SEJARAH PERKEMBANGAN
PERGURUAN TINGGI
AGAMA ISLAM DI INDONESIA
PENDAHULUAN
Berkembangnya lembaga pendidikan Islam baik
secara kuantitas maupun kualitas seperti sekarang ini tak akam mungkin bisa
terlepas dari sejarah masa lalu. Para tokoh dan ulama telah berjuang bersusah
payah agar umat Islam di Indonesia memiliki lembaga perguruan tinggi sendiri
yang bercirikan Islam. Perjuangan ini merupakan awal pembaruan pendidikan islam secara umum.
Dengan adanya perguruan tinggi islam, bisa menghasilkan guru-guru yang
berkualitas bagi madrasah-madrasah di desa-desa. Sehingga guru-guru di madrasah
tidak hanya menguasai materi saja (khususnya materi agama Islam) tapi juga
menguasi metode, media, dan ilmu pembelajaran lainnya sehingga bisa menjadi
guru yang profesional.
Membahas sejarah maka tak akan bisa lepas
dari membahas kejadian-kejadian masa lalu. Data-data kejadian masa lalu bisa
kita dapatkan dari hasil cerita pelaku sejarah dan dokumentasi autentik yang
benar-benar terjadi pada masa silam. Namun dalam membahas sejarah memang wajar
jika terjadi perbedaan sudut pandang, hal ini terjadi karena terjadi perbedaan
dalam menganalisis, bisa juga karena perbedaan kepentingan atapun karena di
dasarkan pada ideologi tertentu. Namun bagaimanapun juga pembahasan sejarah
sangat penting untuk tetap dipelajari, karena untuk bahan acuan dalam melakukan
tindakan di masa sekarang ini.
Perguruan Tinggi Islam merupakan Lembaga
pendidikan Islam yang menjadi harapan baru bagi dunia Pendidikan Islam secara
umum. Diharapkan dari institusi pendidikan tinggi Islam tersebut bisa
melahirkan generasi-generasi Islam yang unggul. Banyak sekalai tokoh-tokoh
agama dan Guru yang telah dilahirkan dari lembaga tersebut. Oleh karena itu
wajar jika banyak sekali dorongan kepada Perguruan Tinggi untuk berbenah diri
di segala bidang mulai dari konsep, kurikulum, visi, misi, dan tak ketinggalan
adalah pengembangan lembaga tersebut baik secara organisasi, sarana prasanan,
dan nilai-nilai yang diperjuangkannya.
Selain itu ada harapan baru bagaimana ke
depannya nanti perguruan tinggi Islam bisa melahirkan tokoh dan ilmuwan di
bidang pendidikan Umum (ilmu alam dan ilmu sosial). Dengan pencapaian tersebut
maka dapat diprediksikan bahwa perguruan tinggi Islam tidak akan lagi dipandang
sebelah mata oleh perguruan tinggi lainnya. Selama ini pendidikan tinggi Islam
dinilai sebagai tempat untuk melahirkan generasi-generasi yang pandai di bidang
ilmu agama. Dengan kata lain pendidikan tinggi Islam melaharikan lulusan mahasiswa yang hanya mampu mengajak masyarakat
untuk masuk surga (urusan Akhirat).
Walaupun tak dapat dipungkiri sekarang ini
ada beberapa perguruan tinggi islam yang sudah membuka diri dengan membuka
fakultas umum yang mendalami bidang ilmu Alam dan sosial. Usaha tersebut
menurut penulis merupakan terobosan baru secara teknis kelembagaan untuk bisa
menghasilkan lulusan yang berkompeten seperti universitas-universitas umum.
Sehingga upaya demikian ini penulis yakini bisa berdampak bagus secara
kelembagaan bagi perguruan tinggi islam yang mengadakan pembaruan manajemen
lembaga dan organisasinya.
Dalam usaha untuk mengembangkan lembaga perguruan tinggi islam
seperti dalam paparan di atas maka menurut penulis sangat perlu kiranya
mengkaji terlebih dahulu Sejarah Perguruan Tinggi Islam Indonesia. Pengkajian
sejarah ini diperulkan untuk mengetahui kelemahan dan kelebihan perguruan
tinggi Islam di masa lalu. Nilai guna yang lain adalah sebagai dasar atau
landasan filosofis bagi upaya pengembangan lembaga perguruan tinggi Islam
sekarang ini. Dan keperluan lainnya
adalah sebagai bentuk penghormatan terhadap pejuang-pejuang islam yang telah
berjerih payah mendirikan dan mengembangkan lembaga-lembaga perguruan tinggi
Islam sehingga menjadi yang seperti sekarang ini.
Mengacu dari pembahasan di atas, untuk lebih
fokusnya pembahasan tentang sejerah perkembangan perguruan Tinggi Islam di
Indonesia maka penulis perlu memberikan batasan masalah. Oleh karena itu
penulis telah membuat rumusan masalah dalam makalah ini sebagagai berikut:
1. Latar Belakang Berdirinya Perguruan Tinggi
Islam di Indonesia?
2. Sejarah perkembangan nama-nama perguruan
tinggi Islam di Indonesia?
PEMBAHASAN
A.
Latar belakang berdirinya Perguruan Tinggi
Islam
Sesungguhnya upaya pendirian perguruan tinggi
islam pada waktu sebelum kemerdekaan dan sesaat setelah kemerdakaan Indonesia
merupakan agenda internal umat islam untuk maju dan bangkit dari keterjajahan.
