BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang Masalah
Pada
awal tahun 1970-an berbicara mengenai penelitian agama dianggap tabu.
Orang akan berkata : kenapa agama yang sudah begitu mapan mau diteliti ;
agama adalah wahyu Allah. Sikap serupa terjadi di Barat. Dalam
pendahuluan buku Seven Theories Of Religion dikatakan, dahulu orang
Eropa menolak anggapan adanya kemungkinan meniliti agama. Sebab, antara
ilmu dan nilai, antara ilmu dan agama ( kepercayaan ), tidak bisa
disinkronkan[1]
Kehadiran
agama Islam yang dibawa Nabi Muhammad Saw diyakini dapat menjamin
terwujudnya kehidupan manusia yang sejahtera lahir dan batin.
Petunjuk-petunjuk agama mengenai berbagai kehidupan manusia, sebagaimana
terdapat di dalam sumber ajarannya, Alquran dan Hadis, tampak amat
ideal dan agung. Islam mengajarkan kehidupan yang dinamis dan progresif,
menghargai akal pikiran melalui pengembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi, bersikap seimbang dalam memenuhi kebutuhan material dan
spiritual, senantiasa mengembangkan kepedulian sosial, menghargai waktu,
bersikap terbuka, demokratis, berorientasi pada kualitas, egaliter,
kemitraan, anti-feodalistik, mencintai kebersihan, mengutamakan
persaudaraan, berakhlak mulia dan bersikap positif lainnya.
2. Rumusan Masalah
A. Apa pengertian metodologi studi islam?
B. Apa saja ruang lingkup metodologi studi islam?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian metodologi
Menurut bahasa (etimologi), metode berasal dari bahasa Yunani, yaitu meta (sepanjang), hodos (jalan). Jadi, metode adalah suatu ilmu tentang cara atau langkah-langkah
yang di tempuh dalam suatu disiplin tertentu untuk mencapai tujuan
tertentu. Metode berarti ilmu cara menyampaikan sesuatu kepada orang
lain. Metode juga disebut pengajaran atau penelitian.
Menurut istilah“metodologi” berasal dari bahasa yunani yakni metodhos dan logos,
methodos berarti cara, kiat dan seluk beluk yang berkaitan dengan upaya
menyelsaikan sesuatu, sementara logos berarti ilmu pengetahuan,
cakrawala dan wawasan. Dengan demikian metodologi adalah metode atau
cara-cara yang berlaku dalam kajian atau penelitian[2]
Metodologi
adalah masalah yang sangat penting dalam sejarah pertumbuhan ilmu,
metode kognitif yang betul untuk mencari kebenaran adalah lebih penting
dari filsafat, sains, atau hanya mempunyai bakat[3]
Cara
dan prosedur untuk memperoleh pengetahuan dapat ditentukan berdasarkan
disiplin ilmu yang dikajinya, oleh karena itu dalam menentukan disiplin
ilmu kita harus menentukan metode yang relevan dengan disiplin itu,
masalah yang dihadapi dalam proses verivikasi ini adalah bagaimana
prosedur kajian dan cara dalam pengumpulsn dan analisis data agar
kesimpulan yang ditarik memenuhi persyaratan berfikir induktif.
Penetapan prosedur kajian dan cara ini disebut metodologi kajian atau
metodologi penelitian
Selain
itu metodelogi adalah pengetahuan tentang metode-metode, jadi metode
penelitian adalah pengetahuan tentang berbagai metode yang digunakan
dalam penelitian[4].
Louay safi mendefinisaikan metodologi sebagai bidang peenelitian ilmiah
yang berhubungan dengan pembahasan tentang metode-metode yang digunakan
dalam mengkaji fenomena alam dan manusia atau dengan kata lain
metodologi adalah bidang penelitian ilmiah yang membenarkan,
mendeskripsikan dan menjelaskan aturan-aturan, prosedur-prosedur sebagai
metode ilmiah[5].
Ketika
metode digabungkan dengan kata logos maknanya berubah. Logos berarti
“studi tentang” atau “teori tentang”. Oleh karena itu, metodologi tidak
lagi sekedar kumpulan cara yang sudah diterima(well received) tetapi
berupa berupa kajian tentang metode. Dalam metodologi dibicarakan kajian
tentang cara kerja ilmu pengetahuan. Pendek kata, bila dalam metode
tidak ada perbedaan, refleksi dan kajian atas cara kerja ilmu
pengetahuan, sebaliknya dalam metodologi terbuka luas untuk mengkaji,
mendebat, dan merefleksi cara kerja suatu ilmu. Maka dari itu,
metodologi menjadi menjadi bagian dari sistematika filsafat, sedangkan
metode tidak.
