Sabtu, 12 April 2014

KONSEP PSIKOLOGI ISLAM DALAM SASTRA SUFI

Pendahuluan

Sumbangan tradisi tasawuf atau sufisme dalam pengembangan sastra Islam tampak jelas sejak awal perkembangan Islam di berbagai daerah. Bagi seorang sufi sastra bukan hanya sebagai tujuan, melainkan sebagai sarana untuk mengekspresikan perasaan-perasaan yang pada umumnya terfokus pada kecintaan kepada Tuhan. Tidak terbatas itu saja, sastra bagi sufi juga merupakan media untuk mengekspresikan pikiran, ide-ide, nasehat atau gagasan dalam bentuk puisi atau cerita penuh hikmah. Oleh karena itu tidak mengherankan jika karya-karya sastra tersebut menjadi sumber kajian-kajian ilmiah di berbagai bidang. Misalnya, William C Chittick mengkaji berbagai kajian filsafat dari karya-karya Ibnu Arabi, seperti theologi , ontologi dan epistimologi .  Sementara itu Sachio Murata membahas Kosmologi dan Psikologi Rohani. Javad Nurbakhsy secara spesifik mengkaji psikologi sufi, khususnya berkaitan dengan kesadaran manusia. Di bidang sastra, Abdul Hadi secara komprehensif menyusun antologi karya-karya para sufi yang memiliki nilai sastra sangat tinggi. Tulisan ini mencoba untuk mengeksplorasi konsep-konsep psikologi Islam yang terkandung dalam karya-karya sastra para sufi.
Psikologi Islam merupakan sebuah gerakan pemikiran baru di kalangan psikolog muslim yang berusaha mengembangkan konsep-konsep psikologi yang berasal dari ajaran agama Islam dan masyarakat muslim. Gerakan ini sebenarnya telah lama berlangsung, tetapi momentum yang dianggap mengawali secara tersistematis adalah ketika Malik Badri menerbitkan buku the Dilema of Muslim Psychologist. Buku tersebut mendapat sambutan yang sangat antusias di kalangan para psikolog muslim di seluruh belahan dunia Islam. Di Indonesia sendiri geliat psikologi Islam dimulai sekitar tahun 1980-an ketika banyak bermunculan kelompok diskusi, seminar, penulisan artikel dan buku psikologi Islami mulai diterbitkan. Sebagian dari tokoh-tokoh psikologi yang banyak aktif mengembangkan psikologi Islam di Indonesia pada fase-awal perkembangannya antara lain Hanna Djumhana Bastaman,  Djamaludin Ancok dan Fuad Nashori . Selanjutnya bermunculan pemikir-pemikir muda yang tersebar di berbagai perguruan tinggi di Indonesia. Saat ini telah terbentuk sebuah organisasi profesional para psikolog yang berminat di bidang psikologi Islam, yaitu API (Asosiasi Psikologi Islami). Organisasi ini sudah diakui secara resmi sebagai bagian dari orgnisai psikologi di Indonesia, HIMPSI (Himpunan Psikologi Indonesia).
Sumber kajian dalam mengembangkan psikologi Islam tidak terbatas pada penafsiran Al Qur’an dan Hadist yang mempunyai unsur psikologi, tetapi juga karya-karya dan pemikiran para ulama, filsof dan termasuk juga para sufi. Tulisan ini berusaha mengkaji beberapa konsep dalam psikologi Islam yang berasal dari karya sastra para sufi. Tidak hanya karya sastra sufi dari Timur Tengah, termasuk juga para sufi dari Indonesia. Ada tiga konsep dasar yang akan di bahas, yaitu konsep psikologi perkembangan, konsep psikologi kepribadian, dan konsep psikoterapi.

Konsep Psikologi Perkembangan

Psikologi perkembangan merupakan salah satu bidang psikologi yang mengkaji tentang proses perkembangan manusia dengan menggunakan prinsip life-span development (perkembangan dalam rentang kehidupan manusia), yaitu mulai dari kandungan, masa bayi, anak-anak, remaja, dewasa dan lansia. Aspek-aspek perkembangan yang dikaji meliputi dimensi fisiologis, kognitif, afektif, sosial, moral, bahkan sampai pada perkembangan spiritual.
Konsep perkembangan dalam psikologi Islam memiliki konsep yang lebih luas dibandingkan dengan psikologi modern. Tidak hanya terbatas pada konsep ketika manusia hidup mulai dalam kandungan sampai meninggal dunia, tetapi juga mengkaji proses sebelum manusia ada di dunia dan setelah mati. Salah satu konsep psikologi perkembangan Islam yang bisa dikaji adalah dari puisi Jalaludin Rumi, seorang sufi dan penyair besar dari Turki. Rumi menulis:
Mula-mula dia muncul dalam alam benda-mati;
Kemudian masuk ke dunia tumbuh-tumbuhan

dan hidup bertahun-tahun sebagai tetumbuhan, tak ingat lagi akan
Apa yang telah dia alami, lalu melangkah maju
Ke kehidupan hewan, dan sekali lagi
Tak ingat akan kehidupan tetumbuhan itu.
Kecuali ketika dirinya tergerak senang,
Pada tetumbuhan di musim bunga-binga berkembang indah.
Seperti bayi-bayi yang mencari puting susu dan tak tahu mengapa.
Sekali lagi Sang Pencipta Yang Maha Bijaksana sebagaimana engkau ketahui
Memindahkannya dari alam hewani
Ke tingkat Manusia; demikianlah dari satu alam ke alam lainnya dia
Bergerak, ia menjadi pandai,
Cerdik dan bijak, sebagaimana dia kini.
Tak terkenang lagi akan keadaan sebelumnya,
Dan dari jiwanya yang sekarang pun dia akan diubah pula.