Lebih lanjut lagi adalah untuk meningkatkan derajat umat islam agar bisa keluar
dari keterbelakangan. Semangat modernsime dan kesadaran umat islam untuk
berpendidikan tinggi adalah pengaruh dari pemikiran tokoh-tokoh modern islam
sekitar tahun 1900-an seperti Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh, dan Rasyid
Ridho. Sehingga dalam pengelolaan perguruan tingginya umat islam mengambil ilmu
manajeman Pendidikan dari barat misalnya adalah UII pada awal berdirinya.
Adopsi tersebut mulia dari model kelembagaan, manajeman lembaga, dan jenis ilmu
pengetahuan yang dikembangkan oleh Barat dari hasil riset dan pendalaman ilmu.[1]
Sebenarnya keinginan untuk mendirikan lembaga
pendidikan tinggi Islam sudah dirintis sejak zaman kolonial Belanda. Pelaksanaan
cita-cita dan gagasan mendirikan Sekolah Tinggi Islam, seperti yang dikemukakan
dan dikumandangkan dalam mu'tamar-mu'tamar organisasi Islam setelah selesai
Perang Dunia I itu, "tampak sudah dimulai oleh Syarikat Islam.
Kemudian pada mu'tamar seperempat abad Muhammadiyah di Jakarta tahun 1936, juga
dipustkan untuk mendirikan Sekolah Islam Tinggi dengan membuka Fakultas
Dagang dan Industri. Nahdlatul Ulama
juga mempunyai cita-cita yang sama, dan begitu juga organisasi-organisasi
Islam yang lain. Tetapi sebelum itu, di Majalengka, Kiai Halim, dengan
organisasi Persatuan Oemat Islam, telah merwujudkan langkahlangkah tersebut.
Sejak tahun 1917, Kiai Halim, telah giat mendirikan sekolah-sekolah dari
tingkat ibtidaiyah sampai al-Jami'ah (perguruan tinggi) dengan
berlokasi di atas gunung dan tanah belukar yang diberi nama "Santi
Ashrama" walaupun upaya
mendirikan perguruan tinggi tersebut kemudian dihalangi-halangi dan
dibubarkan.oleh Belanda.[2]
Perjalanan umat islam dalam mendirikan
perguruan tinggi di beberapa daerah antara tahu 1904-1941 tidak berjalan lancar
bahkan dikatakan tidak bisa bertahan lama, yang pada akhirnya aktivitasnya
berhenti sama sekali (bubar). Hal ini disebab oleh faktor internal yang mana
pendirian perguruan tinggi tidak didukung oleh persatuan umat islam, hanya
dilakukan oleh kekuat kecil umat islam. Selain itu ada faktor internal yaitu
adanya perang dunia I dan II serta adanya intervensi Belanda yang terlebih
dahulu sudah mendirikan sekolah-sekolah dan PT sekuler.[3]
Pada tahun 1938 Satiman Wirjosandjoyo dalam
artikelnya di Pedoman Masyarakat
pernah melontarkan gagasan yang baru yaitu pentingnya bagi umat islam untuk
mendirikan perguruan tinggi Islam dalam upaya mengangkat harga diri kaum Muslim
ditengah-tengah masyarakat yang juga mengalami kemajuan akibat politik etis
Belanda. Satiman juga mengatakan sewaktu Indonesia masih tidur, pendidikan
pesantren memiliki peran penting bagi pendidikan agama islam. Namun setelah
Indonesia bangun pada sekitar tahun 1904 Masehi diperlukan perguruan tinggi
Islam guna mencetak generasi sarjan Islam yang unggul untuk mengelola madrasah.
Apalagi dengan banyak datangnya kaum Kristen yang mendirikan sekolah murah dan
dikelola oleh para sarjana.[4]
Keinginan tersebut baru terwujud pada tanggal
8 Juli 1945 ketika Sekolah Tinggi Islam berdiri di Jakarta yang dipimpin oleh
Prof. Abdul Kahar Muzakkir sebagai realiasi atas keinginan Yayasan (Badan
Pengurus Sekolah tinggi Islam) yang dipimpin oleh Moh. Hatta sebagai ketua dan
M. Natsir sebagai sekretarisnya. Moh. Hatta menyatakan bahwa agama adalah salah
satu tiang kebudayaan bangsa oleh karena itu adanya perguruan tinggi Islam
merupakan hal yang sangat penting untuk memperkokoh kedudukan masyarakat.
