BAB I
PENDAHULUAN
Secara naluriah, manusia selalu berusaha menyandarkan hasrat kehidupannya kepada sesuatu yang dianggap memiliki kekuatan absolut. Hal ini bisa terlihat dalam rentangan sejarah kehidupan mamnusia, baik pada zaman klasik sampai kepada kondisi kekinian. Pada zaman klasik, manusia banyak menyandarkan keyakinannya kepada benda-benda yang dinggap sakti, keramat dan lain sebagainya.[1] Pada zaman modern, dikarenakan rasionalitas manusia sudah mengalami kemajuan, kepercayaan seperti ini sudah tidak begitu kental berada ditengah-tengah masyarakat. Kondisi ini memberikan gambaran bahwa tanpa adanya ajaran agama langit yang berkembang dalam suatu komunitas masyarakat, mereka akan berusaha membentuk sebuah keyakinan berdasarkan kemampuan, pengalaman dan ilmu yang mereka miliki.
Dalam Islam, potensi kebertuhanan manusia ini difasilitasi dan dibimbing agar menjadi suatu keyakinan yang benar dan lurus. Bimbingan terhadap manusia ini langsung berasal dari Allah sebagai zat yang Maha Tinggi, maha Kuasa, Maha Mengetahui. Namun bimbingan itu bukan dalam bentuk Allah yang membimbing manusia, tetapi melalui risalah yang dibawa oleh para Nabi dan Rasul Allah Swt.
Para Nabi dan rasul dalam mengemban amanah dakwah mengajarkan bahwa tujuan hidup manusia adalah mengabdi dan menyembah Allah , sebagaimana firman Allah dalam surat adz-Dzariyaat : 56 :
Artinya : Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku. (QS 51 : 56)
Tujuan ini hidup manusia sebagaimana yang dijelaskan dalam surat diatas, mendorong manusia untuk mengkaji berbagai tingkah laku dan respon manusia itu sendiri dalam menjalankan agama yang telah diajarkan, kemudian memanage dirinya agar mampu menjadi hamba Allah yang istiqamah dalam ajaran Islam. Respon tersebut akan melahirkan suasana kejiwaan tertentu pula bagi seorang ummat Islam. Latar belakang inilah yang akan melahirkan bahasan tentang psikologi Islam.
Dalam rangka meningkatkan kualitas kedekatan seorang hamba kepada sang khâliq, sehingga ia menyadari dan merasakan kehadiran-Nya dalam kehidupan, seorang hamba akan merasakan sebuah nuansa baru dalam memandang kehidupan. Dalam rentangan sejarah Islam, begitu banyak orang-orang yang menaruh pehatian tinggi terhadap kajian-kajian mengenai teori dan peraktik dalam mendekatkan diri sedekat-dekatnya kepada Allah. Orang-orang tersebut di dalam Islam dikenal sebagai para sufi, dan pada gilirannya melahirkan disiplin ilmu baru dalam Islam yaitu Ilmu Tasauf. Kondisi jiwa manusia yang memandang bahwa kehidupan dunia hanyalah media dalam meraih kehidupan yang hakiki, kemudian memanfaatkan fasilitas keduniaan itu dengan efektif dan efesien dalam meraih kebahagiaan hidup baik dunia maupun kahirat, hal ini juga melahirkan cabang ilmu Psikologi Islam yang lain, yaitu Psikologi Tasauf.
Berangkat dari bahasan diatas, pada makalah ini akan coba di bahas sebuah tema :Psikologi Tasawuf dan Pengembangan Kekuatan Spiritual Keagamaan dan ke-Tuhanan Manusia dalam Perspektif Psikologi Agama Islam.
Mengingat begitu luasnya tema ini, maka penulis akan membatasi masalah yang akan dibicarakan pada makalah ini. Adapun batasan tersebut adalah :
Dari pembahasan yang telah dijelaskanpada pembahasan sebelumnya, maka dapat diperoleh kesimpulan sebagai berikut :
PENDAHULUAN
Secara naluriah, manusia selalu berusaha menyandarkan hasrat kehidupannya kepada sesuatu yang dianggap memiliki kekuatan absolut. Hal ini bisa terlihat dalam rentangan sejarah kehidupan mamnusia, baik pada zaman klasik sampai kepada kondisi kekinian. Pada zaman klasik, manusia banyak menyandarkan keyakinannya kepada benda-benda yang dinggap sakti, keramat dan lain sebagainya.[1] Pada zaman modern, dikarenakan rasionalitas manusia sudah mengalami kemajuan, kepercayaan seperti ini sudah tidak begitu kental berada ditengah-tengah masyarakat. Kondisi ini memberikan gambaran bahwa tanpa adanya ajaran agama langit yang berkembang dalam suatu komunitas masyarakat, mereka akan berusaha membentuk sebuah keyakinan berdasarkan kemampuan, pengalaman dan ilmu yang mereka miliki.