           
Puisi di atas secara tegas menggambarkan bagaimana pendapat Rumi tentang perkembangan manusia. Menurut Rumi, manusia pada awalnya merupakan benda mati yang tidak bernyawa. Melalui proses perubahan yang terus menerus manusia berpindah dari kondisi kejiwaan yang satu ke kondisi yang lain. Ungkapan dalam puisi di atas dapat diberi makna secara riel apa adanya maupun makna secara simbolis. Makna secara riel menunjukkan bahwa manusia awalnya merupakan benda mati, kemudian berubah dalam kehidupan tumbuhan, kemudian menuju pada kehidupan binatang dan akhirnya memasuki kehidupan manusia. Pemikiran seperti ini bukan merupakan ide baru. Filsuf dan dokter muslim ternama, Ibnu Sina, telah berusaha menyatukan pemikiran filsuf Aristotles dari Yunani yang menyatakan bahwa ada tiga macam jiwa, yaitu jiwa tumbuhan, jiwa binatang, dan jiwa manusia  Jiwa tumbuhan tampak pada janin yang masih berada dalam kandungan. Dia adalah tumbuhan yang sangat tergantung pada kondisi lingkungan dan tidak dapat bergerak sendiri. Dia dapat bertahan hidup karena pemberian makanan dari ibunya. Ketika sudah lahir ke dunia, bayi mulai belajar bergerak sendiri. Dia mulai mengeksplorasi dunia sekitarnya. Karena akalnya belum berkembang, maka dia seperti binatang. Namun ketika seorang anak mulai berkembang aspek kognitifnya, maka dia berada dalam alam manusia, yang berpikir dan memahami lingkungan sekitarnya.
Kalau dalam psikologi modern proses perkembangan hanya terbatas pada kondisi psikologis (jiwa), maka menurut Rumi proses perkembangan manusia tidak hanya berhenti sampai di sini saja. Rumi mengatakan bahwa , “Dan dari jiwanya yang sekarang pun dia akan diubah pula.” Ini menandakan bahwa proses transformasi manusia masih akan berkembang terus. Khususnya dimensi rohani / spiritualitas manusia. Dalam puisi berikut Jalaludin Rumi menggambarkan proses transformasi:
Aku mati sebagai mineral dan menjadi tumbuhan,
Aku mati sebagai tumbuhan dan muncul sebagai hewan,
Aku mati sebagai hewan dan aku menjadi Insan.
Mengapa aku mesti takut? Bilakah aku menjadi rendah karena kematian?
Namun sekali lagi aku akan mati sebagai Insan, untuk membumbung
Bersama para Malaikat yang direstui; bahkan dari tingkat malaikat pun
Aku harus wafat: Segala akan binasa kecuali Tuhan.
Ketika jiwa malaikatku telah kukorbankan,
Aku akan menjadi sesuatu yang tak pernah terperikan oleh pikiran.
Oh, biarkanlah aku tiada! Karena Ketiadaan
Membisikkan nada dalam telinga. ”Sesungguhnya kepada-Nya-lah kita kembali.”


Puisi di atas menegaskan bahwa manusia akan mengalami transformasi atau memasuki alam malaikat. Dari sinipun akan mengalami perubahan lagi menuju ke ketiadaan. Manusia dari tiada menjadi ada dan menjadi tiada. Proses ini terjadi melalui fase dan tahapan yang panjang, yang penuh dengan rintangan. Menurut Mohammad Shafii, puisi Rumi di atas tidak hanya menunjukkan adanya proses perkembangan, tetapi sekaligus merupakan gambaran dari wujud evolusi manusia di bumi. Dalam konteks psikologi Barat, pendekatan evolusi juga mulai dikembangkan seperti yang dibahas oleh Dicky Hastjaryo . Pendekatan evolusinistik ini sering disebut sebagai bionomik kognitif, yang menyatakan bahwa kognisi manusiaseperti persepsi, memori, bahasa, berfikir itu harus dipahami dalam konteks evolusi fisik dan sosial manusia. Erick Fromm, salah seorang tokoh Psikoanalisis modern, juga memiliki pandangan evolusionistik. Dia mengemukakan: ”Manusia telah muncul dari kerajaan binatang, dari adaptasi dengan instink...dia telah melampui kondisi alam, meskipun dia tak pernah meninggalkannya; dia bagian dari itu..manusia hanya bisa mengembangkan pikirannnya dengan menemukan harmoni baru.”
Psikologi Islami mempunyai konsep yang lebih jauh dari itu. Seperti diungkapkan dalam visi Rumi,  bahwa kondisi manusia akan mengalami proses perubahan terus bahkan menjadi sesuatu yang berbeda, “..sesuatu yang tak pernah terperikan oleh pikiran.” Dengan ungkapan berbeda  Mohammad Shafii menyatakan: “…evolusi kemanusiaan tidak hanya berakhir sampai pada bentuk manusia saat ini saja. Ada potensi (manusia) untuk menjadi mahluk yang lebih tinggi. Perspektif yang progresif dan memberikan banyak harapan ini adalah sebuah kekuatan dinamis…”

