Kamis, 26 September 2013

SEJARAH PERKEMBANGAN PERGURUAN TINGGI AGAMA ISLAM DI INDONESIA


SEJARAH PERKEMBANGAN
PERGURUAN TINGGI AGAMA ISLAM DI INDONESIA

PENDAHULUAN
Berkembangnya lembaga pendidikan Islam baik secara kuantitas maupun kualitas seperti sekarang ini tak akam mungkin bisa terlepas dari sejarah masa lalu. Para tokoh dan ulama telah berjuang bersusah payah agar umat Islam di Indonesia memiliki lembaga perguruan tinggi sendiri yang bercirikan Islam. Perjuangan ini merupakan awal  pembaruan pendidikan islam secara umum. Dengan adanya perguruan tinggi islam, bisa menghasilkan guru-guru yang berkualitas bagi madrasah-madrasah di desa-desa. Sehingga guru-guru di madrasah tidak hanya menguasai materi saja (khususnya materi agama Islam) tapi juga menguasi metode, media, dan ilmu pembelajaran lainnya sehingga bisa menjadi guru yang profesional.
Membahas sejarah maka tak akan bisa lepas dari membahas kejadian-kejadian masa lalu. Data-data kejadian masa lalu bisa kita dapatkan dari hasil cerita pelaku sejarah dan dokumentasi autentik yang benar-benar terjadi pada masa silam. Namun dalam membahas sejarah memang wajar jika terjadi perbedaan sudut pandang, hal ini terjadi karena terjadi perbedaan dalam menganalisis, bisa juga karena perbedaan kepentingan atapun karena di dasarkan pada ideologi tertentu. Namun bagaimanapun juga pembahasan sejarah sangat penting untuk tetap dipelajari, karena untuk bahan acuan dalam melakukan tindakan di masa sekarang ini. 
Perguruan Tinggi Islam merupakan Lembaga pendidikan Islam yang menjadi harapan baru bagi dunia Pendidikan Islam secara umum. Diharapkan dari institusi pendidikan tinggi Islam tersebut bisa melahirkan generasi-generasi Islam yang unggul. Banyak sekalai tokoh-tokoh agama dan Guru yang telah dilahirkan dari lembaga tersebut. Oleh karena itu wajar jika banyak sekali dorongan kepada Perguruan Tinggi untuk berbenah diri di segala bidang mulai dari konsep, kurikulum, visi, misi, dan tak ketinggalan adalah pengembangan lembaga tersebut baik secara organisasi, sarana prasanan, dan nilai-nilai yang diperjuangkannya.
Selain itu ada harapan baru bagaimana ke depannya nanti perguruan tinggi Islam bisa melahirkan tokoh dan ilmuwan di bidang pendidikan Umum (ilmu alam dan ilmu sosial). Dengan pencapaian tersebut maka dapat diprediksikan bahwa perguruan tinggi Islam tidak akan lagi dipandang sebelah mata oleh perguruan tinggi lainnya. Selama ini pendidikan tinggi Islam dinilai sebagai tempat untuk melahirkan generasi-generasi yang pandai di bidang ilmu agama. Dengan kata lain pendidikan tinggi Islam melaharikan lulusan  mahasiswa yang hanya mampu mengajak masyarakat untuk masuk surga (urusan Akhirat).
Walaupun tak dapat dipungkiri sekarang ini ada beberapa perguruan tinggi islam yang sudah membuka diri dengan membuka fakultas umum yang mendalami bidang ilmu Alam dan sosial. Usaha tersebut menurut penulis merupakan terobosan baru secara teknis kelembagaan untuk bisa menghasilkan lulusan yang berkompeten seperti universitas-universitas umum. Sehingga upaya demikian ini penulis yakini bisa berdampak bagus secara kelembagaan bagi perguruan tinggi islam yang mengadakan pembaruan manajemen lembaga dan organisasinya.
Dalam usaha untuk  mengembangkan lembaga perguruan tinggi islam seperti dalam paparan di atas maka menurut penulis sangat perlu kiranya mengkaji terlebih dahulu Sejarah Perguruan Tinggi Islam Indonesia. Pengkajian sejarah ini diperulkan untuk mengetahui kelemahan dan kelebihan perguruan tinggi Islam di masa lalu. Nilai guna yang lain adalah sebagai dasar atau landasan filosofis bagi upaya pengembangan lembaga perguruan tinggi Islam sekarang ini.  Dan keperluan lainnya adalah sebagai bentuk penghormatan terhadap pejuang-pejuang islam yang telah berjerih payah mendirikan dan mengembangkan lembaga-lembaga perguruan tinggi Islam sehingga menjadi yang seperti sekarang ini.
