Minggu, 16 Maret 2014

Dalil Syar’i Maulid Nabi




Rasulullah SAW tidak merayakan Maulid,
haramkah hukumnya? Umat Islam merayakan Maulid,
bid’ahkah merayakannya?

Memaparkan legalitas syari’at perayaan Maulid Nabi menjadi sedemikian penting meng­ingat kini semakin banyaknya tuduhan, ”... yang ditujukan pada umat Islam yang me­rayakan Maulid sebagai pe­laku bid’ah tercela, bahkan hing­ga me­masukkan mereka sebagai ahli ne­raka yang ke­kal di dalam neraka selama-lamanya,” demikian di antara yang disampaikan Ustadz Muhammad Ahmad Vad’aq, penulis buku Bahas Cerdas & Kupas Tuntas – Dalil Syar’i Maulid Nabi, da­lam pengan­tar karyanya tersebut.

Mereka, yang sesung­guhnya me­rupakan golongan minoritas itu, tak per­nah mau mendengar dalil orang lain, se­lalu menyikapi segala per­bedaan de­ngan hitam-putih, be­nar-salah, surga-neraka, hing­ga dalam hal ini, mereka sam­pai mengeluarkan fatwa mengha­ram­kan seluruh hi­dangan Maulid, bah­kan dise­butkan, ke­haramannya lebih haram dari memakan hewan babi.

Na’udzubillah, kami berlin­dung ke­pa­da Allah, dari pejuang nafsu yang se­lalu me­rasa benar sendiri,” tulis Ustadz Muhammad.

”Rasulullah SAW tidak merayakan Maulid, haramkah hukumnya? Umat Islam merayakan Maulid, bid’ahkah me­rayakannya?” Dua kalimat tanya ini ter­tulis besar di bawah judul karya Ustadz Muhammad. Memang, bagi kebanyakan orang, mungkin dua hal itu yang sering menggelayut dalam pikiran mereka, dan ke­tika mereka keliru dalam menyimpul­kan, maka tuduhan demi tuduhan tak berdasarlah yang mereka lontarkan.

Demi memaparkan penjelasan atas masalah ini secara cerdas dan mengu­pas­nya secara tuntas, Ustadz Muham­mad membagi pembahasan di buku ini menjadi tiga pokok pembahasan.

Pertama, penjelasan makna tark, yaitu tentang perbuatan yang tidak di­kerjakan oleh Nabi. Pembahasan ini un­tuk menjawab kalimat tanya pertama di atas, Rasulullah SAW tidak merayakan Maulid, haramkah hukumnya?

Kedua, penjelasan makna bid’ah dan kaitannya dengan Maulid Nabi SAW. Pembahasan yang kedua ini ditujukan untuk menjelaskan pada pembaca ter­hadap kalimat tanya yang kedua, umat Islam merayakan Maulid, bid’ahkah me­rayakannya?

Bukan hanya dalam masalah Maulid, dua pembahasan di atas, seyogyanya menjadi dasar bagi setiap muslim untuk memahami setiap permasalahan syariat, agar umat tidak mudah menuding se­sama saudaranya yang lain.

Pembahasan yang terakhir, yaitu pem­bahasan yang ketiga, Ustadz Mu­ham­mad mengurai dalil-dalil syar’i yang melatarbelakangi diselenggarakannya Maulid Nabi itu sendiri. Setelah mema­hami dasar-dasar yang tepat dalam me­nilai sebuah amaliyah, bagian yang ter­akhir ini secara khusus akan semakin membuka pandangan bagi insan muslim atas hujjah-hujjah syar’iyyah dalam peringatan Maulid Nabi SAW.

Sebagai pelengkap pembahasan, Ustadz Muhammad menyertakan secara utuh terjemah dari kitab Husn al-Maq­shad fi ’Amal al-Maulid, karya Imam Su­yuthi, yang memaparkan secara khusus perihal dasar-dasar argumentasi keaga­maan di balik penyelenggaraan Maulid Nabi SAW.

Kaidah Ibn Taimiyah

Law kana khairan lasabaquna ilayh. Maknanya, kalau perkara itu baik pasti para salaf telah melakukannya. Kaidah yang dirumuskan Ibn Taimiyah ini men­jadi salah satu dasar utama bagi orang-orang yang menolak amaliyah Maulid Nabi. Bahkan, orang-orang itu hendak menilai (baca: menyele­saikan) semua urusan agama ini hanya dengan kaidah tersebut.

”Sayangnya, dengan kaidah ini orang-orang bodoh itu semakin mem­beku. Mereka semakin sulit diajak ber­diskusi, semakin menikmati fatwa-fatwa yang tidak populer, sampai akhirnya tum­buh suburlah para penyesat umat, yang berpendapat dengan tanpa men­dengar dalil orang. Bahkan, kaidah yang mereka buat ini mereka tempatkan pada tempat yang lebih utama dari dalil-dalil syar’i,” tulis Ustadz Muhammad lagi menjelaskan perihal kaidah tersebut.

Padahal, apapun yang dikuatkan de­ngan dalil-dalil syar’i itu baik adanya, bukan bid’ah, karena Allah SWT ber­fir­man, “Dan perbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat kemenangan.” – QS. Al-Hajj: 77

Al-Hafizh Ibnu Hajar dan kalangan yang sependapat menilai, Nabi SAW mengingatkan keutamaan merayakan Maulid melalui kesimpulan umum yang diambil dari hadits tentang puasa Asyura. Hadits ini menegaskan legalitas puasa peringatan tahunan sebagai wu­jud syukur kepada Allah SWT atas nik­mat selamatnya Nabi Musa.

Hadits tersebut menjelaskan bahwa yang dimaksud dari puasa mengingat hari kelahiran adalah sebagai wujud rasa syukur. Setiap tindakan yang bisa me­wujudkan rasa syukur secara syari’at di­anjurkan, karena syukur adalah sebab hukum. Dan semua ibadah dalam hal ini, yang hukumnya sama seperti puasa meng­ingat hari kelahiran menurut ke­sepakatan ulama, sepertinya sudah men­­jadi kesepakatan tertulis di antara mereka, atau diqiyaskan seperti itu me­nurut sebagian lainnya. Terkait dengan hal-hal mubah, selain ibadah yang mengungkapkan rasa senang, asal hu­kumnya boleh-boleh saja, tidak ada dalil yang melarang demikian.

Ibnu Taimiyah menilai, salaf tidak pernah merayakan Maulid. Andai hal itu baik tentu mereka sudah terlebih dulu melakukannya sebelum kita. Jadi, me­nurut mereka Maulid hukumnya adalah bid’ah.

