Rasulullah SAW tidak merayakan Maulid,
haramkah hukumnya? Umat Islam merayakan Maulid,
bid’ahkah merayakannya?
Memaparkan legalitas syari’at perayaan Maulid Nabi menjadi sedemikian penting mengingat kini semakin banyaknya tuduhan, ”... yang ditujukan pada umat Islam yang merayakan Maulid sebagai pelaku bid’ah tercela, bahkan hingga memasukkan mereka sebagai ahli neraka yang kekal di dalam neraka selama-lamanya,” demikian di antara yang disampaikan Ustadz Muhammad Ahmad Vad’aq, penulis buku Bahas Cerdas & Kupas Tuntas – Dalil Syar’i Maulid Nabi, dalam pengantar karyanya tersebut.
Mereka, yang sesungguhnya merupakan golongan minoritas itu, tak pernah mau mendengar dalil orang lain, selalu menyikapi segala perbedaan dengan hitam-putih, benar-salah, surga-neraka, hingga dalam hal ini, mereka sampai mengeluarkan fatwa mengharamkan seluruh hidangan Maulid, bahkan disebutkan, keharamannya lebih haram dari memakan hewan babi.
Na’udzubillah, kami berlindung kepada Allah, dari pejuang nafsu yang selalu merasa benar sendiri,” tulis Ustadz Muhammad.
”Rasulullah SAW tidak merayakan Maulid, haramkah hukumnya? Umat Islam merayakan Maulid, bid’ahkah merayakannya?” Dua kalimat tanya ini tertulis besar di bawah judul karya Ustadz Muhammad. Memang, bagi kebanyakan orang, mungkin dua hal itu yang sering menggelayut dalam pikiran mereka, dan ketika mereka keliru dalam menyimpulkan, maka tuduhan demi tuduhan tak berdasarlah yang mereka lontarkan.
Demi memaparkan penjelasan atas masalah ini secara cerdas dan mengupasnya secara tuntas, Ustadz Muhammad membagi pembahasan di buku ini menjadi tiga pokok pembahasan.
Pertama, penjelasan makna tark, yaitu tentang perbuatan yang tidak dikerjakan oleh Nabi. Pembahasan ini untuk menjawab kalimat tanya pertama di atas, Rasulullah SAW tidak merayakan Maulid, haramkah hukumnya?
Kedua, penjelasan makna bid’ah dan kaitannya dengan Maulid Nabi SAW. Pembahasan yang kedua ini ditujukan untuk menjelaskan pada pembaca terhadap kalimat tanya yang kedua, umat Islam merayakan Maulid, bid’ahkah merayakannya?
Bukan hanya dalam masalah Maulid, dua pembahasan di atas, seyogyanya menjadi dasar bagi setiap muslim untuk memahami setiap permasalahan syariat, agar umat tidak mudah menuding sesama saudaranya yang lain.
Pembahasan yang terakhir, yaitu pembahasan yang ketiga, Ustadz Muhammad mengurai dalil-dalil syar’i yang melatarbelakangi diselenggarakannya Maulid Nabi itu sendiri. Setelah memahami dasar-dasar yang tepat dalam menilai sebuah amaliyah, bagian yang terakhir ini secara khusus akan semakin membuka pandangan bagi insan muslim atas hujjah-hujjah syar’iyyah dalam peringatan Maulid Nabi SAW.
Sebagai pelengkap pembahasan, Ustadz Muhammad menyertakan secara utuh terjemah dari kitab Husn al-Maqshad fi ’Amal al-Maulid, karya Imam Suyuthi, yang memaparkan secara khusus perihal dasar-dasar argumentasi keagamaan di balik penyelenggaraan Maulid Nabi SAW.
Kaidah Ibn Taimiyah
Law kana khairan lasabaquna ilayh. Maknanya, kalau perkara itu baik pasti para salaf telah melakukannya. Kaidah yang dirumuskan Ibn Taimiyah ini menjadi salah satu dasar utama bagi orang-orang yang menolak amaliyah Maulid Nabi. Bahkan, orang-orang itu hendak menilai (baca: menyelesaikan) semua urusan agama ini hanya dengan kaidah tersebut.
”Sayangnya, dengan kaidah ini orang-orang bodoh itu semakin membeku. Mereka semakin sulit diajak berdiskusi, semakin menikmati fatwa-fatwa yang tidak populer, sampai akhirnya tumbuh suburlah para penyesat umat, yang berpendapat dengan tanpa mendengar dalil orang. Bahkan, kaidah yang mereka buat ini mereka tempatkan pada tempat yang lebih utama dari dalil-dalil syar’i,” tulis Ustadz Muhammad lagi menjelaskan perihal kaidah tersebut.
Padahal, apapun yang dikuatkan dengan dalil-dalil syar’i itu baik adanya, bukan bid’ah, karena Allah SWT berfirman, “Dan perbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat kemenangan.” – QS. Al-Hajj: 77
Al-Hafizh Ibnu Hajar dan kalangan yang sependapat menilai, Nabi SAW mengingatkan keutamaan merayakan Maulid melalui kesimpulan umum yang diambil dari hadits tentang puasa Asyura. Hadits ini menegaskan legalitas puasa peringatan tahunan sebagai wujud syukur kepada Allah SWT atas nikmat selamatnya Nabi Musa.
Hadits tersebut menjelaskan bahwa yang dimaksud dari puasa mengingat hari kelahiran adalah sebagai wujud rasa syukur. Setiap tindakan yang bisa mewujudkan rasa syukur secara syari’at dianjurkan, karena syukur adalah sebab hukum. Dan semua ibadah dalam hal ini, yang hukumnya sama seperti puasa mengingat hari kelahiran menurut kesepakatan ulama, sepertinya sudah menjadi kesepakatan tertulis di antara mereka, atau diqiyaskan seperti itu menurut sebagian lainnya. Terkait dengan hal-hal mubah, selain ibadah yang mengungkapkan rasa senang, asal hukumnya boleh-boleh saja, tidak ada dalil yang melarang demikian.
Ibnu Taimiyah menilai, salaf tidak pernah merayakan Maulid. Andai hal itu baik tentu mereka sudah terlebih dulu melakukannya sebelum kita. Jadi, menurut mereka Maulid hukumnya adalah bid’ah.
