BAB I
PENDAHULUAN
- A. Latar Belakang
Dalam agama Islam memiliki tiga tingkatan yaitu Islam, Iman, Ihsan. Tiap-tiap tingkatan memiliki rukun-rukun yang membangunnya.
Jika Islam dan Iman disebut secara
bersamaan, maka yang dimaksud Islam adalah amalan-amalan yang tampak dan
mempunyai lima rukun. Sedangkan yang dimaksud Iman adalah amal-amal
batin yang memiliki enam rukun. Dan jika keduanya berdiri
sendiri-sendiri, maka masing-masing menyandang makna dan hukumnya
tersendiri.
Ihsan berarti berbuat baik. Orang yang
berbuat Ihsan disebut muhsin berarti orang yang berbuat baik.setiap
perbuatan yang baik yang nampak pada sikap jiwa dan prilaku yang sesuai
atau dilandaskan pada aqidah da syariat Islam disebut Ihsan. Dengan
demikian akhlak dan Ihsan adalah dua pranata yang berada pada suatu
sistem yang lebih besar yang disebut akhlaqul karimah.
- B. Rumusan Masalah
- Mengetahui Hakikat Iman, ?
- Mengetahui Hakikat Islam ?
- Mengetahui Hakikat Ikhsan?
BAB II
PEMBAHASAN
- 1. Hakikat iman
Iman adalah keyakinan yang menghujam dalam hati, kokoh penuh keyakinan tanpa dicampuri keraguan sedikitpun.[1]
Sedangkan keimanan dalam Islam itu sendiri adalah percaya kepada
Alloh, malaikat-malaikatNya, kitab-kitabNya, Rosul-rosulNya, hari akhir
dan berIman kepada takdir baik dan buruk. Iman mencakup perbuatan,
ucapan hati dan lisan, amal hati dan amal lisan serta amal anggota
tubuh. Iman bertambah dengan ketaatan dan berkurang karena kemaksiatan.
Kedudukan Iman lebih tinggi dari pada
Islam, Iman memiliki cakupan yang lebih umum dari pada cakupan Islam,
karena ia mencakup Islam, maka seorang hamba tidaklah mencapai keImanan
kecuali jika seorang hamba telah mamapu mewujudka keislamannya. Iman
juga lebih khusus dipandang dari segi pelakunya, karena pelaku keimanan
adalah kelompok dari pelaku keIslaman dan tidak semua pelaku keIslaman
menjadi pelaku keImanan, jelaslah setiap mukmin adalah muslim dan tidak
setiap muslim adalah mukmin[2]
Keimanan tidak terpisah dari amal, karena
amal merupakan buah keImanan dan salah satu indikasi yang terlihat oleh
manusia. Karena itu Alloh menyebut Iman dan amal soleh secara
beriringan dalam Qur’an surat Al Anfal ayat 2-4 yang artinya:
Allah Subhannahu wa Ta’ala berfirman:
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang jika
disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada
mereka ayat-ayatNya, bertambahlah iman mereka (karenanya) dan kepada
Tuhanlah mereka bertawakkal, (yaitu) orang-orang yang mendirikan shalat
dan yang menafkahkan sebagian dari rizki yang kami berikan kepada
me-reka. Itulah orang-orang yang beriman dengan
sebenar-benar-nya.” (Al-Anfal: 2-4)
Keimanan memiliki satu ciri yang sangat
khas, yaitu dinamis. Yang mayoritas ulama memandang keImanan beriringan
dengan amal soleh, sehinga mereka menganggap keImanan akan bertambah
dengan bertambahnya amal soleh. Akan tetapi ada sebagaian ulama yang
melihat Iman berdasarkan sudut pandang bahwa ia merupakan aqidah yang
tidak menerima pemilahan (dikotomi). Maka seseorang hanya memiliki dua
kemungkinan saja: mukmin atau kafir, tidak ada kedudukan lain diantara
keduanya. Karena itu mereka berpendapat Iman tidak bertambah dan tidak
berkurang.
Iman adakalanya bertambah dan adakalanya
berkurang, maka perlu diketahui kriteria bertambahnya Iman hingga
sempurnanya Iman, yaitu:
1) Diyakini dalam hati
2) Diucapkan dengan lisan
3) Diamalkan dengan anggota tubuh.
Sedangkan dalam Islam sendiri jika membahas mengenai Iman tidak akan terlepas dari adanya rukun Iman yang enam, yaitu:
1) Iman kepada Alloh
2) Iman kepada malaikatNya
3) Iman kepada kitabNya
4) Iman kepada rosulNya
5) Iman kepada Qodho dan Qodar
6) Iman kepada hari akhir
Demikianlah kriteria amalan hati dari
pribadi yang berIman, yang jika telah tertanam dalam hati seorang mukmin
enam keImanan itu maka akan secara otomatis tercermin dalam prilakunya
sehari-hari yang sinergi dengan kriteria keImanan terhadap enam poin di
atas.