Imam Suyuthi menanggapi, tidak ada pernyata­an salaf yang mencegah dan menganjurkan perayaan Maulid, mereka bersikap abstain sementara ha­dits di atas adalah dalil kuat. Berdasar­kan ijma’, hadits lebih dikedepankan dari sikap abstain dan tidak adanya riwayat yang termasuk dalam istilah istishhab pada masalah itu. Istishhab adalah pem­berlakuan hukum terhadap suatu per­kara di masa selanjutnya atas dasar bah­wa hukum itu telah berlaku sebelumnya.

Antara Inkar dan Ijtihad

Rasulullah SAW bersabda, “Ketika hakim memutuskan sesuatu kemudian berijti­had dan benar, ia mendapat dua pa­hala, namun ketika memutuskan se­suatu kemudian berijtihad dan salah, ia mendapat satu pahala.”

Hadits di atas secara tegas menyata­kan orang yang salah dalam berijtihad bukan berarti melakukan amalan bid’ah ataupun sesat karena Allah SWT tidak mem­beri pahala bid’ah, bahkan setiap bid’ah itu sesat dan setiap kesesatan itu (tempatnya) di neraka.

Ada beberapa kemungkinan bagi kalangan yang menyesatkan kelompok lain dalam masalah peringatan Maulid ini.

Pertama, mereka tak mengetahui kaidah di atas. Kedua, mereka pura-pura tidak tahu adanya argumentasi pihak yang berseberangan, yang disebab­kan adanya faktor dan tujuan pribadi. Ketiga, mereka mengira masalah ini dan masa­lah-masalah serupa lainnya bukan ma­salah ijtihad, tapi sesuatu yang sudah jelas, sehingga dengan mudah ia me­nyesatkan orang lain yang berpaling atau menen­tang masalah ini.

Dengan alasan apapun, siapapun yang meng­anjurkan perayaan Maulid, tidak bisa dan tidak laik dituduh menen­tang ajaran-ajaran yang telah jelas. Per­hatikan siapakah mereka yang dituduh seperti itu; mereka adalah para imam ter­percaya, seperti Al-Hafizh Ibnu Hajar dan Al-Hafizh As-Suyuthi; lalu perhatikan siapa Anda, para pengingkar anjuran pe­ra­yaan Maulid itu, yang gemar mem­bawa pandangan sembrono sampai me­nyatakan bahwa para imam besar itu ti­dak boleh diikuti karena pendapatnya keliru.

Anda, yang tidak sependapat de­ngan anjuran merayakan Maulid, meng­anggap mereka keliru? Baik. Perta­nya­annya, apakah para imam terpercaya itu keliru dengan menyalahi pengamalan agama yang nashnya jelas dan tegas, ataukah mereka keliru dalam masalah-masalah ijtihad?

Jika para imam tersebut keliru de­ngan menyalahi ajaran-ajaran agama yang sudah jelas hukumnya, berarti ke­salahan tersebut adalah sikap pembang­kangan. Allah SWT berfirman mengenai orang-orang yang berbuat demikian, “Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan ber­selisih sesudah datang keterang­an yang jelas kepada mereka. Mereka itulah orang-orang yang mendapat siksa yang berat.” – QS. Ali ‘Imran [3]: 105

Apakah ini laik bagi imam-imam se­perti Ibnu Hajar dan As-Suyuthi? Jika mereka keliru dalam masalah-masalah ijtihad, toh Nabi SAW bersabda, “Ketika hakim memutuskan sesuatu kemudian berijtihad dan benar, ia mendapat dua pa­hala, namun ketika memutuskan se­suatu kemudian berijtihad dan salah, ia mendapat satu pahala.”

Dan Allah SWT tidak memberi pa­hala untuk bid’ah.

Ijtihad Bukan Kebenaran Absolut

Anda tidak bisa membid’ahkan dan menyata­kan Ibnu Hajar sesat dan ber­buat bid’ah, meski menurut Anda hal itu salah. Boleh jadi, justru Anda yang sa­lah. Jika Anda, atau ulama panutan Anda, berpen­dapat bahwa perayaan Maulid itu keliru, lalu merayakannya, itu baru berarti Anda melakukan bid’ah dan Anda sesat. Sementara bagi yang tidak sependapat dengan Anda, tidak seperti itu.

Disebutkan, Imam Ahmad bin Han­bal dan para pengikutnya berdoa, “Ya Allah aku memohon kepada­mu dengan perantara Nabi-Mu, ampunilah aku.”

Ia melakukan sesuatu yang menu­rutnya baik, dan mendapat dua pahala jika benar, atau satu pahala jika salah. Lain halnya kalau yang berdoa itu adalah Ibnu Taimiyah, Muhammad bin Abdul Wah­hab, Al-Albani, atau para pengikut­nya, yang berpandangan doa dengan ber­tawassul adalah suatu hal yang bid’ah dan sesat. Kalau mereka berdoa de­ngan ucapan itu, mereka menang­gung dosa dan hukumannya. Hal sena­da berlaku dalam semua masalah ijtihad yang diperdebatkan, baik yang dianjur­kan atau dilarang.

Dalam masalah-masalah ijtihad, muj­tahid tidak harus puas dengan dalil-dalil pihak yang berseberang­an, tapi masing-masing kubu harus puas dengan adanya kemungkinan, bahwa salah satu di an­tara kedua pihak adalah salah, seperti yang Rasulullah SAW sampaikan dalam sebuah wasiat yang beliau sampaikan pada seorang komandan pasukan, “Ka­rena kau tidak tahu apakah putusanmu sesuai hukum Allah terhadap mereka itu ataukah tidak.”

Hadits ini secara tegas menyatakan, seorang mujtahid tidak bisa memastikan dirinya pasti benar dan kalangan yang tidak sependapat pasti salah.

Maulid di Mata para Hafizh Kita, yang tinggal di Nusantara, mung­kin hanya mengenal sedikit kitab Maulid. Padahal kitab Maulid karya para ulama itu jumlahnya sangat banyak, lantaran per­hatian khusus mereka terhadap mo­men­tum agung tersebut. Sebagiannya disusun oleh para hafizh, orang-orang yang dalam hidupnya ”tenggelam” dalam bahtera hadits Rasulullah SAW. Di ba­wah ini nama sebagian di antara mereka itu.

Al-Hafizh Muhammad bin Abubakar Al-Qisi Asy-Syafi’i, lebih populer sebagai Ibnu Nashiruddin Ad-Dimasyqi (777-842), seorang imam besar, ahli hadits dan sejarah dengan kekuatan hafalan yang gemilang, menulis kitab Maulid Al-Lafzhu ar-Raiq fi Maulid Khairi al-Khalaiq.