Seiring berjalannya waktu pada masa revolusi, STI mengikuti pemerintahan pusat RI yang pindah ke Yogyakarta dan pada tanggal
10 April 1946 STI dibuka kembali di Jogjakarta.[5]
Berdirinya pendidikan tinggi islam selain
dilatar belakangi faktor internal, pembentukannya juga karena adanya tuntutan dari
masyarakat dan kondisi sosio kultur bangsa Indonesia. Yang mana menurut
analisis penulis setelah adanya politik etis (balas budi) oleh Belanda sehingga
berdampak pada kesempatan pemuda Indoneisa belajar ke jenjang lebih tinggi dan
juga kesempatan untuk berorganisasi. Hal tersebut menyebabkan transformasi ilmu
pengetahuan berjalan dengan cepat, banyak sekali ilmu-ilmu yang dipandang baru
masuk ke Indonesia. Sehingga sistem pendidikan pesantren dipandang tidak lagi
relevan dengan pendidikan terkini. Walaupun demikian bukan berarti pesantren
ditinggalkan begitu saja, kelebihan yang ada di pesantren tetap digunakan untuk
digunakan di perguruan tinggi Islam.[6]
Kaum muslimin tidak hanya memandang
pendidikan sebagai pusat peningkatan kualitas SDM tetapi juga sebaga pusat
menstransmisikikan doktrin Islam kepada generasi penerus. Oleh karena itu
dipandang perlu bahwa umat islam di Indonesia harus memiliki Perguruan tinggi
sebagai pencetak mahasiswa, cendekiawan, kyai, guru, ataupun keahlian liannya
yang bisa menjalakan misi tersebut kepada masyarakat luas. Kesadaran yang
tinggi umat Islam indonesia akan pentingnya pendidikan merupakan hasil
interaksi dan koneksi antara pusat-pusat studi di Timur Tengan. Yang mana
banyak sekali umat islam Indonesia yang memiliki kekuatan finansial lebih
menuntut ilmu di perguruan tinggi Timur tengah. Dengan banyaknya alumni
tersebut maka menyebabkan masyarakat islam lain terdorong untuk menempuh
pendidikan tinggi.[7]
Melihat fenomena tersebut maka banyak sekali
gagasan yang muncul di kalangan umat islam untuk mendiri perguruan tinggi hal
ini dilatarbelaking oleh berbagai faktor. Antara lain adalah untuk
mengakomodasi kalangan yang tidak memiliki kesempatan untuk melanjutkan ke
Timur Tengah. Dan keinginan untuk mewujudkan lembaga pendidikan Islam sebagai
kelanjutan dari pesantren atau madrasah. Selain itu untuk menyeimbangakn jumlah
kaum terpelajar yang berasal dari lembaga sekolah sekuler dengan tamatan
sekolah agama. Gagasan tersebut tidak hanya mengalir dari kalangan ulama atau
tokoh-tokoh agama, namun juga muncul dari kalangan pelajar Muslim yang
merupakan tamatan dari sekolah sekuler.[8]
Menurut Komarudin&Hendro pendirian
perguruan tinggi islam selain didasarkan pada faktor edukasi, modernisasi, dan
dakwah, juga dilandaskan karena faktor kepentingan ideologis (yang lebih
cenderung ke ranah politik). Lebih lanjut lagi bagi umat islam PTAIN dijadikan
sebagai salah satu istrumen ideologis untuk mempertahankan tradisi dan syiar
islam. Dengan kata lain PTAIN bisa befungsi sebagai benteng ideologi masyarakat
dari serang ideologi lain yang dipandang berbeda. Atas dasar itulah maka Depag
pada waktu itu memutuskan menggandakan PTAIN menjadi puluhan fakultas dan
disebar ke berbagai daerah. Kebijaksanaan ini dimaksudkan sebagai bentuk respon
berkembangnya faham komunis yang sangat agresif memasuki berbagai wilayah
indonesia.[9]
Pada awalnya
Perguruan tinggi islam didirikan tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan
akademik saja, namu juga untuk memenuhi kebutuhan ilmu agama islam, ideologi,
dan bahkan politik. Yang menjadi ciri khas lain adalah bahwa Jika di perguruan
tinggi umum materi kuliah agama islam sekedar menjadi salah satu mata kuliah
saja, sedangkan di lembaga pendidikan tinggi islam materi agama Islam menjadi
fokus kajian utama. Selain itu hanya umat islam saja yang bisa diterima menjadi
mahasiswanya. Sehingga wajar jika keberhasilan kurikulum tidak hanya diukur dari
peningkatan akademik mahasiswanya saja tapi juga perilakunya yang islami.[10]
Sehingga dapat penulis simpulkan bahwa pada awal berdirinya pendidikan tinggi
islam dihiasi oleh semangat tinggi menjujung nilai-nilai keislaman di sebuah
perguruan tinggi. Maka didirikanlah perguruan tinggi Islam untuk memunculkan
nilai-nilai dan simbol-simbol islam di perguruan tinggi.
Namun ada beberapa pendapat lain mengatakan
bahwa beridirinya PTAIN (bukan PTAIS) didasarkan faktor kecemburuan dari kaum
Nasionalis Islam terhadap Kaum Nasionlis Sekuler yang oleh pemerintah telah
dihadiahi lembaga Universitas Gadjah Mada pada tahun 1949 karena peran aktif
masyarakat Yogyakarta dalam melawan agresi Belanda. Sehingga pada tahun 1951
didirikanlah untuk pertama kalinya Perguruan tinggi Islam yang berstatus Negeri
di Yogyakarta. Walaupun pada awalnya banyak godaan-godaan politik, sehingga
terkesan bahwa semua manuver dan kegiatan PTAI tertuju hanya untuk kepentingan
Islam, lebih jelasnya lagi untuk memperbesar dan merapatkan barisian politik
kaum Muslim. Hal ini untuk mempersiapkan diri menjelang pemilu 1955.[11]
Sehingga dapat penulis simpulkan bahwa
endirian perguruan tinggi bisa juga menjadi mercusuar syiar Islam di Indonesia,
karena PTAI sangat berbeda dengan madrasah. Madrasah adalah untuk mendidik
generasi muda, namun PTAI adalah tempat untuk mendidik guru madrasah bahkan
untuk mendidik intelektual-intelektual di bidang lain. Selain itu dengan
berpendidikan tinggi maka umat islam bisa memiliki ilmu, memiliki kewibaan, dan
memiliki kematangan (kedewasaan) sehingga diharapkan bisa mengeluarkan umat
Islam dari jurang keterbelakangan, penjajahan belanda, dan ketertinggalan umat
islam dari para kaum nasionalis sekuler.
B.
Sejarah Perkembangan Nama-nama Perguruan
Tinggi Islam
Tercatat dalam sejarah bahwa nama Perguruan
Tinggi Islam di Indonesia terus mengalami perubahan sebagai upaya dalam
merespon perkembangan masyarakat. Perubahan nama-nama perguruan Tinggi itu
merupakan sebuah upaya konkrit untuk merubah sistem yang ada di dalam tubuh
lembaga tersebut. Perubahan nama itu secara teknis biasanya karena penggabuang
dari beberap perguruan tinggi islam, atau bahkan karena perpecahan dari lembaga
Induk perguruan tinggi. Perubahan tersebut bukan hanya berubah “papan namanya”
atau nameboard-nya tapi juga
diharapkan berubah juga nilai-nilai yang terkandung di dalamnya.