Jika Iman adalah suatu keadaan yang
bersifat dinamis, maka sesekali didapati kelemahan Iman, maka yang harus
kita lakukan adalah memperkuat segala lini dari hal-hal yang dapat
memperkuat Iman kembali. Hal-hal yang dapat dilakukan bisa kita mulai
dengan memperkuat aqidah, serta ibadah kita karena Iman bertambah karena
taat dan berkurang karena maksiat.
Ketika Iman telah mencapai taraf yang
diinginkan maka akan dirasakan oleh pemiliknya suatu manisnya Iman,
sebagaImana hadits Nabi Muhammad saw. yang artinya:
“Tiga perkara yang apabila terdapat
dalam diri seseorang, maka ia akan merasakan manisnya Iman: Menjadikan
Alloh dan RosulNya lebih dicintainya melebihi dari selain keduanya,
mencintai seseorang yang tidak dicintainya melainkan karena Alloh,
membenci dirinya kembali kepada kekufuran sebagaImana bencinya ia
kembali dilemparkan ke dalam api neraka.” (HR.Bukhori Muslim).
- 2. Hakikat Islam
Islam bersal dari kata, as-salamu, as-salmu, danas-silmu yang berarti: menyerahkan diri, pasrah, tunduk, dan patuh. Berasal dari kata as-silmu atau as-salmu yang
berarti damai dan aman. Berasal dari kata as-salmu, as-salamu, dan
as-salamatu yang berarti bersih dan selamat dari kecacatan-kecacatan
lahir dan batin.
Pengertian Islam menurut istilah yaitu,
sikap penyerahan diri (kepasrahan, ketundukan, kepatuhan) seorang hamba
kepada Tuhannya dengan senantiasa melaksanakan perintahNya dan menjauhi
laranganNya, demi mencapai kedamaian dan keselamatan hidup, di dunia
maupun di akhirat.
Siapa saja yang menyerahkan diri
sepenuhnya hanya kepada Alloh, maka ia seorang muslim, dan barang siapa
yang menyerahkan diri kepada Alloh dan selain Alloh maka ia seorang
musyrik, sedangkan seorang yang tidak menyerahkan diri kepada Alloh maka
ia seorang kafir yang sombong.[3]
Dalam pengertian kebahasan ini, kata
Islam dekat dengan arti kata agama. Senada dengan hal itu Nurkholis
Madjid berpendapat bahwa sikap pasrah kepada Tuhan adalah merupakan
hakikat dari pengertian Islam. Dari pengertian itu, seolah Nurkholis
Madjid ingin mengajak kita memahami Islam dari sisi manusia sebagai yang
sejak dalam kandungan sudah menyatakan kepatuhan dan ketundukan kepada
Tuhan, sebagaImana yang telah diisyaratkan dalam surat al-A’rof ayat 172
yang artinya:
Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu
mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah
mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah
Aku Ini Tuhanmu?” mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuban kami), kami
menjadi saksi”. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat
kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah orang-orang
yang lengah terhadap Ini (keesaan Tuhan)”[4]
Berkaitan dengan Islam sebagai agama,
maka tidak dapat terlepas dari adanya unsur-unsur pembentuknya yaitu
berupa rukun Islam, yaitu:
1) Membaca dua kalimat Syahadat
2) Mendirikan sholat lima waktu
3) Menunaikan zakat
4) Puasa Romadhon
5) Haji ke Baitulloh jika mampu.
- 3. Hakikat Ihsan
Ihsan berarti berbuat baik. Orang yang
berbuat Ihsan disebut muhsin berarti orang yang berbuat baik.setiap
perbuatan yang baik yang nampak pada sikap jiwa dan prilaku yang sesuai
atau dilandaskan pada aqidah dan syariat Islam disebit Ihsan. Dengan
demikian akhlak dan Ihsan adalah dua pranata yang berada pada suatu
sistem yang lebih besar yang disebut akhlaqul karimah[5]
Adapun dalil mengenai Ihsan dari hadits
adalah potongan hadits Jibril yang sangat terkenal (dan panjang),
seperti yang diriwayatkan oleh Umar bin Khattab, ketika nabi ditanya
mengenai Ihsan oleh malaikat Jibril dan nabi menjawab:
…أَنْ تَعْبُدَ اللّهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ فَإنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإنَّهُ يَرَاكَ…
“…Hendaklah engkau beribadah kepada
Alloh seolah-olah engkau melihatNya. Tapi jika engkau tidak melihatNya,
maka sesungguhnya Alloh melihatmu…..