Psikologi Kepribadian

Teori psikologi kepribadian telah berkembang pesat dalam psikologi modern dan memiliki teori dan konsep yang cukup banyak. Namun teori yang paling dekat dengan konsep kepribadian dalam psikologi Islami adalah teori psikoanalisis atau juga disebut psikodinamik. Teori yang dikembangkan oleh Sigmund Freud ini merupakan salah satu teori penting dalam awal perkembangan psikologi modern. Teori ini menyatakan bahwa struktur kepribadian manusia terdiri dari tiga unsur, yaitu id, ego dan super ego. Id merupakan dorongan dasar yang menjadi penggerak dalam kehidupan manusia, yang terdiri dari berbagai keinginan dan hawa nafsu. Ego, atau ’diri’ merupakan dimensi kesadaran rasional yang merupakan jembatan manusia berhubungan dengan dunia luar. Ego ini berkembang sejalan dengan proses perkembangan pikiran (kognitif) manusia. Sementara itu super ego merupakan dimensi moralitas yang menjadi pemandu perilaku manusia. Dalam kehidupan sehari-hari ego senantiasa menghadapi pertentangan antara dorongan dasar dari id dan nilai-nilai moral dari super ego.
Kajian psikologi Islam mengenai struktur kepribadian dasar manusia banyak berkaitan dengan konsep nafsu, akal dan hati. Istilah-istilah tersebut bisa dipadankan dengan id, ego, dan super ego dalam konsep psikoanalisis. Nafsu adalah id, akal adalah ego dan hati adalah super ego.
Nafsu adalah aspek kebinatangan dalam diri manusia. Para sufi menggambarkan hawa nafsu sebagai  binatang buas, seperti anjing pencuri, rubah yang licik, kuda liar, bahkan ular atau naga. Dorongan aspek kebinatangan dalam diri manusia ini bersifat primitif. Dia seringkali menyusup dalam setiap perilaku manusia, meski manusia tersebut sering tidak disadari.  Jalaludin Rumi menggambarkan:
Hawa nafsumu adalah ibu semua berhala; berhala benda benda adalah ular, berhala rohani adalah naga
Menghancurkan berhala itu mudah, mudah sekali; namun menganggap mudah mengalahkan nafsu adalah tolol
O, anakku, jika bentuk-bentuk nafsu ingin kau kenali bacalah tentang neraka dengan tujuh pintunya
Dari hawa nafsu setiap saat bermunculan tipu muslihat; dan dari setiap ti[pu muslihat seratus Firaun dan bala tentaranya terjerumus.
Emha ainun Nadjib, seorang penyair sufistik Indonesia kontemporer menggambarkan nafsu sebagai keinginan yang tidak pernah terpuaskan. Dalam syair lagu yang berjudul Tak Sudah-sudah, yang dinyanyikan oleh kelompok Kyai Kanjeng yang dipimpinnya, Emha Ainun Nadjib berkata:
Ketika belum, kepingin sudah
Ketika sudah, kepingin tambah
Sesudah ditambahi, kepingin lagi
Kepingingn lagi...lagi...dan lagi...
Rasa kurang, tak berpenghabisan
Kepada dunia, tak pernah kenyang
Itulah api yang menghanguskan
Itulah nafsu, Lambang kebodohan