Imam Suyuthi menanggapi, tidak ada pernyataan salaf yang mencegah dan menganjurkan perayaan Maulid, mereka bersikap abstain sementara hadits di atas adalah dalil kuat. Berdasarkan ijma’, hadits lebih dikedepankan dari sikap abstain dan tidak adanya riwayat yang termasuk dalam istilah istishhab pada masalah itu. Istishhab adalah pemberlakuan hukum terhadap suatu perkara di masa selanjutnya atas dasar bahwa hukum itu telah berlaku sebelumnya.
Antara Inkar dan Ijtihad
Rasulullah SAW bersabda, “Ketika hakim memutuskan sesuatu kemudian berijtihad dan benar, ia mendapat dua pahala, namun ketika memutuskan sesuatu kemudian berijtihad dan salah, ia mendapat satu pahala.”
Hadits di atas secara tegas menyatakan orang yang salah dalam berijtihad bukan berarti melakukan amalan bid’ah ataupun sesat karena Allah SWT tidak memberi pahala bid’ah, bahkan setiap bid’ah itu sesat dan setiap kesesatan itu (tempatnya) di neraka.
Ada beberapa kemungkinan bagi kalangan yang menyesatkan kelompok lain dalam masalah peringatan Maulid ini.
Pertama, mereka tak mengetahui kaidah di atas. Kedua, mereka pura-pura tidak tahu adanya argumentasi pihak yang berseberangan, yang disebabkan adanya faktor dan tujuan pribadi. Ketiga, mereka mengira masalah ini dan masalah-masalah serupa lainnya bukan masalah ijtihad, tapi sesuatu yang sudah jelas, sehingga dengan mudah ia menyesatkan orang lain yang berpaling atau menentang masalah ini.
Dengan alasan apapun, siapapun yang menganjurkan perayaan Maulid, tidak bisa dan tidak laik dituduh menentang ajaran-ajaran yang telah jelas. Perhatikan siapakah mereka yang dituduh seperti itu; mereka adalah para imam terpercaya, seperti Al-Hafizh Ibnu Hajar dan Al-Hafizh As-Suyuthi; lalu perhatikan siapa Anda, para pengingkar anjuran perayaan Maulid itu, yang gemar membawa pandangan sembrono sampai menyatakan bahwa para imam besar itu tidak boleh diikuti karena pendapatnya keliru.
Anda, yang tidak sependapat dengan anjuran merayakan Maulid, menganggap mereka keliru? Baik. Pertanyaannya, apakah para imam terpercaya itu keliru dengan menyalahi pengamalan agama yang nashnya jelas dan tegas, ataukah mereka keliru dalam masalah-masalah ijtihad?
Jika para imam tersebut keliru dengan menyalahi ajaran-ajaran agama yang sudah jelas hukumnya, berarti kesalahan tersebut adalah sikap pembangkangan. Allah SWT berfirman mengenai orang-orang yang berbuat demikian, “Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka. Mereka itulah orang-orang yang mendapat siksa yang berat.” – QS. Ali ‘Imran [3]: 105
Apakah ini laik bagi imam-imam seperti Ibnu Hajar dan As-Suyuthi? Jika mereka keliru dalam masalah-masalah ijtihad, toh Nabi SAW bersabda, “Ketika hakim memutuskan sesuatu kemudian berijtihad dan benar, ia mendapat dua pahala, namun ketika memutuskan sesuatu kemudian berijtihad dan salah, ia mendapat satu pahala.”
Dan Allah SWT tidak memberi pahala untuk bid’ah.
Ijtihad Bukan Kebenaran Absolut
Anda tidak bisa membid’ahkan dan menyatakan Ibnu Hajar sesat dan berbuat bid’ah, meski menurut Anda hal itu salah. Boleh jadi, justru Anda yang salah. Jika Anda, atau ulama panutan Anda, berpendapat bahwa perayaan Maulid itu keliru, lalu merayakannya, itu baru berarti Anda melakukan bid’ah dan Anda sesat. Sementara bagi yang tidak sependapat dengan Anda, tidak seperti itu.
Disebutkan, Imam Ahmad bin Hanbal dan para pengikutnya berdoa, “Ya Allah aku memohon kepadamu dengan perantara Nabi-Mu, ampunilah aku.”
Ia melakukan sesuatu yang menurutnya baik, dan mendapat dua pahala jika benar, atau satu pahala jika salah. Lain halnya kalau yang berdoa itu adalah Ibnu Taimiyah, Muhammad bin Abdul Wahhab, Al-Albani, atau para pengikutnya, yang berpandangan doa dengan bertawassul adalah suatu hal yang bid’ah dan sesat. Kalau mereka berdoa dengan ucapan itu, mereka menanggung dosa dan hukumannya. Hal senada berlaku dalam semua masalah ijtihad yang diperdebatkan, baik yang dianjurkan atau dilarang.
Dalam masalah-masalah ijtihad, mujtahid tidak harus puas dengan dalil-dalil pihak yang berseberangan, tapi masing-masing kubu harus puas dengan adanya kemungkinan, bahwa salah satu di antara kedua pihak adalah salah, seperti yang Rasulullah SAW sampaikan dalam sebuah wasiat yang beliau sampaikan pada seorang komandan pasukan, “Karena kau tidak tahu apakah putusanmu sesuai hukum Allah terhadap mereka itu ataukah tidak.”
Hadits ini secara tegas menyatakan, seorang mujtahid tidak bisa memastikan dirinya pasti benar dan kalangan yang tidak sependapat pasti salah.
Maulid di Mata para Hafizh Kita, yang tinggal di Nusantara, mungkin hanya mengenal sedikit kitab Maulid. Padahal kitab Maulid karya para ulama itu jumlahnya sangat banyak, lantaran perhatian khusus mereka terhadap momentum agung tersebut. Sebagiannya disusun oleh para hafizh, orang-orang yang dalam hidupnya ”tenggelam” dalam bahtera hadits Rasulullah SAW. Di bawah ini nama sebagian di antara mereka itu.
Al-Hafizh Muhammad bin Abubakar Al-Qisi Asy-Syafi’i, lebih populer sebagai Ibnu Nashiruddin Ad-Dimasyqi (777-842), seorang imam besar, ahli hadits dan sejarah dengan kekuatan hafalan yang gemilang, menulis kitab Maulid Al-Lafzhu ar-Raiq fi Maulid Khairi al-Khalaiq.
Al-Hafizh Abubakar bin Abdurrahim Al-Mashri, imam yang sangat tersohor di kalangan para imam ahli hadits, lebih dikenal dengan Al-’Iraqi (725-707), sandaran para ulama dalam masalah yang pelik dan rumit, menulis kitab Maulid Al-Maurid al-Hani fi al-Maulid as-Sani.