Metodologi adalah ilmu cara- cara dan langkah- langkah yang tepat ( untuk menganalisa sesuatu) penjelasan serta menerapkan cara
Istilah
metodologi studi islam digunakan ketika seorang ingin membahas kajian-
kajian seputar ragam metode yang biasa digunakan dalam studi islam.
Sebut saja misalnya kajian atas metode normative, historis, filosofis,
komparatif dan lain sebagainya. Metodologi studi islam mengenal metode-
metode itu sebatas teoritis. Seseorang yang mempelajarinya juga belum
menggunakannya dalam praktik. Ia masih dalam tahap mempelajari secara
teoritis bukan praktis.
B. Ruang lingkup studi Islam
Pembahasan
kajian keislaman mengikuti wawasan dan keahlian para pengkajinya,
sehingga terkesan ada nuansa kajian mengikuti selera pengkajinya, secara
material, ruang lingkup studi islam dalam tradisi sarjana barat,
meliputi pembahasan mengenai ajaran, doktrin, teks sejarah dan
instusi-instusi keislaman pada awalnya ketertarikan sarjana barat
terhadap pemikiran islam lebih karena kebutuhan akan penguasaan daerah
koloni. Mengingat daerah koloni pada umumnya adalah Negara Negara yang
banyak didomisili warga Negara yang beragama islam, sehingga mau tidak
mau mereka harus faham budaya lokal. Kasus ini dapat dilihat pada perang
aceh sarjana belanda telah mempelajari islam terlebih dahulu sebelum
diterjunkan dilokasi deengan asumsi ia telah memahami budaya dan
peradapan massyarakat aceh yang mayoritas beragama islam.
Islam
dipahami dari sisi ajaran, doktrin dan pemahaman masyarakat debngan
asumsi dapat diketahui tradisi dan kekuatan masyarakat setempat.
Setaelah itu pemahaman yang telah menjadi input bagi kaum orentalis
diambil sebagai dasar kebijakan oleh penguasa colonial yang tentunya
lebih menguntungkan mereka ketimbang rakyat banyak diwilayah jajahanya.
Hasil studi ini sesungguhnya lebih menguntungkan kaum penjajah tatas
dasar masukan ini para penjajah colonial dapat mengambil kebijakan
didaerah koloni dengan mempertimbangkan budaya lokal. Atas masukkan ini,
para penjajah mampu membuat kekuatan social, masyarakat terjajah
sesuai dengan kepentingan dan keutunganya. Setelah mengalami
keterpurukan, dunia islam mulai bangkit memalui para pembaru yang telah
dicerahkan. Dari kelompok ini munculah gagasan agar umat islam mengejar
ketertinggalanya dari umat lain.
Agama sebagai obyek studi minimal dapat dilihat dari segi sisi:
1. Agama Sebagai doktrin dari Tuhan
Agama Sebagai doktrin dari Tuhan yang sebenarnya bagi para pemeluknya sudah final dalam arti absolute, dan diterima apa adanya.[6] Kata doktrin berasal dari bahasa inggris doctrine yang berarti ajaran. Dari kata doctrine itu kemudian dibentuk kata doktina;, yang berarti yang berkenaan dengan ajaran atau bersifat ajaran.
Selain kata doctrine sebgaimana disebut diatas, terdapat kata doctrinaire yang berarti yang bersifat teoritis yang tidak praktis. Contoh dalam hal ini misalnya doctrainare ideas ini berrati gagasan yang tidak praktis.
Studi
doktinal ini berarti studi yang berkenaan dengan ajaran atau studi
tentang sesuatu yang bersifat teoritis dalam arti tidak praktis. Mengapa
tidak praktis? Jawabannya adalah karena ajaran itu belum menjadi
sesuatu bagi seseorang yang dijadikan dasar dalam berbuat atau
mengerjakan sesuatu.
Uraian
ini berkenaan dengan Islam sebagai sasaran atau obyek studi doctrinal
tersebut. Ini berarti dalam studi doctrinal kali yang di maksud adalah
studi tentang ajaran Islam atau studi Islam dari sisi teori-teori yang
dikemukakan oleh Islam.