Dalam Islam, potensi kebertuhanan manusia ini difasilitasi dan dibimbing agar menjadi suatu keyakinan yang benar dan lurus. Bimbingan terhadap manusia ini langsung berasal dari Allah sebagai zat yang Maha Tinggi, maha Kuasa, Maha Mengetahui. Namun bimbingan itu bukan dalam bentuk Allah yang membimbing manusia, tetapi melalui risalah yang dibawa oleh para Nabi dan Rasul Allah Swt.
Para Nabi dan rasul dalam mengemban amanah dakwah mengajarkan bahwa tujuan hidup manusia adalah mengabdi dan menyembah Allah , sebagaimana firman Allah dalam surat adz-Dzariyaat : 56 :
Artinya : Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku. (QS 51 : 56)
Tujuan ini hidup manusia sebagaimana yang dijelaskan dalam surat diatas, mendorong manusia untuk mengkaji berbagai tingkah laku dan respon manusia itu sendiri dalam menjalankan agama yang telah diajarkan, kemudian memanage dirinya agar mampu menjadi hamba Allah yang istiqamah dalam ajaran Islam. Respon tersebut akan melahirkan suasana kejiwaan tertentu pula bagi seorang ummat Islam. Latar belakang inilah yang akan melahirkan bahasan tentang psikologi Islam.
Dalam rangka meningkatkan kualitas kedekatan seorang hamba kepada sang khâliq, sehingga ia menyadari dan merasakan kehadiran-Nya dalam kehidupan, seorang hamba akan merasakan sebuah nuansa baru dalam memandang kehidupan. Dalam rentangan sejarah Islam, begitu banyak orang-orang yang menaruh pehatian tinggi terhadap kajian-kajian mengenai teori dan peraktik dalam mendekatkan diri sedekat-dekatnya kepada Allah. Orang-orang tersebut di dalam Islam dikenal sebagai para sufi, dan pada gilirannya melahirkan disiplin ilmu baru dalam Islam yaitu Ilmu Tasauf. Kondisi jiwa manusia yang memandang bahwa kehidupan dunia hanyalah media dalam meraih kehidupan yang hakiki, kemudian memanfaatkan fasilitas keduniaan itu dengan efektif dan efesien dalam meraih kebahagiaan hidup baik dunia maupun kahirat, hal ini juga melahirkan cabang ilmu Psikologi Islam yang lain, yaitu Psikologi Tasauf.
Berangkat dari bahasan diatas, pada makalah ini akan coba di bahas sebuah tema :Psikologi Tasawuf dan Pengembangan Kekuatan Spiritual Keagamaan dan ke-Tuhanan Manusia dalam Perspektif Psikologi Agama Islam.
Mengingat begitu luasnya tema ini, maka penulis akan membatasi masalah yang akan dibicarakan pada makalah ini. Adapun batasan tersebut adalah :
- Psikologi Tasawuf; Pengertian dan objek kajiannya
- Eksistensi Psikologi Tasawuf dalam Psikologi Agama Islam
- Pengembangan kekuatan spiritual keagamaan dalam perspektif Psikologi Agama Islam
- Ke-Tuhanan Manusia dalam perspektif Psikologi Agama Islam
[1]Dalam
kajian antropologi Manusia, ada beberapa kepercayaan sebagai bentuk
pelampiasan hasrat bertuhannya manusia. Kepercayaan tersebut
dikelompokkan pada beberapa kelompok yaitu : (1) Dinamisme, yaitu agama
pada masyarakat primitif yang percaya keapada kekuatan (magic)
yang terdapat pada benda-benda yang di anggap keramat, (2) Animisme,
yaitu kepercayaan kepada roh-roh, (3) politeisme, yaitu kepercayaan
kepada dewa-dewa. Ketiga kelompok agama ini digolongkan kepada agama
yang dianut oleh masyarakat primitif. Lihat Junizar Suratman, Spiritualitas dan Radikalisme dala Perspektif Filasafat Agama, ( Padang : Puslit Press, 2011), h. 12-13
BAB II
PEMBAHASAN
- Psikologi Tasawuf
- Pengertian Psikologi Tasawuf
Membahas
Psikologi Tasawuf, pada hakikatnya menggabungkan dua tema kajian
keilmuan yang mandiri menjadi sebuah kajian keilmuan yang integral.
Dalam mendudukkan apa itu psikologi tasawuf, maka perlu dibahas apa
yang dimaksud dengan psikologi dan apa yang dimaksud dengan tasawuf.
Berdasarkan landasan ini, penulis merasa perlu menyinggung sedikit
tentang Psikologi dan Tasawuf.
