Sabtu, 23 Juni 2012

JANJI DAN ANCAMAN SEBAGAI METODOLOGI PENYAJIAN AL-QUR'AN

Posted By Drs. H. Mutawalli, M.Pd.I.

A. Iftitah
Al-Qur'an sebagai kitab suci agama Islam merupakan salah satu sumber bagi umat Islam dalam menapaki kehidupan ini. Sebagai sumber pedoman bagi kehidupan umat, AlQur'an membutuhkan penjelasan dan penafsiran sehingga Al-Qur'an tidak hanya sebagai kitab suci yang tanpa makna. Akan tetapi Al-Qur'an bisa menjadi sebuah kitab suci yang membumi dan bermanfaat dalam kehidupan. Berbagai penafsiran telah dilakukan oleh berbagai ulama tafsir baik dari ulama salaf maupun ulama kontemporer. Bahkan tidak hanya sebatas penafsiran, tetapi pembacaan sekaligus pemaknaan ulang teks-teks primer agama Islam digagas dan disuarakan dengan lantang
Gagasan dan tuntutan untuk melakukan pembacaan sekaligus pemaknaan ulang teks-teks primer agama Islam disuarakan oleh para pemikir modernis muslim baik di Timur Tengah maupun di belahan dunia lain, termasuk di Indonesia. Tujuannya adalah agar teks-teks primer Islam, yang telah menjadi pedoman dan panduan lebih dari 1 miliar umat Islam, dapat ditundukkan untuk mengikuti irama nilai-nilai modernitas sekuler yang didiktekkan dalam berbagai bidang. Berbagai seminar, workshop dan penerbitan buku hasil kajian dan penelitian digiatkan secara efektif untuk mengkampanyekan betapa mendesaknya "pembacaan kritik" dan "pemaknaan baru" teks-teks Al-Qur'an dan As-Sunnah. Berbagai produk yang diimpor dari Barat seperti sekularisme, liberalisme, dan pluralisme agama dan pengarusutamaan gender telah menjadi menu sajian yang lezat untuk dihidangkan kepada komunitas muslim.
Di antara pemikir modernis itu adalah DR. Nasr Hamid Abu Zaid [1] yang di bawah pengaruh hermeneutika dalam miliu filsafat dan epistemologi Barat, Abu Zaid meneliti hakekat konsep teks yang menjadi problem mendasar dakam sistem hermeneutika karena wahyu Allah telah turun dengan medium bahasa manusia , sebab jika tidak maka tentu tidak akan dapat dipahami manusia. Penyebab pertama yang membuat pemikiran Islam tertinggal dan berhenti dari peredaran sejarah, menurut Nasr Hamid adalah karena terpusatnya pada masalah teologis.
Dia menjelaskan dengan tegas bahwa "Al-Qur'an adalah perkataan Muhammad yang diriwayatkan bahwa ia adalah wahyu Ilahi". Menurutnya, firman Tuhan juga perlu beradabtasi dalam lingkup manusia, sebab ketika Allah ingin berbicara kepada manusia, maka Dia harus berbicara lewat bahasa manusia. Jika tidak, maka manusia tidak akan mengerti apa yang dihenedaki Allah. Hal ini berujung pada kesimpulan bahwa Al-Qur'an adalah berbahasa manusia (The Qur'an is human languages). [2]
Menurut Abu Zaid, teks Al-Qur'an telah berubah menjadi teks manusiawi, sejak dia pertama kali turun kepada Muhammad shalallahu a'alihi wasallam. Hal ini karena teks menurut dia, sejak pertama kali turun dan sejak dibaca oleh Nabi shalallahu a'alihi wasallam ketika proses pewahyuan, telah berubah dari teks Ilahi menjadi teks manusiawi. Ia berubah dari tanzil kepada takwil.
Masih menurut Abu Zaid, pemahaman Nabi shalallahu a'alihi wasallam atas Al-Qur'an adalah fase pertama pergerakan teks dalam intrekasinya dengan akal manusia. Teks Al-Qur'an terbentuk dalam realitas kultur dalam waktu lebih dari 20 tahun.dan oleh karena itu Al-Qur'an adalah "produk" budaya sebagaimana ia juga "produsen" budaya, karena ia sebagai teks sentral dan hegemonik yang menjadi rujukan teks-teks lain. Selanjutnya Nasr Hamid mengatakan bahwa teks-teks keagamaan adalah teks-teks bahasa yang kedudukannya sama dengan teks-teks lain dalam kebudayaan manusia. Oleh sebab itu, mengkaji al-Qur'an tidak memerlukan metode khusus. Pasalnya, menciptakan metode yang khusus sama artinya mencegah manusia untuk memahami teks-teks agama secara mandiri.
Tertarik atau tidak terhadap teori dan ide-idenya mengenai analisis wacana, kritik teks, apalagi hermeneutika ini. Kita dapat melihat apa yang dia lontarkan kebanyakan –untuk tidak mengatakan seluruhnya– adalah gagasan-gagasan ‘nyleneh’ yang diimpor dari tradisi pemikiran dan pengalaman intelektual masyarakat Barat, yang notabene sekuler dan suka mengolok-olok dan mengutak-atik agama (ittakhadhuu diinahum huzuwa wa la’iba). Kita tidak tahu pasti apa motif-motifnya dan apa tujuan Nasr Hamid Abu Zaid sebenarnya. Itu di luar kemampuan dan kewenangan kita; hanya Tuhan dan dia sendiri yang tahu.