Al-Hafizh Abubakar bin Abdurrahim Al-Mashri, imam yang sangat tersohor di kalangan para imam ahli hadits, lebih dikenal dengan Al-’Iraqi (725-707), san­daran para ulama dalam masalah yang pelik dan rumit, menulis kitab Maulid Al-Maurid al-Hani fi al-Maulid as-Sani.

Al-Hafizh As-Sakhawi, Muhammad bin Abdurrah­man Al-Qahiri As-Sakhawi (831-902). Imam Syaukani memujinya, “Aku tak pernah melihat seorang hafizh generasi akhir yang melebihi As-Sakha­wi dalam kekuatan hafalannya.” Ia me­nulis kitab Maulid Nabi SAW sebagai­mana yang di kutip oleh pengarang kitab Kasyf azh-Zhunun.

Al-Hafizh Mula Ali Al-Qari (1014) pengarang kitab syarh Al-Misykah. Ia juga menulis kitab Maulid berjudul Al-Maurid ar-Rawi fi al-Maulid an-Nabi.

Al-Hafizh Ibnu Katsir Ismail bin Umar bin Katsir, seorang mufassir tersohor, ia juga menulis kitab Maulid yang baru-baru ini dicetak dan ditahqiq oleh Dr. Shalahuddin.

Al-Hafizh Ibnu Ad-Daiba’i Wajihuddin ibnu Abdurrahman Asy-Syaibani Al-Yamani (866-944), seorang yang sangat populer di zamannya. Kitab maulidnya sangat dikenal di penjuru dunia termasuk di Indonesia, yaitu yang biasa disebut Maulid Ad-Diba’.

Dunia Islam menyematkan gelar “al-hafizh” kepada para ulama ahli hadits yang memiliki hafalan lebih dari seratus ribu hadits (pendapat lain menyebut ang­ka tiga ratus ribu hadits) baik matan (re­daksi) maupun sanad (mata rantai peri­wayatan)-nya. Mereka adalah para ha­fizh yang lebih mema­hami hadits dari para pengingkar Maulid.

Tidakkah kita bisa berbaik sangka se­dikit pun, apalagi kepada para ulama seperti mereka? Bahkan seringkali vonis bid’ah, kafir, dan syirik terlontarkan ke­pada mereka, hanya dengan bermodal­kan dalil kullu bid’atin dhalalah, tanpa mau mendengar pendapat para ulama yang lebih alim dan lebih wara’. Semoga Allah SWT menyadarkan kita semua dari rasa angkuh dalam memahami kebenar­an dan mengikutinya.

Memahami Tark

Maksud tark yang menjadi tujuan pe­nulisan risalah singkat ini, adalah suatu amalan yang ditinggalkan dan tidak dilaku­kan Nabi SAW, atau ditinggalkan oleh salafush shalih, tanpa adanya ha­dits atau atsar yang melarang amalan yang diting­galkan tersebut, yang menun­jukkan per­buatan tersebut haram atau makruh.

Ulama kalangan mutaakhir sering mengguna­kan dalil tark untuk meng­haramkan atau mencela berbagai hal, bah­kan sebagian kalangan terlalu ber­lebihan menggunakan dalil ini. Ibnu Taimiyah memakai dan menjadikan ini sebagai sandaran dalam menghukumi berbagai hal, seperti yang akan dibahas berikutnya.

Ketahuilah, ketika Nabi SAW me­ning­galkan (tidak mengerjakan) sesuatu amalan, ada beberapa kemungkinan amalan tersebut tidak dilarang, yaitu karena beberapa sebab berikut ini:

Pertama, karena beliau tidak biasa terhadap sesuatu itu. Contohnya, suatu ketika Nabi SAW diberi biawak bakar. Beliau menjulurkan tangan. Kemudian ada yang berkata, “Itu biawak.” Maka beliau pun tak jadi memungutnya.

Kemudian ada yang bertanya, “Apa­kah itu haram?”

Nabi SAW menjawab, “Tidak, hanya saja hewan ini tidak terdapat di kawasan kaumku, aku pun merasa jijik.”

Hadits ini tertera dalam kitab Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim. Ini me­nunjukkan dua hal, yaitu bahwa mening­galkan sesuatu bagi Nabi SAW, meski se­telah beliau hampir melakukannya, tidaklah menunjukkan sesuatu tersebut haram, dan bahwa jijik terhadap sesuatu bukan berarti mengharamkan sesuatu itu.

Kedua, karena beliau lupa. Contoh­nya, Nabi SAW pernah lupa dalam sha­lat, meninggalkan salah satu bagian shalat kemudian beliau ditanya, “Apakah terjadi sesuatu dalam shalat?”

Nabi SAW menjawab, “Aku hanya manusia biasa, aku lupa seperti halnya kalian. Jika aku lupa, ingatkan.”

Ketiga, karena beliau khawatir amal­an tersebut diwajibkan terhadap umat. Contohnya, Nabi SAW meninggalkan shalat Tarawih saat para sahabat telah berkumpul untuk shalat bersama beliau.

Keempat, karena tidak terpikirkan dan tidak terlintas di benak beliau. Con­tohnya, pada mulanya Nabi SAW khut­bah shalat Jum’at di atas kayu kurma. Tak terpikirkan oleh beliau untuk mem­buat mimbar sebagai tempat berkhut­bah. Saat ada yang mengusulkan pem­buatan mimbar, beliau setuju dan meng­akui hal itu, karena khutbah di atas mim­bar lebih mengena untuk pendengaran hadirin. Para sahabat juga mengusulkan untuk membuatkan tempat duduk dari tanah untuk Nabi SAW, agar dikenali utus­an asing yang datang menemui be­liau. Beliau menyetujui usulan itu, karena sebelumnya sama sekali tidak terpikir­kan untuk itu.

Kelima, karena sesuatu itu sudah ter­masuk dalam penjelasan umum ayat-ayat Al-Qur‘an atau hadits. Contohnya, Nabi SAW meninggal­kan shalat Dhuha dan banyak sekali amalan-amalan lain yang dianjurkan, karena sudah termasuk dalam penjelasan umum firman Allah SWT: “Dan perbuatlah kebajikan, supa­ya kalian mendapat kemenangan.” – QS. Al-Hajj: 77

Keenam, karena beliau khawatir se­suatu itu mengubah hati para sahabat atau sebagian sahabat. Contohnya, sab­da Nabi SAW kepada Aisyah, “Andai saja kaummu tidak baru saja masuk Islam, tentu aku robohkan Ka’bah ke­mudian aku bangun lagi sesuai pondasi Ibrahim, karena kaum Quraisy memper­kecil bangunannya.”

