Oleh: Drs. H. Mutawalli,M.Pd.I
I. Pendahuluan
Pengertian pendidikan,[1] dalam konteks pendidikan Islam sinonim dengan kata tarbiyah, ta’dib, dan ta’lim. Namun secara umum kata tarbiyah sering digunakan untuk pengertian pendidikan Islam. Menurut H. Ramyulis dalam bukunya Ilmu Pendidikan Islam, “dalam al-Qur’an tidak ditemukan kata al-tarbiyat, namun terdapat istilah lain yang seakar dengannya, yaitu al-rabb, rabbayani, murabby, yurby dan rabbany. Dalam al-Sunnah ditemukan kata rabbaniy”.[2]
Abul A’la al-Maududi, seperti dikutif Ramayulis berpendapat, bahwa kata rabbun (raba) terdiri dari dua huruf “ra” dan “ba” tasydid. Kedua kata itu merupakan pecahan dari kata tarbiyah
yang berarti “pendidikan, pengasuhan, dan sebagainya”. Kata tersebut
juga memiliki beragam arti antara lain: “kekuasaan, perlengkapan,
pertanggungjawaban, perbaikan, penyempurnaan, dan lain-lain”. [3] Mushtafa al-Maraghy, menyatakan kata itu merupakan predikat bagi suatu “kebesaran, keagungan, kekuasaan, dan kepemimpinan”.[4]
Pengertian
secara etimologis dari tarbiyat seperti dikemukakan oleh para ahli
pendidikan tersebut di atas memiliki keragaman arti yang mengarah pada
peningkatan pertumbuhan dan perkembangan secara fisik serta peningkatan
kemampuan, pemeliharaan secara psikhis peserta didik yang harus
dilakukan melalui proses pendidikan.
II. Tujuan Pendidikan Islam
Dalam bahasa Arab, istilah “tujuan” berpadanan dengan kata maqashid yang menunjukkan kepada jalan lurus. Kata ini merupakan kata jadian dari qashada yang tersebar dalam al-Qur’an yang memberi arti pokok. Berdasarkan berbagai istilah tersebut di atas, maka tujuan pendidikan (maqashid al-tarbiyah) dalam Islam mengacu pada tujuan umum (aims) yang mengarah kepada tujuan akhir (goals) melalui tujuan antara (objectives). Tujuan pendidikan Islam bertitik tolak dari konsep penciptaan manusia sebagai khalifah dan fitrah manusia. Manusia dalam al-Qur’an menempati posisi yang sangat istimewa, karena ia diciptakan oleh Allah SWT sebagai khalifatan fil’ardhi (wakil Tuhan) dengan tugas dan fungsi untuk ibadah hanya kepada-Nya.[5]
Hal
ini dinyatakan dalam ayat-ayat al-Qur’an yang menunjukkan bahwa manusia
merupakan pilihan Maha Pencipta untuk menguasai jagat raya ini. Untuk
menjadikan manusia terbaik itu, maka Allah sendirilah sebagai “pendidik”
secara langsung kepada manusia pertama, yaitu Nabiyullah Adam
‘Alaihissalam. Sebagaimana Allah berfirman dalam al-Qur’an, S. 2,
al-Baqarah: 30,
Artinya:
“Ingatlah
ketika Tuhanmu berfirman kepada Para Malaikat: Sesungguhnya aku hendak
menjadikan seorang khalifah di muka bumi. mereka berkata: Mengapa Engkau
hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat
kerusakan padanya dan menumpahkan darah, Padahal Kami Senantiasa
bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau? Tuhan berfirman:
Sesungguhnya aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui”.