Sigmund Freud berpendapat bahwa dorongan dasar yang paling dominan dalam diri manusia adalah dorongan seksual dan dorongan agresif. Dua dorongan inilah yang melatar belakangi seluruh perilaku manusia. Meskipun tidak dalam bentuk yang asli, dorongan seksualitas dapat berubah bentuk (sublimasi) menjadi keinginan untuk memiliki, keinginan untuk menguasai. Barangkali inilah yang dikatakan oleh Rumi bahwa hawa nafsu itu menciptakan tipu muslihat dengan tujuan agar manusia mengikuti dorongan id dan melupakan peringata super ego. Kalau Freud menganggap bahwa banyak perilaku manusia yang merupakan sublimasi dari dorongan id, maka Rumi juga mengatakan hal yang mirip seperti itu. Hanya saja Rumi menggunakan istilah tipu muslihat. Nafsu sering menipu manusia. Seringkali manusia melakukan suatu perbuatan seakan demi menolong orang lain atau demi kebaikan, tetapi sebenarnya ditunggangi oleh hawa nafsu. Oleh karena itu manusia harus bisa mengendalikan hawa nafsu yang menutupi penglihatan sejati.
Meskipun tidak sesuai semuanya, konsep akal dalam sufisme  bisa disejajarkan dengan konsep ego dalam psikoanalisis. Seperti akal, ego berfungsi untuk mengendalikan dorongan id yang tidak sesuai dengan realitas. Misalnya, id membutuhkan dorongan seksual, maka ego tidak mengijinkannya karena kondisi realitas tidak memungkinan. Kalau id mendesak terus, maka ego akan terus berusaha mengekangnya karena ego mendapatkan pesan dari super ego bahwa hal itu tidak boleh. Disinilah kemudian sering terjadi pertentangan antara id dan ego.  Rumi juga menggambarkan pertarungan antara nafsu dan akal dalam metafora:
Dua ekor rajawali dan elang dalam satu sangkar:mereka saling mencakar...
Dalam setiap desah nafas kita, akal berjuang melawan godaan nafsu. Keterpisahan dari Asal Sumber menyebabkan mereka terpuruk
Jika desahan nafas keledai telah kalah, akal akan menjadi Messiah
Sungguh akal dapat melihat setiap akibat, nafsu tidak
Akal adalah cahaya yang mencari kebaikan, Mengapa kegelapan nafsu dapat mengalahkannya?
Sa’di, seorang sufi dari Persia, menggambarkan bahwa orang yang dapat mengendalikan hawa nafsu adalah orang yang mempunyai kekuatan yang sebenarnya.
orang-orang yang mengendalikan tali kekang nafsunya dari yang diharamkan berarti keberaniaannya telah melalui tokoh-tokoh perkasa seperti Rustam dan Samson. Budak hawa nafsu adalah musuh yang paling mengerikan bagimu.
Sa’di juga menggambarkan diri manusia seperti sebuah kota yang mempunyai unsur kebaikan dan kejahatan yang selalu bertarung.
Jiwa raga kita bagaiman kota yang mengandung kebaikan dan kejahatan. Kau adalah rajanya dan akal adalah menterimu yang bijaksana
...nafsu dan menyia-nyiakan waktu adalah pencuri dan pencopet
Bila raja mengasihi orang jahat, bagaimana orang bijaksana bisa merasa tenteram?
Nafsu jahat, iri hati, kebencian bersatu padu dalam dirimu seperti darah dalam pembuluhnya. Jika musuh-musuhmu ini memperoleh kekuatan, mereka akan melawan perintah dan nasehatmu. Tak akan mereka melawan bila meliaht betapa kerasnya akal.
Para perampok dan bajingan tak akan berkeliaran jika patroli polisi memadai

