Sabtu, 23 Juni 2012

SASARAN PENDIDIKAN MENURUT
IMAM AL-GHAZALI
(Ruh, Akal, Akhlak, Jiwa, Fisik dan Sosial)


Posted By Drs.Mutawalli,M.Pd.I

A. Muqaddimah
Filsafat merupakan pokok dari segala disiplin ilmu sebagai refleksi rasionil (fikr, nazr, ma'rifat, ra'y) atas keseluruhan keadaan untuk mencapai hakikat dan memperoleh hikmah. Berfilsafat adalah berpikir sedalam-dalamnya dengan bebas dan teliti tentang segala sesuatu yang masuk kedalam pikiran, baik yang di luar maupun yang ada di dalam diri. Maka timbullah suatu pertanyaan: "Dapatkah seorang Muslim itu berfilsafat?". Timbulnya pertanyaan ini ialah karena seorang Muslim itu selamanya terikat dan didoktrin oleh ajaran-ajaran agamanya. Maka bolehkah dia meninggalkan agamanya untuk berfilsafat ? Perlu diketahui bahwa seorang Muslim yang berpikir dengan sedalam-dalamnya tanpa suatu maksud, selain dari mencari yang hak dan kebenaran, yang selalu mengindahkan disiplin dan hukum-hukum berpikir, maka dia akan sampai kepada kebenaran itu dan tidak akan tersesat. [1]
Di dunia Islam Timur, filsafat mengalami perkembangan yang sangat signifikan, terbukti dengan munculnya tokoh-tokoh filosof Islam seperti Al-Ghazali, Al-Kinidi, Al-Razi, Ibnu Rusyd, Ibnu Sina, Ibn Khaldun dan lain-lain. Para tokoh tersebut memberikan kontribusi yang penting bagi umat Islam di dunia, khususnya dalam hal filsafat Islam. Atas dasar ini, maka kami mencoba untuk mengulas pemikiran tokoh filsafat Islam yakni Al-Imam Al-Ghazali khususnya pandangan beliau terhadap sasaran pendidikan Islam yang pembahasannya meliputi: pendidikan ruh, akal, akhlak, jiwa, fisik dan sosial.
Tujuan penyusunan ini di samping sebagai tugas makalah bidang Studi Teks Pendidikan Islam juga agar kita bisa mengetahui pemikiran tokoh penting Al-Ghazali dengan segala keistimewaanya sebagai seorang pemikir dan penulis yang cukup handal, tulisannya meliputi berbagai disiplin ilmu. Karena pendidikan bukan saja dimiliki oleh barat yang terkenal saat ini, tetapi pendidikan sejak dahulu telah dimiliki oleh dunia Islam lewat tokoh-tokohnya.

B. Biografi Singkat Al-Ghazali
1. Sosio-Kultural Al-Ghazali
Al-Ghazali, nama lengkapnya adalah Abu hamid Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali di lahirkan di Tusia di daerah Khurasan (Persia), pada pertengahan abad ke-5 Hijriyah tepatnya pada tahun 450 Hijriyah bertepatan dengan 1059 M. Tetapi ada juga yang berpendapat bahwa ia dilahirkan di Ghazalah, yang terletak di ujung Thus, sehingga dapat dikatakan ia memiliki darah Persia. Sementara tentang sejarah ibunya tidak banyak orang yang mengetahuinya, selain bahwa dia hidup hingga menyaksikan kehebatan anaknya di bidang ilmu pengetahuan dan melihat popularitasnya serta gelar tertinggi di bidang keilmuan.
Ayah Al-Ghazali adalah seorang tasawuf yang sholeh dan meninggal dunia ketika Al-Ghazali masih kecil. Ia seorang laki-laki miskin yang bekerja sebagai tukang tenun sutera. Sang ayah ingin sekali Al-Ghazali tumbuh di lingkungan yang Islami. Karena itu sebelum wafatnya ia menitipkan Al-Ghazali dan adiknya kepada seorang temannya yang sufi dan menyerahkan biaya hidup untuk mereka berdua. Sang sufi adalah seorang yang miskini. Karena itu ketika biaya hidupnya habis, maka ia menyerahkan keduanya ke salah satu sekolah yang didirikan oleh Nizham al-Mulk yang dapat menyediakan asrama dan biaya hidup bagi pelajar.
Al-Ghazali memulai pendidikannya di wilayah kelahirannya Tus dengan mempelajari dasar-dasar pengetahuan. Selanjutnya ia pergi ke Nisyafur dan Khurasan yang pada waktu itu kedua kota tersebut terkenal dengan pusat ilmu pengetahuan terpenting di dunia Islam. Di kota Nisyafur inilah Al-Ghazali berguru kepada Imam al-Haramain Abi al-Ma'ali al-Juwainy, seorang ulama yang bermazhab Syafi'i yang pada saat itu menjadi guru besar di Nisyafur.Diantara mata pelajaran yang dipelajari Al-Ghazali di kota tersebut adalah teologi, hukum Islam, falsafat, logika, sufisme dan ilmu-ilmu alam. Ilmu-ilmu yang dipelajarinya inilah yang kemudian mempengaruhi sikap dan pandangan ilmiahnya dikemudian hari.
Setelah itu Al-Ghazali berkunjung kepada Nidzam al-Mulk di kota Mu'askar, dan darinya ia mendapat kehormatan dan penghargaan yang besar, sehingga ia tinggal di kota itu enam tahun lamanya. Pada tahun 483 H/1090 M, ia diangkat menjadi guru di sekolah Nidzamah Baghdad, dan pekerjaannya itu dilaksanakan dengan sangat berhasil sehingga banyak para penuntut ilmu dan pengagumnya berguru kepadanya. Pada tahun 487 Hijriyah, khalifah al-Mustadhir meminta Ghazali untuk menanggapi pemikiran kaum Islamiyah, yang terkenal dengan al-Bathiniyah atau al-Ta'limiyah. Pada saat itu mereka merupakan kekuatan yang luar bisaa. Dan Al-Ghazali sampai menulis tiga buku untuk menanggapi pemikiran mereka.