Hadits ini tertera dalam dua kitab hadits shahih utama, Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim. Secara tegas dije­laskan, Nabi SAW tidak merobohkan Ka’bah dan mengembalikannya ke po­sisi semula, semata dilakukan untuk menjaga hati para sahabat di Makkah yang baru masuk Islam. Tindakan ini memungkinkan adanya alasan lain yang bisa diketahui dengan cara mencermati kitab-kitab hadits.

Meninggalkan, Bukan Melarang

Larangan adalah sesuatu yang ha­ram, yang memang harus ditinggalkan. Ma­salah larangan adalah satu hal, dan masalah tark adalah satu hal lainnya lagi. Tidak ada satu pun hadits atau atsar yang secara tegas menyatakan bahwa sesuatu yang tidak dikerjakan Nabi SAW serta merta menjadi sesuatu yang haram.

Dijelaskan dalam Ar-Radd al-Muh­kam al-Matîn, tentang meninggalkan se­suatu tidak menunjukkan sesuatu terse­but dilarang. Berikut ini penjelasannya:

“Meninggalkan suatu amalan saja tan­pa disertai nash lain yang menunjuk­kan bahwa hal tersebut terlarang, bukan­lah hujjah yang melarang sesuatu ter­sebut, meskipun pada akhirnya memang meninggalkan sesuatu tersebut ternyata disyari’atkan. Ada dua hal yang perlu di­perhatikan dari kasus semacam ini: Per­tama, sesuatu yang ditinggalkan terse­but dilarang, namun pelarangan ini bu­kan karena sesuatu tersebut ditinggal­kan. Kedua, ada dalil lain yang menun­jukkan sesuatu tersebut dilarang.

Imam Abu Sa’id bin Lubb juga me­nyebutkan kaidah ini. Ia menyampaikan bantahan terhadap kalangan yang me­makruhkan berdoa seusai shalat, yang selalu berhujjah bahwa merutinkan hal tersebut, tidak pernah dilakukan kalang­an salaf. Dengan asumsi penukilan ini benar, meninggalkan sesuatu justru me­nunjukkan amalan tersebut boleh dan tidak berdosa dilakukan, bukan berarti amalan tersebut haram atau makruh, terlebih bagi amalan yang secara garis besar ada landasan hukumnya dalam syari’at, seperti doa.

Nabi SAW tidak pernah puasa sebulan penuh selain puasa Ramadhan. Ini juga tidak menunjukkan bahwa mak­ruh hukumnya puasa sunnah sebulan penuh.”

Demikian teks-teks yang secara te­gas menunjukkan bahwa meninggalkan sesuatu amalan bukan berarti amalan tersebut makruh, apalagi haram.

Sebagian kalangan yang bersikap berlebihan, mereka mengingkari kaidah ini dan tidak mengakui­nya sebagai salah satu bagian dari ilmu ushul. Ini menun­juk­kan, pengingkaran terhadap dalil ini semata disebabkan kebodohan dan akal tidak sehat.

Adapun mengenai larangan dalam syari’at, berikut kami jelaskan dalil-dalil larangan:

Pertama; yang menunjukkan peng­haraman ada tiga. Satu, larangan. Con­toh, “Jangan mendekati zina, jangan me­makan harta di antara sesamamu de­ngan cara bathil.” Dua, pengharaman. Contoh, “Diharamkan bagimu bangkai,” dan seterusnya. Tiga, celaan atau an­caman siksa atas suatu perbuatan. Con­toh, “Barangsiapa menipu, ia bukan go­longan kami.”

Dan meninggalkan suatu amalan ti­dak terma­suk dalam tiga kategori ini. De­ngan demikian mening­galkan sesuatu tidak menunjukkan larangan.

Kedua; Allah SWT berfirman, “Apa yang disampaikan Rasul kepadamu, terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, tinggal­kanlah.” – QS. Al-Hasyr [59]: 7

Allah SWT tidak menyatakan, “Apa yang ia tinggalkan, tinggalkanlah.” De­ngan demikian, mening­galkan sesuatu tidak menunjukkan sesuatu tersebut di­larang.

Ketiga; Nabi SAW bersabda, “Apa yang aku perintahkan, kerjakan semam­pu­mu, dan apa yang aku larang, jauhi­lah.”

Nabi SAW (saja) tidak menyatakan, “Apa yang aku tinggalkan, jauhilah.” Lalu bagaimana bisa sampai ada yang meng­a­takan bahwa meninggalkan sesuatu sebagai larangan atas sesuatu tersebut?

Keempat; para pakar ushul men­defi­nisikan, sunnah adalah perkataan, per­buatan, dan persetujuan Nabi SAW. Me­reka tidak mendefinisikan, sunnah ada­lah sesuatu yang ditinggalkan Nabi SAW, karena meninggalkan sesuatu bu­kanlah dalil.

Kelima; seperti disebutkan sebelum­nya, hukum adalah khithab Allah SWT. Para pakar ushul menyebutkan, hukum ber­dasarkan Al-Qur‘an, sunnah, ijma’, atau qiyas. Dan meninggalkan sesuatu amalan bukan bagian dari dasar-dasar hukum tersebut, dengan begitu ia bukan suatu dalil.

Keenam; seperti disebutkan sebelum­nya, meninggalkan sesuatu memiliki be­berapa kemungkin­an selain larangan, dan kaidah ushul menyebutkan: jika ter­dapat kemungkinan dalam suatu dalil, da­lil tersebut tidak bisa dijadikan pijakan. Juga sudah disampaikan sebelumnya, tidak ada nash yang menunjukkan bah­wa Nabi SAW meninggalkan sesuatu se­bagai dalil bahwa sesuatu tersebut ha­ram. Hujjah ini saja sudah cukup menun­jukkan bahwa dalil tark tidak bisa di­jadi­kan pijakan.

Ketujuh; meninggalkan sesuatu ada­lah hukum asal, karena meninggalkan sesuatu berarti tidak adanya perbuatan. Tidak adanya sesuatu adalah hukum asal, sementara mengerjakan suatu amal­an adalah sesuatu yang terjadi tanpa diduga. Hukum asal sama sekali tidak menunjukkan apapun, tidak secara bahasa ataupun menurut syari’at. De­ngan demikian meninggalkan sesuatu tidak menunjukkan larangan.

Pengertian Bid’ah

Definisi bid’ah pertama kali dijelas­kan oleh Imam Syafi’i berdasarkan ri­wayat Al-Baihaqi dalam Manaqib Asy-Syafi’i (1/469).

Disebutkan, bahwa semua hal baru itu ada dua macam: Pertama; sesuatu yang dibuat-buat dan berseberangan de­ngan Al-Qur‘an, sunnah, atsar, atau ijma’. Inilah bid’ah yang sesat. Kedua; kebaikan yang diciptakan dan belum ada sebelumnya serta tidak diperdebatkan. Inilah bid’ah yang tidak tercela.

