Epistemologi dan Metodologi Pendidikan Islam |
Posted By Drs. Mutawalli, M.Pd.i |
|
PENDIDIKAN Islam seringkali dikesankan sebagai pendidikan yang tradisional dan konservatif. Hal itu wajar karena orang memandang bahwa kegiatan pendidikan Islam dihinggapi oleh lemahnya penggunaan metodologis pembelajaran yang cenderung tidak menarik perhatian dan memberdayakan. Jika problem tersebut tidak segera ditanggapi secara serius dan berkelanjutan, maka peran pendidikan Islam akan kehilangan daya tariknya.
Menurut pengamatan Amin Abdullah (1998), bahwa kebanyakan pendidikan Islam masih menggunakan pola konvensional-tradisional, tidak saja yang terjadi dilembaga pendidikan non formal seperti pondok pesantren dan madrasah diniyah, akan tetapi juga di sekolah Islam, madrasah dan perguruan tinggi. Oleh karena itu harus dicari terobosan baru dan inovasi yang relevan dengan zaman, sehingga isi dan metodologi pendidikan Islam menjadi aktual-kontekstual. Dengan demikian, pelaksanaan pendidikan Islam akan relevan dan sesuai dengan gerak perubahan dan tuntutan zaman.
Kajian epistemologis dalam wilayah keilmuan apapun tidak bisa dihindarkan dari mempersoalkan konstruksi cara berfikir dan mentalitas keilmuan. Sedang cara berfikir itu, dipengaruhi oleh gerak perubahan zaman yang melingkarinya serta corak tantangan kehidupan yang dihadapi oleh setiap generasi. Secara historis pendidikan Islam memiliki pengalaman dan budaya yang sebetulnya itu menjadi nilai berharga untuk menata kembali gerak dan dinamika pendidikan Islam yang berkualitas.
Konstruksi epistemologis yang bergerak inilah yang membutuhkan corak pemikiran dan mentalitas yang kreatif, inovatif–positif seperti yang diisyaratkan Fazlur Rahman. Sehingga secara aktif konstruktif akan selalu berupaya dan berusaha membangun kerangka metodologis baru, karena tidak puas dengan anomali-anomali yang melekat pada kerangka metodologis yang selama ini telah berjalan secara konvensional–tradisional.
Dalam tahapan pendidikan Islam dikenal tiga dominan yaitu kognitif, afektif dan psikomotorik. Tahapan pertama adalah mentranfer atau memberikan ilmu agama sebanyak-banyaknya kepada anak didik. Dalam kegiatan ini aspek kognisi anak didik menjadi sangat dominan. Kedua, selain memenuhi harapan pada tahapan pertama, proses internalisasi nilai agama diharapkan dapat juga terjadi. Aspek ini lebih diutamakan dari pada yang pertama.
Selanjutnya tahapan yang hendak dicapai oleh pendidikan Islam ialah aspek psikomotorik. Aspek ini lebih menekankan kemampuan anak didik untuk dapat menumbuhkan motivasi dalam diri sendiri sehingga dapat menggerakkan, menjalankan dan mentaati nilai-nilai dasar agama yang telah terinternalisasi dalam dirinya lewat tahapan kedua. Keberhasilan pendidikan Islam harus tercermin pada tindakan individu dan tindakan sosial yang konkrit dalam kehidupan individu, keluarga dan masyarakat. Pendidikan agama tidak boleh hanya terkait dengan nilai-nilai fundamental dalam kehidupan sehari-hari dan pandangan hidup (Weltans-Chaung) keagamaan yang terkait dengan prilaku dan persoalan –persoalan praktis dalam kehidupan keseharian. Amin Abdullah (1998) mengemukakan bahwa pendidikan Islam terasa kurang terkait atau kurang concern terhadap persoalan bagaimana mengubah pengetahuan agama yang bersifat kognitif menjadi “makna dan nilai” yang perlu diinternalisasikan dalam diri seseorang lewat berbagai cara, media dan forum. Selama ini metodologi pengajaran agama berjalan secara konvensional- tradisional, yakni menitik beratkan pada aspek korespodensi-tekstual yang lebih menekankan yang sudah ada pada kemampuan anak didik untuk menghapal teks-teks keagamaan daripada isu-isu sosial keagamaan yang dihadapi manusia pada era modern seperti kriminalitas, white callar crime, kesenjangan sosial, penggusuran tanah, keadilan, hak asasi manusia, hak warga negara, yang dapat membangkitkan pemikiran kritis perlu juga disinggung dalam ruang lingkup pendidikan agama Islam. Pengajaran agama yang bersandar pada bentuk metodologi yang bersifat statis indoktrinatif – doktriner, tidak menarik lagi bagi anak didik dan sekaligus tidak mengantarkan anak didik sampai pada tahapan afektif, apalagi sampai pada tahapan psikomotorik.
