Pola Dasar Pendidikan Agama Islam
Pendidikan
Agama Islam yang dilaksanakan dalam suatu sistem memberikan kemungkinan
berprosesnya bagian-bagian menuju ke arah tujuan yang ditetapkan sesuai dengan
ajaran Islam. Jalannya proses itu bersifat konsisten dan konstan (tetap) bila
dilandasi pola dasar pendidikan yang mampu menjamin terwujudnya tujuan
Pendidikan Agama Islam.
Dengan
demikian, suatu sistem Pendidikan Agama Islam harus berkembang dari pola yang
membentuknya menjadi pendidikan yang bercorak dan berwatak Islam. Sifat
konsisten dan konstan dari proses pendidikan tersebut tidak akan keluar dari
pola dasarnya sehingga hasilnya juga sama dengan pola dasar tersebut.
Meletakkan
pola dasar Pendidikan Agama Islam berarti harus meletakkan nili-nilai dasar
agama yang memberikan ruang lingkup berkembangnya proses pendidikan Islam dalam
rangka mencapai tujuan. Bukannya nilai-nilai dasar yang dibentuk itu mempunyai
kecendrungan untuk menghambat atau menghalangi proses tersebut.
Untuk
tujuan itu harus memahami falsafah Pendidikan Agama Islam, karena ia menjadi
dasar dan sekaligus mengarahkan tujuan. Oleh karena menyangkut permasalahan
falsafah maka dalam pola dasar Pendidikan Agama Islam itu mengandung pandangan
Islam tentang prinsip-prinsip kehidupan alam raya, prinsip-prinsip kehidupan
manusia sebagai pribadi dan sebagai makhluk sosial.
Ada
tiga prinsip yang akan melibatkan pembaharuan secara mendalam menurut istilah
teknis filosofis sebagai berikut :
1. Ontologi : Yang
membahas asal-usul kejadian alam nyata dan di balik alam nyata.
2. Epistemologi : Yang membahas
tentang kemungkinan manusia mengetahui gejala alam.
3. Axiologi : Yang
membahas tentang sistem nilai-nilai dan teori nilai atau yang disebut dengan
etika.
Dari
ketiga unsur di atas dapat disimpulkan sekaligus menjadi pola dasar Pendidikan
Agama Islam :
1. Islam memandang bahwa segala penomena alam
ini adalah hasil ciptaan Allah dan tunduk pada hukum-hukum yang mekanismenya
sebagai sunnatullah. Oleh karena itu manusia harus dididik agar mampu
menghayati dan mengamalkan nilai-nilai dari hukum Allah itu. Dia harus mampu
mengorientasikan hidupnya kepada kekuatan atau kekuasaan yang berada dalam
kehidupan nyata melalui tingkah laku. Atas dasar ini, manusia wajib mendasari
kehidupannya dengan keimanan dan ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Menciptakan.
Keimaan ini diperteguh dalam hati dan dinyatakan dalam lisan difungsionalkan
dengan perbuatan.
2. Islam memandang manusia sebagai makhluk
yang paling mulia karena memiliki harkat dan martabat yang terbentuk dari
kemampuan-kemampuan kejiwaannya. Akal budinya menjadi tenaga penggerak yang
membedakan dari makhluk lainnya.
Manusia
menurut pandangan Islam diletakkan pada posisi khalifah di muka bumi ini.
Sebagai khalifah manusia diberi kelengkapan hidup rohaniyah dan jasmaniyah yang
memungkinkan dirinya melaksanakan tugas kekhalifahannya yaitu menguasai,
mengeksploitasi dan mengolah serta memanfaatkan hasil-hasilnya bagi kepentingan
hidup ubudiyahnya.
Allah
sendiri pernah menunjukkan bahwa harkat dan martabat manusia sedikit lebih
tinggi dari pada malaikat, karena dengan kemampuan yang diberikan oleh Tuhan,
ia mampu belajar dan memahami nama-nama benda yang menjadi sumber utama dari
perkembangan ilmu pengetahuannya lebih lanjut.