Islam di definisikan oleh sebagian ulama sebagai berikut: “al-Islamu wahyun ilahiyun unzila ila nabiyyi Muhammadin Sallahu`alaihi wasallam lisa`adati al-dunya wa al-akhirah” (Islam adalah wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW sebagai pedoman untuk kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat)[7]
Berdasarkan
pada definisi Islam sebagaimana di kemukakan di atas, maka inti dari
Islam adalah wahyu. Sedangkan wahyu yang dimaksud di atas adalah
al-Qur`an dan al-Sunnah. Al-Qur`an yang kita sekarang dalam bentuk
mushaf yang terdiri tiga puluh juz, mulai dari surah al-Fatihah dan
berakhir dengan surah al-Nas, yang jumlahnya 114 surah.
Sedangkan
al-Sunnah telah terkodifikasi sejak tahun tiga ratus hijrah. Sekarang
ini kalau kita ingin lihat al-Sunnah atau al-Hadist, kita dapat lihat di
berbagai kitab hadist. Misalnya kitab hadist Muslim yang disusun oleh
Imam Muslim, kitab hadist Shaleh Bukhari yang ditulis Imam al-Bukhari,
dan lain-lain.
Dari
kedua sumber itulah, al-Qur`an dan al-Sunnah, ajaran Islam diambil.
Namun meski kita mempunyai dua sumber, sebagaimana disebut diatas,
ternyata dalam realitasnya, ajaran Islam yang digali dari dua sumber
tersebut memerlukan keterlibatan tersebut dalam bentuk ijtihad.
Dengan
ijtihad ini, maka ajaran berkembang. Karena ajaran Islam yang ada di
dalam dua sumber tersebut ada yang tidak terperinci, banyak yang
diajarkan secara garis besar atau global. Masalah-masalah yang
berkembang kemudian yang tidak secara terang disebut di dalam dua sumber
itu di dapatkan dengan cara ijtihad.
Dengan
demikian, maka ajaran Islam selain termaktub pula di dalam penjelasan
atau tafsiran-tafsiran para ulama melalui ijtihad itu.
Hasil
ijtihad selama tersebar dalam semua bidang, bidang yang lain. Semua itu
dalam bentuk buku-buku atau kitab-kitab, ada kitab fiqih, itab ilmu
kalam, kitab akhlaq, dan lain-lain.
Sampai
disini jelaslah, bahwa ternyata ajaran Islam itu selain langsung
diambil dari al-Qur`an dan al-Sunnah, ada yang diambil melalui ijtihad.
Bahkan kalau persoalan hidup ini berkembang dan ijtihad terus dilakukan
untuk mencari jawaban agama Islam terhadap persoalan hidup yang belum
jelas jawabannya di dalam suatu sumber yang pertama itu. Maka ajaran
yang diambil dari ijtihad ini semakin banyak.
Studi
Islam dari sisi doctrinal itu kemudian menjadi sangat luas, yaitu studi
tentang ajaran Islam baik yang ada di dalam al-Qur`an maupun yang ada
di dalam al-Sunnah serta ada yang menjadi penjelasan kedua sember
tersebut dengan melalui ijtihad.
Jadi
sasaran studi Islam doctrinal ini sangat luas. Persoalannya adalah apa
yang kemudian di pelajari dari sumber ajaran Islam itu.
2. Sebagai gejala budaya,
yang
berarti seluruh yang menjadi kreasi manusia dalam kaitannya dengan
agama, termasuk pemahaman orang terhadap doktrin agamanya. Pada
awalnya ilmu hanya ada dua Suatu penemuan yang dihasilkan seseorang pada
suaktu-waktu mengenai suatu gejala sifat alam.
Agama
merupakan kenyataan yang dapat dihayati. Sebagai kenyataan, berbagai
aspek perwujudan agama bermacam-macam, tergantung pada aspek yang
dijadikan sasaran studi dan tujuan yang hendak dicapai oleh orang yang
melakukan studi.
Cara-cara
pendekatan dalam mempelajari agama dapat dibagi ke dalam dua golongan
besar, yaitu model studi ilmu-ilmu social dan model studi budaya.
Tujuan
mempelajari agama Islam juga dapat dikategorikan ke dalam dua macam,
yang pertama, untuk mengetahui, memahami, menghayati dan mengamalkan.
Kedua, untuk obyek penelitian. Artinya, kalau yang pertama berlaku
khusus bagi umat Islam saja, baik yang masih awam, atau yang sudah
sarjana. Akan tetapi yang kedua berlaku umum bagi siapa saja, termasuk
sarjana-sarjana bukan Isalam, yaitu memahami. Akan tetapi realitasnya
ada yang sekedar sebagai obyek penelitian saja.
