Kamis, 28 Juni 2012

TAFSIR TARBAWI


TAFSIR TARBAWI-Konsep Belajar dalam Al-Qur'an
 

 
KONSEP BELAJAR DALAM AL-QUR’AN

A.     Konsep Belajar
Terdapat dua istilah yang digunakan Al-Qur’an yang berkonotasi belajar, yaitu ta’allama dan darasa. Ta’allama berasal dari kata ‘alima yang telah mendapat tambahan dua huruf (imbuhan), yaitu ta’ dan huruf yang sejenis dengan lam fi’ilnya yang dilambangkan dengan tasydid sehingga menjadi ta’allama. ‘Allama berarti mengetahui, dari kata ‘alima juga terbentuk kata al-‘ilmu (ilmu). Penambahan huruf pada suatu kata dasar, dalam kaedah Bahasa Arab, dapat merubah makna kata tersebut yang dinamakan dengan istilah fawa’id al-baab. Penambahan ta’ dan tasydid dalam kata ‘alima sehingga menjadi ta’allama juga membuat perubahan, yaitu mutawwa’ah; yang berarti adanya bekas suatu perbuatan. Maka ta’allama secara harfiah dapat diartikan kepada “menerima ilmu sebagai akibat dari suatu pengajaran”. Dengan demikian, ‘belajar’ sebagai terjemahan dari ta’allama dapat didefinisikan kepada perolehan ilmu sebagai akibat dari aktivitas pembelajaran. Atau dengan perkataan lain, belajar merupakan suatu aktivitas yang dilakukan seseorang dimana aktivitas itu membuatnya memperoleh ilmu.
Dalam Al- Qur’an kata ‘allama terulang dua kali. Keduanya digunakan dalam perbincangan tentang sihir, yaitu:
وَاتَّبَعُوا مَا تَتْلُو الشَّيَاطِينُ عَلَى مُلْكِ سُلَيْمَانَ ۖ وَمَا كَفَرَ سُلَيْمَانُ وَلَكِنَّ الشَّيَاطِينَ كَفَرُوا يُعَلِّمُونَ النَّاسَ السِّحْرَ وَمَا أُنْزِلَ عَلَى الْمَلَكَيْنِ بِبَابِلَ هَارُوتَ وَمَارُوتَ ۚ وَمَا يُعَلِّمَانِ مِنْ أَحَدٍ حَتَّى يَقُولَا إِنَّمَا نَحْنُ فِتْنَةٌ فَلَا تَكْفُرْ ۖ فَيَتَعَلَّمُونَ مِنْهُمَا مَا يُفَرِّقُونَ بِهِ بَيْنَ الْمَرْءِ وَزَوْجِهِ ۚ وَمَا هُمْ بِضَارِّينَ بِهِ مِنْ أَحَدٍ إِلَّا بِإِذْنِ اللَّهِ ۚ وَيَتَعَلَّمُونَ مَا يَضُرُّهُمْ وَلَا يَنْفَعُهُمْ ۚ وَلَقَدْ عَلِمُوا لَمَنِ اشْتَرَاهُ مَا لَهُ فِي الْآخِرَةِ مِنْ خَلَاقٍ ۚ وَلَبِئْسَ مَا شَرَوْا بِهِ أَنْفُسَهُمْ ۚ لَوْ كَانُوا يَعْلَمُونَ
Artinya: Dan mereka mengikuti apa yang dibaca oleh syaitan-syaitan pada masa kerajaan Sulaiman (dan mereka mengatakan bahwa Sulaiman itu mengerjakan sihir), Padahal Sulaiman tidak kafir (tidak mengerjakan sihir), hanya syaitan-syaitan lah yang kafir (mengerjakan sihir). mereka mengajarkan sihir kepada manusia dan apa yang diturunkan kepada dua orang malaikat di negeri Babil Yaitu Harut dan Marut, sedang keduanya tidak mengajarkan (sesuatu) kepada seorangpun sebelum mengatakan: "Sesungguhnya Kami hanya cobaan (bagimu), sebab itu janganlah kamu kafir". Maka mereka mempelajari dari kedua Malaikat itu apa yang dengan sihir itu, mereka dapat menceraikan antara seorang (suami) dengan isterinya. dan mereka itu (ahli sihir) tidak memberi mudharat dengan sihirnya kepada seorangpun, kecuali dengan izin Allah. dan mereka mempelajari sesuatu yang tidak memberi mudharat kepadanya dan tidak memberi manfaat. Demi, Sesungguhnya mereka telah meyakini bahwa Barangsiapa yang menukarnya (kitab Allah) dengan sihir itu, Tiadalah baginya Keuntungan di akhirat, dan Amat jahatlah perbuatan mereka menjual dirinya dengan sihir, kalau mereka mengetahui.        Q.S. Al-Baqarah (2): 102.