Secara etimologi, psikologi berasal dari kata Psiko dan logos. Psiko berarti Jiwa, sedangkan logos berarti
ilmu. Jadi Psikologi dapat diartikan sebagai “ilmu tentang jiwa”.
Secara terminologi, psikologi memiliki pengertian suatu disiplin ilmu
yang mengkaji tentang jiwa; tentang kesadaran dan proses mental yang
berkaitan dengan jiwa.[1]
Atau hal ihwal kehidupan jiwa dan kejiwaan, sikap dan tingkah laku
manusia, serta pengembangan hubungan komunikasi dan interaksinya
dengan Tuhan dan lingkungan.[2]
Tasawuf,
secara etimologi memiliki arti sikap mental yang selalu memelihara
kesucian diri, beribadah, hidup sederhana, rela berkorban untuk kebaikan
dan selalu bersikap bijaksana.[3] Sikap jiwa yang demikian ini pada hakikatnya dapat diartikan sebagai akhlak yang mulia.[4]
Adapun
pengertian tasawuf secara terminologi : upaya melatih jiwa dengan
berbagai kegiatan yang dapat membebaskan dirinya dari berbagai pengaruh
kehidupan dunia sehingga mencerminkan akhlak yang mulia dan dekat dengan
Allah SWT. Dalam bahasa yang lebih sederhana, tasawuf dapat diartikan
sebagai bidang kegiatan yang berhubungan dengan pembinaan mental
ruhaniah agar selalu dekat dengan Tuhan.
Dari
pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa Psikologi tasawuf merupakan
kajian hal ihwal kehidupan jiwa dan kejiwaan, sikap dan tingkah laku
para sufi, serta pengembangan hubungan komunikasi dan interaksinya
dengan Tuhan dan lingkungan
- Objek Kajian Psikologi Tasawuf
Dalam hal
kejiwaan, tasawuf cenderung di tafsirkan sebagai “revolusi bathin”
seseorang terhadap kezaliman yang menimpa manusia yang tidak hanya
terbatas pada kezaliman dari orang lain, tetapi justru terfokus kepada
kezaliman yang dilakukan oleh dirinya sendiri.[5]
Revolusi bathin yang dilakukan para sufi ini menghantarkan kepada jiwa
yang tawadhu’ dan wara’. Tawadhu’ merupakan kesadaran yang lahir dari
jiwa seorang hamba yang menginsyafi betapa kecil dan hinanya ia
dihadapan kebesaran dan kemuliaan sang Khâliq. Wara’ seorang
sufi, terwujud dalam bentuk tidak adanya respek pada alam, kebesaran dan
keindahannya. Bagi mereka dunia dianggap sebagai penjara dan kuburan.
Oleh karena itu, jiwa yang terpenjara tersebut berusaha membebasakan
diri dan ingin menemukan kemerdekaan supaya dapat masuk ke Ufuk Langit
Ketuhan yang Luhur sebagai tempat kehadirannya.[6]
Kajian di
atas memberikan pemahaman bahwa yang menjadi objek kajian Psikologi
Tasawuf adalah pengalaman sufistik yang dirasakan oleh para sufi. Yaitu
pengalaman bathin yang dilalui dan dirasakan seorang sufi dalam mencari ketenangan dan kecerdasan bathin serta penyingkapan tabir kedekatan (qarîb)antara
hamba dengan Allah Swt. Pengalaman itu memberikan kondisi jiwa tertentu
yaitu jiwa yang penuh dengan ketenangan dan kebahagiaan serta
kesejahteraan.
Berbicara
tentang pengalaman sufistik dalam konteks tasawuf, sudah menjadi
kesepakatan para sufi yang ikhlas, bahwa puncak pengalaman sufistik yang
mereka rasakan tidak dapat ungkapkan dengan bahasa verbal. Ketika
sebagian para sufi berusaha menggambarkannya dengan bahasa yang sangat
ringkas, mereka memperlihatkan bahwa kalimat-kalimat yang mereka
kemukakan sama sekali tidak mampu mengungkapkan pengalaman-pengalaman
sufistik tersebut.[7]
Walaupun demikian, dampak kejiwaan bagi seorang sufi setelah melalui
berbagai macam pengalaman sufistik dapat di teliti. Dalam pandangan
Zoehner, pengalaman sufistik manusia dapat dibagi pada tiga jenis yaitu :
(a) pengalaman sufistik alami, (b) Pengalaman Sufistik ruh atau jiwa
dan (c) pengalaman sufistik ke-Tuhanan.[8]
a) Pengalaman sufistik alami
Yaitu
pengalaman sufistik yang tidak berkaitan langung dengan tasawuf.
