Psikologi secara etimologi memiliki arti “ilmu tentang jiwa”. Dalam
Islam, istilah “jiwa” dapat disamakan istilah al-nafs, namun ada pula
yang menyamakan dengan istilah al-ruh, meskipun istilah al-nafs lebih
populer penggunaannya daripada istilah al-nafs. Psikologi dapat
diterjamahkan ke dalam bahasa Arab menjadi ilmu al-nafs atau ilmu
al-ruh. Penggunaan masing-masing kedua istilah ini memiliki asumsi yang
berbeda.[1]
Psikologi dan Agama mempunyai dua arti yang berbeda meskipun keduanya memiliki aspek kajian yang sama yaitu aspek batin manusia. Psikologi secara umum diartikan sebagai ilmu yang mempelajari gejala jiwa manusia yang normal, dewasa, dan beradab (jalaluddin, dkk., 1979:77)[2]. Menurut Robert H. Thouless (1992: 13), psikologi sekarang dipergunakan secara umum untuk ilmu tentang tingkah laku dan pengalaman manusia.
Psikologi agama termasuk psikologi khusus yang mempelajari sikap dan tingkah laku seseorang yang timbul dari keyakinan yang dianutnya berdasarkan pendekatan psikologi. Psikologi agama menurut Prof. Dr. Zakiah Daradjat, meneliti pengaruh agama terhadap sikap dan tingkah laku orang atau mekanisme yang bekerja dalam diri seseorang, karena cara seseorang berpikir, bersikap, bereaksi dan bertingkah laku, tidak dapat dipisahkan dan keyakinannya, karena keyakinan itu masuk dalam konstruksi kepribadiannya.
Sedangkan Prof. Dr. Harun Nasution dapat menggambarkan pengertian agama, berdasarkan asal kata yaitu al-Din (Semit) berarti undang-undang atau hukum, religi (latin) atau relegere, religere berarti mengumpulkan, membaca dan mengikat. dan agam a= tidak, gam=pergi berarti tidak perrgi, tetap di tempat atau diwarisi turun menurun.
Didasarkan atas pertimbangan bahwa agama merupakan pengalaman batin yang bersifat individual, di kalah seseorang merasakan sesuatu yang gaib maka dokumen pribadi dinilai dapat memberikan informasi yang lengkap. William James dalam bukunya “the varieties of religious experience” tampaknya juga menggunakan metode ini.[4]
Dalam penerapannya, metode dokumen pribadi ini dilakukan dengan berbagai cara atau teknik-teknik tertentu. Di antara yang banyak digunakan adalah :
Namun demikian, metode ini juga mempunyai kelemahan-kelemahan, seperti :
Penggunaan metode-metode dalam penelitian psikologi agama sebenarnya dapat dilakukan dengan beragam, bergantung pada kepentingan dan jenis data yang akan dikumpulkan. Demikian pula, ada yang menggunakan dokumen pribadi, baik berupa riwayat hidup dan sebagainnya.[6]
Berdasarkan sumber Barat, para ahli psikologi agama menilai bahwa kajian mengenai psikologi agama mulai popular sekitar akhir abad ke-19. Sekitar masa itu psikologi yang semakin berkembang digunakan sebagai alat untuk kajian agama. Kajian semacam itu dapat membantu pemahaman terhadap cara bertingkah laku, berfikir, dan mengemukakan perasaan keagamaan.
Menurut Thouless, sejak terbitnya buku The Varietiesof Religious Experience tahun 1903, sebagai kumpulan dari materi kuliah William James di empat Universitas di Skotlanditerbiia, maka langkah awal dari kajian psikologi agama mulai diakui para ahli psikologi dan dalam jangka waktu tiga puluh tahun kemudian, banyak buku-buku lain diterbitkan sejalan dengan konsep-konsep yang serupa.