Mengacu dari pembahasan di atas, untuk lebih fokusnya pembahasan tentang sejerah perkembangan perguruan Tinggi Islam di Indonesia maka penulis perlu memberikan batasan masalah. Oleh karena itu penulis telah membuat rumusan masalah dalam makalah ini sebagagai berikut:
1.      Latar Belakang Berdirinya Perguruan Tinggi Islam di Indonesia?
2.      Sejarah perkembangan nama-nama perguruan tinggi Islam di Indonesia?


PEMBAHASAN
   A.    Latar belakang berdirinya Perguruan Tinggi Islam
Sesungguhnya upaya pendirian perguruan tinggi islam pada waktu sebelum kemerdekaan dan sesaat setelah kemerdakaan Indonesia merupakan agenda internal umat islam untuk maju dan bangkit dari keterjajahan. Lebih lanjut lagi adalah untuk meningkatkan derajat umat islam agar bisa keluar dari keterbelakangan. Semangat modernsime dan kesadaran umat islam untuk berpendidikan tinggi adalah pengaruh dari pemikiran tokoh-tokoh modern islam sekitar tahun 1900-an seperti Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh, dan Rasyid Ridho. Sehingga dalam pengelolaan perguruan tingginya umat islam mengambil ilmu manajeman Pendidikan dari barat misalnya adalah UII pada awal berdirinya. Adopsi tersebut mulia dari model kelembagaan, manajeman lembaga, dan jenis ilmu pengetahuan yang dikembangkan oleh Barat dari hasil riset dan pendalaman ilmu.[1]
Sebenarnya keinginan untuk mendirikan lembaga pendidikan tinggi Islam sudah dirintis sejak zaman kolonial Belanda. Pelaksanaan cita-cita dan gagasan mendirikan Sekolah Tinggi Islam, seperti yang dikemukakan dan dikumandangkan dalam mu'tamar-mu'tamar organisasi Islam setelah selesai Perang Dunia I itu, "tampak sudah dimulai oleh Syarikat Islam. Kemudian pada mu'tamar seperempat abad Muhammadiyah di Jakarta tahun 1936, juga dipustkan untuk mendirikan Sekolah Islam Tinggi dengan membuka Fakultas Dagang dan Industri. Nahdlatul Ulama  juga mempunyai cita-cita yang sama, dan begitu juga organisasi-organisasi Islam yang lain. Tetapi sebelum itu, di Majalengka, Kiai Halim, dengan organisasi Persatuan Oemat Islam, telah merwujudkan langkahlangkah tersebut. Sejak tahun 1917, Kiai Halim, telah giat mendirikan sekolah-sekolah dari tingkat ibtidaiyah sampai al-Jami'ah (perguruan tinggi) dengan berlokasi di atas gunung dan tanah belukar yang diberi nama "Santi Ashrama" walaupun upaya mendirikan perguruan tinggi tersebut kemudian dihalangi-halangi dan dibubarkan.oleh Belanda.[2]
Perjalanan umat islam dalam mendirikan perguruan tinggi di beberapa daerah antara tahu 1904-1941 tidak berjalan lancar bahkan dikatakan tidak bisa bertahan lama, yang pada akhirnya aktivitasnya berhenti sama sekali (bubar). Hal ini disebab oleh faktor internal yang mana pendirian perguruan tinggi tidak didukung oleh persatuan umat islam, hanya dilakukan oleh kekuat kecil umat islam. Selain itu ada faktor internal yaitu adanya perang dunia I dan II serta adanya intervensi Belanda yang terlebih dahulu sudah mendirikan sekolah-sekolah dan PT sekuler.[3]
Pada tahun 1938 Satiman Wirjosandjoyo dalam artikelnya di Pedoman Masyarakat pernah melontarkan gagasan yang baru yaitu pentingnya bagi umat islam untuk mendirikan perguruan tinggi Islam dalam upaya mengangkat harga diri kaum Muslim ditengah-tengah masyarakat yang juga mengalami kemajuan akibat politik etis Belanda. Satiman juga mengatakan sewaktu Indonesia masih tidur, pendidikan pesantren memiliki peran penting bagi pendidikan agama islam. Namun setelah Indonesia bangun pada sekitar tahun 1904 Masehi diperlukan perguruan tinggi Islam guna mencetak generasi sarjan Islam yang unggul untuk mengelola madrasah. Apalagi dengan banyak datangnya kaum Kristen yang mendirikan sekolah murah dan dikelola oleh para sarjana.[4]
Keinginan tersebut baru terwujud pada tanggal 8 Juli 1945 ketika Sekolah Tinggi Islam berdiri di Jakarta yang dipimpin oleh Prof. Abdul Kahar Muzakkir sebagai realiasi atas keinginan Yayasan (Badan Pengurus Sekolah tinggi Islam) yang dipimpin oleh Moh. Hatta sebagai ketua dan M. Natsir sebagai sekretarisnya. Moh. Hatta menyatakan bahwa agama adalah salah satu tiang kebudayaan bangsa oleh karena itu adanya perguruan tinggi Islam merupakan hal yang sangat penting untuk memperkokoh kedudukan masyarakat. Seiring berjalannya waktu pada masa revolusi, STI  mengikuti pemerintahan pusat  RI yang pindah ke Yogyakarta dan pada tanggal 10 April 1946 STI dibuka kembali di Jogjakarta.[5]
Berdirinya pendidikan tinggi islam selain dilatar belakangi faktor internal, pembentukannya juga karena adanya tuntutan dari masyarakat dan kondisi sosio kultur bangsa Indonesia. Yang mana menurut analisis penulis setelah adanya politik etis (balas budi) oleh Belanda sehingga berdampak pada kesempatan pemuda Indoneisa belajar ke jenjang lebih tinggi dan juga kesempatan untuk berorganisasi. Hal tersebut menyebabkan transformasi ilmu pengetahuan berjalan dengan cepat, banyak sekali ilmu-ilmu yang dipandang baru masuk ke Indonesia. Sehingga sistem pendidikan pesantren dipandang tidak lagi relevan dengan pendidikan terkini. Walaupun demikian bukan berarti pesantren ditinggalkan begitu saja, kelebihan yang ada di pesantren tetap digunakan untuk digunakan di perguruan tinggi Islam.[6]