Untuk
memahami suatu agama, khususnya Islam memang harus melalui dua model,
yaitu tekstual dan konstektual. Tekstual, artinya memahami Islam melalui
wahyu yang berupa kitab suci. Sedangkan kontekstual berarti memahami
Islam lewat realitas social, yang berupa perilaku masyarakat yang
memeluk agama bersangkutan.
Studi
budaya di selenggarakan dengan penggunaan cara-cara penelitian yang
diatur oleh aturan-aturan kebudayaan yang bersangkutan.
Kebudayaan
adalah keseluruhan pengetahuan yang dipunyai oleh manusia sebagai
mahkluk social yang isinya adalah perangkat-perangkat model-model
pengetahuan yang secara selektif dapat digunakan untuk memahami dan
menginterprestasi lingkungan yang di hadapi, dan untuk mendorong dan
menciptakan tindakan-tindakan yang diperlukan.
Islam
merupakan agama yang diwahyukan Allah SWT. Kepada Nabi Muhammad
SAW.sebagai jalan hidup untuk meraih kebahagiaan hidup di dunia dan
akhirat. Agama islam disebut juga agama samawi . selain agama Islam, Yahudi dan Nasrani juga termasuk ke dalam kategori agama samawi.
Sebab keduanya merupakan agama wahyu yang diterima Nabi Musa dab Nabi
Isa sebagai utusan Allah yang menerima pewahyuan agama Yahudi dan
Nasrani.
Agama
wahyu bukan merupakan bagian dari kebudayaan. Demikian pendapat Endang
Saifuddin Anshari yang mengatakan dalam suatu tulisannya bahwa:
“agama
samawi dan kebudayaan tidak saling mencakup; pada prinsipnya yang satu
tidak merupakan bagian dari yang lainnya; masing-masing berdiri sendiri.
Antara keduanya tentu saja dapat saling hubungan dengan erat seperti
kita saksikan dalam kehidupan dan penghidupan manusia sehari-hari.
Sebagaimana pula terlihat dalam hubungan erat antara suami dan istri,
yang dapat melahirkan putra, namun suami bukan merupakan bagian dari si
istri, demikian pula sebaliknya.
Atas
dasar pandangan di atas, maka agama Islam sebagai agama samawi bukan
merupakan bagian dari kebudayaan (Islam), demikian pula sebaliknya
kebudayaan Islam bukan merupakan bagian dari agama Islam. Masing-masing
berdiri sendiri, namun terdapat kaitan erat antara keduanya. Menurut
Faisal Ismail, hubungan erat itu adalah bahwa Islam merupakan dasar,
asas pengendali, pemberi arah, dan sekaligus merupakan sumber
nilai-nilai budaya dalam pengembangan dan perkembangan cultural. Agama
(Islam)lah yang menjadi pengawal, pembimbing, dan pelestari seluruh
rangsangan dan gerak budaya, sehingga ia menjadi kebudayaan yang
bercorak dan beridentitas Islam.
Lebih
jauh Faisal menjelaskan bahwa walaupun memiliki keterkaitan, Islam dan
kebudayaan merupakan dua entitas yang berbeda, sehingga keduanya bisa
dilihat dengan jelas dan tegas. Shalat misalnya adalah unsure (ajaran)
agama, selain berfungsi untuk melestarikan hubungan manusia dengan
Tuhan, juga dapat melestarikan hubungan manusia dengan manusia juga
menjadi pendorong dan penggerak bagi terciptanya kebudayaan. Untuk
tempat sholat orang membangun masjid dengan gaya arsitektur yang megah
dan indah, membuat sajadah alas untuk bersujud dengan berbagai disain,
membuat tutup kepala, pakaian, dan lain-lain. Itulah yang termasuk aspek
kebudayaan.
Proses interaksi Islam dengan budaya dapat terjadi dalam dua kemungkinan. Pertama adalah Islam mewarnai, mengubah, mengolah, an memperbaharui budaya. Kedua,
justru Islam yang diwarnai oleh kebudayaan. Masalahnya adalah
tergantung dari kekuatan dari dua entitas kebudayaan atau entitas
keislaman. Jika entitas kebudayaan yang kuat maka akan muncul
muatan-muatan local dalam agama, seperti Islam Jawa. Sebaliknya, jika
entitas Islam yang kuat mempengaruhi budaya maka akan muncul kebudayaan
Islam.