Hadits tersebut menunjukan bahwa untuk
melakukan Ihsan, sebagai rumusnya adalah memposisikan diri saat
beribadah kepada Alloh seakan-akan kita bisa melihatNya, atau jika belum
bisa memposisikan seperti itu maka posisikanlah bahwa kita selalu
dilihat olehNya sehingga akan muncul kesadaran dalam diri untuk tidak
melakukan tindakan selain berbuat Ihsan atau berbuat baik.
Korelasi Iman, Islam, dan Ihsan
Diatas telah dibahas tentang ketiga hal
tersebut, disini, akan dibahas hubungan timbal balik antara ketiganya.
Iman yang merupakan landasan awal, bila diumpamakan sebagai pondasi
dalam keberadaan suatu rumah, sedangkan islam merupakan entitas yang
berdiri diatasnya. Maka, apabila iman seseorang lemah, maka islamnya pun
akan condong, lebih lebih akan rubuh. Dalam realitanya mungkin
pelaksanaan sholat akan tersendat-sendat, sehingga tidak dilakukan pada
waktunya, atau malah mungkin tidak terdirikan. Zakat tidak tersalurkan,
puasa tak terlaksana, dan lain sebagainya. Sebaliknya, iman akan kokoh
bila islam seseorang ditegakkan. Karena iman terkadang bisa menjadi
tebal, kadang pula menjadi tipis, karena amal perbuatan yang akan
mempengaruhi hati. Sedang hati sendiri merupakan wadah bagi iman itu.
Jadi, bila seseorang tekun beribadah, rajin taqorrub, maka akan semakin
tebal imannya, sebaliknya bila seseorang berlarut-larut dalam
kemaksiatan, kebal akan dosa, maka akan berdampak juga pada tipisnya
iman.
Dalam hal ini, sayyidina Ali pernah berkata :
قال علي كرم الله وجهه إن
الإيمان ليبدو لمعة بيضاء فإذا عمل العبد الصالحات نمت فزادت حتى يبيض
القلب كله وإن النفاق ليبدو نكتة سوداء فإذا انتهك الحرمات نمت وزادت حتى
يسود القلب كله
Artinya : Sahabat Ali kw. Berkata :
sesungguhnya iman itu terlihat seperti sinar yang putih, apabila
seorang hamba melakukan kebaikan, maka sinar tersebut akan tumbuh dan
bertambah sehingga hati (berwarna) putih. Sedangkan kemunafikan terlihat
seperti titik hitam, maka bila seorang melakukan perkara yang
diharamkan, maka titik hitam itu akan tumbuh dan bertambah hingga
hitamlah (warna) hati.
Adapun ihsan, bisa diumpamakan sebagai
hiasan rumah, bagaimana rumah tersebut bisa terlihat mewah, terlihat
indah, dan megah. Sehingga padat menarik perhatian dari banyak pihak.
Sama halnya dalam ibadah, bagaimana ibadah ini bisa mendapatkan
perhatian dari sang kholiq, sehingga dapat diterima olehnya. Tidak hanya
asal menjalankan perintah dan menjauhi larangannya saja, melainkan
berusaha bagaimana amal perbuatan itu bisa bernilai plus dihadapan-Nya.
Sebagaimana yang telah disebutkan diatas kedudukan kita hanyalah sebagai
hamba, budak dari tuhan, sebisa mungkin kita bekerja, menjalankan
perintah-Nya untuk mendapatkan perhatian dan ridlonya. Disinilah hakikat
dari ihsan.[6]
BAB III
KESIMPULAN
Iman, islam dan ihsan merupakan tiga
rangkaian konsep agama islam yang sesuai dengan dalil , Iman, Islam dan
Ihsan saling berhubungan karena seseorang yang hanya menganut Islam
sebagai agama belumlah cukup tanpa dibarengi dengan Iman. Sebaliknya,
Iman tidaklah berarti apa-apa jika tidak didasari dengan Islam.
Selanjutnya, kebermaknaan Islam dan Iman akan mencapai kesempurnaan jika
dibarengi dengan Ihsan, sebab Ihsan merupakan perwujudan dari Iman dan
Islam,yang sekaligus merupakan cerminan dari kadar Iman dan Islam itu
sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
Busyra, Zainuddin Ahmad, Buku Pintar Aqidah Akhlaq dan Qur’an Hadis, (Yogyakarta: Azna Books, 2010)
At-Tuwaijiri, Muhammad bin Ibrahim bin Abdullah, Ensiklopedia Islam Al-Kamil, (Jakarta: Darus Sunnah Press, 2010)
Nata, Abuddin, Metodologi Studi Islam, (Jakarta:Rajawali Press, 2001)
Thanthawi, Ali, Aqidah Islam; Doktrin dan Filosofis, (Pajang:Era Intermedia,2004).
Daradjat, Zakiah, dkk., Dasar-dasar Agama Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1996).
Wahhab, Muhammad bin Abdul, Tiga Prinsip Dasar dalam Islam,(Riyadh: Darussalam,2004).