Namun berdasarkan tulisan-tulisan dan statement-nya, kita (khususnya para pelajar muslim dan kalangan spesialis kajian Islam) berhak dan berkewajiban memberikan penilaian (benar atau salah), menentukan sikap (menerima atau menolak), mengambil posisi (membela atau menghukum), dan menyatakan itu semua secara kritis dan ilmiah, adil dan tegas. Tidak boleh diam, masa bodoh, pura-pura tidak tahu, atau plin-plan.
Pribadi saya berpendapat, Nasr Hamid telah menyalahkan penafsiran para ulama Ialam terhadap Al-Qur'an karena lebih mengedapankan sisi metafisik sehingga mengalahkan sis ilmiah dan obyektif untuk mengkaji Al-Qur'an. Logika Abu Zaid menyatakan bahwa "keimanan terhadap wujud metafisik Al-Qur'an akan menghalangi sebuah pemahaman ilmiah terhadap fenomena teks Al-Qur'an. Maka dengan menganggapnya sebagai teks manusia seperti pada teks-teks lain pada umumnya, dia berharap kajian Al-Qur'an dapat dinikmati oleh siapa saja (orang Islam, Kristen dan bahkan atheis sekalipun).
Orang macam Abu Zayd ini cukup banyak. Ia jatuh ke dalam lubang rasionalisme yang digalinya sendiri. Ia seperti istrinya Aladdin, menukar lampu lama dengan lampu baru yang dijajakan oleh si tukang sihir. Semoga kita mendapatkan petunjuk seperti Nabi Ibrahim: fa-lammaa afala, qaala laa uhibbul aafiliin.

B. Metodologi Penyajian Al-Qur'an
Al-Qur’an adalah kalamullah, firman Allah Subhanahu wata'alaa. Ia bukanlah kata-kata manusia. Bukan pula kata-kata jin, syaithan atau malaikat. Ia sama sekali bukan berasal dari pikiran makhluk, bukan syair, bukan sihir, bukan pula produk kontemplasi atau hasil pemikiran filsafat manusia. Hal ini ditegaskan oleh Allah ta’ala dalam kalam-Nya di surat An-Najm ayat 3-4:
“…dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Qur’an) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya)…”
Tentang kesucian dan keunikan Al-Qur’an ini perhatikanlah kesaksian objektif Abul Walid [3] seorang jawara sastra pada masa Nabi shalallahu a'alihi wasallam: “Aku belum pernah mendengar kata-kata yang seindah itu. Itu bukanlah syair, bukan sihir dan bukan pula kata-kata ahli tenung. Sesungguhnya Al-Qur’an itu ibarat pohon yang daunnya rindang, akarnya terhujam ke dalam tanah. Susunan kata-katanya manis dan enak didengar. Itu bukanlah kata-kata manusia, ia tinggi dan tak ada yang dapat mengatasinya.” Demikian pernyataan Abul Walid.
Salah satu bukti keistimewaan Al-Qur'an adalah terdapat pada padanan katanya. Al-Qur’an Al-Qur’an berisi 77.439 kata, 323.015 huruf yang seimbang jumlah kata-katanya, baik antara kata dan padanannya, maupun kata dengan lawan kata dan dampaknya. Misalnya kata “Hayat”, yang artinya “hidup” terulang sebanyak 145 kali, sama dengan berulangnya kata “maut” yang artinya “mati”. Kata “akhirat” terulang sama dengan kata “dunia” sebanyak 115 kali. Kata “malaikat” terulang 88 kali, sama dengan terulangnya kata “setan”. Demikian pula kata “yaum” yang artinya “tahun” terulang sebanyak 365 kali, yaitu jumlah hari dalam setahun. Kata “syahr” yang artinya bulan, di ulang sebanyak 12 kali, yakni sama dengan jumlah bulan dalam setahun. [4]
Namun tidak dapat kita pungkiri bahwa pemahaman kaum muslimin 'secara umum' terhadap al-Qur'an masih parsial (juz’i). Hal itu menyebabkan Al-Qur'an belum difungsikan secara menyeluruh dan utuh. Sebagian masyarakat memahami Al-Qur'an sebagai obat (syifa) saja, maka mereka memfungsikannya hanya sebatas sebagai penyembuh. Sehingga, Al-Qur'an baru dekat dengan orang-orang yang sakit, sekarat atau sudah meninggal dunia (itupun yang 'laku' baru surat Yaasiin). Padahal Al-Qur'an sebenarnya lebih dibutuhkan oleh orang-orang yang sehat. Sebagian yang lain hanya memahami Al-Qur'an sebagai kitab bacaan yang pahalanya besar. Pemahaman yang terbatas ini mendorong masyarakat merasa puas setelah hanya membaca al-Qur'an.[5] Pemungsian Al-Qur'an oleh masyarakat sangat dipengaruhi oleh pengetahuan (tashawur) dan persepsi mereka terhadap Al-Qur'an itu sendiri. Hal inilah yang membuat pengenalan terhadap metodologi penyajian Al-Qur'an dengan keuniversalannya menjadi sangat penting untuk dipahami kaum muslimin.
Keuniversalan al-Qur’an yang mengandung nilai-nilai serta norma-norma. Nilai berarti inti suatu ajaran yang bersifat fundamental dan universal, seperti nilai keadilan dan kejujuran. Untuk mencapai keadilan, perlu norma-norma yang berlaku adil. Sikap dan gaya penyajian al-Qur’an yang demikian arif dan dialogis dalam menghadapi manusia adalah suatu kehebatan (ijaz) yang tidak dapat ditandingi oleh siapapun sebagaimana dinyatakan dalam surat Al-Baqarah dan As-Syura. Bahwa, ketika para pemimpin, sastrawan dan ahli syair mencoba membuat syair dan tulisan-tulisan ternyata tidak satu pun dari mereka mampu menyamai al-Qur’an.