Pendidikan
Islam harus diselenggarakan dan dilaksanakan dengan tujuan untuk
membentuk dan membina karakter manusia supaya menjadi insan kamil yang beriman, bertakwa dan berakhlak kepada Allah SWT berdasarkan fitrah
yang dibawanya sejak lahir. Fitrah yang dibawa manusia sejak dalam
kandungan merupakan perwujudkan komitmen antara manusia sebagai makhluk
dan Allah sebagai Khaliknya. Komitmen yang sudah terbentuk itu harus
diperkuat agar manusia tetap lurus mengikuti perintah Allah sebagai
tujuan dalam penciptaan-Nya. Sebagaimana Allah berfirman dalam
al-Qur’an, S. 30, al-Rum: 30,[6]
Artinya:
“Maka hadapkanlah
wajahmu dengan Lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah
yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada peubahan
pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia
tidak mengetahui”.[7]
Fitrah keislaman manusia yang sudah terbentuk sejak dalam kandungan ibunya merupakan suatu kontrak akidah. Allah telah mempersaksikan-Nya sendiri secara langsung dihadapan makhluk-Nya yang direspon secara positif, sebagaimana firman Allah dalam al-Qur’an, S. 7, al-‘Araf: 172:
Artinya:
“Dan
(ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari
sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya
berfirman): “Bukankah aku ini Tuhanmu?” mereka menjawab: “Betul (Engkau
Tuban kami), Kami menjadi saksi”. (kami lakukan yang demikian itu) agar
di hari kiamat kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya Kami (Bani Adam)
adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)”.
Firman
Allah tersebut mengisyaratkan, bahwa penciptaan manusia yang memerankan
sebagai khalifatullah supaya tetap komitmen dalam fitrahnya. Namun
demikian, Allah menciptkan manusia itu diberikan hak untuk memilih atas
kehendak bebas manusia. Apakah manusia akan memilih jalan yang baik atau
ke jalan yang buruk. Sebagaimana Allah berfirman Q.S. 18, al-Kahfi: 29:
Artinya:
“Dan
Katakanlah: “Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; Maka Barangsiapa
yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan Barangsiapa yang ingin
(kafir) Biarlah ia kafir”. Sesungguhnya Kami telah sediakan bagi orang
orang zalim itu neraka, yang gejolaknya mengepung mereka. dan jika
mereka meminta minum, niscaya mereka akan diberi minum dengan air
seperti besi yang mendidih yang menghanguskan muka. Itulah minuman yang
paling buruk dan tempat istirahat yang paling jelek”.
Firman
Allah SWT menyatakan secara tegas tentang kebenaran itu datangnya dari
Tuhan. Manusia dapat memilih siapa yang ingin beriman atau kafir. Tentu
saja, hal ini mempunyai implikasi terhadap kewajiban
mendidik dan melaksanakan pendidikan oleh berbagai pihak yang mempunyai
otoritas dibidang pendidikan untuk mencapai tujuan pendidikan yang telah
ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Tujuan pendidikan Islam dalam
tataran konsep-teoritis mengarah pada tujuan umum untuk membentuk
kepribadian sebagai khalifah Allah atau mempersiapkan ke jalan yang
mengacu kepada tujuan diciptakannya manusia oleh Allah Subhanhuwata’ala,
yaitu supaya beriman kepada Allah dan tunduk patuh secara total
kepada-Nya.
III. Komponen Pendidikan Islam
a. Pendidik
Kewajiban
mendidik dalam pendidikan Islam dibebankan kepada setiap individu,
masyarakat dan negara yang memiliki otoritas sebagaimana diperintahkan
dalam al-Qur’an dan al-Sunnah. Dalam menjalankan tugsnya pendidik[8] harus memiliki
kualifikasi dan kompetensi kependidikan. Kewajiban mendidik sebagaimana
dinyatakan dalam Firman Allah dalam S. 66, al-Tahrim: 6, sebagai
berikut:
Artinya:
“Hai
orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api
neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya
malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah
terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan
apa yang diperintahkan”.
Orangtua
adalah sebagai pendidik pertama dan utama di dalam lingkungan keluarga.
Al-Qur’an menyebutkan sifat-sifat yang dimiliki oleh orangtua sebagai
guru, yaitu memiliki kesadaran tentang kebenaran yang diperoleh melalui
ilmu dan rasio dapat bersyukur kepada Allah SWT. Menasihati anaknya agar
tidak menyekutukan tuhan, memerintahkan anaknya agar menjalankan
perintah shalat, sabar dalam menghadapi penderitaan. Itulah sebabnya
orangtua disebut “pendidik qudrati” yaitu pendidik yang telah diciptakan
oleh Allah qudratnya menjadi pendidik. Allah SWT berfirman dalam
al-Qur’an S. 31, Luqman, ayat 12-19.