Umar bin Khaththab RA berkata ten­tang qiyam Ramadhan, “Sebaik-baik bid’ah adalah ini; maksud­nya shalat Ta­rawih bersifat baru, dan tidak ada sebe­lumnya, karena seperti itu berarti tidak menyalahi (dalil-dalil yang ada).”

Kemudian Asy-Syafi’i menjelaskan maksud “bid’ah” dalam perkataan Umar bin Khaththab di atas.

Apa pengertian bid’ah? Yaitu se­suatu yang diciptakan dan belum ada sebelumnya. Ini makna umum bid’ah men­cakup apa saja yang tidak ada di masa Nabi SAW, dan baru ada setelah masa beliau, baik ada dalilnya ataupun tidak. Inilah makna etimologi bid’ah yang paling tepat. Untuk itu bid’ah harus dibagi menjadi dua bagian:

Pertama; sesuatu yang diciptakan dan menya­lahi Al-Qur‘an, sunnah, atsar atau ijma’. Inilah bid’ah yang sesat kare­na berseberangan dengan dalil-dalil syar’i.

Kedua; kebaikan yang diciptakan dan tidak diperdebatkan oleh siapapun. Inilah bid’ah yang tidak tercela, karena menurut syari’at baik adanya. Karena me­nurut syari’at baik, berarti bid’ah ter­sebut juga baik, lantaran tidak menyalahi dalil-dalil yang ada.

Selanjutnya Asy-Syafi’i menjelaskan alasan kenapa Umar bin Khaththab RA memuji dan menganjurkan amal tersebut (qiyam Ramadhan secara berjama’ah), meski ia sebut sebagai bid’ah, alasannya adalah karena tidak berseberangan de­ngan Al-Qur‘an, sunnah, atsar atau ijma’.

Imam Syafi’i RA menyatakan, “Ke­baik­an yang diciptakan dan tidak diper­debatkan oleh siapapun adalah bid’ah yang tidak tercela.” Pernyataan Asy-Syafi’i ini juga ber­san­dar pada perkataan Umar RA, serta per­setujuan Abu Bakar Ash-Shiddiq RA dan Zaid bin Tsabit RA bahwa pengum­pulan Al-Qur‘an dalam satu kitab dianjur­kan meski tidak pernah dilakukan Rasul­ullah SAW, karena hal tersebut baik ada­nya.

Umar bin Khaththab berkata, seperti yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dari Zaid bin Tsabit, “Menurutku, engkau ha­rus mengumpulkan Al-Qur`an (dalam satu kitab).’

Abu Bakar berkata kepada Umar, “Bagaimana saya melakukan sesuatu yang tidak pernah dilakukan Rasulullah SAW?”

Umar berkata, “Demi Allah itu baik.”

Abu Bakar berkata, “Umar terus mem­pertim­bangkan hal itu kepadaku hingga Allah melapangkan dadaku.” (HR Al-Bukhari nomor 4402)

Pada mulanya Abu Bakar berdalih mengumpul­kan Al-Qur‘an dalam satu kitab tidak pernah dilakukan Rasulullah SAW, sementara Umar bin Khaththab berdalih meski tidak pernah dilakukan Rasulullah SAW tapi langkah tersebut baik, dan karena baik berarti dianjurkan. Abu Bakar selanjutnya mengulang ja­wab­an Umar saat Zaid bin Tsabit berkata kepadanya, “Bagaimana kalian berdua melakukan sesuatu yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah?” Abu Bakar menjawab, “Demi Allah itu baik.”

Jawaban dari kedua khalifah Rasul­ullah SAW tersebut adalah tanggapan bagi siapapun, yang saat ini mengingkari berbagai kebaikan yang dibuat, dan tidak ada sebelumnya, dengan dalih tidak per­nah dilakukan Rasulullah SAW dan para sahabat. Sebab menurut nash kitabul­lah, kebaikan itu diperintahkan untuk di­lakukan, dan diberi janji keberuntungan. Allah SWT berfirman, “Dan perbuatlah kebajikan, supaya kalian mendapat ke­menangan.” – QS Al-Hajj: 77

Kita diperintahkan untuk menyeru pada kebaikan, “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang me­nyeru kepada kebajikan, menyuruh ke­pada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang berun­tung.” – QS. Ali ‘Imran [3] 104

Karenanya, menurut penjelasan Asy-Syafi’i, bid’ah yang tidak tercela ada­lah setiap kebaikan yang tidak menyalahi dalil-dalil syar’i.

Gebyah Uyah Masalah Bid’ah

Pendapat yang menyatakan bahwa bid’ah ada yang hasanah dan ada yang dhalalah sesungguhnya tidak bersebe­rangan dengan pendapat yang menyata­kan tidak ada bid’ah hasanah dalam syari’at. Sebab, yang dimaksud hadits ter­sebut dalam pandangan mereka, bah­wa amal yang menyalahi dalil-dalil syar’i tidak bisa dianggap baik. Demikian yang dinyatakan secara tegas oleh Ibnu Taimiyah.

Pernyataan Ibnu Taimiyah dinukil di sini bukan untuk lebih mengedepankan pendapatnya atas pendapat lainnya, tapi untuk menjelaskan bahwa kalangan yang tidak sependapat dengan Ibnu Taimiyah, misalnya dalam hal peringat­an Maulid, bukanlah ahli bid’ah berda­sar­kan kaidah-kaidah yang ia sebutkan sen­diri dalam Al-Fatawa (10/370), bah­wa menjaga keumuman sabda Rasul­ullah SAW, “Setiap bid’ah itu sesat” hu­kumnya wajib, sementara suatu amalan yang disebut bid’ah dan terbukti baik ber­dasarkan dalil-dalil syar’i, berarti ada dua kemungkinan pasti:

Kemungkinan pertama, amalan ter­sebut bukan bid’ah dalam agama, meski dari sisi bahasa disebut bid’ah, seperti perkataan Umar bin Khaththab RA, “Sebaik-baik bid’ah adalah ini.”

Kemungkinan kedua, bersifat per­nyataan umum, namun dikhususkan ka­rena adanya pengecua­lian yang kuat, seperti yang berlaku pada masalah-ma­salah lain berdasarkan tuntutan pernya­taan umum, sama seperti kata-kata umum lain yang terdapat dalam Al-Qur‘an dan sunnah. Pernyataan Ibnu Taimiyah di atas (pada kemungkinan kedua) secara tegas menyatakan, adanya pengecualian yang lebih kuat memunculkan adanya kekhu­susan dari perkataan umum dalam sab­da Nabi SAW, “Setiap bid’ah itu sesat,” dan menjadikan contoh kasus yang di­kecualikan menjadi tidak sesat, karena tidak termasuk dalam keumuman kata-kata tersebut.