Al-Hafizh As-Sakhawi, Muhammad bin Abdurrahman Al-Qahiri As-Sakhawi (831-902). Imam Syaukani memujinya, “Aku tak pernah melihat seorang hafizh generasi akhir yang melebihi As-Sakhawi dalam kekuatan hafalannya.” Ia menulis kitab Maulid Nabi SAW sebagaimana yang di kutip oleh pengarang kitab Kasyf azh-Zhunun.
Al-Hafizh Mula Ali Al-Qari (1014) pengarang kitab syarh Al-Misykah. Ia juga menulis kitab Maulid berjudul Al-Maurid ar-Rawi fi al-Maulid an-Nabi.
Al-Hafizh Ibnu Katsir Ismail bin Umar bin Katsir, seorang mufassir tersohor, ia juga menulis kitab Maulid yang baru-baru ini dicetak dan ditahqiq oleh Dr. Shalahuddin.
Al-Hafizh Ibnu Ad-Daiba’i Wajihuddin ibnu Abdurrahman Asy-Syaibani Al-Yamani (866-944), seorang yang sangat populer di zamannya. Kitab maulidnya sangat dikenal di penjuru dunia termasuk di Indonesia, yaitu yang biasa disebut Maulid Ad-Diba’.
Dunia Islam menyematkan gelar “al-hafizh” kepada para ulama ahli hadits yang memiliki hafalan lebih dari seratus ribu hadits (pendapat lain menyebut angka tiga ratus ribu hadits) baik matan (redaksi) maupun sanad (mata rantai periwayatan)-nya. Mereka adalah para hafizh yang lebih memahami hadits dari para pengingkar Maulid.
Tidakkah kita bisa berbaik sangka sedikit pun, apalagi kepada para ulama seperti mereka? Bahkan seringkali vonis bid’ah, kafir, dan syirik terlontarkan kepada mereka, hanya dengan bermodalkan dalil kullu bid’atin dhalalah, tanpa mau mendengar pendapat para ulama yang lebih alim dan lebih wara’. Semoga Allah SWT menyadarkan kita semua dari rasa angkuh dalam memahami kebenaran dan mengikutinya.
Memahami Tark
Maksud tark yang menjadi tujuan penulisan risalah singkat ini, adalah suatu amalan yang ditinggalkan dan tidak dilakukan Nabi SAW, atau ditinggalkan oleh salafush shalih, tanpa adanya hadits atau atsar yang melarang amalan yang ditinggalkan tersebut, yang menunjukkan perbuatan tersebut haram atau makruh.
Ulama kalangan mutaakhir sering menggunakan dalil tark untuk mengharamkan atau mencela berbagai hal, bahkan sebagian kalangan terlalu berlebihan menggunakan dalil ini. Ibnu Taimiyah memakai dan menjadikan ini sebagai sandaran dalam menghukumi berbagai hal, seperti yang akan dibahas berikutnya.
Ketahuilah, ketika Nabi SAW meninggalkan (tidak mengerjakan) sesuatu amalan, ada beberapa kemungkinan amalan tersebut tidak dilarang, yaitu karena beberapa sebab berikut ini:
Pertama, karena beliau tidak biasa terhadap sesuatu itu. Contohnya, suatu ketika Nabi SAW diberi biawak bakar. Beliau menjulurkan tangan. Kemudian ada yang berkata, “Itu biawak.” Maka beliau pun tak jadi memungutnya.
Kemudian ada yang bertanya, “Apakah itu haram?”
Nabi SAW menjawab, “Tidak, hanya saja hewan ini tidak terdapat di kawasan kaumku, aku pun merasa jijik.”
Hadits ini tertera dalam kitab Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim. Ini menunjukkan dua hal, yaitu bahwa meninggalkan sesuatu bagi Nabi SAW, meski setelah beliau hampir melakukannya, tidaklah menunjukkan sesuatu tersebut haram, dan bahwa jijik terhadap sesuatu bukan berarti mengharamkan sesuatu itu.
Kedua, karena beliau lupa. Contohnya, Nabi SAW pernah lupa dalam shalat, meninggalkan salah satu bagian shalat kemudian beliau ditanya, “Apakah terjadi sesuatu dalam shalat?”
Nabi SAW menjawab, “Aku hanya manusia biasa, aku lupa seperti halnya kalian. Jika aku lupa, ingatkan.”
Ketiga, karena beliau khawatir amalan tersebut diwajibkan terhadap umat. Contohnya, Nabi SAW meninggalkan shalat Tarawih saat para sahabat telah berkumpul untuk shalat bersama beliau.
Keempat, karena tidak terpikirkan dan tidak terlintas di benak beliau. Contohnya, pada mulanya Nabi SAW khutbah shalat Jum’at di atas kayu kurma. Tak terpikirkan oleh beliau untuk membuat mimbar sebagai tempat berkhutbah. Saat ada yang mengusulkan pembuatan mimbar, beliau setuju dan mengakui hal itu, karena khutbah di atas mimbar lebih mengena untuk pendengaran hadirin. Para sahabat juga mengusulkan untuk membuatkan tempat duduk dari tanah untuk Nabi SAW, agar dikenali utusan asing yang datang menemui beliau. Beliau menyetujui usulan itu, karena sebelumnya sama sekali tidak terpikirkan untuk itu.
Kelima, karena sesuatu itu sudah termasuk dalam penjelasan umum ayat-ayat Al-Qur‘an atau hadits. Contohnya, Nabi SAW meninggalkan shalat Dhuha dan banyak sekali amalan-amalan lain yang dianjurkan, karena sudah termasuk dalam penjelasan umum firman Allah SWT: “Dan perbuatlah kebajikan, supaya kalian mendapat kemenangan.” – QS. Al-Hajj: 77
Keenam, karena beliau khawatir sesuatu itu mengubah hati para sahabat atau sebagian sahabat. Contohnya, sabda Nabi SAW kepada Aisyah, “Andai saja kaummu tidak baru saja masuk Islam, tentu aku robohkan Ka’bah kemudian aku bangun lagi sesuai pondasi Ibrahim, karena kaum Quraisy memperkecil bangunannya.”
Hadits ini tertera dalam dua kitab hadits shahih utama, Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim. Secara tegas dijelaskan, Nabi SAW tidak merobohkan Ka’bah dan mengembalikannya ke posisi semula, semata dilakukan untuk menjaga hati para sahabat di Makkah yang baru masuk Islam. Tindakan ini memungkinkan adanya alasan lain yang bisa diketahui dengan cara mencermati kitab-kitab hadits.