Berdasarkan pengertian ta’allama (belajar) di atas, maka ayat ini dapat diartikan kepada “bahwa orang Yahudi menerima ilmu sihir dari Harut dan Marut sebagai hasil pekerjaan keduanya. Dan ilmu yang mereka dapatkan itu tidak bermanfaat buat mereka, bahkan memberi madharat”. Mereka melakukan berbagai aktivitas sesuai dengan bimbingan atau arahan guru sihir, dimana berdasarkan aktivitas dan mengikuti arahan itu memperoleh apa yang mereka cari.  Tetapi pada akhirnya pengetahuan yang telah mereka peroleh sesungguhnya tidak berguna bagi diri mereka sendiri, malahan dapat mencederai mereka.
Ungkapan Al-Qur’an “wa yata’allamuna ma yadlurruhum wa la yanfa’uhum” menggambarkan bahwa objek yang dipelajari mestilah sesuatu yang berguna atau bermanfaat bagi kehidupan manusia.  Sesuatu yang tidak berguna bahkan dapat mencederai manusia tidak pantas dipelajari. Oleh karena itu, Al-Qur’an melarang manusia mempelajari ilmu sihir, karena ilmu ini tidak dapat mendatangkan manfaat bahkan sebaliknya; ia dapat memadharatkan manusia. Maka ilmu yang pantas dipelajari adalah ilmu yang berdampak positif terhadap manusia, bahkan dalam menjalani kehidupan ataupun di balik kehidupan ini.
Kata darasa secara harfiah selalu diartikan kepada ‘mempelajari’, seperti yang terlihat dalam firman Allah:
وَكَذَلِكَ نُصَرِّفُ الْآيَاتِ وَلِيَقُولُوا دَرَسْتَ وَلِنُبَيِّنَهُ لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ
Artinya: Demikianlah Kami mengulang-ulangi ayat-ayat Kami supaya (orang-orang yang beriman mendapat petunjuk) dan supaya orang-orang musyrik mengatakan: "Kamu telah mempelajari ayat-ayat itu (dari ahli Kitab)", dan supaya Kami menjelaskan Al Quran itu kepada orang-orang yang mengetahui. Q.S. Al-An’Am (6) : 105.
Kata darasta dalam ayat ini berarti ‘kamu telah mempelajari’. Al-Isfahani secara harfiah memaknai kata darasa itu dengan ‘meninggalkan bekas’, seperti yang terlihat dalam makna ungkapan darasa al-daaru yang semakna dengan baqiya atsruha (rumah itu masih ada bekasnya). Maka ungkapan darastu al-‘ilma sama artinya dengan tanawaltu atsruhu bi al-hifdzi (saya menerima bekasnya dengan menghafal). Berangkat dari makna harfiah ini, maka belajar dapat didefinisikan kepada suatu kegiatan pencarian ilmu, dimana hasilnya berbekas dan berpengaruh terhadap orang yang mencarinya. Artinya, belajar tidak hanya sekedar aktivitas tetapi ia mesti mendatangkan pengaruh atau perubahan pada orang yang belajar tersebut.
Kata darasa dalam Al-Qur’an terulang 6 kali; lima dalam bentuk kata kerja dan yang lainnya dalam bentuk masdar. Lima yang dalam bentuk kata kerja itu, dua di antaranya menggunakan fi’il madli dan tiga lainnya menggunakan fi’il mudlari’. Kata tersebut terdapat dalam surah Al-An’am ayat 105, seperti yang telah dijelaskan di atas. Selain itu, kata darasa juga terdapat dalam beberapa surah dan ayat berikut, yaitu:
1. surah Al-A’raf (7): 169.