Demikian pula konsep janji dan ancaman (al-wa'du wal wa'iid), -sebagai salah satu isi kandungan dan metodologi penyajian Al-Qur'an- perlu diterapkan kepada manusia karena sifat manusia tidak lah sama dengan Malaikat (yang selalu patuh perintah Allah) dan manusia setiap saat digoda oleh Syetan yang selalu berusaha menyesatkan (logis dan realistis).

C. Janji dan Ancaman Sebagai Metodologi Pengajaran Al-Qur'an
Secara bahasa Al-Wa’du ( الوعد ) adalah kalimat mashdar dari kata ( وعد – يعد - وعدا ) yang berarti menjanjikan. وعدت الأمر فلانا , saya menjanjikan sesuatu kepada Pulan. [6]
Sedangkan kata ( الوعيد ), berarti barang yang dijanjikan atau yang diancamkan. Misalnya terdapat dalam firman Allah Subhanahu wata'alaa:
Dan ditiuplah sangkakala. Itulah hari terlaksananya ancaman (Q.S. Al-Hujurat/49 : 30).
Adapun makna secara istilah Al-Wa’du ( الوعد ) yaitu nash-nash (Al-Qur’an dan As-Sunnah) yang mengandung janji Allah kepada orang yang taat dengan ganjaran yang baik, pahala dan Surga dan yang dimaksud dengan Al-Wa’iid ( الوعيد ), yaitu nash-nash yang terdapat padanya ancaman bagi orang-orang yang berbuat maksiat dengan adzab dan siksaan yang pedih. [7]
Kedua bentuk janji tersebut merupakan dasar ketiga dari lima dasar kepercayaan kaum Mu'tazilah. Al-wa'du wal wa'iid ini mempunyai kaitan yang erat dengan keadilan Allah Subhanahu wata'alaa. Allah Subhanahu wata'alaa akan dipandang tidak adil jika Ia tidak menepati janji-Nya untuk memberikan ganjaran kebaikan terhadap orang yang berbuat baik dan memberi jahat terhadap orang yang berbuat jahat. Jika Allah Subhanahu wata'alaa tidak melaksanakan janji-Nya berarti Ia bersifat dusta. Keadaan tidak menepati janji bertentangan dengan kemaslahatan dan kepentingan manusia. Oleh sebab itu, menepati janji wajib bagi Allah Subhanahu wata'alaa. Allah mempunyai kewajiban untuk memasukan orang yang berbuat baik ke dalam surga dan memasukan orang yang berbuat jahat ke dalam neraka. Inilah yang disebut adil.
Pandangan kaum Mu'tazilah di atas berbeda dengan pandangan kaum Asy-'Ariyah. Bagi kaum Asy-'Ariyah, Allah Subhanahu wata'alaa tidak wajib menepati janjinya pada siapa pun karena kekuasaan Allah bersifat mutlaq. Allah Subhanahu wata'alaa bebas dari segala kewajiban. Allah Subhanahu wata'alaa berbuat sekendak-Nya sesuai dengan qudrah (kekuasaan)-Nya yang mutlaq. Allah Subhanahu wata'alaa dapat memasukan orang jahat ke dalam surga atas kanunia-Nya. Sebaliknya, Allah Subhanahu wata'alaa dapat memasukan orang baik ke dalam neraka karena kekuasaan-Nya yang tidak terbatas. Jika Allah Subhanahu wata'alaa memasukan orang jahat ke surga dan orang baik ke neraka, Allah Subhanahu wata'alaa tetap dipandang bersifat adil karena itu adalah hak-Nya. Manusia tidak dapat menjangkau hakekat keadilan Allah Subhanahu wata'alaa. Manusia hanya dapat melihat sesuatu dalam ruang lingkup yang amat terbatas.
Di luar dari kedua pandangan di atas terdapat pula pandangan kaum Maturidiah golongan Bukhara melalui al-Bazdawi berpendapat tidak mungkin Allah Subhanahu wata'alaa melanggar janji-Nya memberi upah/amal kepada yang berbuat baik, tetapi sebaliknya bukan tidak mungkin Allah Subhanahu wata'alaa membatalkan ancaman untuk memberi hukuman kepada orang yang berbuat jahat. Allah Subhanahu wata'alaa wajib menepati janji untuk memberi upah kepada yang berbuat baik dengan demikian Allah memiliki kewajiban, dalam hal ini mereka agak berbeda dari pendapat-pendapat sebelumnya, menurut faham al-Bazdawi Kekuasaan dan Kehendak Allah tidaklah benar-benar mutlak, tetapi disisi lain ia ingin mempertahan antara faham tentang Kekuasaan dan kehendak mutlak Allah dan Keadilan Allah. Golongan Samarkand memiliki pendapat Tuhan wajib menepati janji dan ancaman. Bagi yang berbuat baik akan mendapat upah/amal dan bagi yang berbuat jahat akan mendapat ancaman atau sanksi hukum dari Tuhan. [8]
Allah Subhanahu wata'alaa hanya berkewajiban menunaikan al-wa'du tetapi tidak berkewajiban menunaikan al-waiid. Pandangan demikian dilandasi oleh kehendak kaum Mathuridiah untuk mempertahankan kekuasaan Allah dan kehendak mutlaq Allah Subhanahu wata'alaa dan sekaligus keadilan-Nya. Mengatakan bahwa Allah Subhanahu wata'alaa dapat memasukan orang baik ke dalam neraka adalah bertentangan dengan rasa keadilan. Tetapi mengatakan bahwa Allah Subhanahu wata'alaa berkuasa memasukan orang jahat tidaklah bertentangan dengan rahmat Allah Subhanahu wata'alaa.