Meninggalkan, Bukan Melarang
Larangan adalah sesuatu yang haram, yang memang harus ditinggalkan. Masalah larangan adalah satu hal, dan masalah tark adalah satu hal lainnya lagi. Tidak ada satu pun hadits atau atsar yang secara tegas menyatakan bahwa sesuatu yang tidak dikerjakan Nabi SAW serta merta menjadi sesuatu yang haram.
Dijelaskan dalam Ar-Radd al-Muhkam al-Matîn, tentang meninggalkan sesuatu tidak menunjukkan sesuatu tersebut dilarang. Berikut ini penjelasannya:
“Meninggalkan suatu amalan saja tanpa disertai nash lain yang menunjukkan bahwa hal tersebut terlarang, bukanlah hujjah yang melarang sesuatu tersebut, meskipun pada akhirnya memang meninggalkan sesuatu tersebut ternyata disyari’atkan. Ada dua hal yang perlu diperhatikan dari kasus semacam ini: Pertama, sesuatu yang ditinggalkan tersebut dilarang, namun pelarangan ini bukan karena sesuatu tersebut ditinggalkan. Kedua, ada dalil lain yang menunjukkan sesuatu tersebut dilarang.
Imam Abu Sa’id bin Lubb juga menyebutkan kaidah ini. Ia menyampaikan bantahan terhadap kalangan yang memakruhkan berdoa seusai shalat, yang selalu berhujjah bahwa merutinkan hal tersebut, tidak pernah dilakukan kalangan salaf. Dengan asumsi penukilan ini benar, meninggalkan sesuatu justru menunjukkan amalan tersebut boleh dan tidak berdosa dilakukan, bukan berarti amalan tersebut haram atau makruh, terlebih bagi amalan yang secara garis besar ada landasan hukumnya dalam syari’at, seperti doa.
Nabi SAW tidak pernah puasa sebulan penuh selain puasa Ramadhan. Ini juga tidak menunjukkan bahwa makruh hukumnya puasa sunnah sebulan penuh.”
Demikian teks-teks yang secara tegas menunjukkan bahwa meninggalkan sesuatu amalan bukan berarti amalan tersebut makruh, apalagi haram.
Sebagian kalangan yang bersikap berlebihan, mereka mengingkari kaidah ini dan tidak mengakuinya sebagai salah satu bagian dari ilmu ushul. Ini menunjukkan, pengingkaran terhadap dalil ini semata disebabkan kebodohan dan akal tidak sehat.
Adapun mengenai larangan dalam syari’at, berikut kami jelaskan dalil-dalil larangan:
Pertama; yang menunjukkan pengharaman ada tiga. Satu, larangan. Contoh, “Jangan mendekati zina, jangan memakan harta di antara sesamamu dengan cara bathil.” Dua, pengharaman. Contoh, “Diharamkan bagimu bangkai,” dan seterusnya. Tiga, celaan atau ancaman siksa atas suatu perbuatan. Contoh, “Barangsiapa menipu, ia bukan golongan kami.”
Dan meninggalkan suatu amalan tidak termasuk dalam tiga kategori ini. Dengan demikian meninggalkan sesuatu tidak menunjukkan larangan.
Kedua; Allah SWT berfirman, “Apa yang disampaikan Rasul kepadamu, terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, tinggalkanlah.” – QS. Al-Hasyr [59]: 7
Allah SWT tidak menyatakan, “Apa yang ia tinggalkan, tinggalkanlah.” Dengan demikian, meninggalkan sesuatu tidak menunjukkan sesuatu tersebut dilarang.
Ketiga; Nabi SAW bersabda, “Apa yang aku perintahkan, kerjakan semampumu, dan apa yang aku larang, jauhilah.”
Nabi SAW (saja) tidak menyatakan, “Apa yang aku tinggalkan, jauhilah.” Lalu bagaimana bisa sampai ada yang mengatakan bahwa meninggalkan sesuatu sebagai larangan atas sesuatu tersebut?
Keempat; para pakar ushul mendefinisikan, sunnah adalah perkataan, perbuatan, dan persetujuan Nabi SAW. Mereka tidak mendefinisikan, sunnah adalah sesuatu yang ditinggalkan Nabi SAW, karena meninggalkan sesuatu bukanlah dalil.
Kelima; seperti disebutkan sebelumnya, hukum adalah khithab Allah SWT. Para pakar ushul menyebutkan, hukum berdasarkan Al-Qur‘an, sunnah, ijma’, atau qiyas. Dan meninggalkan sesuatu amalan bukan bagian dari dasar-dasar hukum tersebut, dengan begitu ia bukan suatu dalil.
Keenam; seperti disebutkan sebelumnya, meninggalkan sesuatu memiliki beberapa kemungkinan selain larangan, dan kaidah ushul menyebutkan: jika terdapat kemungkinan dalam suatu dalil, dalil tersebut tidak bisa dijadikan pijakan. Juga sudah disampaikan sebelumnya, tidak ada nash yang menunjukkan bahwa Nabi SAW meninggalkan sesuatu sebagai dalil bahwa sesuatu tersebut haram. Hujjah ini saja sudah cukup menunjukkan bahwa dalil tark tidak bisa dijadikan pijakan.
Ketujuh; meninggalkan sesuatu adalah hukum asal, karena meninggalkan sesuatu berarti tidak adanya perbuatan. Tidak adanya sesuatu adalah hukum asal, sementara mengerjakan suatu amalan adalah sesuatu yang terjadi tanpa diduga. Hukum asal sama sekali tidak menunjukkan apapun, tidak secara bahasa ataupun menurut syari’at. Dengan demikian meninggalkan sesuatu tidak menunjukkan larangan.
Pengertian Bid’ah
Definisi bid’ah pertama kali dijelaskan oleh Imam Syafi’i berdasarkan riwayat Al-Baihaqi dalam Manaqib Asy-Syafi’i (1/469).
Disebutkan, bahwa semua hal baru itu ada dua macam: Pertama; sesuatu yang dibuat-buat dan berseberangan dengan Al-Qur‘an, sunnah, atsar, atau ijma’. Inilah bid’ah yang sesat. Kedua; kebaikan yang diciptakan dan belum ada sebelumnya serta tidak diperdebatkan. Inilah bid’ah yang tidak tercela.