Setelah itu, Al-Ghazali mengalami krisis psikologi yang serius dan mematikan seluruh kegiatannya serta membuatnya meninggalkan kegiatan mengajarnya. Dalam bukunya al-Munqidz Min ad-Dhalal, Al-Ghazali menyatakan bahwa krisis psikologilah yang membuatnya meninggalkan kedudukannya di madrasah Nizhamiyah. Pekerjaan itu ditinggalkannya sekitar tahun 484 H, Untuk menuju Damsyik dan dikota ini ia merenung, membaca dan menulis selama kurang lebih 2 tahun, dengan tasawuf sebagai jalan hidupnya. Kemudian ia pindah ke Palestina dan disinipun ia tetap merenung, membaca dan menulis dengan mengambil tempat di masjid Baitul Maqdis. Sesudah itu bergeraklah hatinya untuk menjalankan ibadah haji, dan setelah selesai pulang ke negeri kelahirannya sendiri yaitu kota Tus dan disana ia tetap seperti bisaanya, berkhalwat dan beribadah.
Karena desakan penguasa pada masanya, yaitu Muhammad, Al-Ghazali mau kembali mengajar di sekolah Nazamiyyah di Naisabur tahun 499 H. akan tetapi pekerjaan ini berlangsung 2 tahun, untuk akhirnya kembali ke kota Tus lagi, dimana ia kemudian mendirikan sebuah sekolah untuk para fuqaha dan sebuah biara (Khangak) untuk para mutasawwifin. Di kota itu pula ia meninggal dunia pada tahun 505 H/1111M, dalam usia 54 tahun. [2]

C. Sasaran Pandidikan Islam
1. Pengertian
Kata 'sasaran' menurut Kamus Besar Bahasa Indonsia adalah sesuatu yg menjadi tujuan (yg dikritik, dimarahi, dsb); dalam pengertian lain dapat pula berarti: bidikan, santapan, korban, maksud atau objek. [3]
Sedangkan pengertian 'pendidikan' sebagaimana dikemukakan para ahli dalam rumusan yang beraneka ragam, antara lain sebagai berikut:
1. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, disebutkan bahwa pendidikan adalah proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dl usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan.
2. Dalam Undang-Undang Republik Indonesia No. 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab I Pasal 1 Ayat 1 dikemukakan bahwa "Pendidikan adalah usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, dan atau latihan bagi peranannya di masa yang akan datang. [4]
3. Ahmad D. Marimba mengajukan definisi sebagai berikut: Pendidikan adalah bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh si pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani siterdidik menuju terbentuknya kepribadian yang utama. [5]
4. M. J. Langeveld berpendapat bahwa pendidikan atau pedagogi merupkan setiap usaha yang dilakukan untuk mempengaruhi dan membimbing anak ke arah kedewasaan, agar anak cekatan melaksanakan tugas hidupnya sendiri. [6]
5. Kingsley Price mengemukakan: Education is the process by which the nonphysical possessions of culture are preserved or increased in the rearing of the young or in the instruction of adults. (Pendidikan adalah proses yang berbentuk non pisik dari unsur-unsur budaya yang dipelihara atau dikembangkan dalam mengasuh anak-anak muda atau dalam pembelajaran orang dewasa). [7]
Defini di atas kiranya dapat digunakan walaupun untuk mengerti konsep pendidikan sebagaimana mestinya, definis selalu tidak representatif, mengingat keterbatasan bahasa dan kemampuan intelektual untuk merumuskan definisi, di samping subyektifitas si perumus itu sendiri. [8]
Di dalam masyarakat Islam sekurang-kurangnya terdapat tiga istilah yang digunakan untuk menandai konsep pendidikan, yaitu tarbiyah, ta'lim dan ta'dib. Istilah yang sekarang berkembang di dunia Arab (Islam) adalah tarbiyah. Penggunaan istilah tarbiyah untuk menandai konsep pendidikan dalam Islam, meskipun telah berlaku umum, ternyata merupakan masalah khilafiyah (kontroversial). Di antara ulama pendidikan muslim kontemporer ada yang cenderung menggunakan istilah ta'lim atau ta'dib sebagai gantinya. [9]
Untuk itu, pengertian pendidikan secara umum, yang kemudian dihubungkan dengan Islam -sebagai suatu sistem keagamaan- menimbulkan pengertian pengertian baru yang secara implisit menjelaskan karakteristik-karakteristik yang dimilikinya. Pengertian pendidikan dengan seluruh totalitasnya, dalam konteks Islam inheren salam konotasi istilah “tarbiyah”, “ta’lim” dan “ta’dib” yang harus dipahami secara bersama-sama. Ketiga istilah itu mengandung makna yang amat dalam menyangkut manusia dan masyarakat serta lingkungan yang dalam hubungannya dengan Allah Subhanahu wata'ala saling berkaitan satu sama lain. Istilah istilah itu sekaligus menjelaskan ruang lingkup pendidikan Islam; informal, formal, dan nonformal. [10]
Karena aspek sasaran sebagai salah satu aspek penting dan mendasar dalam pendidikan, maka merumuskan sasaran pendidikan merupakan syarat mutlak dalam mendefiniskan pendidikan itu sendiri yang paling tidak didasarkan atas konsep dasar mengenai manusia, alam, dan ilmu serta dengan pertimbangan prinsip prinsip dasarnya. Hal tersebut disebabkan pendidikan adalah upaya yang paling utama, bahkan satu satunya untuk membentuk manusia menurut apa yang dikehendakinya. Karena itu menurut para ahli pendidikan, sasaran pendidikan pada hakekatnya merupakan rumusan-rumusan dari berbagai objek harapan ataupun keinginan yang ingin dicapai. [11]
Bagaimana Al-Ghozali sebagai salah satu tokoh penting di dunia keislaman melukiskan sasaran pendidikan sesuai dengan pandangan hidupnya dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya, yaitu sesuai dengan filsafatnya, yakni memberikan bimbingan terhadap ruh, pengendalian akal, pembentukan akhlak, pembersihan jiwa, pembinaan fisik dan sosial dengan maksud di balik itu membentuk individu-individu yang tertanda dengan sifat-sifat utama dan takwa. Dengan ini pula keutamaan itu akan merata dalam masyarakat. [12]

2. Sasaran Pendidikan Menurut Al-Ghazali
Kebahagiaan menurut al-Ghazali adalah kemampuan seseorang untuk memerangi hawa nafsu dan menahan kehendak yang berlebih-lebihan. Kebahagiaan pada dasarnya memiliki hubungan yang erat dengan pendidikan ruhani. Karena tujuan pendidikan ruhani adalah untuk mencapai kebahagiaan, baik di dunia dan akhirat. Oleh karenanya, kebahagian individu yang meliputi jasmani maupun ruhani, maka itu merupakan sikap mental dan keadaan jiwa yang mendukung seseorang guna kesuksesan atau keberhasilan dalam melaksanakan pendidikan.