Agama
sebagai budaya, juga dapat diihat sebagai mekanisme control, karena
agama adalah pranata social dan gejala social, yang berfungsi sebagai
kontro, terhadap institus-institus yang ada.
Dalam kebudayaan dan peradaban dikenal umat Islam berpegang pada kaidah: Al-Muhafadhatu ala al-qadim al-shalih wa al-akhdzu bi al jaded alashlah, artinya: memelihara pada produk budaya lama yang baik dan mengambil produk budaya baru yang lebih baik.
Oleh
karena itu, dapat di simpulkan bahwa hasil pemikiran manusia yang
berupa interprestasi terhadap teks suci itu disebut kebudayaan, maka
sisitem pertahanan Islam, system keuangan Islam, dan sebagainya yang
timbul sebagai hasil pemikiran manusia adalah kebudayaan pula. Kalaupun
ada perbedaannya dengan kebudayaan biasa, maka perbedaan itu terletak
pada keadaan institusi-institusi kemasyarakatan dalam Islam, yang
disusun atas dasar prinsip-prinsip yang tersebut dalam al-Qur`an.
3. Sebagai interaksi social,
yaitu realitas umat Islam.Bila
islam dilihat dari tiga sisi, maka ruang lingkup studi islam dapat
dibatasi pada tiga sisi tersebut. Oleh karena sisi doktrin merupakan
suatu keyakinan atas kebenaran teks wahyu, maka hal ini tidak memerlukan
penelitian didalamnya.
Melalui
pendekatan antropologi hubungan agama dengan berbagai masalh kehidupan
manusia, dan dengan itu pula agama terlihat akrab dan fungsional dan
berbagai fenomena kehidupan manusia[8]
Islam
sebagai sasaran studi social ini dimaksudkan sebagai studi tentang
Islam sebagai gejala social. Hal ini menyangkut keadaan masyarakat
penganut agama lengkap dengan struktur, lapisan serta berbagai gejala
social lainnya yang saling berkaitan.
Dengan
demikian yang menjadi obyek dalam kaitan dengan Islam sebagai sasaran
studi social adalah Islam yang telah menggejala atau yang sudah menjadi
fenomena Islam. Yang menjadi fenomena adalah Islam yang sudah menjadi
dasar dari sebuah perilaku dari para pemeluknya.
M. Atho Mudzhar, menulis dalam bukunya, pendekatan Studi Islam dalam Teori dan Praktek, bahwa ada lima bentuk gejala agama yang perlu diperhatikan dalam mempelajari atau menstudi suatu agama. Pertama, scripture atau naskah-naskah atau sumber ajaran dan symbol-simbol agama. Kedua, para penganut atau pemimpin atau pemuka agama, yaitu yang berkenaan dengan perilaku dan penghayatan para penganutnya. Ketiga, ritus-ritus, lembaga-lembaga dan ibadat-ibadat, seperti shalat, haji, puasa, perkawinan dan waris. Keempat, alat-alat, organisasi-organisasi keagamaan tempat penganut agama berkumpul, seperti NU dan lain-lain[9].
Masih
menurut M. Atho Mudzhar, agama sebagai gejala social, pada dasarnya
bertumpu pada konsep sosiologi agama. Sosiologi agama mempelajari
hubungan timbal balik antara agama dan masyarakat. Masyarakat
mempengaruhi agam, dan agama mempengaruhi masyarakat. Tetapi menurutnya,
sosiologi sekarang ini mempelajari bukan masalah timbale balik itu,
melainkan lebih kepada pengaruh agama terhadap tingkah laku masyarakat.
Bagaimana agama sebagai system nlai mempengaruhi masyarakat.
Meskipun
kecenderungan sosiologi agama. Beliau member contoh teologi yang
dibangun oleh orang-orang syi`ah, orang-orang khawarij, orang-orang ahli
al-Sunnah wa al-jannah dan lain-lain. Teologi-teologi yang dibangun
oleh para penganut masing-masing itu tidak lepas dari pengaruh
pergeseran perkembangan masyarakat terhadap agama.