Umar bin Khaththab RA berkata tentang qiyam Ramadhan, “Sebaik-baik bid’ah adalah ini; maksudnya shalat Tarawih bersifat baru, dan tidak ada sebelumnya, karena seperti itu berarti tidak menyalahi (dalil-dalil yang ada).”
Kemudian Asy-Syafi’i menjelaskan maksud “bid’ah” dalam perkataan Umar bin Khaththab di atas.
Apa pengertian bid’ah? Yaitu sesuatu yang diciptakan dan belum ada sebelumnya. Ini makna umum bid’ah mencakup apa saja yang tidak ada di masa Nabi SAW, dan baru ada setelah masa beliau, baik ada dalilnya ataupun tidak. Inilah makna etimologi bid’ah yang paling tepat. Untuk itu bid’ah harus dibagi menjadi dua bagian:
Pertama; sesuatu yang diciptakan dan menyalahi Al-Qur‘an, sunnah, atsar atau ijma’. Inilah bid’ah yang sesat karena berseberangan dengan dalil-dalil syar’i.
Kedua; kebaikan yang diciptakan dan tidak diperdebatkan oleh siapapun. Inilah bid’ah yang tidak tercela, karena menurut syari’at baik adanya. Karena menurut syari’at baik, berarti bid’ah tersebut juga baik, lantaran tidak menyalahi dalil-dalil yang ada.
Selanjutnya Asy-Syafi’i menjelaskan alasan kenapa Umar bin Khaththab RA memuji dan menganjurkan amal tersebut (qiyam Ramadhan secara berjama’ah), meski ia sebut sebagai bid’ah, alasannya adalah karena tidak berseberangan dengan Al-Qur‘an, sunnah, atsar atau ijma’.
Imam Syafi’i RA menyatakan, “Kebaikan yang diciptakan dan tidak diperdebatkan oleh siapapun adalah bid’ah yang tidak tercela.” Pernyataan Asy-Syafi’i ini juga bersandar pada perkataan Umar RA, serta persetujuan Abu Bakar Ash-Shiddiq RA dan Zaid bin Tsabit RA bahwa pengumpulan Al-Qur‘an dalam satu kitab dianjurkan meski tidak pernah dilakukan Rasulullah SAW, karena hal tersebut baik adanya.
Umar bin Khaththab berkata, seperti yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dari Zaid bin Tsabit, “Menurutku, engkau harus mengumpulkan Al-Qur`an (dalam satu kitab).’
Abu Bakar berkata kepada Umar, “Bagaimana saya melakukan sesuatu yang tidak pernah dilakukan Rasulullah SAW?”
Umar berkata, “Demi Allah itu baik.”
Abu Bakar berkata, “Umar terus mempertimbangkan hal itu kepadaku hingga Allah melapangkan dadaku.” (HR Al-Bukhari nomor 4402)
Pada mulanya Abu Bakar berdalih mengumpulkan Al-Qur‘an dalam satu kitab tidak pernah dilakukan Rasulullah SAW, sementara Umar bin Khaththab berdalih meski tidak pernah dilakukan Rasulullah SAW tapi langkah tersebut baik, dan karena baik berarti dianjurkan. Abu Bakar selanjutnya mengulang jawaban Umar saat Zaid bin Tsabit berkata kepadanya, “Bagaimana kalian berdua melakukan sesuatu yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah?” Abu Bakar menjawab, “Demi Allah itu baik.”
Jawaban dari kedua khalifah Rasulullah SAW tersebut adalah tanggapan bagi siapapun, yang saat ini mengingkari berbagai kebaikan yang dibuat, dan tidak ada sebelumnya, dengan dalih tidak pernah dilakukan Rasulullah SAW dan para sahabat. Sebab menurut nash kitabullah, kebaikan itu diperintahkan untuk dilakukan, dan diberi janji keberuntungan. Allah SWT berfirman, “Dan perbuatlah kebajikan, supaya kalian mendapat kemenangan.” – QS Al-Hajj: 77
Kita diperintahkan untuk menyeru pada kebaikan, “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.” – QS. Ali ‘Imran [3] 104
Karenanya, menurut penjelasan Asy-Syafi’i, bid’ah yang tidak tercela adalah setiap kebaikan yang tidak menyalahi dalil-dalil syar’i.
Gebyah Uyah Masalah Bid’ah
Pendapat yang menyatakan bahwa bid’ah ada yang hasanah dan ada yang dhalalah sesungguhnya tidak berseberangan dengan pendapat yang menyatakan tidak ada bid’ah hasanah dalam syari’at. Sebab, yang dimaksud hadits tersebut dalam pandangan mereka, bahwa amal yang menyalahi dalil-dalil syar’i tidak bisa dianggap baik. Demikian yang dinyatakan secara tegas oleh Ibnu Taimiyah.
Pernyataan Ibnu Taimiyah dinukil di sini bukan untuk lebih mengedepankan pendapatnya atas pendapat lainnya, tapi untuk menjelaskan bahwa kalangan yang tidak sependapat dengan Ibnu Taimiyah, misalnya dalam hal peringatan Maulid, bukanlah ahli bid’ah berdasarkan kaidah-kaidah yang ia sebutkan sendiri dalam Al-Fatawa (10/370), bahwa menjaga keumuman sabda Rasulullah SAW, “Setiap bid’ah itu sesat” hukumnya wajib, sementara suatu amalan yang disebut bid’ah dan terbukti baik berdasarkan dalil-dalil syar’i, berarti ada dua kemungkinan pasti:
Kemungkinan pertama, amalan tersebut bukan bid’ah dalam agama, meski dari sisi bahasa disebut bid’ah, seperti perkataan Umar bin Khaththab RA, “Sebaik-baik bid’ah adalah ini.”
Kemungkinan kedua, bersifat pernyataan umum, namun dikhususkan karena adanya pengecualian yang kuat, seperti yang berlaku pada masalah-masalah lain berdasarkan tuntutan pernyataan umum, sama seperti kata-kata umum lain yang terdapat dalam Al-Qur‘an dan sunnah. Pernyataan Ibnu Taimiyah di atas (pada kemungkinan kedua) secara tegas menyatakan, adanya pengecualian yang lebih kuat memunculkan adanya kekhususan dari perkataan umum dalam sabda Nabi SAW, “Setiap bid’ah itu sesat,” dan menjadikan contoh kasus yang dikecualikan menjadi tidak sesat, karena tidak termasuk dalam keumuman kata-kata tersebut.