Kaum muslimin tidak hanya memandang pendidikan sebagai pusat peningkatan kualitas SDM tetapi juga sebaga pusat menstransmisikikan doktrin Islam kepada generasi penerus. Oleh karena itu dipandang perlu bahwa umat islam di Indonesia harus memiliki Perguruan tinggi sebagai pencetak mahasiswa, cendekiawan, kyai, guru, ataupun keahlian liannya yang bisa menjalakan misi tersebut kepada masyarakat luas. Kesadaran yang tinggi umat Islam indonesia akan pentingnya pendidikan merupakan hasil interaksi dan koneksi antara pusat-pusat studi di Timur Tengan. Yang mana banyak sekali umat islam Indonesia yang memiliki kekuatan finansial lebih menuntut ilmu di perguruan tinggi Timur tengah. Dengan banyaknya alumni tersebut maka menyebabkan masyarakat islam lain terdorong untuk menempuh pendidikan tinggi.[7]
Melihat fenomena tersebut maka banyak sekali gagasan yang muncul di kalangan umat islam untuk mendiri perguruan tinggi hal ini dilatarbelaking oleh berbagai faktor. Antara lain adalah untuk mengakomodasi kalangan yang tidak memiliki kesempatan untuk melanjutkan ke Timur Tengah. Dan keinginan untuk mewujudkan lembaga pendidikan Islam sebagai kelanjutan dari pesantren atau madrasah. Selain itu untuk menyeimbangakn jumlah kaum terpelajar yang berasal dari lembaga sekolah sekuler dengan tamatan sekolah agama. Gagasan tersebut tidak hanya mengalir dari kalangan ulama atau tokoh-tokoh agama, namun juga muncul dari kalangan pelajar Muslim yang merupakan tamatan dari sekolah sekuler.[8]
Menurut Komarudin&Hendro pendirian perguruan tinggi islam selain didasarkan pada faktor edukasi, modernisasi, dan dakwah, juga dilandaskan karena faktor kepentingan ideologis (yang lebih cenderung ke ranah politik). Lebih lanjut lagi bagi umat islam PTAIN dijadikan sebagai salah satu istrumen ideologis untuk mempertahankan tradisi dan syiar islam. Dengan kata lain PTAIN bisa befungsi sebagai benteng ideologi masyarakat dari serang ideologi lain yang dipandang berbeda. Atas dasar itulah maka Depag pada waktu itu memutuskan menggandakan PTAIN menjadi puluhan fakultas dan disebar ke berbagai daerah. Kebijaksanaan ini dimaksudkan sebagai bentuk respon berkembangnya faham komunis yang sangat agresif memasuki berbagai wilayah indonesia.[9]
Pada awalnya  Perguruan tinggi islam didirikan tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan akademik saja, namu juga untuk memenuhi kebutuhan ilmu agama islam, ideologi, dan bahkan politik. Yang menjadi ciri khas lain adalah bahwa Jika di perguruan tinggi umum materi kuliah agama islam sekedar menjadi salah satu mata kuliah saja, sedangkan di lembaga pendidikan tinggi islam materi agama Islam menjadi fokus kajian utama. Selain itu hanya umat islam saja yang bisa diterima menjadi mahasiswanya. Sehingga wajar jika keberhasilan kurikulum tidak hanya diukur dari peningkatan akademik mahasiswanya saja tapi juga perilakunya yang islami.[10] Sehingga dapat penulis simpulkan bahwa pada awal berdirinya pendidikan tinggi islam dihiasi oleh semangat tinggi menjujung nilai-nilai keislaman di sebuah perguruan tinggi. Maka didirikanlah perguruan tinggi Islam untuk memunculkan nilai-nilai dan simbol-simbol islam di perguruan tinggi.
Namun ada beberapa pendapat lain mengatakan bahwa beridirinya PTAIN (bukan PTAIS) didasarkan faktor kecemburuan dari kaum Nasionalis Islam terhadap Kaum Nasionlis Sekuler yang oleh pemerintah telah dihadiahi lembaga Universitas Gadjah Mada pada tahun 1949 karena peran aktif masyarakat Yogyakarta dalam melawan agresi Belanda. Sehingga pada tahun 1951 didirikanlah untuk pertama kalinya Perguruan tinggi Islam yang berstatus Negeri di Yogyakarta. Walaupun pada awalnya banyak godaan-godaan politik, sehingga terkesan bahwa semua manuver dan kegiatan PTAI tertuju hanya untuk kepentingan Islam, lebih jelasnya lagi untuk memperbesar dan merapatkan barisian politik kaum Muslim. Hal ini untuk mempersiapkan diri menjelang pemilu 1955.[11]
Sehingga dapat penulis simpulkan bahwa endirian perguruan tinggi bisa juga menjadi mercusuar syiar Islam di Indonesia, karena PTAI sangat berbeda dengan madrasah. Madrasah adalah untuk mendidik generasi muda, namun PTAI adalah tempat untuk mendidik guru madrasah bahkan untuk mendidik intelektual-intelektual di bidang lain. Selain itu dengan berpendidikan tinggi maka umat islam bisa memiliki ilmu, memiliki kewibaan, dan memiliki kematangan (kedewasaan) sehingga diharapkan bisa mengeluarkan umat Islam dari jurang keterbelakangan, penjajahan belanda, dan ketertinggalan umat islam dari para kaum nasionalis sekuler.