Ayat-ayat Al-Qur'an banyak sekali yang memberikan janji pahala terhadap orang-orang yang berbuat baik dan janji ancaman terhadap orang-orang yang berbuat jahat. Dalam berbicara tentang kejahatan, Al-Qur'an selalu mengaitkannya dengan neraka, sebaliknya, dalam berbicara tentang kebaikan senantiasa pula dikaitkan dengan surga. Di antara ayat yang berbicara tentang janji pahala bagi orang yang berbuat baik adalah surat Ar-Rahman/55 : 60, An-Nisa/4 :144, dan Thaha/20 : 112. dan ayat-ayat yang berbicara tentang janji ancaman di antaranya adalah surat An-Nisa : 123, As-Sajadah/32 : 20 dan Fushilat/41 : 27 – 27, dan An-Nisaa'/4 : 173,. [9]
Melengkapi makalah ini, kita akan coba lengkapi penafsiran tentang Janji dan Ancaman yang disebutkan pada ayat terakhir di atas (AnNisaa'/4 : 173), menurut 3 tokoh ahli tafsir termuka, yaitu: Quraisy Shihab, Rasyid Ridha dan Al-Maraghi. Allah Subhanahu wata'alaa berfirman:
Adapun orang-orang yang beriman dan berbuat amal saleh, Maka Allah akan menyempurnakan pahala mereka dan menambah untuk mereka sebagian dari karunia-Nya. adapun orang-orang yang enggan dan menyombongkan diri, Maka Allah akan menyiksa mereka dengan siksaan yang pedih, dan mereka tidak akan memperoleh bagi diri mereka, pelindung dan penolong selain dari pada Allah. (Q.S. An-Nisaa'/4 : 173)
Dalam ayat sebelumnya (ayat 172) ditegaskan bahwa kelak di hari kemudian semua dikumpulkan oleh Allah Subhanahu wata'alaa baik yang enggan dan sombong maupun yang tidak enggan, suka atau tidak suka maka di sini akan dikemukakan sanksi dan ganjaran yang menanti masing-masing. Adapun orang-orang yang beriman dan beramal shaleh, sebagai bukti ketidak-engganan mereka menjadi hamba Allah maka Allah Subhanahu wata'alaa akan menyempurnakan pahala mereka di akhirat setelah sebagian dari pahala dan ganjaran itu telah mereka terima sebagai panjar di dunia ini, bahkan bukan hanya ganjaran yang setimpal tetapi Allah juga akan menambah untuk mereka sebagian dari karunia-Nya yang tidak terhitung itu. Adapun orang-orang yang enggan dan menyombongkan diri, untuk menjadi hamba Allah dengan mengabaikan perintah-perintah-Nya, maka Dia yakni Allah akan menyiksa mereka dengan siksaan yang pedih, akibat kedurhakaan mereka dan mereka tidak akan memperoleh bagi diri mereka pelindung yang dapat memenuhi panggilan mereka dan tidak juga penolong yang dapat meringankan siksa mereka selain dari Allah yang mereka enggan taati itu.
Kata ( يوفيهم ) yuwaffiihim pada mulanya berarti memberikan sesuatu dengan sempurna, dalam arti melebihi kadar yang seharusnya. Menurut Thahir bin `Asyur, masyarakat ketika turunnya Al-quran, mendapatkan kesulitan dalam menetapkan ukuran yang adil karena kurangnya timbangan di kalangan mereka. Dari sini biasanya untuk memberi rasa puas menyangkut kesempurnaan timbangan, mereka melebihkan dari kadar yang dianggap adil dan seimbang, sehingga kata yuwaffiihim pada akhirnya mereka gunakan dalam arti timbangan yang seimbang. Karena itu pula ayat ini menambahkan kalimat akan menambah untuk mereka sebagian dari karunia-Nya. Dalam kehidupan dunia, bahkan di alam Barzakh setelah kematian dan sebelum kebangkitan dari kubur, seseorang belum menerima secara sempurna akibat baik atau akibat buruk dari amal-amalnya. Penyempurnaan ganjaran dan sanksi baru akan terjadi di akhirat nanti. Dengan demikian, menurut Quraish Shihab bahwa janji dan ancaman Allah terhadap umatnya baik yang tunduk kepada-Nya maupun yang enggan kepada-Nya akan diberikan di hari akherat kelak. [10]
Menurut Rasyid Ridha,[11] ayat tersebut menjelaskan bahwa Allah Subhanahu wata'alaa akan memberikan pahala kepada mereka (yang beriman dan beramal baik) secara utuh dan sempurna atas keimanan dan perbuatan baik mereka sebagaimana yang seharusnya menjadi hak mereka. Sesuai dengan sunnatullah, mereka akan memperoleh pahala tersebut sesuai dengan bobot pengaruh keimanan dan amal mereka itu terhadap diri mereka. Allah Subhanahu wata'alaa juga akan memberikan tambahan kepada mereka sebagian dari karunia dan kemurahanNya dari 10 kali lipat sampai 100 kali lipat bahkan sampai kepada yang Dia kehendaki. Sebaliknya kata Ridha, Allah juga akan menyiksa mereka (yang enggan menyembah Allah dan takabur) dengan siksaan yang pedih sebagaimana yang seharusnya mereka terima dan tidak bertentangan dengan sunah-Nya. Namun, siksaan tersebut tidak melebihi dari pada siksaan yang semestinya mereka terima. Sebab, rahmat-Nya mengalahkan kemurkaanNya. Tegasnya, Allah Subhanahu wata'alaa akan membalas orang yang berbuat baik dengan balasan yang setimpal ditambah bonus dan menghukum orang yang berbuat jahat hanya dengan balasan yang setimpal.