Perguruan tinggi Islam yang pada waktu itu
dikelola penuh oleh departeman agama bukan oleh Depdiknas yang merupakan
pengelola pendidikan nasional menyebabkan perguruan tinggi Islam Negeri
berkedudukan sama dengan lembaga-lembaga islam lainnya seperti majelis taknlim,
haji, umrah, masjid, dan lain sebagainya. Sehingga hal ini berdampak pada
sistem penerimaan mahasiswa baru yang berbeda dengan perguruan tinggi umum,
dimana terdapat pola ujian UMPTN yang jamak dipakai.[12]
Padahal menurut penulis yang namanya pendidikan itu tidak harus bidang agama
saja namun dalam bidang ilmu pengetahuan umum (ilmu alam dan ilmu sosial).
Dampak selanjutnya dari perlakuan yang
berbeda antar Perguruan tinggi islam dengan perguruan tinggi umum adalah tidak
ada standar yang sama antar keduanya. Sehingga kualifikasi akademik dan
profesionalisme PTAI sulit diukur. Maka oleh sebab itu lulusan PTAI meskipun
secara formal memiliki gelar sarjana, namun berdasarkan hukum pasar tidak
diakui oleh masyarakat umum.[13]
Oleh karena itu dilandasi dari faktor-faktor di atas maka umat islam perlu
mengadakan perubahan nama PTAI. Berikut ini adalah nama-nama perguruan tinggi
Islam yang pernah ada dalam sejarah Indonesia:
1.
Sekolah Tinggi Islam (1945-1950)
Organisasi-organisasi Islam yang terhimpun
dalam Masyumi pada awal tahun 1945 melahirkan beberapa keputusan penting, salah
satunya adalah keputusan yang menyangkut bidang pendidikan yaitu mendirikan
perguruan tinggi Islam dengan nama Sekolah Tinggi Islam.[14]
Keputusan mendirikan STI dilatar belakangi oleh bebera sebab diantaranya adalah
pertama, antisipasi kekosongan
atau minimnya pemimpin setelah Indonesia lepas dari penjajahan. Kedua, keinginan
untuk menserasikan antar ilmu agama dengan ilmu Umum. Ketiga, upaya
mempersatukan umat Islam dalam satu wadah sebagai pengimbang dari
pengaruh-pengaruh pemikiran barat. Keempat, pengaruh kebangkitan
Nasional dan kebangkitan dunia Islam pada umumnya yang melahirkan
gerakan-gerakan melawan penjajah dengan memakai sistem modern, dengan
berdirinya organisasi-organisasti Islam salah satunya adalah Nahdatul Ulama.[15]
Gagasan mendirika Sekolah Tinggi Islam
terwujud pada tanggal 8 Juli 1945, ketika Sekolah
Tinggi Islam
(STI) berdiri di Jakarta di bawah pimpinan Prof. Abdul Kahar
Muzakkir, sebagai realisasi kerja yayasan Badan Pengurus Sekolah Tinggi Islam
yang dipimpin oleh Drs. Mohammad Hatta sebagai ketua dan M. Natsir sebagai sekretaris. Ketika masa revolusi
kemerdekaan, STI ikut Pemerintah Pusat Republik Indonesia hijrah ke Yogyakarta
dan pada tanggal 10 April 1946 dapat dibuka kembali di kota itu. Dalam sidang Panitia
Perbaikan STI yang dibentuk pada bulan November 1947 memutuskan pendirian universitas
Islam Indonesia (UII) pada 10 Maret 1948 dengan empat fakultas: Agama, Hukum, Ekonomi, dan
Pendidikan. Tanggal 20 Februari 1951, Perguruan Tinggi Islam Indonesia (PTII) yang berdiri di Surakarta pada 22 Januari 1950 bergabung dengan UII yang berkedudukan di Yogyakarta.[16]
Perguruan tinggi swasta yang pertama kali
berdiri di Indonesia adalah Sekolah Islam Tinggi (SIT) pada 1940 yang berada di
Sumatera Barat.[17] Dan
kemudian pada tanggal 8 Juli 1945 di Jakarta didirikan Sekolah Tinggi Islam
(STI) yang selanjutnya pada tanggal 3 November 1947 diubah menjadi Universitas
Islam Indonesia (UII) sebagai upaya memenuhi kebutuhan masyarakat akan adanya
integrasi ilmu agama dengan ilmu umum. Namun dalam perjalananan untuk
mendirikan perguruan tinggi Islam banyak sekali kendala yaitu adanya
upaya-upaya sekutu dan Belanda untuk menutup perguruan tinggi islam.[18]
UII pada waktu itu secara kelembagaan
berupaya menerapkan sistem yang bersifat modern, mulai dari sistem perjenjangan
(kelas), model pembelajaran, dan metode evaluasi yang sudah terukur. Manajeman
organisasinya juga mengutamakan rasionalitas, ataruan yang terbuka, dan
pembagaian wewenang yang jelas. Hal ini sangat berbeda dengan isistem
pendidikan tradisional yang menekankan pada peran salah satu tokoh karismatik
dalam hampir semua aspek pembelajaran.[19]
2.
Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (1950-1960)
Setelah mendapatkan pengakuan Kemerdekaan
dari dunia internasional khususnya oleh Belanda pada tanggal 27 Desember 1949
Pemerintah memberikan hadiah bagi umat islam dengan meresmikan Perguruan Tinggi
Agama Islam Negeri yang diambil dari fakultas Agama UII berdasarkan peraturan
pemerintah pemerintah No. 34 Tahun 1950. Yang kemudian dijabarkan menjadi
beberapa jurusan seperti Dakwah (kelak bergani nama Ushuludin), Qodlo (Syariah),
dan Pendidikan (Tarbiyah) menjadi Perguruan Tinggi Negeri dilakukan pada
tanggal 26 September 1951 inilah yang sekarang ini menjadi UIN Sunan Kalijaga
Jogjakarta. Enam tahun kemudian di Jakarta berdiri Akademi Dinas Ilmu Agama
(AIDIA) pada tanggal 14 Agustus 1957 berdasarkan penetapan menteri Agama Nomor
1 tahun 1957.[20]
Pemecahan fakultas ilmu agama dari UII menjadi PTAIN oleh pemerintah secara
langsung merupakan upaya pemerintah dalam merespon umat islam sebagai bentuk
pengakuan pemerintah terhadap golong islam sebagai bagian integral dari bangsa
Indonesia.[21]
3.
Akademi Dinas Ilmu Agama (1957)
Akademi
ini bertujuan sebagai sekolah latihan bagi para pejabat yang berdinas di pemerintahan
khususnya di kalangan Depag dan untuk kepentingan kualitas guru dalam pengajaran
agama di sekolah.[22] Pendirian
ADIA di didasarkan pada Penetapan Menteri Agama Nomor 1 Tahun 1957 dan merupakan tugas
Departemen Agama dalam menyiapkan tenaga guru agama, staf, dan tenaga ahli di
bidang keagamaan, dengan tujuan guna mendidik dan mempersiapkan pegawai negeri
yang akan mencapai ijaazah pendidikan semi akademi untuk dijadikan ahli didik
agama pada sekolah-sekolah lanjutan, baik umum maupun kejuruan dan agama. Yang mana lamanya belajar di ADIA adalah 5
tahun yang dibagi pada dua tingkatan. Tingkat semi akademik dengan masa belajar
selama 3 tahun dan tingkat akademik dengan masa belajar selama 2 tahun.
Masing-masing tingkat terdiri atas 2 jurusan yaitu Jurusan Agama dan Jurusan
Sastera Arab.[23]Akademi
ini bertujuan sebagai sekolah latihan bagi para pejabat yang berdinas di
penerintahan ( Kementerian Agama) dan untuk pengajaran agama di sekolah.[24]
4.
Institut Agama Islam Negeri (1960-1997)
Institut Agama silam Negeri (IAIN) diresmikan
pada tanggal 24 Agustus 1960 di Yogyakarta. Lembaga ini pada awalnya terlahir
dari dua lembaga pendidikan tinggi Islam yang kemudian digabungkan menjadi
IAIN. Dua lembaga itu adalah Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) yang
berada di Yogyakarta dan Akademi Dinas Ilmu Agama (ADIA) yang berada di Jakarta.
Hingga pada tahun 1973 IAIN di seluruh Indonesia berjumlah 14 buah. Tujuan
didirikannya IAIN ini adalah untuk memberi pengajaran dan pendidikan
universitas serta menjadi pusat dalam mengembangkan dan memperdalam ilmu
pengetahuan tentang agama islam.[25]
Di awal berdirinya IAIN terdapat banyak
sekali tuntutan yang harus dilaksankan yaitu banyak sekali pegawai dan staf
pengajar yang belum memiliki kesetaraan dengan pendidik barat. Lebih jelasnya
staf pengajar pada saat itu belum memiliki kualifikasi secara formal untuk
mendapat legitimasi dalam dunia birokrasi. Oleh karena itu seorang pendidik di
IAIN pada waktu itu dituntut untuk memiliki gelar sarjana. Pada awal
berdirirnya IAIN mahasiswa barunya banyak didominasi dari kalangan lulusan
pondok pesantern. Namun seiring berjalannya waktu kemudian banyak sekali
lulusan MA/PGA, SMA, SMEA, dan SPG. Ini menyebabkan IAIN harus menyesuaikan
diri dengan keadaan mahasiswa yang berlatar belakang sangat beragam tersebut.[26]
Beberapa hal yang menjadi catatan tentang
tujuan pendirian IAIN adalah bahwa pendiriannya dilandasi semangat untuk
meningkatkan kedudukan pondok pesantren agar dapat memasuki wilayah urban
sehingga bisa memiliki keluwesan dalm menghadapi tuntutan zaman. Dengan kata
lain memformalitaskan pesantren ke dalam bagian kepemerintahan di bidang
pengelolaan agama melalui Depag. Ini terlihat dari kurikulum IAIN tidak terlalu
jauh berbeda dari apa yang diajarkan di pesantren.[27]
Bukan sebuah kesalahan jika ada pernyataan
bahwa pada masa dulu IAIN pernah tidak dapat mendapat pengakuan oleh
pemerintah, hal ini dibuktikan dengan perbedaan sistem pembiayaan yang mana
anggara PTAI disejajaran dengan anggaran sektor agama secara umum menyatu
dengan anggaran urusan keagamaan lain. Lebih nyata lagi lulusan IAIN pernah
tidak bisa diterima mendaftar menjadi calon Pegawai Negeri Sipil di
instasi-instasi luar Depag.[28]
Seharusnya untuk anggaran Pendidikan tinggi Islam memiliki porsi anggara
tersendiri, karena PTAI juga merupakan bagian dari upaya memajukan pendidikan
di Indonesia.