  B.     Sejarah Perkembangan Nama-nama Perguruan Tinggi Islam
Tercatat dalam sejarah bahwa nama Perguruan Tinggi Islam di Indonesia terus mengalami perubahan sebagai upaya dalam merespon perkembangan masyarakat. Perubahan nama-nama perguruan Tinggi itu merupakan sebuah upaya konkrit untuk merubah sistem yang ada di dalam tubuh lembaga tersebut. Perubahan nama itu secara teknis biasanya karena penggabuang dari beberap perguruan tinggi islam, atau bahkan karena perpecahan dari lembaga Induk perguruan tinggi. Perubahan tersebut bukan hanya berubah “papan namanya” atau nameboard-nya tapi juga diharapkan berubah juga nilai-nilai yang terkandung di dalamnya.
Perguruan tinggi Islam yang pada waktu itu dikelola penuh oleh departeman agama bukan oleh Depdiknas yang merupakan pengelola pendidikan nasional menyebabkan perguruan tinggi Islam Negeri berkedudukan sama dengan lembaga-lembaga islam lainnya seperti majelis taknlim, haji, umrah, masjid, dan lain sebagainya. Sehingga hal ini berdampak pada sistem penerimaan mahasiswa baru yang berbeda dengan perguruan tinggi umum, dimana terdapat pola ujian UMPTN yang jamak dipakai.[12] Padahal menurut penulis yang namanya pendidikan itu tidak harus bidang agama saja namun dalam bidang ilmu pengetahuan umum (ilmu alam dan ilmu sosial).
Dampak selanjutnya dari perlakuan yang berbeda antar Perguruan tinggi islam dengan perguruan tinggi umum adalah tidak ada standar yang sama antar keduanya. Sehingga kualifikasi akademik dan profesionalisme PTAI sulit diukur. Maka oleh sebab itu lulusan PTAI meskipun secara formal memiliki gelar sarjana, namun berdasarkan hukum pasar tidak diakui oleh masyarakat umum.[13] Oleh karena itu dilandasi dari faktor-faktor di atas maka umat islam perlu mengadakan perubahan nama PTAI. Berikut ini adalah nama-nama perguruan tinggi Islam yang pernah ada dalam sejarah Indonesia:
1.      Sekolah Tinggi Islam (1945-1950)
Organisasi-organisasi Islam yang terhimpun dalam Masyumi pada awal tahun 1945 melahirkan beberapa keputusan penting, salah satunya adalah keputusan yang menyangkut bidang pendidikan yaitu mendirikan perguruan tinggi Islam dengan nama Sekolah Tinggi Islam.[14] Keputusan mendirikan STI dilatar belakangi oleh bebera sebab diantaranya adalah pertama, antisipasi kekosongan atau minimnya pemimpin setelah Indonesia lepas dari penjajahan. Kedua, keinginan untuk menserasikan antar ilmu agama dengan ilmu Umum. Ketiga, upaya mempersatukan umat Islam dalam satu wadah sebagai pengimbang dari pengaruh-pengaruh pemikiran barat. Keempat, pengaruh kebangkitan Nasional dan kebangkitan dunia Islam pada umumnya yang melahirkan gerakan-gerakan melawan penjajah dengan memakai sistem modern, dengan berdirinya organisasi-organisasti Islam salah satunya adalah Nahdatul Ulama.[15]
Gagasan mendirika Sekolah Tinggi Islam terwujud pada tanggal 8 Juli 1945, ketika Sekolah Tinggi Islam (STI) berdiri di Jakarta di bawah pimpinan Prof. Abdul Kahar Muzakkir, sebagai realisasi kerja yayasan Badan Pengurus Sekolah Tinggi Islam yang dipimpin oleh Drs. Mohammad Hatta sebagai ketua dan M. Natsir sebagai sekretaris. Ketika masa revolusi kemerdekaan, STI ikut Pemerintah Pusat Republik Indonesia hijrah ke Yogyakarta dan pada tanggal 10 April 1946 dapat dibuka kembali di kota itu. Dalam sidang Panitia Perbaikan STI yang dibentuk pada bulan November 1947 memutuskan pendirian universitas Islam Indonesia (UII) pada 10 Maret 1948 dengan empat fakultas: Agama, Hukum, Ekonomi, dan Pendidikan. Tanggal 20 Februari 1951, Perguruan Tinggi Islam Indonesia (PTII) yang berdiri di Surakarta pada 22 Januari 1950 bergabung dengan UII yang berkedudukan di Yogyakarta.[16]
Perguruan tinggi swasta yang pertama kali berdiri di Indonesia adalah Sekolah Islam Tinggi (SIT) pada 1940 yang berada di Sumatera Barat.[17] Dan kemudian pada tanggal 8 Juli 1945 di Jakarta didirikan Sekolah Tinggi Islam (STI) yang selanjutnya pada tanggal 3 November 1947 diubah menjadi Universitas Islam Indonesia (UII) sebagai upaya memenuhi kebutuhan masyarakat akan adanya integrasi ilmu agama dengan ilmu umum. Namun dalam perjalananan untuk mendirikan perguruan tinggi Islam banyak sekali kendala yaitu adanya upaya-upaya sekutu dan Belanda untuk menutup perguruan tinggi islam.[18]
UII pada waktu itu secara kelembagaan berupaya menerapkan sistem yang bersifat modern, mulai dari sistem perjenjangan (kelas), model pembelajaran, dan metode evaluasi yang sudah terukur. Manajeman organisasinya juga mengutamakan rasionalitas, ataruan yang terbuka, dan pembagaian wewenang yang jelas. Hal ini sangat berbeda dengan isistem pendidikan tradisional yang menekankan pada peran salah satu tokoh karismatik dalam hampir semua aspek pembelajaran.[19]