Upaya itu dapat dilakukan dengan mendidik jiwa, melatih fisik, mensucikan ruh, mengolah akal yang meliputi semua bidang pendidikan, yaitu Pendidikan Ruh, Pendidikan Akal, Pendidikan Akhlak, Pendidikan Jiwa, Pendidikan Fisik dan Pendidikan Sosial Kemasyarakatan dengan tidak mengesampingkan antara yang satu dengan yang lainnya. Maka untuk mencapai tujuan akhir yang sebagaimana digambarkan oleh Al-Ghazali, bahwa kebahagiaan dan kedekatan kepada Allah itu perlu untuk meningkatkan kesempurnaan manusia melalui pembangunan pribadi muslim yg benar telah diberikan kepada pendidikan dan nilai diri yang sama di samping dari perhatian yang diberikan untuk meningkatkan kualitas pikiran dan tubuh

a. Pendidikan Ruh (Tarbiyah Ruhiyah)
Manusia telah diciptakan oleh Allah Subhanahu wata'alaa tersusun dari dua unsur, unsur ardli dan unsur samawi. Unsur ardli membentuk jasad sebagai bentuk fisik manusia yang terbuat dari saripati tanah. Sedangkan pada unsur samawi, Allah Subhanahu wata'alaa telah meniupkan ruh kepada jasad yang sudah dibentuk-Nya. [13] Inilah yang dimaksud oleh Allah Subhanahu wata'alaa dengan firman-Nya, "Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: "Roh itu termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit". (Q.S. Al-Isra/17 : 85).
Dalam ayat yang lain Allah Subhanahu wata'alaa berfirman, "Kemudian dia menyempurnakan dan meniupkan ke dalamnya roh (ciptaan)-Nya dan dia menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati; (tetapi) kamu sedikit sekali bersyukur." (Q.S. As-Sajadah/32 : 9)
Dengan ruh inilah menurut Al-Ghazali, Allah Subhanahu wata'alaa telah memuliakan manusia, karena dengan unsur inilah manusia dapat hidup, bisa mengerti, mengingat, berfikir, mengetahui, berkehendak, memilih, mencintai, dan sebagainya. Ayat di atas pun mengisyaratkan kepada kita, bahwa telinga akan bisa berfungsi sebagai pendengaran, mata bisa berfungsi sebagai penglihatan dan hati bisa berfungsi sebagai alat untuk memahami apabila ruh itu telah ditiupkan oleh Allah. Seandainya manusia mati, ruhnya dicabut oleh Allah Subhanahu wata'alaa, maka mata, telinga dan hati tidak ada artinya, manusia tidak lagi dapat bergerak, merasakan sesuatu, berkehendak, berfikir, memililih, mencintai dan sebagainya.
Maka agama Islam menaruh perhatian yang sungguh-sungguh terhadap ruh untuk memelihara dan mengembangkannya dengan unsur-unsur kekuatannya dan membersihkannya dari kotoran-kotoran, serta berusaha meningkatkannya. Islam memberikan kesempatan kepadanya untuk selalu berhubungan dengan Allah Subhanahu wata'alaa pada setiap kesempatan, baik dalam pekerjaan, berfikir dan merasa melalui ibadah fardhu dan sunnah. [14] Allah Subhanahu wata'alaa berfirnan,
"Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui. [15] (Q.S. Ar-Ruum/30 : 30)
Menurut Al-Ghazali bahwa ruh manusia itu dapat memahami eksistensi Allah Subhanahu wata'alaa dan mengimani kemandirian-Nya. Tetapi ruh tidak akan optimal dalam pengabdian dan ketundukannya manakala ia tidak dapat dibebaskan dari pengaruh syahwat, desakan pengaruh jiwa dan hawa nafsu. Ruh dapat membawa sifat-sifat Allah Subhanahu wata'alaa agar kehidupan manusia berjalan sesuai dengan Fitrah-Nya. Karena ruh membawa sifat hayyat (hidup), maka manusia menjadi hidup. Karena ruh membawa sifat rahman dan rahim (kasih sayang), maka manusia juga memiliki sifat kasih dan sayang. Karena ruh membawa sifat jabbar (perkasa) maka manusia juga ketularan sifat perkasa itu.
Pendidikan ruhani merupakan salah satu usaha untuk memperkuat hubungan antara ruhani manusia dengan sang pencipta, yaitu Allah Subhanahu wata'alaa. melalui jalan menyembah dan merendahkan diri kepada-Nya serta taat dan tunduk kepada syari’at-Nya untuk mencapai kesempurnaan insani yang bermuara pada pendekatan diri kepada Allah yang pada akhirnya tercapai kebahagiaan di dunia dan akhirat.
Relevansi kebahagiaan Al-Ghazali terhadap materi pendidikan ruhani adalah secara prinsipil, pendidikan ruhani itu mengajarkan bagaimana ruhani seseorang bisa mencapai tingkatan tertinggi dengan jiwa tetap seimbang selama di dunia untuk mencapai kesempurnaan insani di dunia dan di akhiratnya. Oleh karena itu, pendidikan ruhani merupakan media strategis dan menghantarkan peserta didik untuk meraih kebahagiaan tidak hanya di negeri akhirat, tetapi juga tidak melupakan masalah-masalah dunia. Maka pendidikan ruhiyah menurut Al-Ghazali dapat tegak di atas dua pondasi:
a. Memupuk keimanan kepada Allah dan hari akhir, karena hal itu sebagai kekuatan yang melekat dalam kehidupan individu dan masyarakat. Iman kata Al-Ghazali dapat membangkitkan sifat-sifat insani dan sosial secara sempurna.
b. Melatih dan membiasakan ruh dengan adab-adab Islam seperti memenuhi berbagi kewajibannya, dan berpegang teguh terhadap hukum-hukumnya. Karena Islam merupakan aturan yang sempurna untuk meraih kemuliaan hidup. [16]
Jadi menurut Al-Ghazali pendidikan ruhiyah berfungsi agar pendidikan bukan bertujuan sekedar untuk mendapatkan pengakuan, mengejar status dan pangkat, untuk tampil sebagai orang yang berilmu, tenggelam dalam persaingan, perselisihan dan pertengkaran, tenggelam dalam usaha dan pekerjaan-pekerjaan yang menghasilkan, melainkan kemuliaan budi pekerti, ilmu dan amal yang bermanfaat untuk bekal dalam kehidupan, sehingga tercapai kebahagiaan hidup di dunia dan yang lebih utama lagi adalah kebahagiaan hidup di akhirat.