Kejelasan nasib dan status hukum dari IAIN
baru diperjelas oleh menteri Agama Munawir Sjadzali(1983-1993). Salah satu
indikasi pengakuan IAIN dari pemerintah dan masyarkat bahwa IAIN merupakan
sebuah perguruan tinggi adalah adanya kata Negeri di belakang nama lembaga.
Selain itu lulusannya disebut sebagai sarjan bukan ustadz atau kyai, dan
muridnya disebut mahasiswa bukan santri. Dan juga memiliki gelar yang sama
dengan perguruan tinggi lain yaitu doctorandus.[29]
Oleh karena
itu wajar jika IAIN dinilai berada dalam posisi dilematis, bahkan
pemerintah pun pada waktu itu dipanang sulit untuk menempatkan IAIN. Hingga
pada tahun 1989 secara hukum lembaga ini baru bisa diakomodasi oleh pemerintah
dengan adanya Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional (USPN) yang secara
eksplisit menyebutkan pendidikan agama tersmasuk dalam naungan sistem
pendidikan Nasional. Sehingga wajar jika selanjutnya timbul wacana-wacana
berani agar IAIN berani untuk tidak fokus pada bidang keagamaan saja secara
normatif namun juga memunculkan diri dalam mendalami ilmu pengetahuan umum.[30]
Pada tahap awal berdirinya IAIN maka
berdasarkan penetapan Menteri Agama RI Nomor 43 tahun 1960 Jo. Peraturan Menteri
Agama No. 15 Tahun 1961 menyatakan bahwa IAIN terdiri atas Fakultas Tarbiyah
yang teridiri atas; Jurusan Pendidikan Agama, Jurusan Paedagogik, Jurusan
Bahasa Indonesia, Jurusan Bahasa Arab, Jurusan Bahasa Inggris, Jurusan Khusus
(lman Tentara), Jurusan Etnologi dan Sosiologi, Jurusan Hukum dan Ekonomi.
Kemudian pada Sekitar tahun 1980-an lahirlah Jurusan Tadris, Jurusan ini sebagai
upaya merespon kekurangan dan kebutuhan guru-guru dalam mata pelajaran IPA, Matematika,
dan Bahasa Inggris. Perkembangan selanjutnya adalah pada tahun 1990-an muncul jurusan
baru yaitu Kependidikan Islam (KI).[31]
Berdasarkan keputusan menteri agama nomor 26
tahun 1965 maka sejak 1 Juli 1965 IAIN di Jogjakarta diberi nama Sunan
Kalijaga, nama tersebut merupakan salah satu tokoh terkenal penyebar Agama
Islam di Indonesia. IAIN yang lain juga diberi tambahan nama seperti IAIN
Syarif Hidayatullah Jakarta, IAIN Walisongo Semarang, IAIN Sunang Gunung Jati
Bandung dan lain sebagainya.[32] Berikut ini adalah daftar nama-nama 14 IAIN
yang ada di Indonesia hingga Tahun 1973[33]:
No.
|
Nama IAIN
|
Kota
|
Tahun Peresmian
|
1.
|
Sunan Kalijaga
|
Yogyakarta
|
1960
|
2.
|
Syarif Hidayatullah
|
Jakarta
|
1963
|
3.
|
Ar-Raniry
|
Banda Aceh
|
1964
|
4.
|
Raden Fatah
|
Palembang
|
1964
|
5.
|
Antasari
|
Banjarmasin
|
1964
|
6.
|
Sunan Ampel
|
Surabaya
|
1965
|
7.
|
Alauddin
|
Ujung Pandang
|
1965
|
8.
|
Imam Bonjol
|
Padang
|
1966
|
9.
|
Sultan Thaha Syaifuddin
|
Jambi
|
1967
|
10.
|
Sunan Gunung Jati
|
Bandung
|
1968
|
11.
|
Raja Intan
|
Tanjung Karang (Bandar Lampung)
|
1968
|
12.
|
Walisongo
|
Semarang
|
1970
|
13.
|
Syarif Qosim
|
Pekan Baru
|
1970
|
14.
|
Sumetara Utara
|
Medan
|
1974
|
Pada kisaran tahun 2000-an di seluruh
Indonesia terdapat 14 IAIN dengan jumlah dosen tetap sebanyak 3.340 orang dan
mahasiswa sebanyak 65.223 Orang. Sedangkan untuk STAIN terdapat 33 lembaga
dengan jumlah dosen tetap adalah 2.735 orang dan mahasiswanya berjumlah 29.115
orang. Selain perguruan tinggi Islam Negeri ada juga Perguruan Tinggi Agama
Islam Swasta (PTAIS) yang berjumlah 306 Buah, dengan jumlah mahasiswanya
105.137 orang. Pada masa itu IAIN dan STAIN berada di bahwa pembinaan dan
pembiayaan Departeman agama (sekarang Kemenag), bukan di bawah naungan
Depdiknas. Tentu ini adalah beban berat karena anggaran Depag sangat terbatas,
apalagi harus dipangkas untuk membiayai seluruh Perguruan tinggi negeri islam.
Dan juga Depag secara moral harus membantu perkembangan PTAIS.[34]
5.
