Sabtu, 27 September 2014

Konsep dan Sistem Pendidikan Islam

Oleh: Drs. H. Mutawalli,M.Pd.I 



 

I.                   Pendahuluan
Pengertian pendidikan,[1] dalam konteks pendidikan Islam sinonim dengan kata tarbiyah, ta’dib, dan ta’lim. Namun secara umum kata tarbiyah sering digunakan untuk pengertian pendidikan Islam. Menurut H. Ramyulis dalam bukunya Ilmu Pendidikan Islam, “dalam al-Qur’an tidak ditemukan kata al-tarbiyat, namun terdapat istilah lain yang seakar dengannya, yaitu al-rabb, rabbayani, murabby, yurby dan rabbany. Dalam al-Sunnah ditemukan kata rabbaniy”.[2]
Abul A’la al-Maududi, seperti dikutif  Ramayulis berpendapat, bahwa kata rabbun (raba) terdiri dari dua  huruf “ra” dan “ba” tasydid. Kedua kata itu  merupakan pecahan dari kata tarbiyah yang berarti “pendidikan, pengasuhan, dan sebagainya”. Kata tersebut juga memiliki beragam arti antara lain: “kekuasaan, perlengkapan, pertanggungjawaban, perbaikan, penyempurnaan, dan lain-lain”. [3] Mushtafa al-Maraghy, menyatakan kata itu merupakan predikat bagi suatu “kebesaran, keagungan, kekuasaan, dan kepemimpinan”.[4]
Pengertian secara etimologis dari tarbiyat seperti dikemukakan oleh para ahli pendidikan tersebut di atas memiliki keragaman arti yang mengarah pada peningkatan pertumbuhan dan perkembangan secara fisik serta peningkatan kemampuan, pemeliharaan secara psikhis peserta didik yang harus dilakukan melalui proses pendidikan.

II.                Tujuan Pendidikan Islam
Dalam bahasa Arab, istilah “tujuan” berpadanan dengan kata maqashid yang menunjukkan kepada jalan lurus. Kata ini merupakan kata jadian dari qashada yang tersebar dalam al-Qur’an yang memberi arti pokok. Berdasarkan berbagai istilah tersebut di atas, maka tujuan pendidikan (maqashid  al-tarbiyah) dalam Islam mengacu pada tujuan umum (aims) yang mengarah kepada tujuan akhir (goals) melalui tujuan antara (objectives). Tujuan pendidikan Islam bertitik tolak dari konsep penciptaan manusia sebagai khalifah dan fitrah manusia.  Manusia dalam al-Qur’an menempati posisi yang sangat istimewa, karena ia diciptakan oleh Allah SWT sebagai khalifatan fil’ardhi (wakil Tuhan) dengan tugas dan fungsi untuk ibadah hanya kepada-Nya.[5]
Hal ini dinyatakan dalam ayat-ayat al-Qur’an yang menunjukkan bahwa manusia merupakan pilihan Maha Pencipta untuk menguasai jagat raya ini. Untuk menjadikan manusia terbaik itu, maka Allah sendirilah sebagai “pendidik” secara langsung kepada manusia pertama, yaitu Nabiyullah Adam ‘Alaihissalam. Sebagaimana Allah berfirman dalam al-Qur’an, S. 2, al-Baqarah: 30,
Artinya:
“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada Para Malaikat: Sesungguhnya aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi. mereka berkata: Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, Padahal Kami Senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau? Tuhan berfirman: Sesungguhnya aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui”.