Yang dimaksud “menjaga keumuman” dalam hal ini adalah seperti yang ditegaskan Ibnu Taimiyah sendiri (pada kemungkinan kedua tersebut), “Seperti yang berlaku bagi masalah-masalah lain berdasarkan tuntutan pernyataan umum.” Maksudnya, selain masalah-masalah yang dikhususkan oleh dalil yang lebih kuat dari pernyataan umum tersebut. Dengan kata lain, hadits tersebut bersifat khusus (yaitu pada bid’ah yang termasuk dhalalah).
Karena itu Ibnu Taimiyah sendiri menyatakan (27/152), kalangan yang menjadikan hadits tersebut tetap bersifat umum, dan kalangan lain yang mengkhususkannya, bermuara pada satu kesimpulan yang sama, seperti yang ia sebutkan dalam Al-Fatawa; bid’ah hasanah – bagi yang membagi bid’ah menjadi bid’ah hasanah dan bid’ah sayyi‘ah – pasti dianjurkan oleh seorang ahlul ilmi yang menjadi panutan, di samping ada dalil yang menganjurkan.
Seperti itu juga kalangan yang menyatakan bid’ah semuanya tercela. Bid’ah menurut kalangan ini adalah sesuatu yang tidak ada dalil syar’inya. Karena itu kedua pendapat tersebut (yang mengklasifikasi bid’ah maupun yang menggeneralisir bid’ah), bermuara pada satu titik yang sama. Pendapat pertama, mendefinisikan bid’ah sebagai sesuatu yang dibuat-buat sepeninggal Nabi SAW. Dengan demikian bid’ah menurut pendapat pertama ini, harus dibagi menjadi bid’ah yang sesuai dan yang tidak sesuai dengan dalil. Sementara pendapat kedua, menilai bid’ah adalah sesuatu yang tidak sesuai dengan dalil. Bid’ah menurut pendapat kedua, tidak terbagi menjadi dua, tapi hanya satu, yang tak lain adalah bid’ah jenis kedua (bid’ah dhalalah) menurut pendapat pertama. Berdasarkan penjelasan Ibnu Taimiyah sendiri, dapat disimpulkan bahwa kalangan yang menilai bid’ah sebagai “sesuatu yang dibuat sepeninggal Rasulullah SAW, dan masa salaf tanpa klasifikasi atau batasan apapun” berarti berseberangan dengan kedua pendapat di atas sekaligus.
Dalil syar’i yang menguatkan baiknya suatu amalan, yang secara bahasa disebut bid’ah atau mengkhususkan kata-kata umum sabda Rasulullah SAW, “Setiap bid’ah itu sesat” bisa jadi berupa nash dan bisa jadi melalui istinbath, seperti yang dijelaskan oleh Ibnu Taimiyah dalam Iqtidha` ash-Shirath al-Mustaqim (1/587), bahwa suatu hal yang terbukti baik, bukanlah suatu bid’ah. Di bagian lain ia menyatakan, suatu hal yang terbukti baik berarti mengkhususkan pernyataan umum (dalam hadits tersebut). Yang mengkhususkan adalah dalil-dalil syar’i yang bersumber dari Al-Qur`an, sunnah, dan ijma’ baik dalam bentuk nash ataupun melalui istinbath.
Sikap Semena-mena
Kekeliruan dalam ijtihad bukanlah bid’ah, karena perbedaan pendapat di kalangan ahlul ilmi dalam ijtihad, tidak membuat salah satu dari dua kubu sebagai ahli bid’ah, bahkan bagi yang salah sekalipun, sebab Rasulullah SAW bersabda, “Ketika hakim memutuskan sesuatu kemudian ia berijtihad dan ijtihadnya benar, ia mendapat dua pahala. Namun ketika ia memutuskan sesuatu lalu berijtihad dan ijtihadnya salah, ia mendapat satu pahala.”
Allah SWT tidak memberi pahala untuk bid’ah, bahkan bid’ah membuat pelakunya sesat dan berada di neraka, “Setiap bid’ah itu sesat dan setiap kesesatan itu (tempatnya) di neraka.”
Disebutkan dalam Musawwadah Alu Taimiyah, diriwayatkan dari Imam Ahmad, ia berkata, “Kebenaran di sisi Allah SWT hanya satu, ahli ijtihad harus berijtihad, namun tidak boleh berkata kepada pihak yang tidak sependapat, ‘Kamu salah’.”
Disebutkan dalam Hilyat al-Awliya‘, diriwayatkan dari Imam Malik, “Khalifah Ar-Rasyid mengusulkan padaku untuk menggantung kitab Al-Muwaththa‘ di Ka’bah, dan menginstruksikan agar diterapkan oleh semua kaum muslimin. Lalu aku mengatakan, ‘Jangan, karena para sahabat Rasulullah SAW sendiri berbeda pendapat dalam masalah-masalah furu’, mereka juga sudah berpencar di berbagai daerah, masing-masing (dari mereka) benar’.”
Rasulullah SAW menjelaskan, mujtahid tidak bisa memastikan dirinya pasti benar dalam mengetahui maksud Allah SWT. Rasulullah SAW menyampaikan wasiat kepada salah seorang komandan pasukan, “Jika kau mengepung penduduk suatu benteng, lalu mereka ingin agar kamu menghukumi mereka berdasarkan hukum Allah, jangan hukumi mereka (dengan mengatasnamakan) berdasarkan hukum Allah, tapi hukumi mereka berdasarkan hukummu (dengan menggali hukum Allah yang kamu ketahui), karena kau tidak tahu apakah putusanmu terhadap mereka sesuai hukum Allah ataukah tidak.” (HR Muslim nomor 1731). Orang yang tidak bisa memastikan dirinya benar, bagaimana bisa memastikan orang lain yang tidak sependapat dengan dirinya itu salah?
Disebutkan dalam risalah Imam Syafi’i (Ar-Risalah, hal: 497), saat membahas hadits ijtihad di atas, Imam Syafi’i ditanya, “Apa makna benar dan salah?”
Aku (Asy-Syafi’i) menjawab, “Sama seperti makna menghadap kiblat. Arah kiblat dicari-cari oleh orang yang berada jauh dari Ka’bah. Mengarah ke kiblat itu sendiri, bagi yang berada jauh dari Ka’bah, ada yang benar dan ada juga yang salah.”
Si penanya berkata, “Menurutmu bagaimana, apakah ijtihad bisa dikatakan benar dengan selain pengertian tersebut?”