فَخَلَفَ مِنْ بَعْدِهِمْ خَلْفٌ وَرِثُوا الْكِتَابَ يَأْخُذُونَ عَرَضَ هَذَا الْأَدْنَى وَيَقُولُونَ سَيُغْفَرُ لَنَا وَإِنْ يَأْتِهِمْ عَرَضٌ مِثْلُهُ يَأْخُذُوهُ ۚ أَلَمْ يُؤْخَذْ عَلَيْهِمْ مِيثَاقُ الْكِتَابِ أَنْ لَا يَقُولُوا عَلَى اللَّهِ إِلَّا الْحَقَّ وَدَرَسُوا مَا فِيهِ ۗ وَالدَّارُ الْآخِرَةُ خَيْرٌ لِلَّذِينَ يَتَّقُونَ ۗ أَفَلَا تَعْقِلُونَ
Arinya: Maka datanglah sesudah mereka generasi (yang jahat) yang mewarisi Taurat, yang mengambil harta benda dunia yang rendah ini, dan berkata: "Kami akan diberi ampun". dan kelak jika datang kepada mereka harta benda dunia sebanyak itu (pula), niscaya mereka akan mengambilnya (juga). Bukankah Perjanjian Taurat sudah diambil dari mereka, Yaitu bahwa mereka tidak akan mengatakan terhadap Allah kecuali yang benar, Padahal mereka telah mempelajari apa yang tersebut di dalamnya?. dan kampung akhirat itu lebih bagi mereka yang bertakwa. Maka Apakah kamu sekalian tidak mengerti? Q.S. Al-A’raf (7): 169.
Ayat ini memperbincangkan kejahatan umat terdahulu setelah wafatnya nabi yang diutus Allah kepada mereka. Umat-umat tersebut mewarisi kitab dari nabi, mereka mempelajarinya tapi tidak mengamalkan isinya, bahkan menfatwakan dan mengajarkan sesuatu yang bertentangan dengan isi al-kitab yang mereka pelajari itu, untuk mendapatkan kesenangan duniawi. Mereka berharap agar kesalahan yang mereka perbuat itu akan diampuni oleh Allah, tetapi lagi-lagi mereka terus-menerus melakukannya. Padahal meraih kebahagiaan akhirat, dengan cara mengamalkan pesan-pesan Tuhan yang terdapat dalam Al-Kitab itu lebih baik dan lebih menguntungkan mereka. Tetapi memang tidak semua ahlul kitab seperti itu. Ada juga mereka yang taat dan mengamalkan isi taurat yang telah mereka warisi tersebut, seperti yang tergambar dalam ayat sebelumnya (168) surat yang sama.
Dalam ayat ini terdapat kata darasuu maa fiihi yang dapat diartikan kepada “mereka telah mempelajari isi al-Kitab”. Maka maksudnya, orang-orang Ahlul Kitab telah mempelajari kitab Allah yang diturunkan kepada mereka, maka seharusnya kegiatan belajar itu berbekas dalam diri mereka, dengan mengimani dan mengamalkan pesan-pesan Tuhan yang termuat dalam Kitab tersebut, serta berpengaruh terhadap mereka dalam bentuk bertambahnya pengetahuan dan perubahan perilaku sehingga mereka mengakui kerasulan Muhammad saw. Tetapi justru yang sebaliknya; hal-hal yang dipelajari dari Al-Kitab tidak mendatangkan pengaruh apa-apa dan tidak berbekas dalam jiwa mereka. Ini menggambarkan belajar yang tidak efektif. Hal itu disebabkan oleh fanatisme dan tertutupnya jiwa menerima kebenaran atau ada kepentingan lain yang membuat mereka menolaknya. Dalam ayat tersebut digambarkan hal yang membuat tidak efektifnya kegiatan belajar mereka, yaitu “ya’khudzuuna al- adnaa (mereka mengambil harta benda dunia yang rendah ini). Artinya mereka memandang harta benda dunia lebih penting dari segalanya sehingga pesan-pesan ilahi yang mereka pelajari dalam al-Kitab tidak mendatangkan efek positif terhadap sikap dan jiwa mereka. Bahkan, mereka berani mengubah kitab suci yang mereka warisi itu untuk mendapatkan kedudukan dan kehormatan.
Berdasarkan perbincangan ayat di atas, maka dapat ditegaskan di sini bahwa hal-hal yang dapat menghalangi peserta didik menguasai pelajaran, baik secara kognitif, afektif maupun psikomotor. Faktor yang dapat menghalangi penguasaan tersebut meliputi faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal adalah faktor yang berkaitan dengan hal-hal yang berada dalam diri peserta didik, seperti motivasi dan minatnya terhadap mata pelajaran yang dipelajari. Demikian pula tujuan belajar; apakah tujuannya benar-benar menimba ilmu atau ada tujuan lain, dimana belajar dijadikan sebagai ‘kambing hitam’, termasuk pula pergeseran pandangan terhadap belajar dari mencari ilmu berubah menjadi mencari ijazah atau gelar.