Pendidikan Islam harus diselenggarakan dan dilaksanakan dengan tujuan untuk membentuk dan membina karakter manusia supaya menjadi insan kamil yang beriman, bertakwa dan berakhlak kepada Allah SWT berdasarkan fitrah yang dibawanya sejak lahir. Fitrah yang dibawa manusia sejak dalam kandungan merupakan perwujudkan komitmen antara manusia sebagai makhluk dan Allah sebagai Khaliknya. Komitmen yang sudah terbentuk itu harus diperkuat agar manusia tetap lurus mengikuti perintah Allah sebagai tujuan dalam penciptaan-Nya. Sebagaimana Allah berfirman dalam al-Qur’an, S. 30, al-Rum: 30,[6]
Artinya:
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan Lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”.[7]

Fitrah keislaman manusia yang sudah terbentuk sejak dalam kandungan ibunya merupakan  suatu kontrak akidah. Allah telah mempersaksikan-Nya sendiri secara langsung dihadapan makhluk-Nya yang direspon  secara positif,  sebagaimana firman Allah dalam al-Qur’an, S. 7, al-‘Araf: 172:
Artinya:
“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah aku ini Tuhanmu?” mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuban kami), Kami menjadi saksi”. (kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya Kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)”.

Firman Allah tersebut mengisyaratkan, bahwa penciptaan manusia yang memerankan sebagai khalifatullah supaya tetap komitmen dalam fitrahnya. Namun demikian, Allah menciptkan manusia itu diberikan hak untuk memilih atas kehendak bebas manusia. Apakah manusia akan memilih jalan yang baik atau ke jalan yang buruk. Sebagaimana Allah berfirman Q.S. 18, al-Kahfi: 29:
Artinya:
“Dan Katakanlah: “Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; Maka Barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan Barangsiapa yang ingin (kafir) Biarlah ia kafir”. Sesungguhnya Kami telah sediakan bagi orang orang zalim itu neraka, yang gejolaknya mengepung mereka. dan jika mereka meminta minum, niscaya mereka akan diberi minum dengan air seperti besi yang mendidih yang menghanguskan muka. Itulah minuman yang paling buruk dan tempat istirahat yang paling jelek”.

Firman Allah SWT menyatakan secara tegas tentang kebenaran itu datangnya dari Tuhan. Manusia dapat memilih siapa yang ingin beriman atau kafir. Tentu saja, hal  ini mempunyai implikasi terhadap kewajiban mendidik dan melaksanakan pendidikan oleh berbagai pihak yang mempunyai otoritas dibidang pendidikan untuk mencapai tujuan pendidikan yang telah ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Tujuan pendidikan Islam dalam tataran konsep-teoritis mengarah pada tujuan umum untuk membentuk kepribadian sebagai khalifah Allah atau mempersiapkan ke jalan yang mengacu kepada tujuan diciptakannya manusia oleh Allah Subhanhuwata’ala, yaitu supaya beriman kepada Allah dan tunduk patuh secara total kepada-Nya.

III.             Komponen Pendidikan Islam
a.      Pendidik
Kewajiban mendidik dalam pendidikan Islam dibebankan kepada setiap individu, masyarakat dan negara yang memiliki otoritas sebagaimana diperintahkan dalam al-Qur’an dan al-Sunnah. Dalam menjalankan tugsnya pendidik[8] harus memiliki kualifikasi dan kompetensi kependidikan. Kewajiban mendidik sebagaimana dinyatakan dalam Firman Allah dalam S. 66, al-Tahrim: 6, sebagai berikut:
Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan”.