Manusia
yang dapat mewarisi bumi ini hanyalah yang berwatak shaleh (yang berjiwa
membangun) saja. Oleh karena itu dalam pola dasar harus dinyatakan tentang
nilai-nilai apa sajakah yang dapat membentuk manusia menjadi saleh sehingga
mampu menjadi khalifah di muka bumi ini.
3. Prinsip selanjutnya adalah pandangan bahwa
manusia bukan saja makhluk pribadi, melainkan juga makhluk sosial, yang harus
hidup sebagai anggota masyarakat sesamanya. Manusia harus mampu menjalin
hubungan dengan manusia lainnya dalam suatu ikatan kewargaan yang satu, karena
umat manusia adalah umat yang satu yang dipersatukan dengan Ukhuwwah Islamiyah.
Waktu
sosial yang dibentuk oleh Allah dalam pribadi manusia adalah apa yang disebut
dalam psikologi sosial dengan homososius yang memiliki instink Aregarious
(insting suka berkumpul).
Sepanjang
sejarah sejak awal dalam pemikiran Islam terlihat dua pola yang saling
mengembangkan diri, dan mempunyai pengaruh besar dalam pengembangan pola
pendidikan umat Islam. Dari pola pemikiran yang bersifat tradisional, yang
selalu mensadarkan diri pada wahyu, yang kemudian berkembang menjadi pola
pemikiran sufistik dan mengembangkan pola pendidikan sufi. Pola pendidikan ini
sangat memperhatikan aspek-aspek bathiniah dan akhlak atau budi pekerti
manusia. Sedangkan dari pola pemikiran, menimbulkan pola pendidikan empiris
rasional. Pola pendidikan bentuk kedua ini sangat memperhatikan pendidikan
intelektual dan penguasaan material.
Pada
masa jayanya pendidikan Agama Islam, kedua pola pendidikan tersebut menghiasi
dunia Islam, sebagai pola yang berpadu dan saling melengkapi. Setelah pola
pemikiran rasioanl diambil alih pengembangannya oleh dunia barat, (eropa) dan
dunia Islampun meninggalkan pola pemikiran tersebut, maka dalam dunia Islam
tinggal pola pemikiran sufistik, yang sifatnya memang sangat memperhatikan
kehidupan bathin.
Sehingga
mengabaikan perkembangan dunia material. Pola pendidikan yang dikembangkan pun
tidak lagi meghasilkan perkembangan budaya Islam yang bersifat material. Dari
aspek inilah dikatakan pendidikan dalam kebudayaan Islam mengalami kemunduran,
atau setidak-tidaknya dapat dikatakan pendidikan Islam mengalami kemandegan.
M.
Syarif mengungkapkan gejala kemunduran pendidikan dan kebudayaan Islam tersebut
sebagai berikut. Telah kita saksikan bahwa pikiran Islam telah melaksanakan
kemajuan yang hebat dalam jangka waktu yang terletak di antara abad ke VIII dan
abad ke XIII M, kemudian kita memperhatikan hasil-hasil yang diberikan kaum
muslimin kepada eropa sebagai satu pembekalan yang matang untuk menjadi dasar
pokok dalam mengadakan pembangkitan eropa (Renaissanse).
Di
antara sebab-sebab lemahnya pikiran Islam tersebut antara lain dilukiskan
sebagai berikut :[12]
1. Telah berlebihan filsafat Islam (yang
bercorak sufistik) yang dimasukkan oleh Al-Ghazali dalam alam Islami di timur,
dan berlebihan pula Ibnu Rusdy dalam memasukkan filsafat Islamnya (yang
bercorak rasionalistis) ke dunia Islam di barat. Al-Ghazali dengan filsafat
Islamnya menuju ke arah bidang rohaniah hingga menghilang ia ke dalam mega alam
tasauf, sedangkan Ibnu Rusdy dengan filsafatnya menuju ke arah yang
bertentangan dengan Al-Ghazali, maka Ibnu Rusdy dengan Filsafatnya menuju
kejurang materialisme.