Sedangkan faktor eksternal adalah faktor yang berada di luar diri peserta didik itu sendiri. Hal itu meliputi godaan atau rangsangan yang ada di lingkungan sekitar peserta didik, yaitu teman, masyarakat, media masa, dan keluarga. Banyak hal yang muncul di media masa, lingkungan keluarga, masyarakat, dan teman yang tidak mendukung bahkan menghambat kegiatan belajar atau menggoda siswa untuk tidak belajar sehingga materi pelajaran tidak dikuasai atau mereka mungkin saja sudah menguasai pengetahuanya, tetapi hal-hal tersebut menghambat mereka mengamalkannya. Maka itulah sebabnya, banyak orang yang sudah berilmu tetapi sikap dan perilakunya bertentangan dengan pengetahuannya itu.
Maka untuk efektifnya proses belajar, faktor-faktor tersebut mesti dihindari. Peserta didik harus fokus pada materi dan tujuan belajar. Mereka mesti membuka diri terhadap kebenaran atau objek yang dipelajari. Karena jika tidak demikian, maka jiwanya akan ditutupi oleh subjektifitas dan fanatismenya sehingga pada akhirnya membuat proses belajar tidak mencapai tujuan yang diharapkan. niat mereka perlu diluruskan, bahwa belajar benar-benar mencari ilmu untuk menguatkan akal agar mendapat hhidayah dari Allah, sehingga ilmu yang diperoleh berpengaruh positif terhadap perilaku.
Selain itu, lingkungan seperti teman serta lingkungan sekitar siswa lainnya mestilah dijaga agar benar-benar bersih dari hal-hal yang dapat menggagalkan pendidikan. Nabi Muhammad mengajarkan agar bersahabatlah dengan orang-orang baik, agar kebaikan yang ada padanya berpengaruh pula kepada sahabat.
2. surah Ali ‘Imran (3); 79 dan 80:
مَا كَانَ لِبَشَرٍ أَنْ يُؤْتِيَهُ اللَّهُ الْكِتَابَ وَالْحُكْمَ وَالنُّبُوَّةَ ثُمَّ يَقُولَ لِلنَّاسِ كُونُوا عِبَادًا لِي مِنْ دُونِ اللَّهِ وَلَكِنْ كُونُوا رَبَّانِيِّينَ بِمَا كُنْتُمْ تُعَلِّمُونَ الْكِتَابَ وَبِمَا كُنْتُمْ تَدْرُسُونَ
وَلَا يَأْمُرَكُمْ أَنْ تَتَّخِذُوا الْمَلَائِكَةَ وَالنَّبِيِّينَ أَرْبَابًا ۗ أَيَأْمُرُكُمْ بِالْكُفْرِ بَعْدَ إِذْ أَنْتُمْ مُسْلِمُونَ
Artinya: Tidak wajar bagi seseorang manusia yang Allah berikan kepadanya Al Kitab, Hikmah dan kenabian, lalu Dia berkata kepada manusia: "Hendaklah kamu menjadi penyembah-penyembahku bukan penyembah Allah." akan tetapi (dia berkata): "Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani[208], karena kamu selalu mengajarkan Al kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya.
Dan (tidak wajar pula baginya) menyuruhmu menjadikan Malaikat dan Para Nabi sebagai tuhan. Apakah (patut) Dia menyuruhmu berbuat kekafiran di waktu kamu sudah (menganut agama) Islam?".
Dalam ayat ini terdapat ungkapan kuunu rabbaniyyina bima kuntum tu’allimuuna al-Kitab wa bimaa kuntum tadrusuun (karena kamu selalu mengajarkan al-Kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya). Penggalan ayat tersebut menggambarkan ajakan atau dakwah nabi terdahulu terhadap ummatnya agar mereka menjadi rabbani, yaitu orang-orang yang sempurna ilmu dan takwanya kepada Allah swt. dimana kesempurnaan ilmu dan takwa itu merupakan efek dari pengajaran al-Kitab di satu sisi dan mempelajarinya di sisi lain. Ini artinya, belajar semestinya meninggalkan bekas pada diri atau jiwa peserta didik dalam bentuk kesempurnaan iman dan takwa.