Oleh karena itu, setiap orang
tua agar memberikan pendidikan kepada keluarganya. Orang tua sebagai
pendidik pertama dan utama dalam keluarga akan menentukan karakter,
sikap dan perilaku anaknya di masa mendatang. Orang tualah yang
menyebabkan pula anak itu menjadi beriman atau kafir terhadap Allah SWT.
Kewajiban orangtua sebagai pendidik banyak dinyatakan dalam berbagai
sabda Rasulullah SAWsebagai berikut:
Artinya:
“…,
dari Abu Hurayrah ra. ia berkata: bersabda Nabi SAW: “setiap anak
dilahirkan dalam keadaan suci, maka orang tuanyalah yang menjadikan dia
Yahudi, Nasrani atau Majusi, seperti binatang ternak melahirkan anaknya,
apakah engkau melihatnya ada yang hidungnya potong (cacat)”? (HR.Bukhari).[9]
b. Siswa
Belajar (tholabul-ilmi) merupakan bagian dari koponen pendidikan Islam yang wajib diikuti oleh setiap individu maupun kolektif sebagai siswa[10] dengan prinsip pendidikan minalmahdi ilallahdi (life long education).
Kewajiban belajar ini, hanya dibebankan kepada manusia sebagai makhluk
Allah SWT yang terbaik, karena kelebihannya pada fungsi aql.[11]
Dengan aql (akal) yang membentuk pemifikiran itulah manusia diwajibkan
belajar dengan tujuan untuk mendapatkan ilmu dan pengetahuan dalam
menjalankan kekhalifahannya.
Namun
demikian, dengan keterbatasan akal manusia untuk memahami ayat-ayat
kauniyah yang berlaku pada dirinya dan alam semesta, maka manusia
memerlukan bimbingan Allah dalam bentuk wahyu sebagai proses
pembelajarannya. Al-Qur’an telah memberikan motivasi bagi manusia agar
senantiasa belajar, bertanya, meneliti dan menuliskan pemikirannya
supaya karyanya dapat bermanfaat bagi generasi berikutnya, seperti
dinyatakan oleh Allah dalam al-Qur’an, S. 20, Thaha, ayat 114.
Kewajiban
belajar dalam Islam disamakan dengan jihad fisabilillah sehingga Allah
SWT memerintahkan, bahwa tidak sepatutnya semua orang pergi ke medan
perang. Sebagian lain sebaiknya menjadi masyarakat pembelajar untuk
pergi mempelajari ilmu dan tekonologi, khususnya ilmu dang pengetahuan
agma. Sebagaimana dinyatakan oleh Allah SWT dalam al-Qur’an, S. 9,
at-Taubah: 122,
Artinya:
“Tidak
sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). mengapa
tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang
untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi
peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya
mereka itu dapat menjaga dirinya”.
Berkenaan
dengan wajib belajar, Rasulullah SAW memberikan motivasi kepada setiap
individu maupun kelompok supaya belajar dengan penuh semangat dan
mengerahkan segenap kemampuan berfikir yang dilandasi dengan niat ikhlas
untuk mendapatkan keridhoan Allah SAW. Para peserta didik agar belajar
kepada para pendidik yang memiliki kualifikasi keilmuan tertentu. Hal
ini dinyatakan dalam sabda Rasulullah sebagai berikut:
Artinya:
“…,
‘Asim bin Raja…. Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda, barangsiapa
yang berjalan untuk mencari ilmu, Allah akan memudahkan baginya jalan ke
surga, sedangkan Malaikat rela membuka sayapnya bagi orang yang mencari
ilmu. Dan segala yang ada di langit dan bumi, sampai ikan di lautan pun
memohonkan ampunan bagi orang yang mencari ilmu…”. (HR. Ibn Majah).[12]
Artinya:
“…,
dari Anas bin Malik, ia telah berkata, bahwa Rasulullah telah bersabda:
barangsiapa keluar untuk menuntut ilmu maka ia berada dalam
fisabilillah sampai ia kembali”. (HR. Tirmizi).[13]
c. Kurikulum Pendidikan Islam
Dalam bahasa Arab, kata kurikulum biasa diungkapkan dengan manhaj yang berarti jalan yang terang yang dilalui manusia pada berbagai bidang kehidupan. Sedangkan pengertian kurikulum pendidikan (manhaj al-dirasah)
dalam kamus tarbiyah diartikan sebagai seperangkat perencanaan dan
media yang dijadikan acuan oleh lembaga pendidikan dalam mewujudkan
tujuan-tujuan pendidikan.[14]
Penyusunan kurikulum dalam prinsip pendidikan Islam harus mengacu pada
pencapaian tujuan pendidikan. Bahan pelajaran yang diprogramkan oleh
para pendidik dapat mendukung pencapaian tujuan pendidikan; dan tidak
sebaliknya tujuan pendidikan mengikuti bahan pelajaran.