Pemikiran ke-Tuhanan dalam sufistik alami ini terabaikan dan berada
dibawah pengaruh anestetik. Dalam pengalaman alami ini seseorang –
dengan cara anestetik dan melalui seni pengolahan pernafasan seperti
Yoga – merasakan keterhanyutan dalam suasana alam jagad raya yang
dahsyat. Persaksian yang dialami oleh seseorang dalam pengaruh keadaan
anastetik (terbius) tidak bisa diterima oleh nalar. Sebab apa yang
terihat oleh seorang pengaruh keadaan seperti itu hanyalah sekedar ilusi
dan fantasi.[9]
b) Pengalaman sufistik ruh atau jiwa
Pengalaman
ini merupakan cerminan esensi tasawuf. Di dalam kajian ilmu tasawuf,
pengalaman sufistik atau ruh diisitilahkan dengan hâl. Menurut Harun Nasution dalam Abuddin Nata, hâl merupakan sikap mental seperti perasaan senang, perasaan sedih, perasaan takut dan lain sebagainya.[10] Hâl
diperdapat oleh seorang sufi sebagai anugerah dan rahmat Allah, ia
hadir dalam jiwa seorang sufi sifatnya sementara, datang dan pergi bagi
seoran sufi dalam perjalanannya mendekati Allah.[11]
Yang dimaksud dengan hâl pada masalah ini adalah takut (al-Khauf), rendah hati (al-Tawadhu’), patuh (at-Taqwa), ikhlas (ikhlas), rasa berteman (al-Uns), gembira hati (al-Wajd), berterima kasih (al-Syukr).
c) Pengalaman Sufistik ke-Tuhanan
Pengalaman
sufistik seperti ini bertujuan untuk mengembalikan ruh kepada Tuhannya.
Pemikiran ke-Tuhanan ini muncul dalam bentuk yang beragam bagi para
sufi.
Dalam ajaran
tasawuf pengalaman sufistik ke-Tuhanan merupakan puncak tertinggi
kejiwaan manusia dalam mendekatkan diri kepada Allah. Dalam
mengungkapkannya, para tokoh sufi memiliki cara pengungkapan yang
berbeda, diantara pengalaman sufistik yang dirasakan oleh para sufi
adalah
1)
Ma’rifah, tokohnya adalah al-Ghazali dan Zunnun al-Misri. Ma’rifah
disini memiliki pengertian mengatahui rahasia-rahasia Tuhan melalui hati
sanubari, sehingga dengan hati sanubari seorang sufi dapat melihat
Tuhan.[12]
2)
Fana, Baqa dan ittihaad. Tokohnya Abu Yazid al-Bustami, yaitu bersatunya
ruhaniyah dan bathiniyah manusia dengan zat Allah dengan tidak ada
pemisahan.
3)
Hulul, tokohnya al-Halaj. Hulul diartikan oleh para sufi sebagai suatu
tahap dimana manusia Tuhan bersatu secara ruhaniah.[13]
4) Wahdah al-Wujud. Tokohnya Ibn A’rabi. Wahdatul Wujud diartikan
sebagai pengalaman sufistik yang dirasakan oleh seorang sufi,
pengalaman ini terjadi dalam bentuk bersatunya manusia dengan zat Allah
secara zahir dan bathin.[14]
- Eksistensi Psikologi Tasawuf dalam Psikologi Agama Islam Modern.
Dalam
sejarah perkembangan ilmu Psikologi, Psikologi agama Islam baru muncul
pada era tahun 60-an. Disiplin ini mulai dikenal ketika, Aulia (1961)
menulis buku tentang agama dan kesehatan jiwa. Kemudian Zakiyyah
Daradjat memunculkan sebuah buku yang membahas tentang Ilmu Jiwa Agama
(1970-an).[15]
Psikologi
tasawuf sebagai salah satu cabang dalam Psikologi Islam, sangat
berkatian erat dengan psikologi agama Islam. Jika dilihat dari segi
objek kajiannya, sebagaimana yang telah dijelaskan di atas bahwa
psikologi tasawuf mengkaji tentang pengalaman bathin seorang sufi yang
mampu memberikan kondisi jiwa yang selamat (qalbun salîm), jiwa yang tenang (qalbun muthmainnah)
bagi sisufi itu sendiri. Sementara psikologi agama merupakan ilmu yang
mengkaji tentang bathin terhadap keyakinannya kepada Allah, hari
kemudian da masalah ghaib lainnya.[16]
Jika dilihat dari objek kajian kedua disiplin ilmu ini, maka psikologi
tasawuf merupakan salah satu bentuk terapi bagi ummat Islam dalam rangka
meningkatkan kualitas ibadah dalam arti luas.
- Pengembangan Kekuatan Spiritual Keagamaan dalam Perspektif Psikologi Agama Islam
Psikologi
agama Islam mengkaji tentang semangat beragama dan kesadaran beragama.