b. Pendidikan Akal (Tarbiyah Aqliyah)
Pendidikan akal adalah peningkatan pemikiran akal dan latihan secara teratur untuk berfikir benar, sehingga mampu memperbaiki pemikiran tentang pengaruh yang bermacam-macam dan realita yang banyak yang meliputinya dengan pemikiran yang tepat dan benar, dan sehingga putusannya benar dan tepat atasnya.
Akal dengan segala kemampuannya untuk berpikir adalah kelebihan yang membedakan antara manusia dan makhluk lain. Al-Qur’an banyak menyerukan kepada manusia untuk berpikir. Sebagai khalifah di bumi, manusia diberi kebebasan menggunakan akal pikirnya untuk memakmurkan kehidupan, karena pada hakikatnya manusia adalah makhluk yang berpikir, merasa, bersikap, dan bertindak dan berkecenderungan kepada mencari kebenaran. [17]
Menurut Al-Ghazali telah terjadi perbedaan pendapat dalam memberikan batasan terhadap akal disebabkan karena adanya beberapa definisi yang menyebabkan berbeda pendapat. Beliau menjelaskan bahwa akal adalah karunia yang diberikan Allah Subhanahu wata'alaa kepada manusia yang tidak diberikan kepada makhluk yang lain. Dengannya, manusia dapat membuat hal-hal yang dapat mempermudah urusan mereka di dunia. Sejalan dengan Al-Ghazali, Al-Haris bin Asad Al-Mahasibi berpendapat, bahwa akal merupakan tabi'at yang dipersiapkan untuk menerima ilmu-ilmu nadhari, akal ibarat cahaya di dalam qalbu yang dipersiapkan untuk meneriam berbagai pengetahuan. Karenanya Islam menempatkan akal pada derajat yang terhormat dan Allah telah menamainya dengan nur, sebagaimana firmannya : "Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. perumpamaan cahaya Allah, adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang di dalamnya ada pelita besar. [18] (Q.S. An-Nur/24 : 35).
Akal juga disebut sebagai pengetahuan yang bermanfaat bagi ruh, Allah Subhanahu wata'aal berfirman: "Dan Demikianlah kami wahyukan kepadamu wahyu (Al Quran) dengan perintah kami (Q.S. As-Syuuraa/42 : 52)
"Dan apakah orang yang sudah mati kemudian dia kami hidupkan dan kami berikan kepadanya cahaya yang terang, yang dengan cahaya itu dia dapat berjalan di tengah-tengah masyarakat manusia. (Q.S. Al-An'aam/6 : 122) Kemudian menyebut cahaya dan kegelapan sebagai ilmu dan kebodohan, firman-Nya "Allah pelindung orang-orang yang beriman; dia mengeluarkan mereka dari kegelapan (kekafiran) kepada cahaya (iman). (Q.S. Al-Baqarah/2 : 257)
Akal manusia karena merupakan alat untuk memperoleh ilmu, maka al-Ghazali memberikan tempat yang terhormat baginya. Akal ia jadikan sebagai objek kajian khusus, sinergis terhadap hadits nabi : Addienu huwa al-Aql, laa diena liman laa aqla lahu (agama adalah akal, tiada beragama bagi mereka yang tidak menggunakan akalnya), sebagaimana ia lakukan terhadap tabiat dan kekuatan bawaan manusia.
Namun menurut Al-Ghazali bahwa akal bukanlah sesuatu yang sangat tinggi kedudukannya. Menurut beliau, adalah al-dzauq dan ma’rifat yang justru akan membawa seseorang kepada kebenaran yang meyakinkan. Menurutnya bahwa puncak kesempurnaan manusia ialah seimbangnya peran akal dan hati dalam membina ruh manusia. Karenanya akal manusia memiliki potensi yang luar biasa jika digunakan dengan sebaik-baiknya, namun bila jauh dari wahyu (Al-Qur'an) ia memiliki kecenderungan sehingga dapat membawa kepada jalan yang sesat. Firman Allah,
"Dan apabila dikatakan kepada mereka: "Ikutilah apa yang Telah diturunkan Allah," mereka menjawab: "(Tidak), tetapi kami Hanya mengikuti apa yang Telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami". "(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?" (Q.S. Al-Baqarah/2 : 170)
Kemudian Al-Ghazali menyatakan bahwa pendidikan akal berlandaskan Al-Qur'an merupakan sebuah pengajaran bagi dakwah fungsi akal untuk memperhatikan penciptaan Allah di alam semesta ini. Sebagaimana firman Allah-Nya,
"Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan Ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, Maka peliharalah kami dari siksa neraka. (Q.S. Al- Imran/3 : 190-191).
Al-Ghazali melihat bahwa daya manusiawi untuk mencapai pengetahuan tertinggi atau pengetahuan tentang Allah dan pengetahuan tentang hakekat-hakekat yang lainnya adalah akal yaitu ketika ia sudah mencapai kemampuan yang tertinggi yang disebut al-aql al-mustafad (Akal Perolehan). Dengan akal pada tingkat kemampuan yang demikian, manusia dapat berhubungan dengan akal aktif (malaikat) yang merupakan sumber-sumber segala pengetahuan dan pengaturan-pengaturan makhluk-makhluk yang ada di bumi. Pandangan yang demikian, terjadi sebelum ia mengalami kehidupan dan cara hidup sufi. Akan tetapi akhirnya, ia menyadari bahwa akal tidak mampu menangkap hakekat-hakekat itu adalah al-zawq (intuisi). Dengan intuisi hakekat tidak hanya dimengerti, tetapi juga dihayati dan dirasakan keberadaannya. Dengan intuisilah keyakinan yang tertinggi dapat dicapai. Akal hanya dapat membawa manusia kepada pengetahuan argumentatif, sedangkan intuisi dapat menghasilkan pengetahuan yang betul-betul diyakini (al-‘ilm al-yaqini) .