Agar pendidikan agama tidak kehilangan daya tarik dan fungsionalnya, perlu diangkat topik-topik, isu-isu, tema-tema, problema-problema sosial keagamaan dan problema kemasyarakatan yang konkret dan relevan sehingga problema-problema tersebut dapat berbicara dengan sendirinya, tanpa berpretensi dan menggurui. Dengan cara ini siswa atau mahasiswa di manusiakan (dipedulikan dan dihargai eksistensinya), dan terasa pula lebih demokratis.
Reformulasi Kesadaran Historis Pendidikan Islam Untuk mengembangkan pendidikan Islam masa depan yang kompetitif dan unggul, tidak bisa melupakan, apalagi sampai meninggalkan nilai sejarah dan khazanah peradaban. Sebab sejarah menjadi sangat berharga untuk menilai dan memulai kembali perombakan atau pembaruan model pendidikan Islam yang inovatif dan relevan dengan tuntutan global. Menurut Azyumardi Azra (dalam Mulkhan, 1998: 77) mencoba memberikan beberapa alternatif kearah reformulasi pemikiran pendidikan Islam, dengan melalui pendekatan historis. Sebuah rekonstruksi di antaranya yaitu pertama, berkenaan dengan situasi riil sistem pemikiran, wacana dan realita sistem pendidikan Islam. Kedua, berkenaan dengan upaya rekonstruksi ilmu sebagai alternatif apa yang harus kita lakukan di dalam merekonstruksi sistem pendidikan Islam ini.
Permasalahan pertama berkaitan dengan situasi objektif pendidikan Islam, yaitu adanya krisis konseptual (tentang pembagian ilmu-ilmu di dalam Islam). Biasanya disebut dengan istilah ilmu profan (keduniawian) dan ilmu sakral (ukhrawi). Krisis ini berimplikasi pada keilmuan dan sekaligus pada kelembagaan. Dalam Islam, seperti dikemukakan John J. Donohue dan John L. Esposito (1994: 171) bahwa sebenarnya tidak dikenal istilah dikotomi apapun, termasuk bidang pendidikan.
Krisis kelembagaan ini adalah adanya dikotomisasi antara lembaga-lembaga pendidikan yang menekankan pada salah satu aspek dari ilmu-ilmu yang ada, baik ilmu agama maupun ilmu umum. Model kelembagaan yang dikotomis tidak akan mampu melahirkan peradaban yang unggul dan menjadi kekuatan bagi kemajuan umat.
Persoalan lain adalah konflik antara tradisi pemikiran dan pendidikan Islam modernitas. Dalam konteks Indonesia, krisis ini paling jelas dapat dilihat di pesantren. Di pesantren paling jelas terjadi krisis akibat konflik antara tradisi pemikiran dan praktik pendidikan Islam dengan modernitas.
Persoalan selanjutnya yaitu krisis metodologi atau krisis pedagogik. Sekarang ini kecendrungan di kalangan lembaga-lembaga pendidikan Islam adalah lebih merupakan proses teaching (proses pengajaran), ketimbang proses learning (proses pendidikan). Dengan demikian proses pengajaran, hanya mengisi aspek kognitif dan tidak membentuk pribadi dan watak. Proses pendidikan hanya melahirkan kemampuan otak (kognitif) ketimbang karekter perilaku dan tindakan yang etis.
Persoalan terakhir adalah krisis orientasi. Lembaga-lembaga pendidikan Islam atau sistem pendidikan pada umumnya lebih berorientasi ke masa silam ketimbang masa depan. Sebagaimana kita rasakan dalam perkuliahan, mata kuliah hampir seluruhnya orientasinya kebelakang. Cara demikian harus diubah bagaimana pembelajaran diorientasikan masa depan. Peserta didik diajak untuk melakukan observasi, meneliti, dan menghasilkan karya yang bermanfaat untuk membangun masa depan umat yang lebih unggul.