Semangat beragama terlihat dalam bentuk sejauh mana seseorang dapat
mengamalkan dan menjalankan perintah agama dengan istiqomah.
Sedangkan kesadaran beragama terlihat pada kemampuan seseorang dalam
menangkap nilai-nilai kebaikan dalam ajaran agama Islam secara inklusif.
Spiritualias
merupakan salah satu dimensi kehidupan yang dianugerahkan Allah kepada
manusia. Dimensi ini terwujud dalam bentuk kemampuan dalam mengelola
dan mendayagunakan makna-makna, nilai-nilai, dan kualitas-kualitas
kehidupan. Kehidupan spiritual disini meliputi hasrat untuk hidup
bermakna (the will to meaning) yang memotivasi manusia untuk senantiasa mencari makna hidup (the meaning of life), dan mendambakan hidup bermakna (the meaningfull life).[17]
Hasrat untuk hidup bermakna (the will to meaning)
dapat diartikan sebagai keinginan diri untuk dapat berguna dan berharga
bagi keluarganya, lingkungan serta masyarakatnya, serta bagi dirinya
sendiri.[18]
Keinginan tersebut akan memotivasi seseoerang untuk melakukan aktifitas
kebaikan dan amal shaleh agar makna hidup dapat diraih. Keberhasilan
dalam meraih hidup bermakna, disinilah seseorang akan menemukan
kebahagiaan dan ketenangan. [19]
Pada abad
21, ketika manusia sudah berada pada titik jenuh dalam menjalani hidup
yang berlandaskan pragmatisme materialistik, sebagai ideologi yang
kering dari nilai dan kekuatan spiritual. Bermunculanlah berbagai macam
usaha-usaha baru bagi para ilmuan barat untuk dapat membebaskan manusia
dari kejenuhan dan kegundahgulanaan dalam kehidupannya. Pada awal tahun
2000, muncul sebuah buku yang menggemparkan, ditulis oleh 2 orang
penulis muda yaitu Donah Zohar dan Ian marshall yaitu SQ : Spiritual Intelligence the Ultimate Intelligence. Dalam
buku ini di katakan bahwa kecerdasan spiritual merupakan kecerdasan
tertinggi setelah kecerdasan intelektual, kecerdasan Emosional dan
kecerdasan moral.[20]
Didalam
Islam, spiritual merupakan sebuah kekuatan yang dahsyat. Ari Ginanjar
memberikan gambaran bahwa dengan kekuatan spiritual seseorang yang
berada dalam kondisi sangat dramatis, panik dan takut yang luar biasa,
ketika kekuatan spiritual hadir -kepasrahan penuh kepada Allah- dalam
jiwa, kondisi tersebut dapat ternyata diorganisir dengan baik.[21]
Kekuatan
spiritual dalam pengembangannya, terletak pada kemampuan untuk meraih
makna hidup. Dalam proses ini, agar usaha yang dilakukan mampu
mengarahkan seseorang pada pencapaian hidup yang bermakna, salah satunya
adalah dengan memberikan konseling. Jika dilihat dari perspektif
psikologi agama Islam, tentu konseling yang di tuntut adalah konseling
Islami.
Yahya Jaya memformuliasikan sebuah konsep dalam hal metode konseling Islami, yaitu dengan proses penyucian jiwa (tazkiyat al-Nafs).
Dalam hal penyucian jiwa ada beberapa aspek yang harus diperhatikan,
yaitu mengoptimalkan hubungan vertikal manusia dengan sang khalik (hablum minallah).
Kemudian tidak menafikkan qodrat manusia itu sendiri sebagi makhluk
sosial dengan selalu memperhatikan dan memperbaiki hubungan dengan
sesama manusia (hablum minannas), hubungan dengan sesama makhluk (hablum minalalam), dan hubungan dengan dirinya sendiri (hablum minanannafs).[22]
Secara
praktis, usaha dalam menyucikan jiwa sebagai proses dalam pencarian
makna hidup, Ari ginanjar memberikan beberapa langkah dalam
mengembangkannya :
- Menggantungkan segala asa kepada Allah SWT. Yaitu menyadari bahwa tidak ada kekuatan yang dapat memberikan keselamatan kecuali kekuatan-Nya (Zero Mind Process).
Artinya : Kepunyaan
Allah-lah segala apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. Dan
jika kamu melahirkan apa yang ada di dalam hatimu atau kamu
menyembunyikannya, niscaya Allah akan membuat perhitungan dengan kamu
tentang perbuatanmu itu. Maka Allah mengampuni siapa yang
dikehendaki-Nya dan menyiksa siapa yang dikehendaki-Nya; dan Allah Maha
Kuasa atas segala sesuatu.