2.      Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (1950-1960)
Setelah mendapatkan pengakuan Kemerdekaan dari dunia internasional khususnya oleh Belanda pada tanggal 27 Desember 1949 Pemerintah memberikan hadiah bagi umat islam dengan meresmikan Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri yang diambil dari fakultas Agama UII berdasarkan peraturan pemerintah pemerintah No. 34 Tahun 1950. Yang kemudian dijabarkan menjadi beberapa jurusan seperti Dakwah (kelak bergani nama Ushuludin), Qodlo (Syariah), dan Pendidikan (Tarbiyah) menjadi Perguruan Tinggi Negeri dilakukan pada tanggal 26 September 1951 inilah yang sekarang ini menjadi UIN Sunan Kalijaga Jogjakarta. Enam tahun kemudian di Jakarta berdiri Akademi Dinas Ilmu Agama (AIDIA) pada tanggal 14 Agustus 1957 berdasarkan penetapan menteri Agama Nomor 1 tahun 1957.[20] Pemecahan fakultas ilmu agama dari UII menjadi PTAIN oleh pemerintah secara langsung merupakan upaya pemerintah dalam merespon umat islam sebagai bentuk pengakuan pemerintah terhadap golong islam sebagai bagian integral dari bangsa Indonesia.[21]
3.      Akademi Dinas Ilmu Agama (1957)
Akademi ini bertujuan sebagai sekolah latihan bagi para pejabat yang berdinas di pemerintahan khususnya di kalangan Depag dan untuk kepentingan kualitas guru dalam pengajaran agama di sekolah.[22] Pendirian ADIA di didasarkan pada Penetapan Menteri Agama Nomor 1 Tahun 1957 dan merupakan tugas Departemen Agama dalam menyiapkan tenaga guru agama, staf, dan tenaga ahli di bidang keagamaan, dengan tujuan guna mendidik dan mempersiapkan pegawai negeri yang akan mencapai ijaazah pendidikan semi akademi untuk dijadikan ahli didik agama pada sekolah-sekolah lanjutan, baik umum maupun kejuruan dan agama.  Yang mana lamanya belajar di ADIA adalah 5 tahun yang dibagi pada dua tingkatan. Tingkat semi akademik dengan masa belajar selama 3 tahun dan tingkat akademik dengan masa belajar selama 2 tahun. Masing-masing tingkat terdiri atas 2 jurusan yaitu Jurusan Agama dan Jurusan Sastera Arab.[23]Akademi ini bertujuan sebagai sekolah latihan bagi para pejabat yang berdinas di penerintahan ( Kementerian Agama) dan untuk pengajaran agama di sekolah.[24]
4.      Institut Agama Islam Negeri (1960-1997)
Institut Agama silam Negeri (IAIN) diresmikan pada tanggal 24 Agustus 1960 di Yogyakarta. Lembaga ini pada awalnya terlahir dari dua lembaga pendidikan tinggi Islam yang kemudian digabungkan menjadi IAIN. Dua lembaga itu adalah Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) yang berada di Yogyakarta dan Akademi Dinas Ilmu Agama (ADIA) yang berada di Jakarta. Hingga pada tahun 1973 IAIN di seluruh Indonesia berjumlah 14 buah. Tujuan didirikannya IAIN ini adalah untuk memberi pengajaran dan pendidikan universitas serta menjadi pusat dalam mengembangkan dan memperdalam ilmu pengetahuan  tentang agama islam.[25]
Di awal berdirinya IAIN terdapat banyak sekali tuntutan yang harus dilaksankan yaitu banyak sekali pegawai dan staf pengajar yang belum memiliki kesetaraan dengan pendidik barat. Lebih jelasnya staf pengajar pada saat itu belum memiliki kualifikasi secara formal untuk mendapat legitimasi dalam dunia birokrasi. Oleh karena itu seorang pendidik di IAIN pada waktu itu dituntut untuk memiliki gelar sarjana. Pada awal berdirirnya IAIN mahasiswa barunya banyak didominasi dari kalangan lulusan pondok pesantern. Namun seiring berjalannya waktu kemudian banyak sekali lulusan MA/PGA, SMA, SMEA, dan SPG. Ini menyebabkan IAIN harus menyesuaikan diri dengan keadaan mahasiswa yang berlatar belakang sangat beragam tersebut.[26]
Beberapa hal yang menjadi catatan tentang tujuan pendirian IAIN adalah bahwa pendiriannya dilandasi semangat untuk meningkatkan kedudukan pondok pesantren agar dapat memasuki wilayah urban sehingga bisa memiliki keluwesan dalm menghadapi tuntutan zaman. Dengan kata lain memformalitaskan pesantren ke dalam bagian kepemerintahan di bidang pengelolaan agama melalui Depag. Ini terlihat dari kurikulum IAIN tidak terlalu jauh berbeda dari apa yang diajarkan di pesantren.[27]
Bukan sebuah kesalahan jika ada pernyataan bahwa pada masa dulu IAIN pernah tidak dapat mendapat pengakuan oleh pemerintah, hal ini dibuktikan dengan perbedaan sistem pembiayaan yang mana anggara PTAI disejajaran dengan anggaran sektor agama secara umum menyatu dengan anggaran urusan keagamaan lain. Lebih nyata lagi lulusan IAIN pernah tidak bisa diterima mendaftar menjadi calon Pegawai Negeri Sipil di instasi-instasi luar Depag.[28] Seharusnya untuk anggaran Pendidikan tinggi Islam memiliki porsi anggara tersendiri, karena PTAI juga merupakan bagian dari upaya memajukan pendidikan di Indonesia.
