terj. A. Supratiknya, Mazhab Ketiga: Psikologi Humanistik Abraham Maslow, Yogyakarta: Kanisius, 1999
Hasan, Aliah B. Purwakania, Psikologi Perkembangan Islami, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006
Imail, Asep Usman “Tasawuf” dalam Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 2002
Muhammad, Hasyim. Dialog antara Tasawuf dan Psikologi, Yogyakarta: Walisongo Press & Pustaka Pelajar, 2002
Mujib, Abul, Kepribadian dalam Psikologi Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006
An-Najar, Amir. Al-‘Ilmu an-Nafs ash-Shufiyyah, terj. Hasan Abrari, Ilmu Jiwa dalam Tasawuf, Jakarta: Pustaka Azzam, cet. II, 2001
Najati, Muhammad Usman, Al-Quran wa ‘Ilm al-Nafs, Kairo: Dar al-Syuruq, cet. VI, 1417 H/ 1997 M
———————————, Al-Hadits wa ‘Ulum an-Nafs, terj. Zainuddin Abu Bakar. Psikologi dalam Perspektif Hadis, Jakarta: Pustaka al Husna Baru, 2004
Nashori, Fuad, Potensi-potensi Manusia, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, cet. II, 2005
Sapuri, Rafi. Psikologi Islam, Jakarta: Rajawali Pers, 2009
Taufiq, Muhammad Izzudin. At-Ta’shil al-Islami li l-Dirasati al-Nafsiyyah, terj. Sari Narulita, Panduan Lengkap dan Praktis Psikologi Islam, Jakarta: Gema Insani, 1427 H/     2006 M