Kurikulum
yang ditawarkan dalam al-Qur’an dan al-Sunnah dalam bentuk
pengelompokan mata pelajaran pokok meliputi: (1) pendidikan agama, (2)
Pendidikan aqidah, akhlak, dan ibadah, (3) pendidikan baca al-Qur’an,
menulis, membaca, halal-haram, dan keterampilan, dan (4) pendidikan seks
dan kesehatan jasmani.
d. Metode dan Media Pendidikan Islam
Dalam bahasa Arab metode[15] disebut “thariqat”. Menurut kamus bahasa Indonesia, “metode”
adalah cara yang teratur dan terpikir baik-baik untuk mencapai maksud.
Dari berbagai pengertian tersebut dapat dipahami bahwa metode berarti
suatu cara yang harus dilalui untuk menyajikan bahan pelajaran agar
tercapai tujuan pelajaran.
Pendidikan
merupakan usaha membimbing dan membina serta bertanggung jawab untuk
mengembangkan inteletual pribadi peserta didik kearah kedewasaan dan
dapat menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Pendidikan Islam adalah
sebuah proses dalam membentuk manusia muslim yang mampu mengembangkan
potensi yang dimilikinya untuk mewujudkan dan merealisasikan tugas dan
fungsinya sebagai khalifah terhadap Allah s.w.t., sesama manusia dan
makhluk lainnya berdasarkan al-Qur’an dan al-Sunnah.
Beberapa metode pendidikan Islam yang ditunjukkan dalam al-Sunnah sebagai berikut:
Artinya:
“Muhammad
bin Basyar menceritakan kepada kami, ia berkata, Yahya menceritakan
kepada kami, ia berkata Syu’bah menceritakan kepada ku dari anas, dari
Nabi SAW ia bersabda: hendaklah ia mempermudah urusan orang lain dan
janganlah mempersulitnya, juga hendaklah kalian memberikan kabar gembira
dan janganlah membuat (mereka) lari (dari ajaran Islam)”. (HR. Bukhari).[16]
Beberapa metode pendidikan Islam yang biasanya digunakan di berbagai lembaga pendidikan disampaikan oleh Armai Arief dalam buku Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam adalah: “pembiasaan, keteladanan, pemberian ganjaran, pemberian hukuman, ceramah, tanya jawab, diskusi, sorogan, bandongan, mudzakarah, kisah, pemberian tugas, karya wisata, eksperimen, Dril/Latihan, sosiodrama, simulasi, kerja lapangan demonstrasi, dan kerja kelompok”.[17]
[1] Secara etimologis, pendidikan diartikan sebagai perbuatan (hal, cara, dan sebagainya mendidik; dan
berarti pula pengetahuan tentang mendidik, atau pemeliharaan
(latihan-latihan dan sebagainya) badan, bathin dan sebagainya”.
Pengertian pendidikan secara terminologis, disebutkan dalam
Undang-Undang Nomor: 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional, pada Pasal 1 angka 1, bahwa:“Pendidikan adalah
usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi
dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri,
kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang
diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara”.
[2] H. Ramyulis. Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta, Kalam Mulia, 2008, Cet. Ke-7, hlm. 14.
[3] Ibid.