- Membangun keyakinan bahwa setiap aktifitas merupakan jalan ibadah kepada Allah Swt. Seseorang yang meyakini hal seperti ini maka akan memiliki semangat berkarya yang luar biasa, sebab dalam beraktifitas ia tidak mengutamakan materi namun keikhlasan untuk selalu berbuat yang terbaik. Dalam arti lain mendengarkan suara hati nurani (Melepas belenggu dari kepentingan-kepentingan prgamatis semata )
- Merasa bahwa Allah hadir dalam setiap aktifitas kehidupan. Sehingga timbul kontrol yang kuat terhadap perilaku-perilaku negatif dalam kehidupan seorang hamba.
- Ke-Tuhanan Manusia dalam Perspektif Psikologi Agama Islam
Dalam
membahas masalah ini, setidaknya ada beberapa aspek yang akan
dijelaskan. Psikologi Agama Islam sebagai salah satu disiplin ilmu, maka
ada beberapa masalah yang akan menjadi topik kajian diantaranya seperti
yang di jelaskan oleh ramayulis :
- Bagaimana pengalaman manusia itu dalam hubungannya dengan keyakinannya kepada Tuhannya.
- Bagaimana sifat jiwanya terhadap Tuhannya
- Bagaimana pengalaman tentang dirinya dalam menyerahkan diri kepada Tuhannya.[23]
Melihat dari
masalah diatas, maka ke-Tuhanan manusia dalam perspektif Psikologi
Agama Islam merupakan konsep keyakinan, sikap jiwa dan penyerahan diri
kepada Allah Swt. Pada bahasan selanjutnya, penulis akan coba
menjelaskan hal-hal yang berkaitan dengan permasalahan-permasalahan
tersebut.
- Iman
Iman
memiliki pengertian keyakinan yang kuat zat yang maha berkuasa. Keimanan
akan menghantarkan sesorang kepada ketaatan dalam menjalankan perintah
agama, seperti shalat, puasa, zakat, haji dan perintah-perintah sunnah
lainnya.[24]
Jika demikian, maka iman akan melahirkan tingkah laku ketaatan pada
diri seseorang yang dilakukan hanya dengan keikhlasan semata. Orang yang
melaksanakan shalat hanya mengharapkan imbalan (fahala) yang datang
dari Allah, dan imbalan itu mereka yakini pasti ada.
- Akhlak Mulia
Ibnu Katsir dalam Fariq Gasim Anuz, menjelaskan bahwa akhlak memiliki arti dien, tabiat dan sifat. Hakikatnya adalah potret batin manusia yaitu jiwa dan kepribadiannya.[25]
Bagi seorang hamba yang memiliki iman yang baik, maka akan memancarkan
tingkah laku atau tabia’at yang baik pula. Yaitu perangai atau tingkah
laku yang memberikan manfaat bagi diri dan lingkungannya. akhlak mulia
itu bisa lahir dalam bentuk, diantaranya :
- Tawadhu’
Tawadhu’
memeliki pengertian sifat rendah hati. Yaitu sifat yang tidak mau
membanggakan diri atas kelebihan dan keistimewaan yang diberikan Allah
kepadanya. Seorang yang tawadhu’ menyadari bahwa apapun yan ia miliki;
ilmu, kekayaan, jabatan, pangkat dan lain-lain, merupakan anugerah dan
amanah dari Allah. Itu semua justru dijadikan sebagai media dalam rangka
menyadari betapa maha besarnya dan maha kuasanya Allah.
- Wara’
Yaitu sikap
yang selalu waspada terhadap hal-hal yang dapat merendahkan martabat
sebagai hamba Allah. Seorang yang memiliki sifat wara’ selalu berusaha
menghindarkan diri dari hal yang bersifat subhat, sebab itu akan
menjadikan hijab bagi dirinya terhadap kebesaran Allah yang Maha Mulia.
- Ikhlas
Ikhlas merupaka perbuatan atau tingkah laku yang dilakukan oleh seorang hamba hanya diperuntukkan bagai Allah semata.[26] Apapun katifitas kehidupannya dalam rangka mengarungi lautan kehidupan, dimaknai sebagai ibadah kepada Allah Swt.
- Sabar
Merupakan
sikap yang tangguh dalam menghadapi problematika kehidupan. Orang yang
sabar tidak mudah putus asa serta yakin akan rahmat Allah dalam setiap
peritiwa kehidupan yang dialami, apapun itu bentuknya.[27] Firman Allah QS 94 : 5-6
Artinya : Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.( QS : al-Insyirah : 5-6)
- Syukur
Yaitu
penggunaan seluruh nikmat Allah oleh seorang hamba –baik dalam bentuk
pendengaran, penglihatan, hati, maupun yang lainnya- sesuai dengan
tujuan penciptaanya.[28]
Semua anugerah yang diberikan Allah kepada manusia, terutama nikmat
panca indera diberikan oleh Allah memiliki tujuan. Pendengaran Allah
berikan bertuajuan agar manusia dapat mendengarkan pengajaran, perkatan
yang baik. Begitu juga dengan nuikmat yang lain.