Asy-Syafi’i menjawab, “Ya, hanya saja ijtihad berlaku untuk masalah-masalah yang dalilnya tidak diketahui. Ketika yang bersangkutan mengamalkannya (berdasarkan ijtihad dengan segala persyaratannya), artinya ia benar dalam hal mengamalkan sesuatu yang dibebankan. Secara lahir ia benar, dan yang mengetahui sisi batin hanya Allah semata.”
Karena itu Ibnu Taimiyah menyatakan, masalah-masalah yang diperdebatkan oleh salaf dan para imam tersebut, masing-masing mengakui ijtihad kalangan lain. Untuk itu bagi kalangan yang mengikuti pendapat Asy-Syafi’i, tidak boleh menyalahkan kalangan lain yang mengikuti pendapat Malik, bagi yang mengikuti pendapat Ahmad, tidak boleh menyalahkan kalangan lain yang mengikuti pendapat Syafi’i, dan seterusnya. (Majmu’ al-Fatawa, 20/292)
Dengan demikian, siapapun yang menyalahkan kalangan yang tidak sependapat – meski berpedoman pada dalil-dalil yang dikemukakan oleh sebagian imam – berarti menyalahi metode tersebut, di samping berlaku semena-mena terhadap kalangan yang tidak sependapat.
Wujud Rasa Syukur Berkumpul bersama dalam Maulid untuk bersyukur kepada Allah SWT, atas petunjuk pada salah satu sunnah Rasulullah SAW yang diamalkan dan dipuji oleh para sahabat, seperti disebutkan dalam Shahih Muslim dari Mu’awiyah RA, disebutkan bahwa Rasulullah SAW datang menghampiri para sahabat yang tengah berkumpul, beliau bertanya, “Untuk apa kalian duduk berkumpul?”
Para sahabat menjawab, “Untuk mengingat dan memuji Allah, karena telah memberi kami petunjuk menuju Islam, dan menganugerahkan Islam kepada kami.”
Rasulullah SAW bertanya, “Demi Allah, hanya itu alasan kalian duduk berkumpul?”
Para sahabat menjawab, “Demi, Allah hanya itu alasan kami duduk berkumpul.”
Rasulullah SAW melanjutkan, “Aku meminta kalian bersumpah bukannya aku meragukan kalian, Jibril baru saja datang menghampiriku, dan memberitahukan bahwa Allah membangga-banggakan kalian di hadapan para malaikat’.”
Berkumpul untuk memuji Allah SWT atas nikmat dan karunia Islam yang diberikan adalah sunnah, termasuk berkumpul untuk bersyukur kepada Allah SWT, karena nikmat kelahiran junjungan kita Muhammad SAW, karena beliau menyeru kita menuju Islam. Inilah wujud nyata kitab Allah SWT seperti yang disampaikan Aisyah kepada orang yang menanyakan seperti apa akhlak Rasulullah SAW, “Bukankah kau membaca Al-Qur`an?”
Si penanya menjawab, “Ya, betul.”
Aisyah berkata, “Akhlak Nabi SAW adalah Al-Qur`an.” (HR. Muslim, hadits nomor 746)
Di atas, Al-Hafizh Ibnu Hajar menyebutkan sejumlah ibadah sebagai wujud rasa syukur seperti yang telah dijelaskan sebelumnya: tilawah, memberi makan, sedekah, menyenandungkan syair-syair pujian untuk Nabi SAW, dan syair-syair tentang zuhud.
Adab Memperingati Maulid
Memperingati hari lahir manusia termulia yang dimuliakan oleh yang Mahamulia, adalah bentuk ungkapan rasa cinta yang mendalam dari lubuk hati para pencinta Nabi SAW. Syiar kecintaan ini menjadikan orang yang lalai dapat mengingat, mengenang, serta meneladani kembali akhlak beliau.
Majelis Maulid juga ajang umat Islam dalam mengekspresikan kegembiraan dan rasa suka cita atas anugerah besar yang Allah limpahkan kepada mereka.
Allah SWT berfirman, “Isa putera Maryam berdoa, ‘Ya Tuhan Kami turunkanlah kiranya kepada Kami suatu hidangan dari langit (yang hari turunnya) akan menjadi hari raya bagi Kami, yaitu orang-orang yang bersama Kami dan yang datang sesudah Kami, dan menjadi tanda bagi kekuasaan Engkau; beri rezekilah Kami, dan Engkaulah Pemberi rezki yang paling Utama’.” – QS Al-Maidah: 114
Sudah barang tentu rasa gembira dan suka cita atas datangnya manusia mulia, juru selamat dunia akhirat pada seluruh umat, lebih layak untuk dirayakan dari pada sekadar turunnya hidangan dari langit. Manusia manapun tahu Rasulullah SAW lebih mulia dari semua ciptaan Allah SWT.
Namun perlu diingat, agar peringatan peringatan itu tetap tidak keluar dari bimbingan para ulama, sehingga kita semua beroleh hasil maksimal dan peneladanan yang benar, serta jauh dari segala kemunkaran, juga untuk menutup celah komentar orang yang anti perayaan Maulid. Janganlah niat baik kita terkontaminasi oleh ketidaktahuan cara pengungkapan rasa cinta dan suka cita itu sendiri.
Di antara beberapa hal yang harus kita perhatikan, kita jauhi, dan jangan sampai terulang lagi pada tahun-tahun yang akan datang, adalah:
Pertama, ikhthilath, yaitu perbauran laki laki dan wanita dalam satu majelis, apalagi wanita melantunkan Al-Qur’an, atau membaca saritilawah di tengah kerumunan laki-laki, itu semua dilarang oleh agama.
Kedua, menjauhkan majelis yang mulia ini dari penceramah yang membawakan hadits-hadits maudhu’ (palsu), karena itu akan menjadi celah bagi para pembenci Maulid untuk menyerang kita, dan yang terpenting itu dilarang oleh sang Shahibul Maulid, dengan sabdanya, “Barang siapa berbohong atasku (memalsukan hadits-ku), persiapkanlah tempatnya di neraka.” Sesungguhnya kita pun tidak butuh dengan hadits-hadits itu, sekedar untuk memperkuat hujjah dan dalil penguat tentang Maulid, karena banyak ayat dan hadits shahih sebagai dalil yang benar terkait legalitas perayaan Maulid.