Dengan demikian, menurut Rasyid Ridha janji Allah Subhanahu wata'alaa diberikan kepada siapa saja yang beramal shalih. Imbalan yang diberikan Allah ini bisa berlipat-lipat sesuai yang dikehendaki oleh Allah Subhanahu wata'alaa. Adapun mengenai ancaman Allah Subhanahu wata'alaa, Rasyid Ridha mengatakan bahwa ancaman atau siksaan yang diberikan Allah Subhanahu wata'alaa sesuai dengan amalnya atau setimpal dengan amal jelek yang diperbuatnya.[12]
Al-Maraghi[13] memberikan penjelasan tentang ayat ini adalah bahwa orang-orang yang beramal shalih akan diberikan pahala atau imbalan yang sangat berlipat ganda yang merupakan balasan dari iman mereka kepada Allah dan juga berdasarkan amal perbuatan mereka yang sesuai dengan sunnahNya yang disesuaikan dengan kadar keimanan dan usaha mereka dalam meraih pahala tersebut dan juga berdasarkan kebersihan diri mereka dari perbuatan jelek dan nista. Adapun orang yang enggan dan menyombongkan diri, maka mereka akan disiksa dengan siksaan yang pedih sesuai dengan sunnahNya. Akan tetapi siksaan yang mereka terima sesuai dengan perbuatan mereka, siksaan mereka tidak dilipatgandakan. Mereka sendiri tidak akan mendapatkan seorang penolongpun kecuali dari Allah sendiri yang merupakan penolong dalam setiap permasalahan mereka. Dan pada hari akhir nanti, mereka tidak akan mendapatkan penolong yang akan menolong mereka dari azdab yang mereka derita. Dengan demikian, al-Maraghi menganggap bahwa janji Allah akan diberikan kepada siapa yang beriman kepadaNya dan beramal shalih. Imbalan yang akan diberikan kepada mereka yang beriman kepadaNya dan beramal shalih akan diberikan dengan imbalan yang berlipatganda. Akan tetapi bagi mereka yang enggan dan menyombongkan diri, maka mereka akan disiksa dengan siksaan yang pedih sesuai dengan sunnahNya. Akan tetapi siksaan yang mereka (yang enggan dan menyombongkan diri) sesuai dengan kadar perbuatan yang mereka lakukan. Inilah bukti kasih sayang Allah kepada umat manusia.[14]

D. Penerapan Janji dan Ancaman dalam Sistem Pendidikan Islam
Dalam bahasa Arab, reward (ganjaran) diistilahkan dengan tsawab. Kata ini banyak ditemukan dalam Al-Qur'an, khususnya ketika membicarakan tentang apa yang akan diterima oleh seseorang, baik di dunia maupun di akhirat dari amal perbuatannya. Kata tsawab selalu diterjemahkan kepada balasan yang baik. Sebagaimana salah satu diantaranya dapat dilihat dalam firman Allah pada surat Ali Imran: 145, 148, an-Nisa: 134.
Allah Subhanahu wata'alaa berfirman: "Sesuatu yang bernyawa tidak akan mati melainkan dengan izin Allah, sebagai ketetapan yang Telah ditentukan waktunya. barang siapa menghendaki pahala dunia, niscaya kami berikan kepadanya pahala dunia itu, dan barang siapa menghendaki pahala akhirat, kami berikan (pula) kepadanya pahala akhirat itu. dan kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur". (Q.S. Ali Imran/3 : 145)
"Karena itu Allah memberikan kepada mereka pahala di dunia[15] dan pahala yang baik di akhirat. dan Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebaikan". (Q.S. Ali Imran : 148)
"Barangsiapa yang menghendaki pahala di dunia saja (maka ia merugi), Karena di sisi Allah ada pahala dunia dan akhirat. dan Allah Maha mendengar lagi Maha Melihat". (Q.S. An-Nisaa/4 : 134)
Dari ketiga ayat di atas, kata tsawab identik dengan ganjaran yang baik. Seiring dengan hal ini, makna yang dimaksud dengan kata tsawab dalam kaitannya dengan pendidikan Islam adalah pemberian ganjaran yang baik terhadap perilaku baik dari anak didik. Dalam pembahasannya yang lebih luas, pengertian istilah reward dapat diartikan sebagai 1) alat pendidikan preventif dan represif yang menyenangkan dan bisa menjadi pendorong atau motivator belajar bagi murid; dan sebagai hadiah terhadap perilaku yang baik dari anak dalam proses pendidikan.
Punishment (hukuman) dalam bahasa Arab diistilahkan dengan ‘iqab. Al-Qur’an memakai kata ‘iqab sebanyak 20 kali dalam 11 surat. Bila memperhatikan masing-masing ayat tersebut terlihat bahwa kata ‘iqab mayoritasnya didahului oleh kata syadiid (yang paling, amat, dan sangat), dan kesemuanya menunjukkan arti keburukan dan azab yang menyedihkan, seperti firman Allah dalam surat Ali Imran: 11 dan al-Anfal: 13. Dari kedua ayat di atas dapat dipahami bahwa kata ‘iqab ditujukan kepada balasan dosa sebagai akibat dari perbuatan jahat manusia. Dalam hubungannya dengan pendidikan Islam, ‘iqab diartikan sebagai 1) alat pendidikan preventif dan refresif yang paling tidak menyenangkan; dan 2) balasan dari perbuatan yang tidak baik yang dilakukan anak.