- Tawakkal.
Tawakkal
adalah bersandar kepada Allah dalam segala hal. Allahlah sebagai
penyebab segala sesuatu. Artinya, manusia sebagai seoarang hamba
menayadari betapa didalamnya dirinya tidak ada kekuatan. Sungguh pemilik
kekuatan dan daya hanya Allah. Takwa merupakan sikap hidup yang mampu
menghantarkan seseorang kepada ketenangan hidup.
Penyerahan
diri kepada Allah disini merupakan penyerahan yang tidak menafikkan
sunnatullah yang telah menjadi ketetapan Allah. Artinya dalam bertqwaqal
juga harus diringi dengan berikhtiar, karena segala sesuatu sudah Allah
ciptakan dengan struktur sebab akibat, walaupun hal itu semua tidak
akan mutlak, jika Allah berkehendak.
[1]Pengertian
psikologi sebenarnya mememiliki ragam dimensi pemikiran. Seperti
pengertian psikologi yang dipelopori oleh Wilhem Wund : Psikologi
adalah ilmu pengetahuan tentang kehidupan mental, seperti pikiran,,
perhatian, persepsi, inteligensi, kemauan, dan ingatan. Definisi ini
berusaha memisahkan antara filsafat dan psikologi, sehingga fokus
kajiannya adalah mental. Namun pemisahan ini belum sempurna sehingga
masih berbaur antara kajian filasafat dengan psikologi. Kemudian John
Watson juga mempelopori pengertian psikologi yang lain yaitu : Psikologi
merupakan ilmu pengetahuan tentang perikaku organisme, seperti perilaku
kucing terhadap tikus, perilaku manusia terhadap sesamanya, dan
sebagainya. Pengertian ini memiliki fokus kajian pada gejala-gejala
jiwa yang dilakukan melalui penelaahan perilaku organisme. Dalam wacana
psikologi kontemporer, pengertian inilah yang lazim di pakai, karena
teori ini memandang bahwa semua organisme memiliki gejala kejiwaan.
Manusia merupakan makhluk hidup yang memiliki jiwa, namun secara empirik
hakikat jiwa itu tidak dapat diketahui, yang dapat diketahui hanya
proses, fungsi dan kondisi kejiwaan. Bagi kaum Behavioristik jiwa
digeneralisasikan atas semua organisme (makhluk), tanpa memperdulikan
perbedaam jiwa manusia dengan jiwa binatang. Bagi mereka (kaum
Behavioristik) yang terpenting adalah bagaimana memberi ransangan atau
stimulus pada jiwa sehingga mampu meresponnya dalam bentuk perilaku.
Dalam kajian Psikologi Islam, sebagai induk dari cabang-cabang Ilmu
psikologi dalam Islam, psikologi diartikan sebagai “Studi tentang jiwa”.
Pengertian dianggap paling cocok dengan Psikologi Islam sebagai cabang
ilmu mandiri yang masih berada pada proses awal dan memandang jiwa
manusia sebagai jiwa yang khusus dan tidak sama dengan jiwa binatang.
Lihat : Abdul Mujib CS, Nuansa-nuansa Psikologi Islam; (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2002) Edisi 1 Cet.2 h. 1-3
[2] Yahya Jaya, dikutip melalui Kuliah Seminar tentang Psikologi Agama Islam Modern, pada tanggal 25 maret 2012 di lokal PI3
[3] Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, (PT. Raja Grafindo Persada, 1997) Edisi. 1 Cet. 2 h. 179-180.
[4]
Dalam segi bahasa, sebenarnya arti kata Tasawuf memiliki bermacam
perkiraan asal kata. Diantaranya, ada yang mengatakan tasawuf berasal
dari bahasa Yunani yaitu sophos yang memiliki pengertian Hikmat.
Ada juga yang mengatakan bahwa tasawuf itu berasal dari bahasa Arab
dengan berbagai macam pandangan pula. Diantaranya al-Suffah (ahl al-Suffah) orang yang ikut bersama Nabi pindah dari kota Mekka ke Madinah, saf (barisan), sufi (suci), dan suf (kain
wol). Kata-kata tersebut, sebagaimana dijelaskan oleh Harun Nasution
dalam Abudin Nata, bisa-bisa saja dihubungkan dengan tasawuf. Kata ahl as-Suffah misalnya, menggambarkan keadaan yang rela mencurahkan jiwa dan raga, tenaga, harta dan sebagainya hanya untuk Allah.