Sejak saat itu, kajian-kajian tentang psikologi agama tampaknya tidak hanya terbatas pada masalah-masalah yang menyangkut kehidupan keagamaan secara umum, melainkan juga masalah-masalah khusus. J.B. Pratt misalnya, mengkaji mengenai kesadaran beragama melalui bukunya The Religious Consciousness (1920), Dame Julian yang mengkaji tentang wahyu dengan bukunya Revelations of Devine Love tahun 1901. Selanjutnya, kajian-kajian psikologi agama juga tidak terbatas pada agama-agama yang ada di Barat (Kristen) saja, melainkan juga agama-agama yang ada di Timur. A.J. Appasamy dan B.H. Streeter menulis tentang masalah yang menyangkut kehidupan penganut agama Hindu dengan bukunya The Sadhu (1921).
Di tanah air sendir tulisan mengenai psikologi agama ini baru dikenal sekitar tahun 1970-an, yaitu oleh Prof. Dr. Zakiah Daradjat. Ada sejumlah buku yang beliau tulis untuk kepentingan buku pegangan bagi mahasiswa di lingkungan IAIN. Diluar itu, kuliah mengenai psikologi agama juga sudah diberikan, khususnya di Fakultas Tarbiyah oleh Prof. Dr. A. Mukti Ali dan Prof. Dr. Zakiah Daradjat sendiri. Kedua orang ini dikenal sebagai pelopor pengembangan psikologi agama di IAIN di Indonesia.
Seperti dimaklumi, bahwa psikologi agama tergolong cabang psikologi yang berusia muda. Berdasarkan informasi dari berbagai literatur, dapat disimpulkan bahwa kelahiran psikologi agama sebagai disiplin ilmu yang berdiri sendiri, memiliki latar belakang sejarah yang cukup panjang. Selain itu, pada tahap-tahap awalnya psikologi agama didukung oleh para ahli dari berbagai disiplin ilmu.
Sebagai disiplin ilmu boleh dikatakan, psikologi agama dapat dirujuk dari karya penulis Barat, antara lain karya Jonathan Edward, Emile Durkheim, Edward B. Taylor maupun Stanley Hall yang memuat kajian mengenai agama suku-suku primitive dan mengenai konversi agama.
Sejak menjadi disiplin ilmu yang berdiri sendiri, perkembangan psikologi agama dinilai cukup pesat, dibandingkan usianya yang masih tergolong muda. Hal ini antara lain disebabkan, selain bidang kajian psikologi agama menyangkut kehidupan manusia secara pribadi, maupun kelompok, bidang kajiannya juga mencakup permasalahan yang menyangkut perkembangan usia manusia. Selain itu, sesuai dengan bidang cakupannya, ternyata psikologi agama termasuk ilmu terapan yang banyak manfaatnya dalam kehidupan sehari-hari.
Perkembangan psikologi agama yang cukup pesat ini antara lain ditandai dengan diterbitkannya berbagai karya tulis, baik berupa buku maupun artikel dan jurnal yang memuat kajian tentang bagaimana peran agama dalam kehidupan manusia. Dengan demikian, psikologi agama kini telah memasuki berbagai bidang kehidupan manusia, sejak dari rumah tangga, sekolah, institusi keagamaan, rumah-rumah sakit, panti asuhan, panti jompo, dan bahkan hingga ke lembaga kemasyarakatan.
Tampaknya, para ilmuwan dan agamawan yang semula berselisih pendapat mengenai psikologi agama, kini seakan menyatu dalam kesepakatan yang tak tertulis, bahwa dalam kehidupan modern ini, peran agama menjadi kian penting. Dan pendekatan psikilogi agamadapat digunakan dalam memecahkan berbagai problema kehidupan yang dihadapi manusia sebagai makhluk yang memiliki nilai-nilai peradaban dan nilai moral.[7]
Psikologi dan Agama mempunyai dua arti yang berbeda meskipun keduanya memiliki aspek kajian yang sama yaitu aspek batin manusia. Psikologi secara umum diartikan sebagai ilmu yang mempelajari gejala jiwa manusia yang normal, dewasa, dan beradab (jalaluddin, dkk., 1979:77)[2]. Menurut Robert H. Thouless (1992: 13), psikologi sekarang dipergunakan secara umum untuk ilmu tentang tingkah laku dan pengalaman manusia.