Selain kata tsawab dan ‘iqob, Al-Qur'an juga menggunakan kata targhib dan tarhib. Perbedaannya, kalau tsawab dan ‘iqob lebih berkonotasi pada bentuk aktivitas dalam memberikan ganjaran dan hukuman seperti memuji dan memukul, sedangkan kata targhib dan tarhib lebih berhubungan dengan janji atau harapan untuk mendapatkan kesenangan jika melakukan suatu kebajikan atau ancaman untuk mendapatkan siksaan kalau melakukan perbuatan tercela.
Selain berupa konseptual, ajaran islam juga telah memberikan penjelasan tentang teknik penerpan reward dan punishment dalam upaya pembentukan perilaku. Berbagai teknik penggunaan reward yang diajarkan islam diantaranya adalah:
1. Dengan ungkapan kata. Penggunaan teknik ini dilakukan oleh Rasulullah SAW ketika memuji cucunya, al-Hasan dan al-Husein yang menunggangi punggungnya seraya beliau berkata, “Sebaik-baik unta adalah unta kalian, dan sebaik-baik penunggang adalah kalian.” Oleh karenanya guru diharapkan mengikuti makna-makna dalam rangka memberi ganjaran atau pujian yang akan bermanfaat dan lebih menarik perhatian. Ganjaran-ganjaran yang diberikan dengan mudah terhadap suatu perbuatan akan menghilangkan akibat-akibat yang tidak baik.
2. Dengan memberikan suatu materi. Cara ini selain untuk menunjukkan perasaan cinta, tetapi juga dapat menarik cinta dari si anak, terutama apabila hal itu tidak diduga. Rasulullah telah mengajarkan hal tersebut dengan mengatakan, “Saling memberi hadiahlah kalian niscaya kalian saling mencintai.” Setiap orang tua hendaknya mengetahui apa yang disukai dan diharapkan oleh anaknya, sehingga hadiah yang diberikan dapat berbeda-beda sesuai dengan kondisi dan keadaan anaknya. Pada praktik pendidikan, cara ini dapat diberikan kepada anak didik dengan syarat benda yang diberikan terdapat relevansi dengan kebutuhan pendidikan.
3. Dengan memberikan senyuman atau tepukan. Senyuman merupakan sedekah sebagaimana dikatakan oleh Rasulullah: “Senyumanmu terhadap saudaramu adalah sedekah.” Senyuman sama sekali bukan suatu beban vang memberatkannya, tetapi ia mempunyai pengaruh yang sangat kuat, Ketika berbicara dengan anak-anak maupun dengan murid-murid hendaknya seorang ayah atau seorang guru mcmbagi pandangannya secara merata kepada mereka semua, sehingga mereka mendengarkannya dengan perasaan cinta dan kasih sayang serta tidak membenci pembicaraannya. Demikian juga dengan tepukan tangan, misalnya seorang guru menepuk-nepuk pundak siswanya ketika siswa tersebut mampu mengerjakan pekerjaan rumah dengan baik.
Ada beberapa peristiwa yang dilakukan Rasululloh ketika memberikan pujian kepada para sahabatnya, diantaranya pujian kepada Mua’adz ketika ia bertanya tentang perbuatan apa yang bisa memasukannya kedalam syurga. Kala itu Rosululloh menjawab dengan jawaban: Bakhin, bakhin (bagus, bagus) sungguh pertanyaan yang agung. Setelah itu Rasululloh menjawab pertanyaannya. Peristiwa yang hampir sama terjadi ketika Rasululloh menjawab pertanyaan Abu Hurairoh tentang orang yang paling beruntung ketika mendapat syafaat Rasul di hari akhir nanti. Sebelum menjawab pertanyaan tersebut Rasululloh mengatakan: Sudah saya duga, tidak aka nada orang yang bertanya tentang masalah ini selain dirimu.
Selanjutnya, pelaksanaan hukuman sebagai salah satu metode pendidikan boleh dilakukan sebagai jalan terakhir dan harus dilakukan secara terbatas dan tidak menyakiti anak. Tujuan utama dari pendekatan ini adalah untuk menyadarkan anak dari kesalahan-kesalahan yang ia lakukan. Pemberian hukuman harus dimulai dari tindakan sebelumnya yang dimulai dari teguran langsung, melalui sindiran, melalui celaan, dan melalui pukulan. Oleh karena itu agar pendekatan ini tidak terjalankan dengan leluasa, maka setiap pendidik hendaknya memperhatikan syarat-syarat dalam pemberian hukuman yaitu: 1) Pemberian hukuman harus tetap dalam jalinan cinta, dan kasih sayang. 2) Harus didasarkan pada alasan keharusan. 3) Harus menimbulkan kesan di hati anak. 4) Harus menimbulkan keinsyafan dan penyesalan kepada anak didik. 5) Harus diikuti dengan pemberian maaf dan harapan serta kepercayaan. Terdapat beberapa cara yang telah digunakan Rasulullah dalam menjalankan hukuman pada anak, diantaranya:
1. Melalui teguran langsung. Umar bin Abi Salmah r.a. berkata, “Dulu aku menjadi pembantu di rumah Rasulullah. ketika makan, biasanya aku mengulurkan tanganku ke berbagai penjuru. Melihat itu beliau berkata, 'Hai ghulam, bacalah basmallah, makanlah dengan tangan kananmu, dan makanlah apa yang ada di dekatmu.”