[5] Amir An-Najar (penj : Ija Sutana) at-Tashawwuf An-Nafsi (Psikoterapi Sufistik dalam Kehidupan Modern), Kairo : al-Hai’ah al-Mishriyah Al-‘Ammah li Kitab; Jakarta : Penerbit Hikmah PT. Mizan Publika, cet 1 2004, h. 153
[6] Ibid
[7] Ibid, h. 164
[8] Ibid, h. 165
[9] Ibid
[10] Abuddin Nata, op.cit, h. 205
[11] Amir an-Najar, loc. cit
[12] Lihat H. A Mustofa, Akhlak Tasawuf, (Bandung : Pustaka Setia, 2005) cet. 3, h. 252-259, Bandingkan dengan Abuddin Nata, h. 219-230
[13] Abuddin Nata, op.cit, h. 239-246
[14] Ibid, h. 247-255
[15] http://www.anneahira.com/psikologi-agama-islam.htm, diakses tanggal 31 Maret 2012
[16] Ramayulis, Psikologi Agama, (Jakarta : Kalam Mulia, 2004) cet. Ke-7, h. 7
[17] Abdul Mujib Cs, Nuansa-nuansa Psikologi Islam, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2002), cet. 2, h. 325
[18] Hanna Djumhana Bastaman, Meraih Hidup Bermakna;Kisah Pribadi dengan Pengalaman Tragis (Jakarta : Penerbit Paramadina, 1996) cet 1, h. 25
[19] Ibid, h. 26-31
[20] Danah Zohar and Ian Marshall, SQ : Spiritual Quotion the Ultimate Intelligence, (Soho Square, London : Vloomsbury Publishing, 2000), h. 3
[21]
Contoh peranan kekuatan spiritual ini di ungkapkan oleh Ari Ginanjar
dengan mengemukakan kisah seorang pilot pesawat boing 737 mampu
menyelamatkan penumpangnya. Dikisahkan bahwa pesawat tersebut jatuh dari
ketinggian kurang lebih 5 km diatas udara, namun ketika sang kapten
peasawat berada dalam kepasrahan yang tinggi, justeru ia bisa mencarikan
solusi baik untuk mendaratkan pesawatnya kedalam sungai. Lihat Ari
Ginanjar Rahasia Sukses membangkitkan ESQ Power; Sebuah inner Journey melalui al-Ihsan, (Jakarta : Penerbit Arga, 2003) cet ke-5 th 2004, h. 121-132
[22] Yahya Jaya, Bimbingan Konseling dalam Agama Islam, ( Angkasa Raya, 2004) cet. 10, h. 165-178
[23] Ramayulis, opcit, h. 3
[24] Fariq bin Gasim Anuz, Bengkel Akhlak, (Jakarat : Penerbit Darus Sunnah Press, 2009) cet. 1, h. 48-53
[25] Ibid, h. 12
[26] Amir an-Najar, opcit, h. 17-24
[27] Ibid, h. 73-76
[28] Ibid, h. 90
BAB III
KESIMPULAN
Dari pembahasan yang telah dijelaskanpada pembahasan sebelumnya, maka dapat diperoleh kesimpulan sebagai berikut :
- Psikologi tasawuf sebagai salah satu disiplin ilmu memiliki objek kajian tentang pengalaman batin seorang sufi dalam menjalani kehidan tasawufnya.
- Psikologi tasawuf merupakan dan psikologi agama Islam merupakan cabang dari psikologi Islam. Antara psikologi Tasawuf dengan psikologi agama Islam memiliki hibungan yang erat. Hubungan keduanya ibarat dua mata uang yang tidak dipisahkan, sebab antara psikologi Tasawuf dengan Psikologi Agama Islam berfungsi saling menguatkan dan melengkapi.
- Pengembangan kekuatan spiritual dalam psikologi agama Islam yaitu dengan membina kualitas hubungan dalam kehidupan manusia. Ada 4 jenis hubungan yang selalu ada dalam kehidupan manusia yaitu (1) Hubungan dengan Allah (hablum minallah), (2) hubungan dengan sesama manusia (hablum minannas), (3) Hubungan dengan sesama makhluk (hablum minal ‘alam), (4) Hubungan dengan dirinya sendiri (hablum minan nafs). Pengembangn kualitas hubangan diatas akan dapat menghantarakan seseorang dalam meraih makna hidup.
- Ke-Tuhanan Manusia dalam perspektif Psikologi Agama Islam Modern, merupakan proses peningkatan kualitas hidup. Tuhan merupakan zat yang maha kuasa, keyakinan kepadanya akan menghantarkan seseorang untuk melakukan kebajikan dan meninggalkan kemaksiatan.