Yang dimaksud “menjaga keumum­an” dalam hal ini adalah seperti yang ditegaskan Ibnu Taimiyah sendiri (pada kemungkinan kedua tersebut), “Seperti yang berlaku bagi masalah-masalah lain berdasarkan tuntutan pernyataan umum.” Maksudnya, selain masalah-masalah yang dikhususkan oleh dalil yang lebih kuat dari pernyataan umum tersebut. Dengan kata lain, hadits tersebut bersifat khusus (yaitu pada bid’ah yang termasuk dhalalah).

Karena itu Ibnu Taimiyah sendiri me­nyatakan (27/152), kalangan yang men­jadikan hadits tersebut tetap bersifat umum, dan kalangan lain yang meng­khu­suskannya, bermuara pada satu ke­simpulan yang sama, seperti yang ia se­butkan dalam Al-Fatawa; bid’ah hasanah – bagi yang membagi bid’ah menjadi bid’ah hasanah dan bid’ah sayyi‘ah – pasti dianjurkan oleh seorang ahlul ilmi yang menjadi panutan, di samping ada dalil yang menganjurkan.

Seperti itu juga kalangan yang me­nyatakan bid’ah semuanya tercela. Bid’ah menurut kalangan ini adalah se­suatu yang tidak ada dalil syar’inya. Ka­rena itu kedua pendapat tersebut (yang mengklasifikasi bid’ah maupun yang menggeneralisir bid’ah), bermuara pada satu titik yang sama. Pendapat pertama, mendefinisikan bid’ah sebagai sesuatu yang dibuat-buat sepeninggal Nabi SAW. Dengan demiki­an bid’ah menurut pendapat pertama ini, harus dibagi menjadi bid’ah yang sesuai dan yang tidak sesuai dengan dalil. Se­mentara pendapat kedua, menilai bid’ah adalah sesuatu yang tidak sesuai de­ngan dalil. Bid’ah menurut pendapat ke­dua, tidak terbagi menjadi dua, tapi ha­nya satu, yang tak lain adalah bid’ah je­nis kedua (bid’ah dhalalah) menurut pendapat pertama. Berdasarkan penjelasan Ibnu Taimi­yah sendiri, dapat disimpulkan bahwa kalangan yang menilai bid’ah sebagai “se­suatu yang dibuat sepeninggal Ra­sulullah SAW, dan masa salaf tanpa kla­sifikasi atau batasan apapun” berarti ber­seberangan dengan kedua pendapat di atas sekaligus.

Dalil syar’i yang menguatkan baiknya suatu amalan, yang secara bahasa di­sebut bid’ah atau mengkhususkan kata-kata umum sabda Rasulullah SAW, “Setiap bid’ah itu sesat” bisa jadi berupa nash dan bisa jadi melalui istinbath, se­perti yang dijelaskan oleh Ibnu Taimiyah dalam Iqtidha` ash-Shirath al-Mustaqim (1/587), bahwa suatu hal yang terbukti baik, bukanlah suatu bid’ah. Di bagian lain ia menyatakan, suatu hal yang ter­bukti baik berarti mengkhususkan per­nyataan umum (dalam hadits tersebut). Yang mengkhususkan adalah dalil-dalil syar’i yang bersumber dari Al-Qur`an, sun­nah, dan ijma’ baik dalam bentuk nash ataupun melalui istinbath.

Sikap Semena-mena

Kekeliruan dalam ijtihad bukanlah bid’ah, karena perbedaan pendapat di ka­langan ahlul ilmi dalam ijtihad, tidak membuat salah satu dari dua kubu se­bagai ahli bid’ah, bahkan bagi yang sa­lah sekalipun, sebab Rasulullah SAW bersabda, “Ketika hakim memutuskan se­suatu kemudian ia berijtihad dan ijtihadnya benar, ia mendapat dua pa­hala. Namun ketika ia memutuskan se­suatu lalu berijtihad dan ijtihadnya salah, ia mendapat satu pahala.”

Allah SWT tidak memberi pahala untuk bid’ah, bahkan bid’ah membuat pelakunya sesat dan berada di neraka, “Setiap bid’ah itu sesat dan setiap ke­sesatan itu (tempatnya) di neraka.”

Disebutkan dalam Musawwadah Alu Taimiyah, diriwayatkan dari Imam Ahmad, ia berkata, “Kebenaran di sisi Allah SWT hanya satu, ahli ijtihad harus berijtihad, namun tidak boleh berkata kepada pihak yang tidak sependapat, ‘Kamu salah’.”

Disebutkan dalam Hilyat al-Awliya‘, diriwayatkan dari Imam Malik, “Khalifah Ar-Rasyid mengusulkan padaku untuk menggantung kitab Al-Muwaththa‘ di Ka’bah, dan menginstruksikan agar di­terapkan oleh semua kaum muslimin. Lalu aku mengatakan, ‘Jangan, karena para sahabat Rasulullah SAW sendiri berbeda pendapat dalam masalah-ma­salah furu’, mereka juga sudah berpen­car di berbagai daerah, masing-masing (dari mereka) benar’.”

Rasulullah SAW menjelaskan, muj­ta­hid tidak bisa memastikan dirinya pasti benar dalam mengetahui maksud Allah SWT. Rasulullah SAW menyampaikan wasiat kepada salah seorang komandan pasukan, “Jika kau mengepung pendu­duk suatu benteng, lalu mereka ingin agar kamu menghukumi mereka berda­sarkan hukum Allah, jangan hukumi me­reka (dengan mengatasnamakan) ber­dasarkan hukum Allah, tapi hukumi me­reka berdasarkan hukummu (dengan menggali hukum Allah yang kamu ke­tahui), karena kau tidak tahu apakah putusanmu terhadap mereka sesuai hu­kum Allah ataukah tidak.” (HR Muslim nomor 1731). Orang yang tidak bisa me­mastikan dirinya benar, bagaimana bisa memastikan orang lain yang tidak se­pendapat dengan dirinya itu salah?

Disebutkan dalam risalah Imam Syafi’i (Ar-Risalah, hal: 497), saat mem­bahas hadits ijtihad di atas, Imam Syafi’i ditanya, “Apa makna benar dan salah?”

Aku (Asy-Syafi’i) menjawab, “Sama seperti makna menghadap kiblat. Arah kiblat dicari-cari oleh orang yang berada jauh dari Ka’bah. Mengarah ke kiblat itu sendiri, bagi yang berada jauh dari Ka’bah, ada yang benar dan ada juga yang salah.”

Si penanya berkata, “Menurutmu bagaimana, apakah ijtihad bisa dikata­kan benar dengan selain pengertian ter­sebut?”