Persoalan
berikutnya adalah bagaimana lita melihat masalah Islam sebagai sasaran
studi social. Dalam menjawab persoalan ini tentu kita berangkat dari
penggunaan ilmu yang dekat dengan ilmu kealaman, karena sesungguhnya
peristiwa-peristiwa yang terjadi mengalami keterulangan yang hampir sama
atau dekat dengan ilmu kealaman, oleh karena itu dapat diuji.
jadi
dengan demikian metodologi studi Islam dengan mengadakan penelitian
social. Penelitian social berada diantara ilmu budaya mencoba memahami
gejala-gejala yang tidak berulang tetapi dengan cara memahami
keterulangan.
Sedangkan
ilmu kealaman itu sendiri paradigmanya positivism. Paragdima positivism
dalam ilmu ini adalah sesuatu itu baru dianggap sebagai ilmu kalau
dapat dimati (observable), dapat diukur (measurable), dan dapat dibuktikan (verifiable).
Sedangkan ilmu budaya hanya dapat diamati. Kadang-kadang tidak dapat
diukur atau diverifikasi. Sedangkan ilmu social yang diangap dekat
dengan ilmu kealaman berarti juga dapat diamati, diukur, dan
diverifikasi.
Melihat
uraian di atas, maka jika Islam dijadikan sebagai sasaran studi social,
maka harus mengikuti paragdima positivism itu, yaitu dapat diamati
gejalanya, dapat diukur, dan dapat diverifikasi.
Hanya
saja sekarang ini juga berkembang penelitian kualitatif yang tidak
menggunakan paragdima positivisme. Ini berarti ilmu social itu dianggap
tidak dekat kepada ilmu kealaman. Jika halnya demikian, maka berarti
dekat kepada ilmu budaya ini berarti sifatnya unik.
Lima
hal sebagai gejala agama yang telah disebut di atas kemudian dapat
dijadikan obyek dari kajian Islam dengan menggunakan pendekatan ilmu
social sebagaimana juga telah dungkap diatas.
Masalahnya
tokoh agama Islam, penganut agama Islam, interaksi antar umat beragama,
dan lain-lain dapat diangkat menjadi sasaran studi Islam.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Rozak, Metodologi Studi Islam, Bandung : Pustaka Setia , 2008
Atho Mudzahar, Pendekatan Studi Islam, Yogyakarta : Pustaka Pelajar , 2007
Mukti Ali, Metodologi Memahami Agama Islam, Jakarta : Bulan Bintang, 1991
Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, Jakarta: Rajawali Pres, 2012
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang Masalah
Pada
awal tahun 1970-an berbicara mengenai penelitian agama dianggap tabu.
Orang akan berkata : kenapa agama yang sudah begitu mapan mau diteliti ;
agama adalah wahyu Allah. Sikap serupa terjadi di Barat. Dalam
pendahuluan buku Seven Theories Of Religion dikatakan, dahulu orang
Eropa menolak anggapan adanya kemungkinan meniliti agama. Sebab, antara
ilmu dan nilai, antara ilmu dan agama ( kepercayaan ), tidak bisa
disinkronkan[1]
Kehadiran
agama Islam yang dibawa Nabi Muhammad Saw diyakini dapat menjamin
terwujudnya kehidupan manusia yang sejahtera lahir dan batin.
Petunjuk-petunjuk agama mengenai berbagai kehidupan manusia, sebagaimana
terdapat di dalam sumber ajarannya, Alquran dan Hadis, tampak amat
ideal dan agung. Islam mengajarkan kehidupan yang dinamis dan progresif,
menghargai akal pikiran melalui pengembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi, bersikap seimbang dalam memenuhi kebutuhan material dan
spiritual, senantiasa mengembangkan kepedulian sosial, menghargai waktu,
bersikap terbuka, demokratis, berorientasi pada kualitas, egaliter,
kemitraan, anti-feodalistik, mencintai kebersihan, mengutamakan
persaudaraan, berakhlak mulia dan bersikap positif lainnya.
2. Rumusan Masalah
A. Apa pengertian metodologi studi islam?
B. Apa saja ruang lingkup metodologi studi islam?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian metodologi
Menurut bahasa (etimologi), metode berasal dari bahasa Yunani, yaitu meta (sepanjang), hodos (jalan). Jadi, metode adalah suatu ilmu tentang cara atau langkah-langkah
yang di tempuh dalam suatu disiplin tertentu untuk mencapai tujuan
tertentu. Metode berarti ilmu cara menyampaikan sesuatu kepada orang
lain. Metode juga disebut pengajaran atau penelitian.