Orangtua adalah sebagai pendidik pertama dan utama di dalam lingkungan keluarga. Al-Qur’an menyebutkan sifat-sifat yang dimiliki oleh orangtua sebagai guru, yaitu memiliki kesadaran tentang kebenaran yang diperoleh melalui ilmu dan rasio dapat bersyukur kepada Allah SWT. Menasihati anaknya agar tidak menyekutukan tuhan, memerintahkan anaknya agar menjalankan perintah shalat, sabar dalam menghadapi penderitaan. Itulah sebabnya orangtua disebut “pendidik qudrati” yaitu pendidik yang telah diciptakan oleh Allah qudratnya menjadi pendidik. Allah SWT berfirman dalam al-Qur’an S. 31, Luqman, ayat 12-19.
Oleh karena itu, setiap  orang tua agar memberikan pendidikan kepada keluarganya. Orang tua sebagai pendidik pertama dan utama dalam keluarga akan menentukan karakter, sikap dan perilaku anaknya di masa mendatang. Orang tualah yang menyebabkan pula anak itu menjadi beriman atau kafir terhadap Allah SWT. Kewajiban orangtua sebagai pendidik banyak dinyatakan dalam berbagai sabda Rasulullah SAWsebagai berikut: 
Artinya:
“…, dari Abu Hurayrah ra. ia berkata: bersabda Nabi SAW: “setiap anak dilahirkan dalam keadaan suci, maka orang tuanyalah yang menjadikan dia Yahudi, Nasrani atau Majusi, seperti binatang ternak melahirkan anaknya, apakah engkau melihatnya ada yang hidungnya potong (cacat)”? (HR.Bukhari).[9]

b.      Siswa
Belajar (tholabul-ilmi) merupakan bagian dari koponen pendidikan Islam yang wajib diikuti oleh setiap individu maupun kolektif sebagai siswa[10] dengan prinsip pendidikan minalmahdi ilallahdi (life long education). Kewajiban belajar ini, hanya dibebankan kepada manusia sebagai makhluk Allah SWT yang terbaik, karena kelebihannya pada fungsi aql.[11] Dengan aql (akal) yang membentuk pemifikiran itulah manusia diwajibkan belajar dengan tujuan untuk mendapatkan ilmu dan pengetahuan dalam menjalankan kekhalifahannya.
Namun demikian, dengan keterbatasan akal manusia untuk memahami ayat-ayat kauniyah yang berlaku pada dirinya dan alam semesta, maka manusia memerlukan bimbingan Allah dalam bentuk wahyu sebagai proses pembelajarannya. Al-Qur’an telah memberikan motivasi bagi manusia agar senantiasa belajar, bertanya, meneliti dan menuliskan pemikirannya supaya karyanya dapat bermanfaat bagi generasi berikutnya, seperti dinyatakan oleh Allah dalam al-Qur’an, S. 20, Thaha, ayat 114.
Kewajiban belajar dalam Islam disamakan dengan jihad fisabilillah sehingga Allah SWT memerintahkan, bahwa tidak sepatutnya semua orang pergi ke medan perang. Sebagian lain sebaiknya menjadi masyarakat pembelajar untuk pergi mempelajari ilmu dan tekonologi, khususnya ilmu dang pengetahuan agma. Sebagaimana dinyatakan oleh Allah SWT dalam al-Qur’an, S. 9, at-Taubah: 122,

Artinya:
“Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya”.

Berkenaan dengan wajib belajar, Rasulullah SAW memberikan motivasi kepada setiap individu maupun kelompok supaya belajar dengan penuh semangat dan mengerahkan segenap kemampuan berfikir yang dilandasi dengan niat ikhlas untuk mendapatkan keridhoan Allah SAW. Para peserta didik agar belajar kepada para pendidik yang memiliki kualifikasi keilmuan tertentu. Hal ini dinyatakan dalam sabda Rasulullah sebagai berikut:
Artinya:
“…, ‘Asim bin Raja…. Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda, barangsiapa yang berjalan untuk mencari ilmu, Allah akan memudahkan baginya jalan ke surga, sedangkan Malaikat rela membuka sayapnya bagi orang yang mencari ilmu. Dan segala yang ada di langit dan bumi, sampai ikan di lautan pun memohonkan ampunan bagi orang yang mencari ilmu…”. (HR. Ibn Majah).[12]