Asy-Syafi’i menjawab, “Ya, hanya saja ijtihad berlaku untuk masalah-ma­salah yang dalilnya tidak diketahui. Ke­tika yang bersangkutan mengamalkan­nya (berda­sarkan ijtihad dengan segala persyarat­an­nya), artinya ia benar dalam hal meng­amalkan sesuatu yang dibe­bankan. Se­cara lahir ia benar, dan yang mengetahui sisi batin hanya Allah se­mata.”

Karena itu Ibnu Taimiyah menyata­kan, masalah-masalah yang diperdebat­kan oleh salaf dan para imam tersebut, masing-masing mengakui ijtihad kalang­an lain. Untuk itu bagi kalangan yang mengikuti pendapat Asy-Syafi’i, tidak boleh menyalah­kan kalangan lain yang mengikuti pendapat Malik, bagi yang mengikuti pendapat Ahmad, tidak boleh menyalahkan kalangan lain yang meng­ikuti pendapat Syafi’i, dan seterusnya. (Majmu’ al-Fatawa, 20/292)

Dengan demikian, siapapun yang me­nyalahkan kalangan yang tidak se­pendapat – meski berpedoman pada da­lil-dalil yang dikemukakan oleh sebagian imam – berarti menyalahi metode ter­sebut, di samping berlaku semena-mena terhadap kalangan yang tidak sepen­dapat.

Wujud Rasa Syukur Berkumpul bersama dalam Maulid untuk bersyukur kepada Allah SWT, atas petunjuk pada salah satu sunnah Ra­sulullah SAW yang diamalkan dan dipuji oleh para sahabat, seperti disebutkan dalam Shahih Muslim dari Mu’awiyah RA, disebutkan bahwa Rasulullah SAW datang menghampiri para sahabat yang tengah berkumpul, beliau bertanya, “Untuk apa kalian duduk berkumpul?”

Para sahabat menjawab, “Untuk mengingat dan memuji Allah, karena telah memberi kami petunjuk menuju Islam, dan menganugerahkan Islam kepada kami.”

Rasulullah SAW bertanya, “Demi Allah, hanya itu alasan kalian duduk berkumpul?”

Para sahabat menjawab, “Demi, Allah hanya itu alasan kami duduk ber­kumpul.”

Rasulullah SAW melanjutkan, “Aku meminta kalian bersumpah bukannya aku meragukan kalian, Jibril baru saja datang menghampiriku, dan memberi­tahukan bahwa Allah membangga-banggakan kalian di hadapan para malaikat’.”

Berkumpul untuk memuji Allah SWT atas nikmat dan karunia Islam yang diberikan adalah sunnah, termasuk berkumpul untuk bersyukur kepada Allah SWT, karena nikmat kelahiran junjungan kita Muhammad SAW, karena beliau menyeru kita menuju Islam. Inilah wujud nyata kitab Allah SWT seperti yang disampaikan Aisyah kepada orang yang menanyakan seperti apa akhlak Rasul­ullah SAW, “Bukankah kau membaca Al-Qur`an?”

Si penanya menjawab, “Ya, betul.”

Aisyah berkata, “Akhlak Nabi SAW adalah Al-Qur`an.” (HR. Muslim, hadits nomor 746)

Di atas, Al-Hafizh Ibnu Hajar menye­but­kan sejumlah ibadah sebagai wujud rasa syukur seperti yang telah dijelaskan sebelumnya: tilawah, memberi makan, sedekah, menyenandungkan syair-syair pujian untuk Nabi SAW, dan syair-syair tentang zuhud.

Adab Memperingati Maulid

Memperingati hari lahir manusia ter­mulia yang dimuliakan oleh yang Maha­mulia, adalah bentuk ungkapan rasa cinta yang mendalam dari lubuk hati para pencinta Nabi SAW. Syiar kecintaan ini menjadi­kan orang yang lalai dapat meng­ingat, mengenang, serta meneladani kem­bali akhlak beliau.

Majelis Maulid juga ajang umat Islam dalam mengekspresikan kegembiraan dan rasa suka cita atas anugerah besar yang Allah limpahkan kepada mereka.

Allah SWT berfirman, “Isa putera Maryam berdoa, ‘Ya Tuhan Kami turun­kan­lah kiranya kepada Kami suatu hi­dangan dari langit (yang hari turunnya) akan menjadi hari raya bagi Kami, yaitu orang-orang yang bersama Kami dan yang datang sesudah Kami, dan menjadi tanda bagi kekuasaan Engkau; beri rezekilah Kami, dan Engkaulah Pemberi rezki yang paling Utama’.” – QS Al-Maidah: 114

Sudah barang tentu rasa gembira dan suka cita atas datangnya manusia mulia, juru selamat dunia akhirat pada se­luruh umat, lebih layak untuk diraya­kan dari pada sekadar turunnya hidang­an dari langit. Manusia manapun tahu Rasulullah SAW lebih mulia dari semua ciptaan Allah SWT.

Namun perlu diingat, agar peringatan peringat­an itu tetap tidak keluar dari bim­bingan para ulama, sehingga kita semua ber­oleh hasil maksimal dan peneladan­an yang benar, serta jauh dari segala ke­munkaran, juga untuk menutup celah ko­mentar orang yang anti perayaan Mau­lid. Janganlah niat baik kita terkon­ta­minasi oleh ketidaktahuan cara peng­ung­kapan rasa cinta dan suka cita itu sendiri.

Di antara beberapa hal yang harus kita perhati­kan, kita jauhi, dan jangan sampai terulang lagi pada tahun-tahun yang akan datang, adalah:

Pertama, ikhthilath, yaitu perbauran laki laki dan wanita dalam satu majelis, apalagi wanita melantunkan Al-Qur’an, atau membaca saritilawah di tengah ke­ru­munan laki-laki, itu semua dilarang oleh agama.

Kedua, menjauhkan majelis yang mu­lia ini dari pencera­mah yang memba­wakan hadits-hadits maudhu’ (palsu), karena itu akan menjadi celah bagi para pembenci Maulid untuk menyerang kita, dan yang terpenting itu dilarang oleh sang Shahibul Maulid, dengan sabda­nya, “Barang siapa berbohong atasku (me­malsukan hadits-ku), persiapkanlah tempatnya di neraka.” Sesungguhnya kita pun tidak butuh dengan hadits-hadits itu, sekedar untuk memper­kuat hujjah dan dalil penguat tentang Maulid, karena banyak ayat dan hadits shahih sebagai dalil yang benar terkait legalitas peraya­an Maulid.

Ketiga, larut dalam tawa yang tidak terkontrol, dengan bahasa yang tidak layak diungkapkan pada majelis Nabi SAW tercinta dan termulia, karena beliau juga melarang hal-hal tersebut.