Psikologi agama termasuk psikologi khusus yang mempelajari sikap dan tingkah laku seseorang yang timbul dari keyakinan yang dianutnya berdasarkan pendekatan psikologi. Psikologi agama menurut Prof. Dr. Zakiah Daradjat, meneliti pengaruh agama terhadap sikap dan tingkah laku orang atau mekanisme yang bekerja dalam diri seseorang, karena cara seseorang berpikir, bersikap, bereaksi dan bertingkah laku, tidak dapat dipisahkan dan keyakinannya, karena keyakinan itu masuk dalam konstruksi kepribadiannya.
Sedangkan Prof. Dr. Harun Nasution dapat menggambarkan pengertian agama, berdasarkan asal kata yaitu al-Din (Semit) berarti undang-undang atau hukum, religi (latin) atau relegere, religere berarti mengumpulkan, membaca dan mengikat. dan agam a= tidak, gam=pergi berarti tidak perrgi, tetap di tempat atau diwarisi turun menurun.
- RUANG LINGKUP
- Bermacam-macam emosi yang menjalar diluar kesadaran yang ikut menyertai kehidupan beragama orang biasa (umum), seperti rasa lega dan tentram sehabis sembahyang.
- Bagaimana perasaan dan pengalaman seseorang secara individual terhadap Tuhannya, misalnya rasa dan tenteram dan kelegaan batin.
- Mempelajari, meneliti dan menganalisis pengaruh kepercayaan akan adanya hidup sesudah mati (akhirat) pada tiap-tiap orang.
- Meneliti dan mempelajari kesadaran dan perasaan orang terhadap kepercayaan yang berhubungan dengan surge dan neraka.
- Meneliti dan mempelajari bagaimana pengaruh penghayatan seseorang terhadap ayat-ayat suci kelegaan batin.
- METODE PENELITIAN
- Dokumen Pribadi
Didasarkan atas pertimbangan bahwa agama merupakan pengalaman batin yang bersifat individual, di kalah seseorang merasakan sesuatu yang gaib maka dokumen pribadi dinilai dapat memberikan informasi yang lengkap. William James dalam bukunya “the varieties of religious experience” tampaknya juga menggunakan metode ini.[4]
Dalam penerapannya, metode dokumen pribadi ini dilakukan dengan berbagai cara atau teknik-teknik tertentu. Di antara yang banyak digunakan adalah :
- Teknik Nomotatik
- Teknik Analisis Nilai
- Teknik Idiography
- Teknik Penilaian terhadap Sikap
- Kuesioner Dan Wawancara
Namun demikian, metode ini juga mempunyai kelemahan-kelemahan, seperti :
- Jawaban yang diberikan terikat oleh pertanyaan sehingga responden tak dapat memberikan jawaban secara lebih bebas.
- Kadang-kadang, sering terjadi salah penafsiran terhadap pertanyaan yang kurang tepat, dan tak semua pertanyaan sesuai untuk seperti orang.
- Pengumpulan Pendapat Masyarakat
- Skala Penilaian
- Tes (Test)
- Eksperimen
- Observasi Melalui Pendekatan Sosiologi Dan Antropologi
- Studi Agama Berdasarkan Pendekatan Antropologi Budaya
- Pendekatan Terhadap Perkembangan
- Metode klinis dan proyektivitas
- Metode umum proyektivitasi
- Apersepsi nomotatik
- Studi kasus
- Survey
Penggunaan metode-metode dalam penelitian psikologi agama sebenarnya dapat dilakukan dengan beragam, bergantung pada kepentingan dan jenis data yang akan dikumpulkan. Demikian pula, ada yang menggunakan dokumen pribadi, baik berupa riwayat hidup dan sebagainnya.[6]
- SEJARAH PERKEMBANGAN PSIKOLOGI AGAMA
Berdasarkan sumber Barat, para ahli psikologi agama menilai bahwa kajian mengenai psikologi agama mulai popular sekitar akhir abad ke-19. Sekitar masa itu psikologi yang semakin berkembang digunakan sebagai alat untuk kajian agama. Kajian semacam itu dapat membantu pemahaman terhadap cara bertingkah laku, berfikir, dan mengemukakan perasaan keagamaan.