Artinya:
“…, dari Anas bin Malik, ia telah berkata, bahwa Rasulullah telah bersabda: barangsiapa keluar untuk menuntut ilmu maka ia berada dalam fisabilillah sampai ia kembali”. (HR. Tirmizi).[13]

c.       Kurikulum Pendidikan Islam
 Dalam bahasa Arab, kata kurikulum biasa diungkapkan dengan manhaj yang berarti jalan yang terang yang dilalui manusia pada berbagai bidang kehidupan. Sedangkan pengertian kurikulum pendidikan (manhaj al-dirasah) dalam kamus tarbiyah diartikan sebagai seperangkat perencanaan dan media yang dijadikan acuan oleh lembaga pendidikan dalam mewujudkan tujuan-tujuan pendidikan.[14] Penyusunan kurikulum dalam prinsip pendidikan Islam harus mengacu pada pencapaian tujuan pendidikan. Bahan pelajaran yang diprogramkan oleh para pendidik dapat mendukung pencapaian tujuan pendidikan; dan tidak sebaliknya tujuan pendidikan mengikuti bahan pelajaran.
Kurikulum yang ditawarkan dalam al-Qur’an dan al-Sunnah dalam bentuk pengelompokan mata pelajaran pokok meliputi: (1) pendidikan agama, (2) Pendidikan aqidah, akhlak, dan ibadah, (3) pendidikan baca al-Qur’an, menulis, membaca, halal-haram, dan keterampilan, dan (4) pendidikan seks dan kesehatan jasmani.

d.      Metode dan Media Pendidikan Islam
Dalam bahasa Arab metode[15] disebut “thariqat”. Menurut kamus bahasa Indonesia, “metode” adalah cara yang teratur dan terpikir baik-baik untuk mencapai maksud. Dari berbagai pengertian tersebut dapat dipahami bahwa metode berarti suatu cara yang harus dilalui untuk menyajikan bahan pelajaran agar tercapai tujuan pelajaran.
Pendidikan merupakan usaha membimbing dan membina serta bertanggung jawab untuk mengembangkan inteletual pribadi peserta didik kearah kedewasaan dan dapat menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Pendidikan Islam adalah sebuah proses dalam membentuk manusia muslim yang mampu mengembangkan potensi yang dimilikinya untuk mewujudkan dan merealisasikan tugas dan fungsinya sebagai khalifah terhadap Allah s.w.t., sesama manusia dan makhluk lainnya berdasarkan al-Qur’an dan al-Sunnah.
Beberapa metode pendidikan Islam yang ditunjukkan dalam al-Sunnah sebagai berikut:
Artinya:
“Muhammad bin Basyar menceritakan kepada kami, ia berkata, Yahya menceritakan kepada kami, ia berkata Syu’bah menceritakan kepada ku dari anas, dari Nabi SAW ia bersabda: hendaklah ia mempermudah urusan orang lain dan janganlah mempersulitnya, juga hendaklah kalian memberikan kabar gembira dan janganlah membuat (mereka) lari (dari ajaran Islam)”. (HR. Bukhari).[16]
Beberapa metode pendidikan Islam yang biasanya digunakan di berbagai lembaga pendidikan disampaikan oleh Armai Arief dalam buku Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam adalah: “pembiasaan, keteladanan, pemberian ganjaran, pemberian hukuman, ceramah, tanya jawab, diskusi, sorogan, bandongan,  mudzakarah, kisah, pemberian tugas, karya wisata, eksperimen, Dril/Latihan, sosiodrama, simulasi, kerja lapangan  demonstrasi, dan kerja kelompok”.[17]