Menurut istilah“metodologi” berasal dari bahasa yunani yakni metodhos dan logos,
methodos berarti cara, kiat dan seluk beluk yang berkaitan dengan upaya
menyelsaikan sesuatu, sementara logos berarti ilmu pengetahuan,
cakrawala dan wawasan. Dengan demikian metodologi adalah metode atau
cara-cara yang berlaku dalam kajian atau penelitian[2]
Metodologi
adalah masalah yang sangat penting dalam sejarah pertumbuhan ilmu,
metode kognitif yang betul untuk mencari kebenaran adalah lebih penting
dari filsafat, sains, atau hanya mempunyai bakat[3]
Cara
dan prosedur untuk memperoleh pengetahuan dapat ditentukan berdasarkan
disiplin ilmu yang dikajinya, oleh karena itu dalam menentukan disiplin
ilmu kita harus menentukan metode yang relevan dengan disiplin itu,
masalah yang dihadapi dalam proses verivikasi ini adalah bagaimana
prosedur kajian dan cara dalam pengumpulsn dan analisis data agar
kesimpulan yang ditarik memenuhi persyaratan berfikir induktif.
Penetapan prosedur kajian dan cara ini disebut metodologi kajian atau
metodologi penelitian
Selain
itu metodelogi adalah pengetahuan tentang metode-metode, jadi metode
penelitian adalah pengetahuan tentang berbagai metode yang digunakan
dalam penelitian[4].
Louay safi mendefinisaikan metodologi sebagai bidang peenelitian ilmiah
yang berhubungan dengan pembahasan tentang metode-metode yang digunakan
dalam mengkaji fenomena alam dan manusia atau dengan kata lain
metodologi adalah bidang penelitian ilmiah yang membenarkan,
mendeskripsikan dan menjelaskan aturan-aturan, prosedur-prosedur sebagai
metode ilmiah[5].
Ketika
metode digabungkan dengan kata logos maknanya berubah. Logos berarti
“studi tentang” atau “teori tentang”. Oleh karena itu, metodologi tidak
lagi sekedar kumpulan cara yang sudah diterima(well received) tetapi
berupa berupa kajian tentang metode. Dalam metodologi dibicarakan kajian
tentang cara kerja ilmu pengetahuan. Pendek kata, bila dalam metode
tidak ada perbedaan, refleksi dan kajian atas cara kerja ilmu
pengetahuan, sebaliknya dalam metodologi terbuka luas untuk mengkaji,
mendebat, dan merefleksi cara kerja suatu ilmu. Maka dari itu,
metodologi menjadi menjadi bagian dari sistematika filsafat, sedangkan
metode tidak.
Metodologi adalah ilmu cara- cara dan langkah- langkah yang tepat ( untuk menganalisa sesuatu) penjelasan serta menerapkan cara
Istilah
metodologi studi islam digunakan ketika seorang ingin membahas kajian-
kajian seputar ragam metode yang biasa digunakan dalam studi islam.
Sebut saja misalnya kajian atas metode normative, historis, filosofis,
komparatif dan lain sebagainya. Metodologi studi islam mengenal metode-
metode itu sebatas teoritis. Seseorang yang mempelajarinya juga belum
menggunakannya dalam praktik. Ia masih dalam tahap mempelajari secara
teoritis bukan praktis.
B. Ruang lingkup studi Islam
Pembahasan
kajian keislaman mengikuti wawasan dan keahlian para pengkajinya,
sehingga terkesan ada nuansa kajian mengikuti selera pengkajinya, secara
material, ruang lingkup studi islam dalam tradisi sarjana barat,
meliputi pembahasan mengenai ajaran, doktrin, teks sejarah dan
instusi-instusi keislaman pada awalnya ketertarikan sarjana barat
terhadap pemikiran islam lebih karena kebutuhan akan penguasaan daerah
koloni. Mengingat daerah koloni pada umumnya adalah Negara Negara yang
banyak didomisili warga Negara yang beragama islam, sehingga mau tidak
mau mereka harus faham budaya lokal. Kasus ini dapat dilihat pada perang
aceh sarjana belanda telah mempelajari islam terlebih dahulu sebelum
diterjunkan dilokasi deengan asumsi ia telah memahami budaya dan
peradapan massyarakat aceh yang mayoritas beragama islam.
Islam
dipahami dari sisi ajaran, doktrin dan pemahaman masyarakat debngan
asumsi dapat diketahui tradisi dan kekuatan masyarakat setempat.