Dengan peralihan pandangan tersebut ia sesungguhnya tidak menganggap bahwa akal tidak mempunyai arti sama sekali. Akal mempunyai peranan yang sangat. penting untuk memahami dunia fenomena. Dunia fenomena adalah tanda-tanda yang memperlihatkan keberadaan Tuhan. Tanda-tanda (ayat-ayat) itu ada tersurat. berupa wahyu dan yang tersirat berupa alam ciptaan-Nya. Wahyu menjadi sumber pengetahuan keagamaan dan ilmu-ilmu agama, sedangkan alam ciptaan-Nya menjadi tempat mengkaji berbagai fenomena yang menghasilkan ilmu-ilmu non agama. Untuk mengetahui Tuhan dan hubungan manusia dengan Tuhan serta ilmu yang berasal dari wahyu (ilmu-ilmu agama) dan yang berasal dari alam nyata, akal mempunyai peranan.
Dari pandangannya tentang akal dan intuisi tampak bahwa al-Ghazali tetap menghargai akal dan menempatkannya sebagai daya yang terpenting untuk mengetahui dan mengkaji dunia penomena. Hasil pemikiran al-Ghazali lebih merupakan jawaban terhadap masalah ajaran-ajaran Islam sebagaimana yang dibawa oleh wahyu dengan konteks sosio kulturalnya. Al-Ghazali telah berusaha menjawab tantangan zamannya dengan segala kemampuan intelektual yang ada padanya dengan penuh kejujuran dan sikap keterbukaan yang dimilikinya jawaban-jawaban itulah yang dijumpai dalam berbagai tulisannya.

3. Pendidikan Akhlak (Tarbiyah Khuluqiyah)
Sebelum memaparkan bagaimana pendidikan akhlak menurut Al-Ghazali. Kita uraiakan terlebih dahulu apa itu Akhlak. Secara etimologi, perkataan “akhlak” berasal dari bahasa Arab jama’ dari bentuk mufradnya “Khuluqun” yang menurut logat diartikan: budi pekerti, perangai, tingkah laku atau tabiat. Kalimat tersebut mengandung segi-segi persesuain dengan perkataan “khalkun” yang berarti kejadian, serta erat hubungan ” Khaliq” yang berarti Pencipta dan “Makhluk” yang berarti Baik kata akhlaq atau khuluq kedua-duanya dapat dijumpai di dalam al-Qur’an, sebagai berikut:
"Dan Sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.". (Q.S. Al-Qalam, 68:4).
Menurut Al-Ghazali, Pendidikan akhlak dengan mendasari ilmu pengetahuan. Akhlak terbagi menjadi dua yaitu mahmudah-munjiyat (baik dan menyelamatkan) dan madzmumah-muhlikat (buruk dan menghancurkan). Pendidikan akhlak menurut al-Ghazali adalah melalui pendidikan formal dan informal. Pendidikan informal dalam keluarga. Al-Ghazali menganjurkan metode cerita (hikayat) dan keteladanan (uswah al hasanah).
Dua sistem pendidikan akhlak menurut Imam al-Ghazali adalah: pendidikan non formal dan non formal. “Pendidikan ini berawal dari non formal dalam lingkup keluarga, mulai pemeliharaan dan makanan yang dikonsumsi. Selanjutnya Bila anak telah mulai nampak daya hayalnya untuk membeda-bedakan sesuatu (tamyiz), maka perlu diarahkan kepada hal positif. Al-Ghazali juga menganjurkan metode cerita (hikayaf), dan keteladanan (uswatun hasanah). Anak juga perlu dibiasakan melakukan sesuatu yang baik. Disamping itu pergaulan anakpun perlu diperhatikan, karena pergaulan dan lingkungan itu memiliki andil sangat besar dalam pembentukan keperibadian anak-anak.
Bila peserta didik sudah mencapai usia sekolah, maka kewajiban orang tua adalah menyekolahkan ke sekolah yang baik, dimana ia diajarkan al-Quran, Hadits dan hal hal yang bermanfaat, supaya Bagaimana kita Memahami Pengertian Pendidikan dengan baik. Anak perlu dijaga agar tidak terperosok kepada yang jelek, dengan pujian dan ganjaran (reward). Jika anak itu melakukan kesalahan, jangan dibukakan di depan umum. Bila terulang lagi, diberi ancaman dan sanksi yang lebih berat dari yang semestinya. Anak juga punya hak istirahat dan bermain, tetapi pennainan adalah yang mendidik, selain sebagai hiburan anak. [19]
Pendapat al-Ghazali ini senada dengan pendapat Muhammad Qutb dalam dalam System Pendidikan Islam. Metode ini meliputi keteladanan, nasehat, hukuman, cerita, dan pembiasaan. Bakat anak juga perlu digali dan disalurkan dengan berbagai kegaitan agar waktu waktu kosong menjadi bermanfaat bagi anak. Hal ini adalah pelaksanaan hadist Nabi agar anak dididik memanah, berenang dan menunggang kuda. Sementara pengaruh lingkungan berpengaruh besar pada anak, sebagaimana sabda Rasulullah; “laki-laki itu tergantung temannya, maka hendaklah kalian melihat kepada siapa ia berteman .[20].
Perhatian al-Ghazali terhadap faktor makanan baik orang tua atau anak merupakan hal menarik. Ini menurutnya akan menjadi gen baik dan buruk bagi perkembangan generasi. Demikain pula pendidikan di rumah serta pergaulan. Dalam konteks ini al-Ghazali setuju dengan aliran konvergensi yang menyatakan pendidikan ditentukan oleh titik temu faktor keturunan dan lingkungan, sebagaimana Pengertian Akhlak Menurut Imam Ghazali. Sementara metode pembiasaan dalam psikologi modern dikenal dengan kondisioning menyatakan semua mahluk hidup berdasarkan kebiasaan. Bila terbiasa baik maka ia akan baik atau demikian juga sebaliknya. Pembiasaan akan menimbulkan sifat refleks yang tanpa pemikiran.
Sementara untuk pendidikan formal, al-Ghazali mensyaratkan adanya seorang guru atau mursyid yang mempunyai kewajiban antara lain: mencontoh Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam yaitu tidak meminta imbalan, bertanggung jawab atas keilmuannya, Hendaklah ia membatasi pelajaran menurut pemahaman mereka. Hendaklah seorang guru ilmu praktis (syar’i) mengamalkan ilmu, yang amal itu dilihat oleh mata dan ilmu dilihat oleh hati, tapi orang yang melihat dengan mata kepala itu lebih banyak dari mereka yang melihat dengan mata hati. [21]
Adapun kewajiban murid adalah memperioritaskan kebersihan hati, tidak sombong karena ilmunya dan tidak menentang guru, dalam belajar seorang murid janganlah menerjunkan dalam suatu ilmu secara sekaligus, tetapi berdasarkan perioritas. Semua ini diniatkan untuk bertaqarub kepada Allah. Bukan untuk memperoleh kepemimpinan, harta dan pangkat. [22] Dengan peraturan pengajar dan pelajar, Al-Ghazali membuat suatu sistem yang membentuk satu komunitas pendidikan di mana hubungan antara seorang guru dan murid sangat sarat dengan peraturan yang satu dan yang lainnya.