Ketika nafsu menguasai akal atau id mendominasi ego, maka orang tersebut tidak dapat berpikir dan bertindak secara rasional. Dia akan mengembangkan berbagai bentuk mekanisme pertahanan diri yang kurang sehat untuk membela diri sendiri. Mekanisme ini timbul ketika ego merasa terancam. Tujuannya tidak lain adalah  supaya ego merasa aman. Beberapa mekanisme pertahanan diri antara lain mekanisme represi, yaitu menekan berbagai hal yang tidak disukai atau keinginan yang tidak tersampaikan, ke dalam alam ketidak-sadaran. Mekanisme penolakan, yaitu menolak mengakui suatu kenyataan yang tidak sesuai dengan harapan. Dalam mekanisme proyeksi,  seseorang melihat sesuatu yang ada di luar dirinya atau pada orang lain, padahal semua itu ada pada dirinya sendiri. Jalaludin Rumi menggambarkan adanya kecenderungan mekanisme proyeksi tersebut dalam puisi di bawah ini:
O pembaca, berapa banyak kejahatan yang kau lihat dalam diri orang lain yang tak lain adalah pantulan dari sifat-sifatmu yang terdapat dalam diri mereka
Dalam diri mereka tampaklah semua dari dirimu: kemunafikan, kejahatan dan kesombongan
....
Bila kau telah sampai ke lubuk perigi sifat-sifatmu sendiri, maka kau akan mengetahui bahwa dosa apapun terdapat dalam dirimu sendiri.
            Mekanisme pertahanan diri yang sehat sangat dibutuhkan agar seseorang tidak mengalami keruntuhan pribadi ketika dirinya menghadapi persoalan. Tetapi ketika mekanisme pertahanan diri itu terlalu berlebihan, maka orang menjadi terasing dan semakin jauh dari dirinya. Dia tidak akan bisa melihat kejelekan dan kelemahan diri karena semua itu dinisbahkan kepada orang lain. Maka sebagian besar Sufi sangat menekankan pentingnya seseorang untuk mengenal dirinya sendiri, karena orang yang telah mengenal diri sendiri maka dia akan mengenal Allah. Sunan Bonang, salah satu sufi dalam wali songo memberi nasehat kepada muridnya:
Pedoman hidup sejati
Ialah mengenal hakikat diri
Karena itu, Wujil, kenali dirimu
Kenali dirimu yang sejati
Ingkari benda
Agar nafsumu tidur terlena
Dia yang mengenal diri
Nafsunya akan terkendali
Dan terlindung dari jalan
Sesat dan kebingungan
Kenal diri, tahu kelemahan diri
Selalu awas terhadap tindak tanduknya
Bila kau mengenal dirimu
Kau akan mengenal Tuhanmu
Kemampuan untuk mengenal diri sendiri seperti yang dikemukakan para sufi di atas juga ditekankan dalam psikologi modern. Misalnya, dalam setiap training psikologis yang dilaksanakan, seorang trainer akan mengawali dengan permainan ‘who am I?’ dengan menggunakan teknik Jauhari window. Namun pada umumnya pemahaman diri yang dikembangkan psikologi modern hanya terbatas pada aspek sosial-psikologis, belum menyentuh sisi metafisikal dan transcendental. Akibatnya sering muncul istilah ‘psikologi untuk anda’. Artinya orang belajar psikologi untuk mempelajari orang lain, semsntara pengetahuan tentang dirinya diabaikan. Psikologi Islam semestinya dapat mengisi kekurangan tersebut.         
Selain pengetahuan tentang diri yang sangat penting, psikologi modern juga perlu memahami konsep tentang ’hati’ dalam psikologi Islam. Istilah ini tidak merujuk pada hati secara fisik atau liver, tetapi hati nurani atau qolbu. Konsep hati memang ada kemiripan dengan konsep super ego dalam konsep psikoanalisa. Pada tahap tertentu memang hati nurani berisi nilai-nilai moral yang terinternalisasi dalam diri seseorang. Dalam pemikiran para sufi, makna hati jauh lebih luas dari itu. Hati inilah yang  merupakan pusat dari segala sesuatu yang terjadi dalam diri manusia. Dengan mengacu kepada sabda Nabi Muhammad saw, para Sufi mengatakan bahwa jika hati baik, maka baik lah seluruh tubuh manusia. Jika hati jelek maka jelek-lah seluruh diri manusia. Konsep ini sangat berbeda dengan konsep psikologi modren, khususnya psikologi kognitif, yang menganggap bahwa segala sesuatu dalam diri manusia tergantung bagaimana proses berpikirnya. Orang-orang yang mengalami gangguan psikologis dalam pandangan psikologi kognitif, disebabkan oleh kesalahan atau kekeliruan dalam proses berpikir. Oleh karena itu terapi kognitif sangat banyak digunakan dalam psikologi modern saat ini. Konsep tentang hati dalam psikologi Islam merupakan sebuah alternatif pemikiran yang sangat penting untuk dipertimbangkan.
Keluasan konsep hati dibandingkan dengan konsep super ego, adalah karena dalam pandangan para sufi, di dalam hati inilah ruh manusia bersemayam, dan melalui hati inilah manusia dapat mencapai pengalaman langsung berhubungan dengan Allah.
Muhammad Iqbal, seorang penyair sufistik dari Pakistan menulis:
tempat matahari terbit,
adalah lubuk terdalam hati kita
Sementara itu Jalaludin Rumi, berkata;
Jadi, pasukan manusia berasal dari dunia ruh: akal adalah menteri dan hati adalah sang raja
Suatu ketika hati ingat negeri ruh. Seluruh pasukan kembali dan memasuki dunia keabadian
            Dengan demikian dapat dipahami bahwa meskipun kosep nafsu dalam beberapa puisi sufi mirip dengan konsep id dalam psikologi modern,  konsep ego mirip dengan konsep akal dan konsep ego dapat disejajarkan dengan konsep hati, tetapi semua konsep tersebut memiliki makna yang lebih luas. Dengan demikian konsep kepribadian dari psikologi Islam menjangkau dimensi yang tidak atau belum terjangkau oleh psikologi modern.

Psikoterapi

            Salah satu cabang psikologi yang terus berkembang sejak munculnya psikologi modern adalah bidang psikoterapi. Teori psikoanalisis yang dikembangkan Sigmund Freud tidak hanya membahas konsep kepribadian manusia, tetapi juga beberapa teknik psikoterapi, yang sekarang dimasukkan dalam kategori terapi aliran psikodinamik, yaitu terapi ini yang menekankan aspek ketidaksadaran. Terapi aliran humanistik menekankan aspek hubungan yang baik dengan sesama manusia. Sementara itu  aliran psikoterapi perilakuan (behavioristik) menekankan aspek proses belajar. Dikatakan bahwa berbagai bentuk gangguan jiwa disebabkan adanya kesalahan dalam proses belajar, sehingga untuk mengubahnya, orang harus melakukan proses ‘belajar kembali’ (re-learning). Teknik behaviorisme klasik saat ini telah berkembang menjadi terapi kognitif, yang menyatakan bahwa berbagai gangguan psikologis adalah disebabkan karena kesalahan berpikir. Misalnya, seorang yang mengalami gangguan depresi, ternyata karena dia terlalu banyak melihat sisi negatif dari semua peristiwa yang dialami dan mengabaikan sisi positif. Oleh karena itu untuk menghilangkan gangguan tersebut dia harus belajar memahami pengalaman-pengalaman tersebut dengan menggunakan frame work yang lain.
Sejumlah puisi para sufi memiliki unsur terapis yang sangat dalam, yang mampu merubah diri manusia menjadi lebih baik. Ketika orang menghadapi berbagai masalah, puisi-puisi tersebut dapat mejadi terapi yang efektif. Misalnya Jalaludin Rumi memberi nasehat pada orang yang sedang menghadapi berbagai permasalahan hidup.  
Menjadi manusia adalah menjadi wisma tamu.
Setiap pagi datang dengan tamu yang baru.