2. Melalui Pukulan. Ajaran Islam membolehkan pada pendidik atau orang tua untuk memberikan pukulan sebagai salah satu bentuk punishment dalam praktik pendidikan. Namun demikian, terdapat beberapa aturan yang mampu melindungi anak dari efek negitif yang mungkin di timbulkan. Di antara persyaratan yang membolehkan penggunaan pukulan diantaranya adalah sebagai berikut: 1) Jangan terlalu cepat memukul anak, jika kesalahan itu baru pertama kali dilakukan, anak harus diberi kesempatan untuk bertaubat dari perbuatannya; 2) Seorang pendidik tidak boleh memukul kecuali jika seluruh sarana peringatan dan ancaman tidak mempan lagi dan tidak boleh memukul dalam keadaan sangat marah karena dikhawatirkan membahayakan diri anak. Hal ini mengacu pada sabda Rasulullah yang menyatakan, Jangan marah!; 3) Pukulan tidak boleh dilakukan pada tempat-tempat yang berbahaya, seperti kepala, dada, perut, atau muka. Hal ini mengacu pada sabda Rasulullah, Jika salah seorang dari kamu memukul, maka jauhilah muka. Pukulan tidak terlalu keras dan tidak menyakitkan. Sasarannya adalah kedua tangan atau kedua kaki dengan alat pukul yang lunak (tidak keras). Selain itu, hendaklah pukulan-pukulan itu dimulai dari hitungan satu sampai tiga jika si anak belum baligh. Tetapi, jika sudah menginjak masa remaja, sementara sang pendidik melihat bahwa pukulannya tadi tidak membuat jera si anak, dia boleh menambahnya lagi sampai hitungan kesepuluh. Hal itu mengacu pada sabda Rasulullah, Tidak mendera di atas sepuluh deraan kecuali dalam hukuman pelanggaran maksiat (hudud); 4) Hukuman harus dilakukan oleh sang pendidik sendiri, tidak boleh diwakilkan kepada orang lain, agar terhindar dari kedengkian dan perselisihan. Seorang pendidik harus dapat menepati waktu yang sudah ditetapkan untuk mulai memukul, yaitu langsung kctika anak melakukan kesalahan. Tidak dibenarkan, apabila seorang pendidik memukul orang bersalah setelah berselang dua hari dari perbuatan salahnya. Keterlambatan pemukulan sampai hari kedua ini hampir tidak ada gunanya sama sekali; dan 5) Jika sang pendidik melihat bahwa dengan cara memukul masih belum membuahkan hasil yang diinginkan, dia lidak boleh meneruskannya dan harus mencari jalan pemecahan yang lain.

D. Penutup
Janji dan Ancaman (al-wa'du wal wa'iid), merupakan salah satu metode penyajian Al-Qur'an. Janji (al-wa'du) merupakan kabar gembira bagi orang-orang yang beriman kepada Allah Subhanahu wata'alaa dengan balasan berupa nikmat surga (jannah). Dan Ancaman (al-wa'iid) Yang kedua adalah tadzkir atau peringatan kepada manusia akan ancaman Allah Subhanahu wata'alaa berupa siksa neraka (waa'id). Di samping itu ada pula gambaran yang menyenangkan di dalam Al-Qur'an atau disebut juga targhib dan kebalikannya gambaran yang menakutkan dengan istilah lainnya tarhib.
Inilah bukti dari keistimewaan dan keuniversalan Al-Qur’an yang mengandung nilai-nilai serta norma-norma. Nilai berarti inti suatu ajaran yang bersifat fundamental dan universal, seperti nilai keadilan dan kejujuran. Untuk mencapai keadilan, perlu norma-norma yang berlaku adil. Sikap dan gaya penyajian Al-Qur’an yang demikian arif dan dialogis dalam menghadapi manusia adalah suatu kehebatan (ijaz) yang tidak dapat ditandingi oleh siapapun.
Akhirnya, kita meyakini kebenaran bahwa Allah Ta’ala telah menjanjikan Surga kepada kaum Mukminin, mengancam akan mengadzab orang-orang yang bertauhid namun masih melakukan kemaksiatan; dan mengadzab orang-orang kafir serta munafik dalam Neraka. Allah Ta’ala berfirman, ““Orang-orang yang beriman dan mengerjakan amalan shalih, kelak akan Kami masukkan kedalam Surga yang mengalir sunga-sungai di dalamnya selama-lamanya. Allah telah membuat suatu janji yang benar. Dan siapakah yang lebih benar perkataanya daripada Allah.” (An-Nisaa’: 122)
Tetapi Allah Ta’ala mengampuni orang-orang yang bertauhid walaupun masih melakukan kemaksiatan dengan karunia dan kemuliaan-Nya. Allah Ta’ala telah menjanjikan ampunan bagi muwahhidin (orang-orang yang bertauhid) dan tidak memberi ampunan bagi selain mereka. Allah Ta’ala berfirman, “Sesungguh Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya….” (An-Nisaa’: 48 dan 116).
Wallohu ‘alam bishowab.