Kewajiban guru dan murid, serta pembagian ilmu yang dilakukan Al-Ghazali menurut para tokoh merupakan bukti dari pengetahuan dan pengalamannya sebagi seorang pendidik sewaktu di Nidzamiyah Baghdad. Pengalaman sewaktu berstatus siswa dalam mencari ilmu dan guru yang mengajar di ungkapkan secara detail melebihi pembahasan pakar lainnya.
Namun di satu sisi, pembagian Al-Ghazali terhadap itu menjadi yang fardhu ‘ain dipelajari dan fardhu kifayah, ilmu agama dan ilmu umum mendapatkan kritikan tajam. Menurut Fazlurrahman[23] pembagian ilmu menjadi religius dan intelektual “merupakan pembedaan paling malang yang pernah di buat dalam sejarah intelektual Islam”. Memang sarjana tidak menolak ilmu intelektual tetapi kemunduran Islam, salah satu sebabnya adalah “pengabaian ilmu intelektual”. Mahdi Ghulsyani[24] juga menolak pembagian ilmu Al-Ghazali. Karena “klasifikasi ini bisa menyebabkan miskonsepsi bahwa ilmu non agama terpisah dari Islam, dan ini tidak sesuai dengan prinsip universalitas Islam sebagai rahmat bagi seluruh alam”. Demikian juga, Amin Abdullah[25] mengkritik pendapat Al-Ghazali tentang kewajiban adanya mursyid (pembimbing moral) bagi seorang yang ingin menempuh pendidikan akhlak dalam kaitannya dengan tasawuf. Pemikiran rasional modem cenderung menolak posisi murid yang menurut al-Ghazali “seperti mayat di tangan orang yang memandikan” atau “ilmu lanpa guru, maka gurunya adalah Syetan “. [26]
Metode Pendidikan Akhlak Menurut Al-Ghazali. ada dua cara dalam mendidik akhlak, yaitu; pertama, mujahadah dan membiasakan latihan dengan amal shaleh. Kedua, perbuatan itu dikerjakan dengan di ulang-ulang. Selain itu juga ditempuh dengan jalan pertama, memohon karunia Illahi dan sempumanya fithrah (kejadian), agar nafsu-syahwat dan amarah itu dijadikan lurus, patuh kepada akal dan agama. Lalu jadilah orang itu berilmu (a’lim) tanpa belajar, terdidik tanpa pendidikan, ilmu ini disebut juga dengan ladunniah. Namun beriringnya waktu ilmu itu juga dapat di pelajari sebagaimana Sistem pendidikan yang diajarkan oleh imam ghazali.[27] Kedua, akhlak tersebut diusahakan dengan mujahadah dan riyadhah, yaitu dengan membawa diri kepada perbuatan-perbuatan yang dikehendaki oleh akhlak tersebut. Singkatnya, akhlak berubah dengan pendidikan latihan. [28]
d. Pendidikan Jiwa (Tarbiyah Nafsiyah)
Sebelum melangkah kepada pembahasan tentang tazkiyat al-naf's (pembersihan jiwa) menurut Al Ghazali, ada baiknya di ketahui lebih dahulu konsepsi Al-Ghazali tentang manusia dan jiwa manusia, apakah hakikat manusia itu ? Dan apakah yang di maksud dengan jiwa itu sendiri ? Hal ini disebabkan pembahasan tentang tazkiyat al-nafs terkait erat dengan masalah jiwa manusia itu sendiri.
Menurut Al-Ghazali, manusia itu tersusun dari unsur materi dan immateri atau jasmani dan rohani yang berfungsi sebagai abdi dan khalifah di bumi. Sungguhpun demikian, ia lebih menekankan pengertian hakikat kejadian manusia pada rohani dan jiwa manusia itu sendiri. Manusia itu pada hakikatnya adalah jiwanya. Jiwalah yang membedakan manusia dengan makhluk - makhluk Allah lainnya. Dengan jiwa, manusia biasa merasa, berfikir, berkemauan, dan berbuat lebih banyak. Tegasnya, jiwa itulah menjadi hakikat yang hakiki dari manusia karena: sifatnya yang latif, rohani, rabbani, dan abadi sesudah mati.
Keselamatan dan kebahagiaan manusia di dunia dan akhirat banyak tergantung pada keadaan jiwanya. Sebab jiwa merupakan pokok dari agama, asas bagi orang yang berjalan menuju Allah, serta tempat bergantung ketaatan atau kedurhakaan manusia kepada Allah. Jiwalah yang pada hakikatnya taat, durhaka, atau ingkar kepada Allah. Jadi, unsur jiwa sangat di tekankan. Oleh Imam Al-Ghazali dalam konsepnya tentang manusia dari unsur badan ( materi ).
Untuk menunjuk kepada pengertian jiwa itu ia menggunakan istilah yaitu an-nafs, al-ruh, al-`aql, dan al- qalb. Keempat istilah itu di tinjau dari segi kejiwaan hampir sama artinya tetapi dari segi fisik berbeda arti. Menurut Imam Al- Ghazali keempat istilah itu masing-masing memiliki dua arti yaitu arti khusus dan umum. Arti pertama, Al-qalb adalah al- qalb al-jasmani atau al-lahm al-sanubari, yaitu daging khusus yang berbentuk seperti jantung pisang yang terletak di sebelah dalam dada sebelah kiri. Qalb dalam pengertian yang pertama ini erat hubungannya dengan ilmu kedokteran dan tidak banyak menyangkut maksud agama serta kemanusiaan. Qalb itu juga ada pada hewan. Kedua, dalam pengertian jiwa yang bersifat latif, rohaniah, rabbaniah, dan mempunyai hubungan dengan qalb jasmani. Qalb dalam pengertian kedua inilah yang merupakan hakikat manusia karena sifat dan keadaannya yang bisa merasa, kemauan, berfikir, mengenal, beramal, ditunjukan perintah dan larangan, serta pahala dan siksa Allah.