Kejelasan nasib dan status hukum dari IAIN baru diperjelas oleh menteri Agama Munawir Sjadzali(1983-1993). Salah satu indikasi pengakuan IAIN dari pemerintah dan masyarkat bahwa IAIN merupakan sebuah perguruan tinggi adalah adanya kata Negeri di belakang nama lembaga. Selain itu lulusannya disebut sebagai sarjan bukan ustadz atau kyai, dan muridnya disebut mahasiswa bukan santri. Dan juga memiliki gelar yang sama dengan perguruan tinggi lain yaitu doctorandus.[29]
Oleh karena  itu wajar jika IAIN dinilai berada dalam posisi dilematis, bahkan pemerintah pun pada waktu itu dipanang sulit untuk menempatkan IAIN. Hingga pada tahun 1989 secara hukum lembaga ini baru bisa diakomodasi oleh pemerintah dengan adanya Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional (USPN) yang secara eksplisit menyebutkan pendidikan agama tersmasuk dalam naungan sistem pendidikan Nasional. Sehingga wajar jika selanjutnya timbul wacana-wacana berani agar IAIN berani untuk tidak fokus pada bidang keagamaan saja secara normatif namun juga memunculkan diri dalam mendalami ilmu pengetahuan umum.[30]
Pada tahap awal berdirinya IAIN maka berdasarkan penetapan Menteri Agama RI Nomor 43 tahun 1960 Jo. Peraturan Menteri Agama No. 15 Tahun 1961 menyatakan bahwa IAIN terdiri atas Fakultas Tarbiyah yang teridiri atas; Jurusan Pendidikan Agama, Jurusan Paedagogik, Jurusan Bahasa Indonesia, Jurusan Bahasa Arab, Jurusan Bahasa Inggris, Jurusan Khusus (lman Tentara), Jurusan Etnologi dan Sosiologi, Jurusan Hukum dan Ekonomi. Kemudian pada Sekitar tahun 1980-an lahirlah Jurusan Tadris, Jurusan ini sebagai upaya merespon kekurangan dan kebutuhan guru-guru dalam mata pelajaran IPA, Matematika, dan Bahasa Inggris. Perkembangan selanjutnya adalah pada tahun 1990-an muncul jurusan baru yaitu Kependidikan Islam (KI).[31]
Berdasarkan keputusan menteri agama nomor 26 tahun 1965 maka sejak 1 Juli 1965 IAIN di Jogjakarta diberi nama Sunan Kalijaga, nama tersebut merupakan salah satu tokoh terkenal penyebar Agama Islam di Indonesia. IAIN yang lain juga diberi tambahan nama seperti IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, IAIN Walisongo Semarang, IAIN Sunang Gunung Jati Bandung dan lain sebagainya.[32]  Berikut ini adalah daftar nama-nama 14 IAIN yang ada di Indonesia hingga Tahun 1973[33]:
No.
Nama IAIN
Kota
Tahun Peresmian
1.
Sunan Kalijaga
Yogyakarta
1960
2.
Syarif Hidayatullah
Jakarta
1963
3.
Ar-Raniry
Banda Aceh
1964
4.
Raden Fatah
Palembang
1964
5.
Antasari
Banjarmasin
1964
6.
Sunan Ampel
Surabaya
1965
7.
Alauddin
Ujung Pandang
1965
8.
Imam Bonjol
Padang
1966
9.
Sultan Thaha Syaifuddin
Jambi
1967
10.
Sunan Gunung Jati
Bandung
1968
11.
Raja Intan
Tanjung Karang (Bandar Lampung)
1968
12.
Walisongo
Semarang
1970
13.
Syarif Qosim
Pekan Baru
1970
14.