Maka dengan demikian ditegaskan, bahwa ayat ini secara tidak langsung membicarakan dua hal yang berkaitan dengan belajar; pertama konsep belajar seperti terlihat dalam istilah ‘tadrusuuna’. Dan kedua tujuan belajar dan mengajar, yaitu “terbentuknya insan rabbani”. Para nabi telah mengajar umatnya  dan umat pun telah mempelajari pesan-pesan ilahi yang disampaikan para nabi tersebut. Maka umat diharapkan menjadi insan rabbani.
3. surah Al-Qalam (68); 34-38
إِنَّ لِلْمُتَّقِينَ عِنْدَ رَبِّهِمْ جَنَّاتِ النَّعِيمِ ﴿068:034 أَفَنَجْعَلُ الْمُسْلِمِينَ كَالْمُجْرِمِينَ ﴿068:035﴾
 مَا لَكُمْ كَيْفَ تَحْكُمُونَ ﴿068:036 أَمْ لَكُمْ كِتَابٌ فِيهِ تَدْرُسُونَ ﴿068:037﴾
إِنَّ لَكُمْ فِيهِ لَمَا تَخَيَّرُونَ ﴿068:038﴾
Artinya: Sesungguhnya bagi orang-orang yang bertakwa (disediakan) syurga-syurga yang penuh kenikmatan di sisi Tuhannya. Maka Apakah patut Kami menjadikan orang-orang Islam itu sama dengan orang-orang yang berdosa (orang kafir)? atau Adakah kamu (berbuat demikian): Bagaimanakah kamu mengambil keputusan? atau Adakah kamu mempunyai sebuah kitab (yang diturunkan Allah) yang kamu membacanya?, bahwa di dalamnya kamu benar-benar boleh memilih apa yang kamu sukai untukmu.
Ayat 36 dan 37 di atas diungkapkan dengan uslub (gaya bahasa) bertanya, yaitu ‘Adakah kamu (berbuat demikian): bagaimanakah kamu mengambil keputusan?” dan “Atau adakah kamu mempunyai sebuah kitab (yang diturunkan Allah) yang kamu mempelajarinya?. Hal ini secara implisit menggambarkan bahwa perilaku merupakan efek dari apa yang dipelajari. Artinya, seolah-olah orang-orang kafir itu telah menerima al-Kitab lalu mereka mempelajari, dan hasilnya mereka dibolehkan memilih apa-apa yang mereka sukai. Kemudian mereka pun mengamalkan hal-hal yang mereka sukai itu, seperti yang terlihat pada sikap dan perilaku mereka. Padahal mereka belum mendapatkan al-Kitab. Sikap dan perilaku mereka hanyalah efek dari apa yang mereka pelajari dari nenek moyang mereka. Hal itu juga tergambar dalam ayat berikut.
4. surah Saba’(34); 43-44:
وَإِذَا تُتْلَى عَلَيْهِمْ آيَاتُنَا بَيِّنَاتٍ قَالُوا مَا هَذَا إِلَّا رَجُلٌ يُرِيدُ أَنْ يَصُدَّكُمْ عَمَّا كَانَ يَعْبُدُ آبَاؤُكُمْ وَقَالُوا مَا هَذَا إِلَّا إِفْكٌ مُفْتَرًى ۚ وَقَالَ الَّذِينَ كَفَرُوا لِلْحَقِّ لَمَّا جَاءَهُمْ إِنْ هَذَا إِلَّا سِحْرٌ مُبِينٌ ﴿034:043﴾ وَمَا آتَيْنَاهُمْ مِنْ كُتُبٍ يَدْرُسُونَهَا ۖ وَمَا أَرْسَلْنَا إِلَيْهِمْ قَبْلَكَ مِنْ نَذِيرٍ﴿034:044﴾
Artinya: Dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat Kami yang terang, mereka berkata: "Orang ini tiada lain hanyalah seorang laki-laki yang ingin menghalangi kamu dari apa yang disembah oleh bapak-bapakmu", dan mereka berkata: "(Al Quran) ini tidak lain hanyalah kebohongan yang diada-adakan saja". dan orang-orang kafir berkata terhadap kebenaran tatkala kebenaran itu datang kepada mereka: "Ini tidak lain hanyalah sihir yang nyata".
Dan Kami tidak pernah memberikan kepada mereka Kitab-Kitab yang mereka baca dan sekali-kali tidak pernah (pula) mengutus kepada mereka sebelum kamu seorang pemberi peringatanpun.