[4] Musthafa Al-Maraghi. Tafsir Al-Maraghi, Bairut: Dar Fikr, tt, juz ke-1, hlm. 30.
[5]
Ibid., hlm. 47, menyatakan bahwa: “kata khalifah diambil dari kata
kerja khalafa yang berarti “mengganti dan melanjutkan”. Menurut
pandangan Razi, Thabari dan Qurtubi, bahwa pengertian khalifah tidak
secara sederhana menggantikan lainnya sebagai khalifah Allah. Allah
menjadikan manusia sebagai khalifah apabila perilaku dan sikap manusia
mengikuti ajaran Allah”.
[6]
Ibid., hlm. 57, bahwa: “ayat di atas menghubungkan makna fitrah dengan
agama (din)”. Hubungan fitrah dengan din tidak bertentangan, malah
sebaliknya saling melengkapi. Penekanan mengenai hakikat fitrah seperti
tercantum dalam Q.S. 30: 30 tersebut yang sesungguhnya secara lebih
rinci mempunyai hubungan dengan Q.S. 7: 172, bahwa Allah membuat
perjanjian dengan manusia dalam keimanan (tauhid).
[7]
Fitrah Allah: Maksudnya ciptaan Allah. Manusia diciptakan Allah
mempunyai naluri beragama yaitu agama tauhid. Kalau ada manusia tidak
beragama tauhid, maka hal itu tidaklah wajar. Mereka tidak beragama
tauhid itu hanyalah lantara pengaruh lingkungan.
[8] Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 1 angka 5. Tenaga kependidikan adalah anggota masyarakat yang mengabdikan diri dan diangkat untuk menunjang penyelenggaraan pendidikan.
Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 1 angka 6.
Pendidik adalah tenaga kependidikan yang berkualifikasi sebagai guru,
dosen, konselor, pamong belajar, widyaiswara, tutor, instruktur,
fasilitator, dan sebutan lain yang sesuai dengan kekhususannya serta
berpartisipasi dalam penyelenggaran pendidikan
[9] Imam Abi Abdillah Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Shahih Bukhari, Riyadh: Darussalam, 1997, Kitab al-Janaiz, Bab Ma Qîla fi aulad al-Musyrikin, No. 92/1385, hlm. 272.
[10]
Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional,
Pasal 1 angka 4.Peserta didik adalah “Anggota masyarakat yang berusaha
mengembangkan potensi diri melalui proses pembelajaran yang tersedia
pada jalur, jenjang, dan jenis pendidikan tertentu
[11] Abdurrahman Saleh Abdullah. Teori…,
ibid, hlm. 97. “Aql mengandung pengertian yang jelas atau verifikasi
bukti-bukti, dengan kata jadiannya hanya digunakan kata kerja mudhari
maupun madhi”
[12] Imam al-Hafidz abi Abdillah Muhammad bin Yazid ar-Rob’iyyi, Sunan Ibn Majah, Arab Saudi: Darussalam, 1999, Bab Muqaddamah No. 27/223, hlm. 34.
[13] Abi Isa Muhmmad bin Isa bin Surah al-Tirmidzy. Sunan al-Tirmidzi, (Khalid Abdu al-Ghany Mahfudz), Beirut, Libanon, Dar al-Kutub Al-ilmiyah, Cet. I, 2003, hlm. 624-631.
[14] Hasan Langgulung. Manusia…., ibid, hlm. 176.
[15] Muhammad Yunus. Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta, Hidakarya Agung, tt, cet. Ke-6, hlm. 7.Kata metode berasal dari bahasa Yunani, yaitu: “metodos”, yang terdiri dari dua suku kata, yaitu “metha” yang berarti melalui atau melewati dan “hodos” yang berarti jalan atau cara. Metode berarti suatu jalan yang dilalui untuk mencapai tujuan”.
[16] Imam Abi Abdillah Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Shahih Bukhari, Riyadh: Darussalam, 1997, Kitab al-Al-Ilmu, Bab Maa Kaana an-Nabi…, No. 11/69, hlm. 20.
[17] Armai Arief. Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam, Ciputat Pres, Jakarta, 2002, hlm. 108-196