Istilah kedua ar-ruh (ruh). Arti pertama ruh adalah jisim yang latif (halu ), dan bersumber di dalam qalb al–jasmani (kalbu jasman ). Ruoh ini memancar ke seluruh tubuh melalui nadi, urat, dan darah. Cahaya pancarannya membawa kehidupan manusia, seperti ia dapat merasa, mengenal dan befikir. Ibaratnya seperti cahaya lampu yang menerangi seluruh rumah, cahaya hidup yang di hasilkan ruh memancarkan sinarnya ke dalam tubuh.
Dalam istilah kedokteran arti pertama ini di sebut roh jasmani yang terbit dari panas gerak qalb yang menghidupi manusia. Arti kedua dari roh ialah roh rohani yang bersifat kejiwaan, yang memiliki daya rasa, kehendak, dan berfikir, seperti pengertian al-qalb yang kedua. Roh dalam pengertian kedua inilah yang dimaksud ayat al-Qur' an sebagai berikut:
Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: "Roh itu termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit". ( QS Al-Isra’/17 : 85 )
Istilah ketiga adalah al-nafs (jiwa). Arti pertama al-nafs ialah kekuatan hawa nafsu yang terdapat dalam diri manusia yang merupakan sumber bagi timbulnya akhlak tercela. Inilah pengertian nafsu yang di maksud ahli tasawuf umumnya. Jika mereka mengatakan: "Mari berjihad melawan hawa nafsu !", maksudnya adalah berjihad melawan kekuatan nafsu syahwat perut, kemaluan (faraj), dan marah, ketiga syahwat itu merupakan sumber bagi timbulnya akhlak dan sifat tercela. Arti kedua al-nafs ialah jiwa rohani yang bersifat latif, rabbani, dan kerohanian.
Al-nafs dalam pengertian kedua inilah yang merupakan hakikat, diri, dan zat dari manusia. Al-nafs dalam pengertian kedua di atas memiliki tiga sifat dan tingkatan yang berbeda sesuai dengan perbedaan keadaannya masing-masing. Al-nafs yang memiliki ketenangan dan ketentraman dalam mengemban amanat Allah dan tidak mengalami kegoncangan disebabkan tantangan yang ditimbulkan oleh hawa nafsu di sebut al- nafs al-muthma'inah (jiwa yang tenang). Kepada jiwa ini Allah menghimbau dengan himbauan sebagai berikut:
"Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam jama'ah hamba-hamba-Ku, Masuklah ke dalam syurga-Ku. QS.Al-Fajr/89 : 29 ).
Kalau al-nafs dalam pengertian kedua kembali kehadirat Allah, maka al-nafs dalam pengertian pertama tidak, karena keadaannya yang tidak tenang dan menyerupai sifat syetan. Selanjutnya, al-nafs yang tidak memiliki ketenangan yang sempurna karena menjadi pendorong timbulnya hawa nafsu dan sekaligus juga penantang disebut al-nafs al- lauwamat, yaitu jiwa yang masih mau menyalahkan dirinya ketika lalai dalam mengingat dan beribadah kepada Allah. Kepada jiwa al-lauwamat ini Allah bersumpah dalam ayat berikut :
"Dan Aku bersumpah dengan jiwa yang amat menyesali (dirinya sendiri) (QS.Al-Qiyamah/ 75 :2)
Akhirnya, al-nafs yang menenggelamkan dirinya dalam kejahatan, mengikuti nafsu marah, syahwat, perut, dan godaan setan dinamakan al-nafs al-ammarat (jiwa yang jahat karena suka mendorong orang berbuat dosa ). Kepada jiwa ini Allah mengingatkan manusia sebagai berikut:
"Dan Aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), Karena Sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha penyanyang. QS.Yusuf/12 : 53).
Nafsu yang suka menyuruh kepada kejahatan itu ialah al-nafs dalam pengertian pertama yang memiliki sifat tercela. Sedang al-nafs dalarn pengertian kedua adalah hakikat, diri, dan zat manusia karena memiliki sifat latif, rabbani, dan rohani. Istilah keempat ialah akal juga memiliki dua makna. Makna pertama ialah ilmu tentang hakikat segala sesuatu. Dalam pengertian ini akal dapat diibaratkan sebagai sifat ilmu yang bertemapt di jiwa (al-qlabu). Jadi, pengertian akal pada tingkat pertama ini di tekankan pada ilmu dan sifatnya. Akal dalam pengertian kedua adalah akal rohani yang memperoleh ilmu pengetahuan itu sendiri (al-mudrak Ii al-`ulum). Akal itu tidak lain adalah jiwa (al-qalb) yang bersifat latif, rabbani, dan rohani yang merupakan hakikat, diri dan zat manusia.
Dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa istilah al-qalb, al-ruh, al-nafs, dan al-`aql dalam pengertian pertama berbeda, dan dalam perngertian kedua banyak persamaan. Dalam pengertian pertama al-qalb berarti kalbu jasmani, al-ruh yang berarti roh jasmani yang latif (lembut), al-nafs yang berarti hawa nafsu dan sifat pemarah, serta al-‘aql yang berarti ilmu. Sedang dalam pengertian kedua, keempat istilah itu sama artinya, yaitu jiwa yang bersifat latif, rabbani, dan rohani yang merupakan hakikat, diri dan zat dari manusia. Oleh karena itu, manusia dalam pengertian pertama (fisik) tidak kembali kepada Allah dan dalam pengertian kedua (jiwa) kembali kepada-Nya.
Dalam menjelaskan jiwa dalam pengertian kedua, Al-Ghazali mengibaratkan manusia sebagai sebuah kerajaan. Sebagai kerajaan rajanya adalah jiwa, wilayahnya adalah tubuh, serta alat indera dan anggota badan lainnya sebagai tentaranya. Akal sebagai wazir, serta hawa nafsu dan sifat marah sebagai polisinya. Raja dan wazir selalu berusaha membawa manusia kejalan yang baik dan di ridhai Allah. Sebaliknya, hawa nafsu dan sifat marah selalu mengajak manusia ke jalan yang sesat dan di murkai Allah. Agar tercipta ketenangan dan kebahagian dalam kerajaan (diri manusia), kekuasaan raja dan wazir harus berada di atas kekuasaan hawa nafsu dan sifat marah. Kalau sebaliknya yang terjadi , pertanda kerajaan itu akan runtuh dan binasa.
Dari perumpamaan di atas jelas bahwa jiwa dalam pengertian yang kedua merupakan hakikat, diri dan zat manusia karena fungsinya yang besar dalam kehidupan, penentu nasib baik atau buruknya manusia di dunia dan akhirat. lbarat kerajaan atau kendaraan, jiwa adalah raja atau pengemudi yang amat menentukan keselamatan atau kesengsaraan rakyat atau penumpangnya.