[1] Nasr Hamid Abu Zayd lahir di kairo, tepatnya di sebuah tempat bernama Qufaha dekat Tanta pada 10 Juli tahun 1943. Ia anak yang pendiam, dan suka sekali pada sastra. Sedari muda, ia sangat tertarik dengan kajian bahasa dan filsafat. Ia bahkan fokus pada perangkat metodologi analisa wacana dan dinamika teori teks dalam semiotika. Jelas, pikirannya menginduk ke Prancis dengan tokoh besar Derrida, Arkoun dan pengagum Hasan Hanafi. Tak heran, untuk memperkuat minatnya itu, ia masuk ke Fakultas Sastra Universitas Kairo, dan kemudian mengabdi di sana. Ia menyelesaikan S1 pada tahun 1972 pada Studi Bahasa Arab (Arabic Studies), dan kemudian S2 pada tahun 1977. Pada tahun 1978 sampai 1980, ia melanjutkan studi S3-nya di Universitas Pennsylvania, Philadelphia. Dan menyelesaikan disertasi pada tahun 1980/1981 dalam konsentrasi Studi Islam (Islamic Studies). Wikipedia, the free encyclopedia, Nasr Hamid Abu Zayd. Lihat juga: http://www.mesias.8k.com /abuzayd.htm. dan lihat juga: Adnin Armas, Metodologi Bibel dalam Studi Al-Qur’an, Gema Insani, 2005, subbab: Nashr Hamid dan Hermeneutika Al-Qur’an.
[2] Fahmi Salim, Kritik terhadap Studi Al-Quran Kaum Liberal, Persfektif hal 220.
[3] Abul Walid adalah seorang sastrawan Arab yang jarang bandingannya. Suatu saat ia diperintahkan para pemimpin Quraisy untuk menghadap Nabi Muhammad saw dengan maksud membujuk beliau supaya meninggalkan dakwah Islam dengan janji bahwa beliau akan diberi pangkat, harta dan sebagainya. Abul Walid menyampaikan bujukannya ini dan membacakan syair-syair. Tapi kemudian Nabi Muhammad saw membacakan surat Fushilat dari awal sampai akhir. Abul Walid pun tertarik dan terpesona mendengarkan ayat itu sehingga ia termenung memikirkan keindahan gaya bahasanya. Ia kemudian datang kepada para pemimpin Quraisy dan mengatakan kata-kata di atas.
[4] Abu Zahra' An-Najdiy, Min al-I'jaz al-Balaghiy WA al-'Adadiy li al-Qur’an al-Karim, terbitan Al-Wakalah AI-'Alamiyyah li At-Tawzi, 1990, Penerjemah: Agus Effendi PUSTAKA HIDAYAH Bandung

[5] Firman Allah: Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Quran ataukah hati mereka terkunci? (Q.S. Muhammad/47 : 24). Dan " Berkatalah Rasul: "Ya Tuhanku, Sesungguhnya kaumku menjadikan Al Quran itu sesuatu yang tidak diacuhkan". (Q.S. Al-Furqan/25 : 30)
[6] Kamus Arab-Indonesia, Mahmud Yunus hal. 502
[7] Al-Wajiiz fii Aqidatis Salafish Shalih. Abdullah bin Abdul Hamid Al-Atsari, Hal 127-136
[8] Ensiklopedi Islam, PT. Ictiar Baru Van Hoeve. 2003, hal 281
[9] ibid, hal 282
[10] Shihab, M.Quraish. Tafsir al-Mishbah. Volume 2. Cet 6. Jakarta: Lentera Hati, Juni 2006.
[11] Muhammad Rasyid Ridha dilahirkan di Qalmun, suatu kampung sekitar 4 km dari Tripoli, Lebanon, pada 27 Jumadil ‘Ula 1282 H . Dia adalah bangsawan Arab yang mempunyai garis keturunan langsung dari Sayyidina Husain, Putra Ali bin Abi Thalib dan Fatimah Putri Rasulullah saw. Beliau adalah seorang intelektual muslim dari Suriah yang mengembangkan gagasan modernisme Islam yang awalnya digagas oleh Jamaluddin al-Afghani dan Muhammad Abduh. Ridha mempelajari kelemahan-kelemahan masyarakat muslim saat itu, dibandingkan masyarakat kolonialis Barat, dan menyimpulkan bahwa kelemahan tersebut antara lain kecenderungan umat untuk mengikuti tradisi secara buta (taqlid), minat yang berlebihan terhadap dunia sufi dan kemandegan pemikiran ulama yang mengakibatkan timbulnya kegagalan dalam mencapai kemajuan di bidang sains dan teknologi. Ia berpendapat bahwa kelemahan ini dapat diatasi dengan kembali ke prinsip-prinsip dasar Islam dan melakukan ijtihad dalam menghadapi realita modern. Mulai tahun 1898 hingga wafat(1935), Ridha menerbitkan surat kabar yang bernama Al-Manar.
[12] Ridha, Rasyid. Tafsir al-Manar. Cet. 2. Juz 3, dan 4. Kairo: Dar al-Manar, 1947.
[13] Nama lengkapnya adalah Ahmad Musthafa bin Muhammad bin Abdul Mun’im al-Maraghi. Kadang-kadang nama tersebut diperpanjang dengan kata Beik, sehingga menjadi Ahmad Musthafa al-Maraghi Beik. Ia berasal dari keluarga yang sangat tekun dalam mengabdikan diri kepada ilmu pengetahuan dan peradilan secara turun-temurun, sehingga keluarga mereka dikenal sebagai keluarga hakim. Beliau lahir di kota Marāghah, sebuah kota kabupaten di tepi barat sungai Nil sekitar 70 Km. di sebelah selatan kota Kairo, pada tahun 1300 H./1883 M.
[14] Al-Maraghi, Ahmad Musthafa bin Muhammad bin Abdul Mun’im. Tafsir al-Maraghi. Cet 2. Juz 5, dan 6. Kairo: Maktabah Mushthafa al-Halbi, 1946.
[15] Pahala dunia dapat berupa kemenangan-kemenangan, memperoleh harta rampasan, pujian-pujian dan lain-lain.