Ketiga, larut dalam tawa yang tidak terkontrol, dengan bahasa yang tidak layak diungkapkan pada majelis Nabi SAW tercinta dan termulia, karena beliau juga melarang hal-hal tersebut.
Keempat, hendaknya pembicaraan kita tidak keluar dari mahabbah pada Nabi Muhammad SAW, rahmat, peneladanan dan segala yang terkait pada kesempurnaan akhlaq beliau, serta penjelasan pada orang awam tentang dalil peringatan Maulid, agar mereka memahami dengan jelas apa yang mereka lakukan. Inilah yang dilakukan para ulama di berbagai belahan dunia seperti di Makkah, Madinah, Maroko, Yaman, dan lainnya. Semoga Allah memberikan berkah pada kita lantaran mereka.
Kelima, menjauhkan acara ini dari kepentingan-kepentingan sesaat, pribadi maupun golongan, yang bertujuan menggalang massa, membeli dan membodohi ulama yang mempunyai banyak pengikut dengan harga yang murah, dalam artian berapa pun uang itu sangatlah kecil dibandingkan kesucian acara itu sendiri, toh akhirnya mereka pun tak mau menerima syariat yang dibawa oleh Nabi SAW.
Keenam, jangan pernah memberi tempat untuk para pembicara yang tidak sopan, baik dalam tutur bahasa atau penampilan, apalagi membahas hal-hal cabul dan mesum dalam majelis yang berkah itu, apapun alasan mereka sungguh ini melukai hati Rasulullah SAW.
Renungan Maulid
Menyambut bulan Maulid tahun ini, buku karya Ustadz Muhammad Ahmad Vad’aq ini diterbitkan. Penulisnya menyuguhkan isinya dengan metode pembahasan yang sedemikian rupa, dengan harapan pembaca dapat memahami perihal perayaan Maulid ini secara utuh. Di bagian belakang sampul buku tersebut, penulis juga menyertakan sinopsis yang cukup menggugah pembacanya. Sinopsis itu bak rekaman sejarah Maulid dari zaman ke zaman yang kemudian diperas hingga menjadi satu halaman. Meski terkesan padat untuk ukuran sebuah sinopsis buku, namun kalimat demi kalimat yang dituturkan terasa sangat mengena. Mengingat sedemikian dalamnya pesan yang ingin disampaikan dalam sinopsis buku yang tertera dalam sampul belakang buku itu, berikut ini kami tuangkan secara utuh isinya. Api abadi sesembahan kaum Majusi yang telah menyala seribu tahun padam seketika. Pilar-pilar kokoh istana kisra Persia pun tumbang berjatuhan. Dan banyak lagi. Walhasil, alam bergemuruh, menyambut kelahiran Nabi SAW sedemikian rupa.
Puluhan tahun kemudian, ada sahabat bertanya mengapa beliau berpuasa di hari Senin. “Itulah hari kelahiranku dan hari aku diutus,” jawab beliau. Itulah cara beliau memperingati hari lahirnya. Beliau mensyukurinya dengan berpuasa, bahkan di setiap pekan.
Waktu berputar. Sumber-sumber sejarah mencatat beberapa versi terkait pihak yang awal mula merayakan Maulid secara terbuka, pasca-era Nabi. Salah satu sumber mu’tamad, At-Tarikh karya Ibnu Katsir, menyebut nama Al-Muzhaffar Abu Sa’id Kaukabri (wafat 630 H). Kala itu, kisah hidup Nabi diperdengarkan, keluhuran akhlaq beliau disebut-sebut, shalawat bergema silih-berganti, hadirin dijamu layaknya tamu yang mesti dihormati. Meski hanya setahun sekali, inilah salah satu cara umat yang ingin mensyukuri kelahiran sang rahmatan lil ’alamin. Di hati pecinta, sungguh ini kenikmatan tiada tara.
Terlepas dari berbagai versi sejarah itu, gagasan mengumpulkan orang dalam sebuah majelis Maulid nyatanya disambut baik oleh ulama, para pewaris anbiya’, seperti halnya shalat Tarawih berjama’ah yang digagas Umar bin Khaththab RA, yang terus dilestarikan orang dari zaman ke zaman, di belahan bumi Islam timur dan barat.
Sebut saja Ibnu Hajar (penyusun kitab syarah Shahih Al-Bukhari) atau An-Nawawi (penyusun kitab syarah Shahih Muslim), dua dari sekian banyak ulama yang telah menjelaskan pada umat hujjah-hujjah syar’i amaliyah Maulid Nabi. Mereka bukan sembarang tokoh, dua kitab syarah mereka itu menjadi rujukan terpenting untuk memahami hadits-hadits shahih Rasulullah SAW. Belum lagi As-Suyuthi (penyusun kitab tafsir Qur’an Al-Jalalain, bersama Al-Mahalli, dan sekitar 500 karya berbobot lainnya), yang sampai menyusun kitab khusus berisi perkara penting ini: Husn al-Maqshad fi ’Amal al-Maulid.
Waktu terus berputar. Hingga datang satu kaum yang merasa paling murni tauhidnya, dan benar mutlak pendapatnya menghukumi Maulid dengan tergesa-gesa. Hemat mereka, Maulid itu tak bersumber dari agama, termasuk amalan bid’ah, tradisi paham yang sesat, menyerupai kebiasaan orang kafir, dalil-dalilnya dipaksakan, jamuan yang dihidangkan haram, memuji-muji Nabi di dalamnya menjurus syirik, dan kelak para pelaku ”bid’ah” ini menjadi ahli neraka. Semua itu utamanya bermodalkan dalil, ”Tiap yang baru adalah bid’ah, setiap bid’ah itu sesat, dan setiap yang sesat itu ada di neraka” dan rumusan Ibn Taimiyah, ”Sekiranya suatu amalan itu baik, niscaya salaf lebih dulu mengamalkannya.”
Benarkah demikian? Sesederhana, sedangkal, dan sekaku itukah agama yang agung ini menilai amaliyah umatnya, hingga menempatkan kaum muslimin sejak dulu bagai sekumpulan orang-orang sesat dan para ulamanya bak orang-orang bodoh yang tak paham hadits Nabi SAW atau para pembangkang atas syariat yang beliau gariskan?
Selamat menyimak isi buku ini. Hati manusia tidaklah lebih panas dari api abadi Majusi atau sekeras pilar istana Persi. Semoga Allah SWT menyadarkan kita semua dari rasa angkuh dalam memahami kebenaran dan dalam mengikutinya.
Sumber : Majalah Al Kisah