Sekolah Tinggi Agama Islam (1997- sekarang)
Berdasaran Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun
1997[35]
sejak tanggal 1 Juli 1997 diresmikan 33 Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri
(STAIN) di seluruh Indonesia. STAIN ini merupakan ‘cabang-cabang’ IAIN induk
yang menyebar di beberapa kota dan STAIN termanifestasi dalam bentuk
fakultas-fakultas IAIN induk. Latar belakang berdirinya STAIN adalah untuk
menanggapi peraturan yuridis yang bersangkutan dengan Pendidikan Tinggi dan
juga sebagai respon atas perkembangan zaman agar Perguruan tinggi Islam tetap
diminati di masyarakat.[36]
Selain itu alasan cabang-cabang lembaga IAIN di luar kota IAIN induk dirubah
menjadi STAIN yang berdiri sendiri dan mempunyai hak otonom penuh atau terlepas
total dari urusan kelembagaan dengan IAIN induk adalah untuk memperpendek
urusan birokrasi dan juga agar kinerja kelembagaan bisa berjalan lebih efektif.[37]
Inilah salah satu alasan munculnya STAIN sebagai lembaga baru.
6.
UIN (2000 - sekarang)
Seiring berjalannya waktu dengan berkembangnya
fakultas dan jurusan yang mulai banyak membidangan di luar studi islam secara
khusus pada IAIN. Maka status institut diupayakan berubah menjadi universitas,
sehingga menjadi universitas Islam Negeri. IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta
merupakan IAIN pertama yang berubah menjadi UIN, yakni menjadi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.[38]
Ide pengkonversian IAIN menjadi Universitas
Islam sebenarnya sudah lama dirintis oleh para punggawa pendiri IAIN. Pemikiran
tentang pentingnya lembaga peguruan tinggi Islam yang berbentuk Universitas di
Indonesia pernah dirintis sejak zaman Mahmud Yunus. Menurutnya bahwa
Universitas Islam Darul Hikmah diresmikan di Bukit Tinggi pada tahun 1957,
sebelum menjadi Universita lembaga ini bernama Perguruan Islam Tinggi Darul
Hikmah yang berdiri pada tahun 1953.[39]
Saat ini beberapa lembaga Pendidikan Tinggi
Islam telah melakukan perubahan status. IAIN berubah status menjadi UIN, STAIN
berubah status menjadi IAIN. Dari upaya perubahan status ini beberapa di
antaranya telah berhasil melakukan perubahan status tersebut. Ada beberapa
dasar pemikiran yang menjadi landasan perubahan status dari IAIN dan STAIN
menjadi UIN, yaitu :
1. Integrasi Ilmu, menghilangkan dikotomi
dualisme keilmuan.
2. Berubahnya status madrasah sebagai sekolah
yang berciri khas agama Islam yang banyak mengkaji ilmu-ilmu umum. Sehingga MA
juga dipersiapkan untuk memasuki universita.
3. Mobilatas dan lapangan kerja yang luas
bagi lulusan PTAI.[40]
DAFTAR RUJUKAN
“Perguruan tinggi Islam negeri di Indonesia,” dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Perguruan_tinggi_Islam_negeri_di_Indonesia
“Sejarah
Pendidikan Islam Dan Organisasi Ditjen Pendidikan Islam,” dalam http://www.pendis.kemenag.go.id/index.php?a=artikel&id2=sejarahpendis
Daulay, Haidar. “IAIN di Era Globalisasi: Peluang
dan Tantangan dari Sudut Pendidikan Islam” dalam Perguruan Tinggi Islam di Era Globaliasi, ed. Syahrin Harahap. Yogyakarta:
IAIN Sumatera Utara, 1998.
Hakim, Mohammad Arfan. “Perkembanan Perguruan
Tinggi Islam Negeri di Indonesia,” dalam
http://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=sejarah%20perguruan%20tinggi%20islam%20di%20indonesia&source=web&cd=3&cad=rja&ved=0CDIQFjAC&url=http%3A%2F%2Fstain-palu.ac.id%2Fimages%2Ffile_pdf%2Fperkembangan_pendidikan_tinggi_islam_di_indonesia_by_m_arfan_hakim.pdf&ei=uca6UKbSFoqSrgf4q4HgCA&usg=AFQjCNHGf6Aa8fi9vrFbE3JKlc0XqEybMQ
Hidayat, Komaruddin&Prastyo, Hendro. Problem dan Prospek IAIN: Anotologi
Pendidikan Tinggi Islam. Jakarta: Dirjen Pembinaan Kelembagaan Agama Islam
Depag RI, 2000.
Meuleman, Johan Hendrik.“IAIN di Persimpangan Jalan,”
dalam Problem dan Prospek IAIN: Anotologi
Pendidikan Tinggi Islam, ed. Komaruddin Hidayat&Hendro Prastyo. Jakarta:
Dirjen Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Depag RI, 2000.
Mudzhar, M. Atho. “Kedudukan IAIN sebagai Perguruan
Tinggi,” dalam Problem dan Prospek IAIN:
Anotologi Pendidikan Tinggi Islam, ed. Komaruddin Hidayat&Hendro
Prastyo. Jakarta: Dirjen Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Depag RI, 2000.
Nata, Abuddin. Manajeman Pendidikan:
Mengatasi Kelemahan Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: Kencana, 2010.
Pairin,
Sejarah Pendidikan Perguruan Tinggi Agama Islam, dalam
Putra
Daulay, Haidar Putra. Sejarah Pertumbhan dan Pembaruan Pendidikan Islam di
Indonesia. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009.
Rahim, Husni.“IAIN dan Masa Depan Islam
Indonesia,” dalam dalam Problem dan
Prospek IAIN: Anotologi Pendidikan Tinggi Islam, ed. Komaruddin
Hidayat&Hendro Prastyo. Jakarta: Dirjen Pembinaan Kelembagaan Agama Islam
Depag RI, 2000.
Ridwan Lubis, “Relevansi Pengembangan
Ilmu-ilmu Agama dengan Dunia Kerja di Era Globalisasi” dalam Perguruan Tinggi Islam di Era Globaliasi, ed.
Syahrin Harahap. Yogyakarta: IAIN Sumatera Utara, 1998.