Dari persoalan di atas, Azyumardi Azra memberikan beberapa alternatif ke arah rekonstruksi pemikiran dan praktik pendidikan Islam. Pertama, adalah berkaitan dengan persoalan formulasi, merumuskan kembali tentang ilmu-ilmu Islam. Mengingat hal di atas, formulasi ilmu-ilmu Islam dan umum sangatlah penting. Barangkali pemikiran ini menunjuk bahwa dikotomi antara ilmu umum dan Islam harus diakhiri dan diwujudkan kembali keilmuan yang integratif. Keduanya menjadi satu kesatuan yang harus dipelajari oleh umat Islam tanpa berat sebelah.
Kedua, pengembangan sikap penerimaan kultural yang sadar terhadap perubahan. Dengan demikian, maka arah dari penerimaan kultural yang sadar, penambahan sikap kultur yang sadar terhadap perubahan, hasil akhirnya akan menciptakan sistem pendidikan yang lebih berorientasi ke masa depan (future oriented), tidak hanya sekedar berorientasi ke masa lalu (past oriented).
Ketiga, rekonstruksi kelembagaan pendidikan seperti perguruan Al-Azhar di Kairo. Pemikiran ini telah mendorong beberapa perubahan pada perguruan tinggi sebelumnya, seperti IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, STAIN Malang, IAIN Sunan Gunungjati Bandung, IAIN Sultan Syarif Kasim Riau dan IAIN Alauddin Makassar kini telah berubah menjadi universitas. Perguruan tinggi yang sebelumnya hanya memuat ilmu-ilmu agama (ushuluddin, tarbiyah, syari’ah, dakwah dan adab) saat ini telah dikembangkan fakultas-fakultas umum. Dengan demikian memudahkan untuk memadukan (integrasi) antara ilmu agama dan ilmu umum.
Pada prinsipnya, konsep pendidikan Islam yang ideal dan praktis adalah apa yang di sebut paradigma tauhid. Dalam hal ini paradigma tauhid bukan berarti hanya mengesakan Allah, tetapi mengintegrasikan seluruh aspek, seluruh pandangan dan aspek kehidupan di dalam sistem dan lapangan kehidupan sosial kita. Dalam konteks pendidikan, antara aspek esoteris (batin) dengan eksoteris (lahir) harus ada keselarasan dan kesatuan.
Keempat, rekonstruksi perumusan kembali makna pendidikan. Proses pendidikan Islam yang kita tempuh lebih baik menggunakan ta’dib ketimbang tarbiyah, meminjam istilah Naquib Al-Attas, karena kata ta’dib lebih mengandung proses inkulturasi, proses pembudayaan, tidak hanya proses intelektualisasi. Dengan proses ta’dib maka akan muncul dari sistem pendidikan manusia yang betul-betul berbudaya, berkarakter dan berakhlak.
Dan rekonstruksi kelima adalah pendidikan yang berkelanjutan dan berkesinambungan. Cara ini harus dijadikan pijakan oleh siapa saja yang ingin meningkatkan mutu pendidikan. Karena pendidikan adalah aktifitas yang tidak pernah berhenti untuk mencari hal-hal yang terbaik, dan mencari model pengembangan yang relevan dengan masa depan.
Dari kelima rekonstruksi di atas, pendidikan Islam diharapkan mampu menjadi pilar pendidikan yang dapat mengahadapi segala tantangan dan perubahan zaman. Lebih dari itu, pendidikan Islam juga harus mampu menjawab segala persoalan yang muncul dalam konteks kekinian. Pendidikan Islam menjadi tempat untuk melahirkan sosok manusia yang mampu mengemban tugas kehidupan secara luas.
Apapun metode dan pendekatan yang digunakan dalam membangun pendidikan islam harus tetap berpijak dari nilai-nilai besar yang diajarkan dalam kitab suci dan hadits dan dipadu dengan hasil observasi, riset dan eksperimen. Modal seperti inilah perlu menjadi kerangka berpikir umat Islam agar keluar dari mindset yang tradisional, konservatif dan rigit, begitu pula yang terlalu jauh keluar sehingga tampak liberal, westernis atau kebarat-baratan. |