[1] Secara etimologis, pendidikan diartikan sebagai perbuatan (hal, cara, dan sebagainya mendidik; dan berarti pula pengetahuan tentang mendidik, atau pemeliharaan (latihan-latihan dan sebagainya) badan, bathin dan sebagainya”. Pengertian pendidikan secara terminologis, disebutkan dalam Undang-Undang Nomor:  20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pada Pasal 1 angka 1, bahwa:“Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara”.
[2] H. Ramyulis. Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta, Kalam Mulia,  2008, Cet. Ke-7, hlm. 14.
[3] Ibid.  
[4] Musthafa Al-Maraghi. Tafsir Al-Maraghi, Bairut: Dar Fikr, tt, juz ke-1, hlm. 30.
[5] Ibid., hlm. 47, menyatakan bahwa: “kata khalifah diambil dari kata kerja khalafa yang berarti “mengganti dan melanjutkan”. Menurut pandangan Razi, Thabari dan Qurtubi, bahwa pengertian khalifah tidak secara sederhana menggantikan lainnya sebagai khalifah Allah. Allah menjadikan manusia sebagai khalifah apabila perilaku dan sikap manusia mengikuti ajaran Allah”.
[6] Ibid., hlm. 57, bahwa: “ayat di atas menghubungkan makna fitrah dengan agama (din)”. Hubungan fitrah dengan din tidak bertentangan, malah sebaliknya saling melengkapi. Penekanan mengenai hakikat fitrah seperti tercantum dalam Q.S. 30: 30 tersebut yang sesungguhnya secara lebih rinci mempunyai hubungan dengan Q.S. 7: 172, bahwa Allah membuat perjanjian dengan manusia dalam keimanan (tauhid).
[7] Fitrah Allah: Maksudnya ciptaan Allah. Manusia diciptakan Allah mempunyai naluri beragama yaitu agama tauhid. Kalau ada manusia tidak beragama tauhid, maka hal itu tidaklah wajar. Mereka tidak beragama tauhid itu hanyalah lantara pengaruh lingkungan.
[8] Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 1 angka 5.  Tenaga kependidikan adalah anggota masyarakat yang mengabdikan diri dan diangkat untuk menunjang penyelenggaraan pendidikan.
Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 1 angka 6. Pendidik adalah tenaga kependidikan yang berkualifikasi sebagai guru, dosen, konselor, pamong belajar, widyaiswara, tutor, instruktur, fasilitator, dan sebutan lain yang sesuai dengan kekhususannya serta berpartisipasi dalam penyelenggaran pendidikan
[9] Imam Abi Abdillah Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Shahih Bukhari, Riyadh: Darussalam, 1997, Kitab al-Janaiz, Bab Ma Qîla fi aulad al-Musyrikin, No. 92/1385, hlm. 272.
[10] Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 1 angka 4.Peserta didik adalah “Anggota masyarakat yang berusaha mengembangkan potensi diri melalui proses pembelajaran yang tersedia pada jalur, jenjang, dan jenis pendidikan tertentu
[11] Abdurrahman Saleh Abdullah. Teori…, ibid, hlm. 97. “Aql mengandung pengertian yang jelas atau verifikasi bukti-bukti, dengan kata jadiannya hanya digunakan kata kerja mudhari maupun madhi”
[12] Imam al-Hafidz abi Abdillah Muhammad bin Yazid ar-Rob’iyyi, Sunan Ibn Majah, Arab Saudi: Darussalam, 1999, Bab Muqaddamah No. 27/223, hlm. 34.
[13] Abi Isa Muhmmad bin Isa bin Surah al-Tirmidzy. Sunan al-Tirmidzi, (Khalid Abdu al-Ghany Mahfudz), Beirut, Libanon, Dar al-Kutub Al-ilmiyah, Cet. I, 2003, hlm. 624-631.
[14] Hasan Langgulung. Manusia…., ibid, hlm. 176.
[15] Muhammad Yunus. Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta, Hidakarya Agung, tt, cet. Ke-6, hlm. 7.Kata metode berasal dari bahasa Yunani, yaitu: “metodos”, yang  terdiri dari dua suku kata, yaitu “metha” yang berarti melalui atau melewati dan “hodos” yang berarti jalan atau cara. Metode berarti suatu jalan yang dilalui untuk mencapai tujuan”.
[16] Imam Abi Abdillah Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Shahih Bukhari, Riyadh: Darussalam, 1997, Kitab al-Al-Ilmu, Bab Maa Kaana an-Nabi…, No. 11/69, hlm. 20.
[17] Armai Arief. Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam, Ciputat Pres, Jakarta, 2002, hlm. 108-196