Menurut Thouless, sejak terbitnya buku The Varietiesof Religious Experience tahun 1903, sebagai kumpulan dari materi kuliah William James di empat Universitas di Skotlanditerbiia, maka langkah awal dari kajian psikologi agama mulai diakui para ahli psikologi dan dalam jangka waktu tiga puluh tahun kemudian, banyak buku-buku lain diterbitkan sejalan dengan konsep-konsep yang serupa.
Sejak saat itu, kajian-kajian tentang psikologi agama tampaknya tidak hanya terbatas pada masalah-masalah yang menyangkut kehidupan keagamaan secara umum, melainkan juga masalah-masalah khusus. J.B. Pratt misalnya, mengkaji mengenai kesadaran beragama melalui bukunya The Religious Consciousness (1920), Dame Julian yang mengkaji tentang wahyu dengan bukunya Revelations of Devine Love tahun 1901. Selanjutnya, kajian-kajian psikologi agama juga tidak terbatas pada agama-agama yang ada di Barat (Kristen) saja, melainkan juga agama-agama yang ada di Timur. A.J. Appasamy dan B.H. Streeter menulis tentang masalah yang menyangkut kehidupan penganut agama Hindu dengan bukunya The Sadhu (1921).
Di tanah air sendir tulisan mengenai psikologi agama ini baru dikenal sekitar tahun 1970-an, yaitu oleh Prof. Dr. Zakiah Daradjat. Ada sejumlah buku yang beliau tulis untuk kepentingan buku pegangan bagi mahasiswa di lingkungan IAIN. Diluar itu, kuliah mengenai psikologi agama juga sudah diberikan, khususnya di Fakultas Tarbiyah oleh Prof. Dr. A. Mukti Ali dan Prof. Dr. Zakiah Daradjat sendiri. Kedua orang ini dikenal sebagai pelopor pengembangan psikologi agama di IAIN di Indonesia.
Seperti dimaklumi, bahwa psikologi agama tergolong cabang psikologi yang berusia muda. Berdasarkan informasi dari berbagai literatur, dapat disimpulkan bahwa kelahiran psikologi agama sebagai disiplin ilmu yang berdiri sendiri, memiliki latar belakang sejarah yang cukup panjang. Selain itu, pada tahap-tahap awalnya psikologi agama didukung oleh para ahli dari berbagai disiplin ilmu.
Sebagai disiplin ilmu boleh dikatakan, psikologi agama dapat dirujuk dari karya penulis Barat, antara lain karya Jonathan Edward, Emile Durkheim, Edward B. Taylor maupun Stanley Hall yang memuat kajian mengenai agama suku-suku primitive dan mengenai konversi agama.
Sejak menjadi disiplin ilmu yang berdiri sendiri, perkembangan psikologi agama dinilai cukup pesat, dibandingkan usianya yang masih tergolong muda. Hal ini antara lain disebabkan, selain bidang kajian psikologi agama menyangkut kehidupan manusia secara pribadi, maupun kelompok, bidang kajiannya juga mencakup permasalahan yang menyangkut perkembangan usia manusia. Selain itu, sesuai dengan bidang cakupannya, ternyata psikologi agama termasuk ilmu terapan yang banyak manfaatnya dalam kehidupan sehari-hari.
Perkembangan psikologi agama yang cukup pesat ini antara lain ditandai dengan diterbitkannya berbagai karya tulis, baik berupa buku maupun artikel dan jurnal yang memuat kajian tentang bagaimana peran agama dalam kehidupan manusia. Dengan demikian, psikologi agama kini telah memasuki berbagai bidang kehidupan manusia, sejak dari rumah tangga, sekolah, institusi keagamaan, rumah-rumah sakit, panti asuhan, panti jompo, dan bahkan hingga ke lembaga kemasyarakatan.
Tampaknya, para ilmuwan dan agamawan yang semula berselisih pendapat mengenai psikologi agama, kini seakan menyatu dalam kesepakatan yang tak tertulis, bahwa dalam kehidupan modern ini, peran agama menjadi kian penting. Dan pendekatan psikilogi agamadapat digunakan dalam memecahkan berbagai problema kehidupan yang dihadapi manusia sebagai makhluk yang memiliki nilai-nilai peradaban dan nilai moral.[7]