Keempat, hendaknya pembicaraan kita tidak keluar dari mahabbah pada Nabi Muhammad SAW, rahmat, penela­danan dan segala yang terkait pada ke­sempurnaan akhlaq beliau, serta penje­lasan pada orang awam tentang dalil pe­ringatan Maulid, agar mereka memaha­mi dengan jelas apa yang mereka laku­kan. Inilah yang dilakukan para ulama di berbagai belahan dunia seperti di Mak­kah, Madi­nah, Maroko, Yaman, dan lain­nya. Semoga Allah memberikan berkah pada kita lantaran mereka.

Kelima, menjauhkan acara ini dari kepentingan-kepenting­an sesaat, pribadi maupun golongan, yang bertuju­an meng­galang massa, membeli dan membodohi ulama yang mempunyai banyak peng­ikut dengan harga yang murah, dalam arti­an berapa pun uang itu sangat­lah ke­cil dibandingkan kesucian acara itu sen­diri, toh akhirnya mereka pun tak mau meneri­ma syariat yang dibawa oleh Nabi SAW.

Keenam, jangan pernah memberi tem­pat untuk para pembicara yang tidak sopan, baik dalam tutur bahasa atau pe­nampilan, apalagi membahas hal-hal ca­bul dan mesum dalam majelis yang ber­kah itu, apapun alasan mereka sungguh ini melukai hati Rasulullah SAW.

Renungan Maulid

Menyambut bulan Maulid tahun ini, buku karya Ustadz Muhammad Ahmad Vad’aq ini diterbitkan. Penulisnya me­nyuguhkan isinya dengan metode pem­bahasan yang sedemikian rupa, dengan harapan pembaca dapat memahami perihal perayaan Maulid ini secara utuh. Di bagian belakang sampul buku ter­sebut, penulis juga menyertakan sinop­sis yang cukup menggugah pembaca­nya. Sinopsis itu bak rekaman sejarah Maulid dari zaman ke zaman yang ke­mudian diperas hingga menjadi satu ha­laman. Meski terkesan padat untuk ukur­an sebuah sinopsis buku, namun kalimat demi kalimat yang dituturkan terasa sangat mengena. Mengingat sedemikian dalamnya pe­san yang ingin disampaikan dalam si­nopsis buku yang tertera dalam sampul be­lakang buku itu, berikut ini kami tuang­kan secara utuh isinya. Api abadi sesembahan kaum Majusi yang telah menyala seribu tahun padam se­ketika. Pilar-pilar kokoh istana kisra Persia pun tumbang berjatuhan. Dan ba­nyak lagi. Wal­hasil, alam bergemuruh, me­nyambut kelahiran Nabi SAW sede­mi­kian rupa.

Puluhan tahun kemudian, ada saha­bat bertanya mengapa beliau berpuasa di hari Senin. “Itu­lah hari kelahiran­ku dan hari aku diutus,” jawab beliau. Itulah cara be­liau mem­peringati hari lahirnya. Beliau mensyukurinya dengan berpuasa, bah­kan di setiap pekan.

Waktu berputar. Sumber-sumber se­jarah mencatat beberapa versi terkait pihak yang awal mula merayakan Maulid secara terbuka, pasca-era Nabi. Salah satu sumber mu’tamad, At-Tarikh karya Ibnu Katsir, menyebut nama Al-Muzhaf­far Abu Sa’id Kaukabri (wafat 630 H). Kala itu, kisah hidup Nabi diperdengar­kan, keluhuran akhlaq beliau disebut-se­but, shalawat bergema silih-berganti, ha­dirin dijamu layaknya tamu yang mesti di­hormati. Meski hanya setahun sekali, inilah salah satu cara umat yang ingin mensyukuri kelahiran sang rahmatan lil ’alamin. Di hati pecinta, sungguh ini ke­nikmatan tiada tara.

Terlepas dari berbagai versi sejarah itu, gagasan mengumpul­kan orang da­lam sebuah majelis Maulid nyatanya di­sambut baik oleh ulama, para pewaris an­biya’, seperti halnya shalat Tarawih berjama’ah yang digagas Umar bin Khath­thab RA, yang terus dilestarikan orang dari zaman ke zaman, di belahan bumi Islam timur dan barat.

Sebut saja Ibnu Hajar (penyusun kitab syarah Shahih Al-Bukhari) atau An-Nawawi (penyusun kitab syarah Shahih Muslim), dua dari sekian banyak ulama yang telah men­jelas­kan pada umat huj­jah-hujjah syar’i amaliyah Maulid Nabi. Mereka bukan sembarang tokoh, dua kitab syarah mereka itu menjadi rujukan terpenting untuk mema­hami hadits-ha­dits shahih Rasulullah SAW. Belum lagi As-Suyuthi (penyusun kitab tafsir Qur’an Al-Jalalain, bersama Al-Mahalli, dan se­kitar 500 karya berbobot lain­nya), yang sampai menyusun kitab khusus berisi perkara penting ini: Husn al-Maqshad fi ’Amal al-Maulid.

Waktu terus berputar. Hingga datang satu kaum yang merasa paling murni tau­hid­nya, dan benar mutlak pendapat­nya menghukumi Maulid dengan ter­gesa-gesa. Hemat mereka, Maulid itu tak bersumber dari agama, termasuk amal­an bid’ah, tradisi paham yang sesat, me­nyerupai kebiasa­an orang kafir, dalil-da­lilnya dipaksakan, jamuan yang dihi­dang­kan haram, memuji-muji Nabi di da­lamnya menjurus syirik, dan kelak para pelaku ”bid’ah” ini menjadi ahli neraka. Semua itu utamanya bermodalkan dalil, ”Tiap yang baru adalah bid’ah, setiap bid’ah itu sesat, dan setiap yang sesat itu ada di neraka” dan rumusan Ibn Tai­miyah, ”Sekiranya suatu amalan itu baik, niscaya salaf lebih dulu meng­amal­kannya.”

Benarkah demikian? Sesederhana, sedangkal, dan sekaku itukah agama yang agung ini menilai amaliyah umat­nya, hingga menempatkan kaum mus­lim­in sejak dulu bagai sekumpulan orang-orang sesat dan para ulamanya bak orang-orang bodoh yang tak paham hadits Nabi SAW atau para pembang­kang atas syariat yang beliau gariskan?

Selamat menyimak isi buku ini. Hati manusia tidaklah lebih panas dari api abadi Majusi atau sekeras pilar istana Persi. Semoga Allah SWT menyadarkan kita semua dari rasa angkuh dalam me­mahami kebenaran dan dalam mengi­kutinya.

Sumber : Majalah Al Kisah