Kegembiraan, kesedihan, atau sifat buruk
sedikit pengetahuan diri hadir sebentar
sebagai tamu yang singgah tanpa perjanjian.
Sambut, dan jamulah mereka semuanya!
Biarpun tamumu hanya sekerumunan nestapa
yang melanda rumahmu dengan kasar
dan mengangkut segala isinya,
tetaplah temui setiap tamu dengan mulia.
Bisa jadi ia sedang mengosongkanmu
demi akan datangnya banyak kebahagiaan baru.

Niat buruk, rendah diri, dengki,
sambutlah mereka di pintu dengan tertawa,
dan ajak mereka masuk.

Bersyukurlah
atas apa pun yang diturunkan untukmu,
karena setiap tamu adalah utusan
dari sisi-Nya, sebagai penunjuk jalanmu.

            Puisi di atas menggambarkan bagaimana orang bersikap menghadapi berbagai persoalan kehidupan: kesedihan, duka nestapa, keruwetan, atau bahkan kegembiraan dan kesenangan. Rumi menasehati supaya semua itu diterima dengn senang hati. Bahkan perlu disyukuri, karena semua membawa pesan dan hikmah tersendiri. Penerimaan, bahkan mensyukuri kesulitan yang dialami, merupakan salah satu teknik psikoterapi yang banyak disarankan para ahli. Dari perspektif terapi kognitif, merubah pikiran negatif menjadi pikiran yang positif dan rasional merupakan teknik yang banyak diterapkan untuk mengatasi depresi. Dalam terapi humanistik, menerima emosi negatif merupakan jalan yang paling baik untuk mengatasi dampak yang timbul. Bahkan dalam terapi aliran psikologi positif sekarang banyak dikembangkan teknik kebersyukuran (gratitude therapy). Orang dilatih untuk mensyukuri dan melihat sisi positif dari semua hal yang dialami. Dalam puisi yang berjudul Hikmah Kesengsaraan,  Rumi juga memberikan metode yang sama dengan melihat dampak jangka panjang dari penderitaan yang dialami.
Lihatlah buncis dalam periuk, betapa ia meloncat-loncat selama menjadi sasaran api.
Ketika direbus, ia selalu timbul ke permukaan, merintih terus-menerus tiada henti,
”Mengapa engkau letakkan api di bawahku? Engkau membeliku: Mengapa kini kau siksa aku seperti ini?
Sang isteri memukulnya dnegan penyedok. ”Sekarang,” katanya, ”Jadi benar-benar matanglah kau dan jangan meloncat lari dari yang menyalakan api.
Aku merebusmu, namun bukan karena kau membangkitkan kebencian-ku; sebaliknya, inilah yang membuatmu menjadi lebih lezat
Dan menjadi gizi serta bercampur dengan jiwa yang hidup: kesengsaraan bukanlah penghinaan.


Selain aspek psikoterapi secara umum yang dapat ditemukan dalam puisi Jalaludin Rumi di atas, konsep psikoterapi Islam dapat ditemukan dalam lirik puisi yang digubah oleh Sunan Bonang, yang sangat popular di masyarakat Indonesia, yaitu dalam lagu Tombo Ati (Obat hati):
Tombo ati iku limo perkorone
Kaping pisan moco Qur’an lan maknane
Kaping pindho sholat wengi lakonono
Kaping telu wong kang sholeh kumpulono
Kaping papat weteng iro ingkang luwe
Kaping limo dzikir wengi ingkang suwe
Salah sawijine sopo biso ngelakoni
Mugi-mugi Gusti Allah nyembadani
Obat hati ada lima perkara
Yang pertama membaca al Qur’an dan memahami artinya
Yang kedua sholat malam laksanakanlah
Yang ketiga berkumpullah dengan orang-orang sholeh
Yang keempat perut anda harus dikosongkan
Yang kelima dzikir malam kerjakanlah
Salah satunya siapa yang bisa melaksanakan
Semoga Allah memberkahi

 