[1]Komaruddin
Hidayat&Hendro Prastyo, Problem dan
Prospek IAIN: Anotologi Pendidikan Tinggi Islam. (Jakarta: Dirjen Pembinaan
Kelembagaan Agama Islam Depag RI, 2000), xix.
[2]Mohammad
Arfan Hakim, “Perkembanan Perguruan Tinggi Islam Negeri di Indonesia,” dalam http://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=sejarah%20perguruan%20tinggi%20islam%20di%20indonesia&source=web&cd=3&cad=rja&ved=0CDIQFjAC&url=http%3A%2F%2Fstain-palu.ac.id%2Fimages%2Ffile_pdf%2Fperkembangan_pendidikan_tinggi_islam_di_indonesia_by_m_arfan_hakim.pdf&ei=uca6UKbSFoqSrgf4q4HgCA&usg=AFQjCNHGf6Aa8fi9vrFbE3JKlc0XqEybMQ
[3]Hakim, Perkembanan Perguruan Tinggi, dalam
http://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=sejarah%20---,
[4]M. Atho Mudzhar,
“Kedudukan IAIN sebagai Perguruan Tinggi,” dalam Problem dan Prospek IAIN: Anotologi Pendidikan Tinggi Islam, ed.
Komaruddin Hidayat&Hendro Prastyo (Jakarta: Dirjen Pembinaan Kelembagaan
Agama Islam Depag RI, 2000), 62.
[5]Ibid,.
[6]Hidayat&Prastyo, Problem dan Prospek, xix.
[7]Husni Rahim, “IAIN dan
Masa Depan Islam Indonesia,” dalam dalam Problem
dan Prospek IAIN: Anotologi Pendidikan Tinggi Islam, ed. Komaruddin
Hidayat&Hendro Prastyo (Jakarta: Dirjen Pembinaan Kelembagaan Agama Islam
Depag RI, 2000), 410-411.
[8]Ibid., 412.
[9]Hidayat&Prastyo, Problem dan Prospek, xx-xxii.
[10]Hidayat&Prastyo, Problem dan Prospek, vii.
[11]Mudzhar, “Kedudukan IAIN
sebagai,” 65.
[12]Hidayat&Prastyo, Problem dan Prospek, vii-viii.
[13]Ibid., viii.
[14]Hakim, Perkembanan Perguruan Tinggi, dalam
http://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=sejarah%20---,
[15]Ibid.
[16]“Perguruan
tinggi Islam negeri di Indonesia,” dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Perguruan_tinggi_Islam_negeri_di_Indonesia
[17]Hidayat&Prastyo, Problem dan Prospek, xviii.
[19]Hidayat&Prastyo, Problem dan Prospek, xviii.
[20]Mudzhar, “Kedudukan IAIN
sebagai,” 63.
[21]Johan Hendrik Meuleman,
“IAIN di Persimpangan Jalan,” dalam Problem
dan Prospek IAIN: Anotologi Pendidikan Tinggi Islam, ed. Komaruddin
Hidayat&Hendro Prastyo (Jakarta: Dirjen Pembinaan Kelembagaan Agama Islam
Depag RI, 2000), 48.
[22]“Sejarah Pendidikan Islam Dan
Organisasi Ditjen Pendidikan Islam,” dalam http://www.pendis.kemenag.go.id/index.php?a=artikel&id2=sejarahpendis
[23] Hakim, Perkembanan Perguruan Tinggi, dalam
http://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=sejarah%20---,
[24]“Sejarah Pendidikan Islam, dalam http://www.pendis.kemenag.go.id/index.php?a=artikel&id2=sejarahpendis
[25]Haidar Daulay, “IAIN di
Era Globalisasi: Peluang dan Tantangan dari Sudut Pendidikan Islam” dalam Perguruan Tinggi Islam di Era Globaliasi, ed.
Syahrin Harahap (Yogyakarta: IAIN Sumatera Utara, 1998), 115.
[26]Ridwan Lubis, “Relevansi
Pengembangan Ilmu-ilmu Agama dengan Dunia Kerja di Era Globalisasi” dalam Perguruan Tinggi Islam di Era Globaliasi, ed.
Syahrin Harahap (Yogyakarta: IAIN Sumatera Utara, 1998), 201.
[27]Ridwan Lubis, “Relevansi
Pengembangan Ilmu-ilmu Agama dengan Dunia Kerja di Era Globalisasi” dalam Perguruan
Tinggi Islam di Era Globaliasi, ed. Syahrin Harahap (Yogyakarta: IAIN
Sumatera Utara, 1998), 200.
[28]Hidayat&Prastyo, Problem dan Prospek, xv.
[29]Ibid., xv-xvi.
[30]Hidayat&Prastyo, Problem dan Prospek, xvi.
[31]Pairin, Sejarah
Pendidikan Perguruan Tinggi Agama Islam, dalam
[32]Mudzhar, “Kedudukan IAIN
sebagai,”, 64.
[33]Ibid., 65-66.
[34]Hidayat&Prastyo, Problem dan Prospek, v.
[35]“Perguruan tinggi Islam
negeri di Indonesia,” dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Perguruan_tinggi_Islam_negeri_di_Indonesia
[36]Daulay, “IAIN di Era,”
115.
[37]Hidayat&Prastyo, Problem dan Prospek, v.
[39]Abuddin Nata, Manajeman
Pendidikan: Mengatasi Kelemahan Pendidikan Islam di Indonesia. (Jakarta:
Kencana, 2010), 52.
[40]Haidar
Putra Daulay, Sejarah Pertumbhan dan Pembaruan Pendidikan Islam di
Indonesia. (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009), 140-141.