e. Pendidikan Fisik (Tarbiyah Jismiyah )
Allah Subhanahuwata'alaa berfirman: "Dan sungguh Kami telah menciptakan manusia dari saripati tanah" (Q.S. Al-Mu'minum/23 : 109). Firman-Nya juga: "Maka apabila Aku Telah menyempurnakan kejadiannya, dan telah meniupkan kedalamnya ruh (ciptaan)-Ku, Maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud. (Q.S. Al-Hijr/15 : 29).
Al-Ghazali berpendapat, Allah Subhanahu wata'alaa mengabarkan melalui ayat di atas, bahwa manusia terdiri dari tiga unsur, yaitu: fisik, ruh dan jiwa. Ini menunjukkan posisi manusia sebagai makhluk biologis yang memerlukan kebutuhan dasar (physiological needs). Sedangkan konsep insân menunjukkan bahwa manusia adalah totalitas yang memiliki fisik dan psikis, badaniah dan ruhaniah, individualistik, khas, unik, berbeda antara manusia satu dengan yang laiinya. Sementara nafs dan ruh merupakan tentara hati manusia (junûd al-qalb). Hati manusia ini telah memiliki potensi yang disebut fitrah. Karena fisik merupakan salah satu unsur manusia yang tidak dapat terpisahkan, maka fisik harus dididik dibina dan diarahkan.
Maka yang dimaksud dengan Pendidikan Fisik (Physical learning) adalah segala kegiatan yang bersifat fisik untuk mengembangkan biologis anak tingkat daya tubuh sehingga mampu untuk melaksanakan tugas yang di berikan padanya baik secara indifidu ataupun sosial nantinya, dengan keyakinan bahwa dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang sehat “al-aqlussalim fil jismissaslim“ sehingga banyak diberikan beberapa permainan dan olah tubuh dalam jenis pendidikan ini.
Pendidikan Fisik (Tarbiyah Jismiyah) merupakan proses pendidikan yang memanfaatkan aktivitas jasmani yang direncanakan secara sistematik bertujuan untuk mengembangkan dan meningkatkan individu secara organik yang pada dasarnya merupakan bagian integral dari sistem pendidikan secara keseluruhan, bertujuan untuk mengembangkan aspek kesehatan, kebugaran jasmani, keterampilan berfikir kritis, stabilitas emosional, keterampilan sosial, penalaran dan tindakan moral melalui aktivitas jasmani dan olahraga. [29]
Berdasarkan sabda Nabi saw. : "Sesungguhnya tubuhmu itu kepunyaanmu". Maka hadits riwayat Bukhari ini menguatkan akan pentingnya memelihara tubuh dengan cara memelihara kesehatan, latihan olah tubuh, pemberian makanan yang baik (halalan thayyiban) dan banyak beraktivitas.
1) Memelihara Kesehatan
Al-Ghazali berpendapat bahwa kebersihan itu dapat dilakukan dengan empat cara: a) membersihkan badan dari hadats, kotoran dan najis b) membersihkan anggota tubuh dari kejahatan dan dosa. c) menyucikan hati dari prilaku tercela dan perbuatan buruk, d) membersihkan misteri dari hal-hal selain Allah ta'alaa, itulah kebersihan para Nabi dan Ash-Shiddiqiin ridwanullahu 'alaihim ajma'in. Allah berfirman:
“Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertaubat dan mencintai orang-orang yang bersih”. (Q.S. Al-Baqarah/2 : 222)
Berangkat dari petikan satu ayat tersebut di atas, dapat ditegaskan bahwa Islam mempunyai kesungguhan dalam masalah kesehatan. Kesungguhan ini tercermin dari kecintaan Allah kepada orang yang bertobat (al-tawwabin) dan orang yang bersih (mutathahhirin). Dari taubat menghasilkan kesehatan mental, sedangkan kebersihan lahiriyah menghasilkan kesehatan fisik. Dengan demikian, setidaknya, ada dua kesehatan yang ditekankan ajaran Islam, yaitu kesehatan mental dan kesehatan fisik. Kesehatan mental tercermin dalam kata al-tawwabin dan kesehatan fisik tercermin dalam kata al-mutathahhirin.
2) Latihan Olagraga
Islam sangat peduli terhadap pendidikan olahraga yang itu merupakan salah satu faedah dari tahapan pendidikan jasmani. Salah satu cabang olahraga yang disyari'atkna Islam adalah latihan memanah dan berburu. Dalam kegiatan itu dapat menggerakan otot-otot, menguatnya fisik, menumbuhkan kemauan dan percaya kepada diri sendiri.
Nabi shallahu 'alaihi wasallam pernah menyatakan, bahwa ada dua nikmat yang dilupakan orang, yaitu nikmat sehat dan waktu luang (HR Bukhari). Karena itu, Islam memberikan perhatian besar dan menghargai kesehatan manusia. "Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezki yang baik-baik yang kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar kepada-Nya kamu menyembah. (QS al-Baqarah: 172). Di sisi lain, Islam melarang apa saja yang bisa melemahkan kesehatan, bahkan menghilangkannya. Untuk itu, Islam memerintahkan agar kita melakukan olahraga karena olahraga ini mempunyai manfaat besar terhadap kesehatan manusia.
Manfaat olahraga, antara lain: 1) melancarkan peredaran darah, dan ini akan menyebabkan tugas-tugas organ tubuh bisa berjalan lebih baik; 2) melindungi dari berbagai penyakit, seperti penyakit jantung, tekanan darah dan diabetes; 3) meningkatkan kontrol emosi dan temperamen; (4) melejitkan potensi yang luar biasa; 5) menurunkan kadar darah kotor yang bisa menyebabkan tekanan kolesterol. Tak mengherankan Islam memberikan perhatian terhadap olahraga, di mana syariah Islam telah menyempurnakan kemaslahatan ini.
Tidak dapat dipungkiri, bahwa olahraga merupakan perkara yang penting dalam kehidupan manusia, khususnya menyangkut kesehatan. Bahkan, di dalam sebagian praktik ibadah kaum Muslim, seperti shalat, haji dan jihad, faktor kesehatan dan kebugaran tubuh menjadi pen-ting. Ibadahnya itu sendiri memberikan kontribusi terhadap kesehatan dan kebugaran tubuhnya.