            Kajian-kajian ilmiah ternyata banyak memberikan dukungan pada teknik terapi yang disarankan oleh Sunan Bonang di atas. Yang pertama, membaca Al Qur’an merupakan salah satu terapi religius yang penting. Muhammad Sholeh mengutip tulisan dari Malik Badri yang melaporkan hasil penelitian di Florida, Amerika Serikat. Penelitian itu berhasil membuktikan bahwa orang yang membaca atau orang yang mendengarkan bacaan Al Qur’an,  ternyata menunjukkan perubahan emosi seperti penurunan depresi dan kesedihan, sebaliknya terjadi peningkatan rasa ketenangan. Selain itu juga terjadi perubahan-perubahan fisiologis seperti detak jantung, ketahanan otot, dan ketahanan kulit yang berpengaruh pada kondisi tubuh seseorang
Selain membaca Al-Qur'an, membaca puisi religius juga dapat menjadi terapi efektif.  Saloom mengemukakan bahwa  beberapa psikoterapis di Iran mengajak kepada pasien mereka untuk membaca puisi karya para sufi, antara lain Rumi, Sa’di, Hafez, dan Omar Kayyam, khususnya puisi yang mengandung unsur motivasi dan harapan. Mereka mengklaim hasil yang positif dari terapi tersebut.
Aspek terapi sholat telah banyak dibahas oleh para ahli. Misalnya Sentot Haryanto mengungkapkan bahwa shalat memiliki aspek terapi relaksasi dan aspek meditasi yang dapat menenangkan perasaan. Shalat juga berfungsi sebagai media katarsis untuk menungkapkan berbagai persoalan yang mengganggu pikiran. Selain itu juga memiliki pengaruh sebagai terapi autosugesti yang dapat mempengaruhi diri secara positif dan terapi.   Sementara itu M.A. Subandi mengungkapkan berbagai pengalaman yang ditemui oleh orang-orang yang secara intensif melaksanakan dzikir, antara lain kesembuhan dari penyakit fisik maupun dari gangguan psikologis.

Penutup

            Artikel ini telah menunjukkan bahwa konsep-konsep ilmiah dalam psikologi tidak hanya dapat dikembangkan berdasarkan hasil penelitian empirik. Berbagai tulisan para tokoh atau para filsuf dapat menjadi rujukan yang berharga. Termasuk juga karya sastra para sufi, khususnya puisi. Karya sastra para sufi, baik yang klasik maupun modern, mulai dari Persia, Pakistan sampai Indonesia memiliki unsur psikologis yang sangat berharga untuk pengembangan psikologi Islam dan sebagai alternatif pemikiran bagi psikologi (Barat) modern. Penelusuran lebih jauh perlu dilakukan untuk mengembangkan satu bentuk teori atau konsep psikologi
Tulisan ini juga dapat menjadi sebuah model penelitian kualitatif dalam psikologi (Islam) dengan menggunakan karya sastra sebagai sumber data yang utama.  Ketika dipadukan dengan penelitian kuantitatif yang menjadi mainstream dalam psikologi, akan dapat menghasilkan psikologi yang lebih utuh.

Daftar Pustaka

Abdul  Hadi W.M. 1985. Rumi: Sufi dan Penyair. Bandung: Pustaka.
______________. 1985. Sastra Sufi: Sebuah Antologi. Jakarta: Pustaka Firdaus.
______________. 2007. ”Sastra Pesisir Jawa Timur: Suluk-suluk Sunan Bonang” dalam http://ahmadsamantho.wordpress.com/2007/05/22/sastra-pesisir-jawa-timur-suluk-suluk-sunan-bonang/. Diunduh. 10 Juli 2010.

Dicky Hatjaryo. 2003. “Mengenal Sepintas Psikologi Evolusioner”. Buletin Psikologi Fakultas Psikologi UGM, 9 (2), 83-94.
Djamaludin Ancok & Fuad Nashori. 1995. Psikologi Islami: Solusi Islam atas problem-problem Psikologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Fuad Nashori  (ed). 1994. Membangun Paradigma Psikologi Islam. Yogyakarta: Sipres.
___________. 1997. Psikologi Islami: Agenda Menuju Aksi. Yogyakarta: Penerbit Pustaka.
Hana Djumhana Bastaman. 1995. Integrasi Psikologi dengan Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
http://peacefulrivers.homestead.com/Rumipoetry2.html,  diunduh 10 Juli 2010.
http://syairsyiar.blogspot.com/, diunduh 10 Juli 2010
Javad Nurbakhsy. 2008. Psikologi Sufi, terj. Arief Rachmat. Yogyakarta: Pyramedia
Malik. B. Badri 1994. The Dilemma of Moslem Psychologist. terj. Siti Zainab Luxfiati. Jakarta: Pustaka Firdaus.
Mohammad Shafii. 2004. Psikoanalisis dan Sufisme, terj M.A. Subandi dan tim. Yogyakarta: Campus Press.
Muhammad Sholeh. 2006. Terapi Shalat tahajud. Menyembuhkan berbagai penyakit. Jakarta: Hikmah.
Sachiko Murata,. 1996. The Tao of Islam: Kitab Rujukan Relasi Gender dalam Kosmologi dan Teologi Islam, terj. Rahmani Astuti dan M.S. Nasrullah. Bandung: Penerbit Mizan.
Saeed Shamloo. 2010. “Psychotherapy in Iran” dalam www.iranpa.org/pdf/007.pdf. Diunduh pada 7 Juli 2010
Sentot Haryanto . 2002. Psikologi Sholat. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Subandi, M.A. 2009. Psikologi Dzikir: Studi Fenomenologi Pengalaman Transformasi Religius. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
William C. Chittick,  1989. Sufi Path of Knowledge: Ibn al-'Arabi's Metaphysics of Imagination.  Albany, NY: State University of New York Press.
William C. Chittick,  2001. Jalan Cinta Sang Sufi: Ajaran-ajaran spiritual Jalaludin Rumi. Terj. M. Sadat Ismail dan Achmat Nidjam. Yogyakarta: Penerbit Qalam