2. Umat Islam terutama pada pemerintahan
(khalifah Sultan Amir) melalaikan ilmu pengetahuan dan kebudayaan dan tidak
memberi kesempatan untuk berkembang. Kalau pada mulanya pejabat pemerintahan
sangat memperhatikan perkembangan ilmu pengetahuan dengan memberikan
penghargaan yang tinggi kepada para ahli ilmu pengetahuan maka pada masa
menurun dan melemahnya kehidupan umat Islam ini para ahli ilmu pengetahuan maka
pada masa menurun dan melemahnya kehidupan umat muslimin para ahli ilmu
pengetahuan umumnya terlibat dalam urusan-urusan pemerintahan sehingga
melupakan perkembangan ilmu pengetahuan.
3. Terjadinya pemberontakan-pemberontakan
yang dibarengi dengan serangan dari luar sehingga menimbulkan kehancuran yang
mengakibatkan berhentinya kegiatan perkembangan ilmu pengetahuan dan kebudayaan
di dunia Islam. Semerntara itu obor pikiran Islam berpindah tangan ke tangan
kaum Masehi, yang mereka ini telah mengikuti jejak ajaran Islam.
Aspek-aspek didikan dalam Islam meliputi :
1. Pendidikan Jasmani
Pendidikan
Jasmani meliputi pendidikan fisik, meliputi perawatan tubuh, kesehatan, gizi,
olah raga. Istikharah, kebutuhan fisik, termasuk pemenuhan rezeki, sandang,
pangan, papan.
2. Pendidikan Akal
Pendidikan
Akal meliputi pencerdasan akal, melatih berpikir benar dan lurus, mengambil
kesimpulan yang benar, problem solving, dan berikutnya adalah berpikir ilmiah
dan selanjutnya menjadi ilmuan.
3. Pendidikan Qalbu
Pendidikan
Qalbu diarahkan kepada pensucian hati dari segala macam penyakit hati, seperti
takabur, ujub, ria, dengki, dendam, pemarah dan lain sebagainya, dan
selanjutnya mengisinya dengan sifat-sifat terpuji, seperti benar, jujur, rendah
hati, dan lain sebagainya. Bidang inilah yang selama ini dikenal dengan nama
pendidikan akhlak, bidang ini juga apabila dikembangkan mencakup pendidikan
kesehatan mental.
4. Pendidikan Naluri
Menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia, naluri artinya adalah dorongan hati atau nafsu
yang dibawa sejak lahir. Inti naluri adalah bawaan atau dorongan yang sudah
menyatu dalam diri manusia sejak semua jadi manusia tersebut. Di antara naluri
manusia yang mungkin perlu dikembangkan adalah :
a. Naluri beragama
Naluri
beragama merupakan keyakinan terhadap adanya Allah SWT merupakan naluri manusia.
Banyak contoh dalam pengalaman manusia membuktikan bahwa suara bathin manusia
meyakini adanya Tuhan Maha Pencipta. Hal ini di jelaskan pada surat al-a’raf
ayat 173 yang artinya :
Artinya :
”Dan bacakanlah kepada mereka berita orang yang telah kami berikan
kepadanya ayat-ayat kami (pengetahuan tentang isi Al Kitab), Kemudian dia
melepaskan diri dari pada ayat-ayat itu, lalu dia diikuti oleh syaitan (sampai
dia tergoda), Maka jadilah dia termasuk orang-orang yang sesat.
b. Naluri perasaan keindahan
Rasa
indah telah tumbuh dalam diri manusia itu sejak dilahirkan. Misalnya seorang
bayi akan berhenti menangis dan tertidur pulas, ketika ibunya mendengarkan
bait-bait lagu. Perasaan indah itu ada pada setiap orang, karena itulah
penddikan kesenian merupakan perwujudan dari rasa indah tersebut.
c. Naluri hidup
bermasyarakat
Naluri
bermasyarakat ada dalam diri manusia, sehingga ahli sosiologi mendefenisikan
manusia itu adalah makhluk sosial. Manusia tidak bisa hidup menyendiri. Manusia
membutuhkan mausia lain. Agar pergaulan sesama antar manusia itu berjalan
dengan baik dibutuhkan pendidikan kemasyarakatan.