Orang kafir menolak ajaran yang disampaikan Rasul, mereka menganggapnya sebagai dongeng dan sihir. Mereka sangat fanatik dengan kepercayaan nenek moyang. Seakan-akan hal itu telah mereka pelajari dari al-Kitab atau dari rasul yang diutus kepada mereka. Padahal mereka tidak pernah diberi al-Kitab dan juga tidak pernah diutus seorang rasul, yang memberikan peringatan. Pernyataan ayat-ayat ini secara implisit meggambarkan begitu eratnya kaitan perilaku dengan belajar.
Berdasarkan konsep ta’allama dan darasa di atas, maka hakikat belajar itu adalah pencarian dan perolehan ilmu, di mana iaa mendatangkan pengaruh atau perubahan kepada sipelajar.
Ayat 105 surah al-An’am yang lalu juga menggambarkan bahwa untuk mendapatkan hasil belajar yang maksimal ia mesti diulang-ulang. Hal itu tergambar dalam penggalan ayat “wa kadzaalika nusharrifu al-aayaat” (demikianlah Kami mengulang-ulang ayat-ayat) supaya orang-orang yang beriman mendapat petunjuk. Allah mengajar manusia melalui kitab suci-Nya, pengajaran Allah itu selalu diulang-ulang. Pengulangan itu tidak hanya dilakukakan oleh guru, tetapi yang paling penting lagi dilakukan oleh peserta didik.
Perbincangan di atas menggambarkan beberapa konsep belajar dan bagaimana seharusnya efek dari belajar tersebut. Selain itu, dalam al-Qur’’an diterangkan pula bentuk aktifitas belajar, yaitu membaca (qara’a), dan memperhatikan (ra’a), menalar (nadzhara), mendengarkan (sami’a), dan mengingat atau menghafal (dzakara). Melakukan segala aktivitas belajar ini  dapat menghasilkan penguasaan terhadap pelajaran tersebut, baik penguasaan secara kognitif maupun afektif. Dalam istilah al-Qur’an disebut dengan tadzakkar yang berarti menjadi ingat atau menguasai materi ajar atau sadar sebagai makhluk Tuhan sebagai efek dari membaca, memperhatikan, menalar, mendengarkan, dan meghafal. Jadi, belajar mestinya mendatangkan efek kepada pelajar dalam bentuk kesadaran diri sebagai hamba Allah dan menyadari bahwa segala yang ada ini mempunyai penuh ketergantungan kepada Allah. Al-Qur’an menegaskan:
وَهُوَ الَّذِي يُرْسِلُ الرِّيَاحَ بُشْرًا بَيْنَ يَدَيْ رَحْمَتِهِ ۖ حَتَّى إِذَا أَقَلَّتْ سَحَابًا ثِقَالًا سُقْنَاهُ لِبَلَدٍ مَيِّتٍ فَأَنْزَلْنَا بِهِ الْمَاءَ فَأَخْرَجْنَا بِهِ مِنْ كُلِّ الثَّمَرَاتِ ۚ كَذَلِكَ نُخْرِجُ الْمَوْتَى لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ
﴿007:057﴾
Artinya: Dan Dialah yang meniupkan angin sebagai pembawa berita gembira sebelum kedatangan rahmat-Nya (hujan); hingga apabila angin itu telah membawa awan mendung, Kami halau ke suatu daerah yang tandus, lalu Kami turunkan hujan di daerah itu, Maka Kami keluarkan dengan sebab hujan itu pelbagai macam buah-buahan. seperti Itulah Kami membangkitkan orang-orang yang telah mati, Mudah-mudahan kamu mengambil pelajaran. Q.S. Al-A’raf (7): 57.
Secara umum ayat ini menegaskan, bahwa mempelajari fenomena alam yang meliputi proses turunnya hujan dan tumbuhannya sebagai dalil yang menunjukkan kepada kemahabesaran dan kekuasaan Allah, yang kemudian dianalogikan dengan kekuasaan-Nya yang lain yaitu membangkitkan manusia, dapat membentuk pribadi yang sadar akan kekuasaan-Nya itu (tadzakkar). Artinya, fenomena alam semestinya dapat dijadikan i’tibar oleh manusia dan mengantarkannya kepada keimanan yang kokoh dalam bentuk kesadaran diri sebagai makhluk ciptaan Tuhan. Dan kesadaran diri itu merupakan hasil yang ingin dicapai melalui mempelajari fenomena alam tersebut. (Wallahu A’lam)