* Staf Pengajar Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada. Mendapatkan gelar PhD dari University of Adelaide, Australia. Kontak email: masubandi@yahoo.com
William C. Chittick, Sufi Path of Knowledge: Ibn al-'Arabi's Metaphysics of Imagination, (Albany, NY: State University of New York Press, 1989), hal. 31-76.
Ibid. hal. 77-138
Ibid. hal 145-186
Sachiko Murata, The Tao of Islam: Kitab Rujukan Relasi Gender dalam Kosmologi dan Teologi Islam, terj. Rahmani Astuti dan M.S. Nasrullah, (Bandung: Penerbit Mizan, 1996), hal. 165-298
Ibid. hal 299-414
Javad Nurbakhsy, Psikologi Sufi, terj. Arief Rachmat, (Yogyakarta: Pyramedia, 2008), hal. 228-241
Abdul Hadi, Sastra Sufi: Sebuah Antologi, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1985).
Beberapa tokoh lebih suka menggunakan istilah Psikologi Islami, sementara yang lain menggunakan istilah Psikologi Islam. Di dalam paper ini kedua istilah itu digunakan secara silih bergantian, karena kedua istilah tersebut mengacu kepada hal yang secara esensial adalah sama.
Malik. B. Badri, The Dilemma of Moslem Psychologist, terj. Siti Zainab Luxfiati, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994),
Hana Djumhana Bastaman, Integrasi Psikologi dengan Islam,  (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995).
Djamaludin Ancok, & Fuad Nashori, Psikologi Islami: Solusi Islam atas Problem-problem Psikologi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995).
http://syairsyiar.blogspot.com/, diunduh 10 Juli 2010
Mohammad Shafii, Psikoanalisis dan Sufisme, terj M.A. Subandi dan tim. (Yogyakarta: Campus Press, 2004). hal. 7
Ibid. hal 6
Ibid., hal. 6
Dicky Hatjaryo, Mengenal Sepintas Psikologi Evolusioner”. Buletin Psikologi  No. 9 Thn ke 2 (Juli, 2003)  hal 83-94.
Mohammad Shafii, Psikoanalisis dan Sufisme , op.cit.,  hal. 52.
Ibid. hal 5
Abdul  Hadi W.M.  Rumi: Sufi dan Penyair. opcit  hal 15
http://www.hotlyrics.net/lyrics/E/Emha_Ainun_Nadjib/Tak_Sudah_Sudah.html, diunduh 29 September 2010
William C. Chittick,  Jalan Cinta Sang Sufi: Ajaran-ajaran spiritual Jalaludin Rumi. Terj. M. Sadat Ismail dan Achmat Nidjam. (Yogyakarta: Penerbit Qalam, 2001)hal. 50
Abdul Hadi W.M. 1985. Sastra Sufi: Sebuah Antologi.  Opcit hal. 7
Ibid., hal.7
Abdul Hadi W.M.  Sastra Sufi: Sebuah Antologi. opcit. hal. 19
Abdul Hadi. W.M. “Sastra Pesisir Jawa Timur: Suluk-suluk Sunan Bonang” dalam http://ahmadsamantho.wordpress.com/2007/05/22/sastra-pesisir-jawa-timur-suluk-suluk-sunan-bonang/. Diunduh. 10 Juli 2010.
Abdul Hadi W.M. Sastra Sufi: Sebuah Antologi. Opcit hal. 272
William C. Chittick,  Jalan Cinta Sang Sufi: Ajaran-ajaran spiritual Jalaludin Rumi,  opcit., hal. 58
http://peacefulrivers.homestead.com/Rumipoetry2.html. Diunduh 10 Juli 2010.
http://syairsyiar.blogspot.com/, diunduh 10 Juli 2010
Muhammad Sholeh. 2006. Terapi Shalat tahajud. Menyembuhkan berbagai penyakit. Jakarta: Hikmah. h. 104
Saeed Shamloo, “Psychotherapy in Iran” dalam www.iranpa.org/pdf/007.pdf. Diunduh pada 7 Juli 2010.
Sentot Haryanto, Psikologi Sholat, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), hal. 76-86
Ibid. hal. 87
Ibid. hal. 88
M.A. Subandi, Psikologi Dzikir: Studi Fenomenologi Pengalaman Transformasi Religius, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), hal. 88-90