Sumetara Utara
Medan
1974
Pada kisaran tahun 2000-an di seluruh Indonesia terdapat 14 IAIN dengan jumlah dosen tetap sebanyak 3.340 orang dan mahasiswa sebanyak 65.223 Orang. Sedangkan untuk STAIN terdapat 33 lembaga dengan jumlah dosen tetap adalah 2.735 orang dan mahasiswanya berjumlah 29.115 orang. Selain perguruan tinggi Islam Negeri ada juga Perguruan Tinggi Agama Islam Swasta (PTAIS) yang berjumlah 306 Buah, dengan jumlah mahasiswanya 105.137 orang. Pada masa itu IAIN dan STAIN berada di bahwa pembinaan dan pembiayaan Departeman agama (sekarang Kemenag), bukan di bawah naungan Depdiknas. Tentu ini adalah beban berat karena anggaran Depag sangat terbatas, apalagi harus dipangkas untuk membiayai seluruh Perguruan tinggi negeri islam. Dan juga Depag secara moral harus membantu perkembangan PTAIS.[34]
5.      Sekolah Tinggi Agama Islam (1997- sekarang)
Berdasaran Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 1997[35] sejak tanggal 1 Juli 1997 diresmikan 33 Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) di seluruh Indonesia. STAIN ini merupakan ‘cabang-cabang’ IAIN induk yang menyebar di beberapa kota dan STAIN termanifestasi dalam bentuk fakultas-fakultas IAIN induk. Latar belakang berdirinya STAIN adalah untuk menanggapi peraturan yuridis yang bersangkutan dengan Pendidikan Tinggi dan juga sebagai respon atas perkembangan zaman agar Perguruan tinggi Islam tetap diminati di masyarakat.[36] Selain itu alasan cabang-cabang lembaga IAIN di luar kota IAIN induk dirubah menjadi STAIN yang berdiri sendiri dan mempunyai hak otonom penuh atau terlepas total dari urusan kelembagaan dengan IAIN induk adalah untuk memperpendek urusan birokrasi dan juga agar kinerja kelembagaan bisa berjalan lebih efektif.[37] Inilah salah satu alasan munculnya STAIN sebagai lembaga baru.
6.      UIN (2000 - sekarang)
Seiring berjalannya waktu dengan berkembangnya fakultas dan jurusan yang mulai banyak membidangan di luar studi islam secara khusus pada IAIN. Maka status institut diupayakan berubah menjadi universitas, sehingga menjadi universitas Islam Negeri. IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta merupakan IAIN pertama yang berubah menjadi UIN, yakni menjadi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.[38]
Ide pengkonversian IAIN menjadi Universitas Islam sebenarnya sudah lama dirintis oleh para punggawa pendiri IAIN. Pemikiran tentang pentingnya lembaga peguruan tinggi Islam yang berbentuk Universitas di Indonesia pernah dirintis sejak zaman Mahmud Yunus. Menurutnya bahwa Universitas Islam Darul Hikmah diresmikan di Bukit Tinggi pada tahun 1957, sebelum menjadi Universita lembaga ini bernama Perguruan Islam Tinggi Darul Hikmah yang berdiri pada tahun 1953.[39]
Saat ini beberapa lembaga Pendidikan Tinggi Islam telah melakukan perubahan status. IAIN berubah status menjadi UIN, STAIN berubah status menjadi IAIN. Dari upaya perubahan status ini beberapa di antaranya telah berhasil melakukan perubahan status tersebut. Ada beberapa dasar pemikiran yang menjadi landasan perubahan status dari IAIN dan STAIN menjadi UIN, yaitu :
1. Integrasi Ilmu, menghilangkan dikotomi dualisme keilmuan.
2. Berubahnya status madrasah sebagai sekolah yang berciri khas agama Islam yang banyak mengkaji ilmu-ilmu umum. Sehingga MA juga dipersiapkan untuk memasuki universita.
3. Mobilatas dan lapangan kerja yang luas bagi lulusan PTAI.[40]
DAFTAR RUJUKAN
Perguruan tinggi Islam negeri di Indonesia,” dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Perguruan_tinggi_Islam_negeri_di_Indonesia
“Sejarah Pendidikan Islam Dan Organisasi Ditjen Pendidikan Islam,” dalam http://www.pendis.kemenag.go.id/index.php?a=artikel&id2=sejarahpendis
Daulay, Haidar. “IAIN di Era Globalisasi: Peluang dan Tantangan dari Sudut Pendidikan Islam” dalam Perguruan Tinggi Islam di Era Globaliasi, ed. Syahrin Harahap. Yogyakarta: IAIN Sumatera Utara, 1998.
Hidayat, Komaruddin&Prastyo, Hendro. Problem dan Prospek IAIN: Anotologi Pendidikan Tinggi Islam. Jakarta: Dirjen Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Depag RI, 2000.
Meuleman, Johan Hendrik.“IAIN di Persimpangan Jalan,” dalam Problem dan Prospek IAIN: Anotologi Pendidikan Tinggi Islam, ed. Komaruddin Hidayat&Hendro Prastyo. Jakarta: Dirjen Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Depag RI, 2000.
Mudzhar, M. Atho. “Kedudukan IAIN sebagai Perguruan Tinggi,” dalam Problem dan Prospek IAIN: Anotologi Pendidikan Tinggi Islam, ed. Komaruddin Hidayat&Hendro Prastyo. Jakarta: Dirjen Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Depag RI, 2000.
Nata, Abuddin. Manajeman Pendidikan: Mengatasi Kelemahan Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: Kencana, 2010.
Pairin, Sejarah Pendidikan Perguruan Tinggi Agama Islam, dalam
Putra Daulay, Haidar Putra. Sejarah Pertumbhan dan Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009.
Rahim, Husni.“IAIN dan Masa Depan Islam Indonesia,” dalam dalam Problem dan Prospek IAIN: Anotologi Pendidikan Tinggi Islam, ed. Komaruddin Hidayat&Hendro Prastyo. Jakarta: Dirjen Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Depag RI, 2000.
Ridwan Lubis, “Relevansi Pengembangan Ilmu-ilmu Agama dengan Dunia Kerja di Era Globalisasi” dalam Perguruan Tinggi Islam di Era Globaliasi, ed. Syahrin Harahap. Yogyakarta: IAIN Sumatera Utara, 1998.


[1]Komaruddin Hidayat&Hendro Prastyo, Problem dan Prospek IAIN: Anotologi Pendidikan Tinggi Islam. (Jakarta: Dirjen Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Depag RI, 2000), xix.
[3]Hakim, Perkembanan Perguruan Tinggi, dalam http://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=sejarah%20---,
[4]M. Atho Mudzhar, “Kedudukan IAIN sebagai Perguruan Tinggi,” dalam Problem dan Prospek IAIN: Anotologi Pendidikan Tinggi Islam, ed. Komaruddin Hidayat&Hendro Prastyo (Jakarta: Dirjen Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Depag RI, 2000), 62.
[5]Ibid,.
[6]Hidayat&Prastyo, Problem dan Prospek, xix.
[7]Husni Rahim, “IAIN dan Masa Depan Islam Indonesia,” dalam dalam Problem dan Prospek IAIN: Anotologi Pendidikan Tinggi Islam, ed. Komaruddin Hidayat&Hendro Prastyo (Jakarta: Dirjen Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Depag RI, 2000), 410-411.
[8]Ibid., 412.
[9]Hidayat&Prastyo, Problem dan Prospek, xx-xxii.
[10]Hidayat&Prastyo, Problem dan Prospek, vii.
[11]Mudzhar, “Kedudukan IAIN sebagai,” 65.
[12]Hidayat&Prastyo, Problem dan Prospek, vii-viii.
[13]Ibid., viii.
[14]Hakim, Perkembanan Perguruan Tinggi, dalam http://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=sejarah%20---,
[15]Ibid.
[16]“Perguruan tinggi Islam negeri di Indonesia,” dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Perguruan_tinggi_Islam_negeri_di_Indonesia
[17]Hidayat&Prastyo, Problem dan Prospek, xviii.
[19]Hidayat&Prastyo, Problem dan Prospek, xviii.
[20]Mudzhar, “Kedudukan IAIN sebagai,” 63.
[21]Johan Hendrik Meuleman, “IAIN di Persimpangan Jalan,” dalam Problem dan Prospek IAIN: Anotologi Pendidikan Tinggi Islam, ed. Komaruddin Hidayat&Hendro Prastyo (Jakarta: Dirjen Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Depag RI, 2000), 48.
[22]“Sejarah Pendidikan Islam Dan Organisasi Ditjen Pendidikan Islam,” dalam http://www.pendis.kemenag.go.id/index.php?a=artikel&id2=sejarahpendis
[23] Hakim, Perkembanan Perguruan Tinggi, dalam http://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=sejarah%20---,
[25]Haidar Daulay, “IAIN di Era Globalisasi: Peluang dan Tantangan dari Sudut Pendidikan Islam” dalam Perguruan Tinggi Islam di Era Globaliasi, ed. Syahrin Harahap (Yogyakarta: IAIN Sumatera Utara, 1998), 115.
[26]Ridwan Lubis, “Relevansi Pengembangan Ilmu-ilmu Agama dengan Dunia Kerja di Era Globalisasi” dalam Perguruan Tinggi Islam di Era Globaliasi, ed. Syahrin Harahap (Yogyakarta: IAIN Sumatera Utara, 1998), 201.
[27]Ridwan Lubis, “Relevansi Pengembangan Ilmu-ilmu Agama dengan Dunia Kerja di Era Globalisasi”  dalam Perguruan Tinggi Islam di Era Globaliasi, ed. Syahrin Harahap (Yogyakarta: IAIN Sumatera Utara, 1998), 200.
[28]Hidayat&Prastyo, Problem dan Prospek, xv.
[29]Ibid., xv-xvi.
[30]Hidayat&Prastyo, Problem dan Prospek, xvi.
[31]Pairin, Sejarah Pendidikan Perguruan Tinggi Agama Islam, dalam
[32]Mudzhar, “Kedudukan IAIN sebagai,”, 64.
[33]Ibid., 65-66.
[34]Hidayat&Prastyo, Problem dan Prospek, v.
[35]“Perguruan tinggi Islam negeri di Indonesia,” dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Perguruan_tinggi_Islam_negeri_di_Indonesia
[36]Daulay, “IAIN di Era,” 115.
[37]Hidayat&Prastyo, Problem dan Prospek, v.
[38]“Perguruan tinggi,” dalam http://id.wikipedia.org/wiki/---,
[39]Abuddin Nata, Manajeman Pendidikan: Mengatasi Kelemahan Pendidikan Islam di Indonesia. (Jakarta: Kencana, 2010), 52.
[40]Haidar Putra Daulay, Sejarah Pertumbhan dan Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia. (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009), 140-141.