Setaelah itu pemahaman yang telah menjadi input bagi kaum orentalis
diambil sebagai dasar kebijakan oleh penguasa colonial yang tentunya
lebih menguntungkan mereka ketimbang rakyat banyak diwilayah jajahanya.
Hasil studi ini sesungguhnya lebih menguntungkan kaum penjajah tatas
dasar masukan ini para penjajah colonial dapat mengambil kebijakan
didaerah koloni dengan mempertimbangkan budaya lokal. Atas masukkan ini,
para penjajah mampu membuat kekuatan social, masyarakat terjajah
sesuai dengan kepentingan dan keutunganya. Setelah mengalami
keterpurukan, dunia islam mulai bangkit memalui para pembaru yang telah
dicerahkan. Dari kelompok ini munculah gagasan agar umat islam mengejar
ketertinggalanya dari umat lain.
Agama sebagai obyek studi minimal dapat dilihat dari segi sisi:
1. Agama Sebagai doktrin dari Tuhan
Agama Sebagai doktrin dari Tuhan yang sebenarnya bagi para pemeluknya sudah final dalam arti absolute, dan diterima apa adanya.[6] Kata doktrin berasal dari bahasa inggris doctrine yang berarti ajaran. Dari kata doctrine itu kemudian dibentuk kata doktina;, yang berarti yang berkenaan dengan ajaran atau bersifat ajaran.
Selain kata doctrine sebgaimana disebut diatas, terdapat kata doctrinaire yang berarti yang bersifat teoritis yang tidak praktis. Contoh dalam hal ini misalnya doctrainare ideas ini berrati gagasan yang tidak praktis.
Studi
doktinal ini berarti studi yang berkenaan dengan ajaran atau studi
tentang sesuatu yang bersifat teoritis dalam arti tidak praktis. Mengapa
tidak praktis? Jawabannya adalah karena ajaran itu belum menjadi
sesuatu bagi seseorang yang dijadikan dasar dalam berbuat atau
mengerjakan sesuatu.
Uraian
ini berkenaan dengan Islam sebagai sasaran atau obyek studi doctrinal
tersebut. Ini berarti dalam studi doctrinal kali yang di maksud adalah
studi tentang ajaran Islam atau studi Islam dari sisi teori-teori yang
dikemukakan oleh Islam.
Islam di definisikan oleh sebagian ulama sebagai berikut: “al-Islamu wahyun ilahiyun unzila ila nabiyyi Muhammadin Sallahu`alaihi wasallam lisa`adati al-dunya wa al-akhirah” (Islam adalah wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW sebagai pedoman untuk kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat)[7]
Berdasarkan
pada definisi Islam sebagaimana di kemukakan di atas, maka inti dari
Islam adalah wahyu. Sedangkan wahyu yang dimaksud di atas adalah
al-Qur`an dan al-Sunnah. Al-Qur`an yang kita sekarang dalam bentuk
mushaf yang terdiri tiga puluh juz, mulai dari surah al-Fatihah dan
berakhir dengan surah al-Nas, yang jumlahnya 114 surah.
Sedangkan
al-Sunnah telah terkodifikasi sejak tahun tiga ratus hijrah. Sekarang
ini kalau kita ingin lihat al-Sunnah atau al-Hadist, kita dapat lihat di
berbagai kitab hadist. Misalnya kitab hadist Muslim yang disusun oleh
Imam Muslim, kitab hadist Shaleh Bukhari yang ditulis Imam al-Bukhari,
dan lain-lain.
Dari
kedua sumber itulah, al-Qur`an dan al-Sunnah, ajaran Islam diambil.
Namun meski kita mempunyai dua sumber, sebagaimana disebut diatas,
ternyata dalam realitasnya, ajaran Islam yang digali dari dua sumber
tersebut memerlukan keterlibatan tersebut dalam bentuk ijtihad.
Dengan
ijtihad ini, maka ajaran berkembang. Karena ajaran Islam yang ada di
dalam dua sumber tersebut ada yang tidak terperinci, banyak yang
diajarkan secara garis besar atau global. Masalah-masalah yang
berkembang kemudian yang tidak secara terang disebut di dalam dua sumber
itu di dapatkan dengan cara ijtihad.
Dengan
demikian, maka ajaran Islam selain termaktub pula di dalam penjelasan
atau tafsiran-tafsiran para ulama melalui ijtihad itu.
Hasil
ijtihad selama tersebar dalam semua bidang, bidang yang lain. Semua itu
dalam bentuk buku-buku atau kitab-kitab, ada kitab fiqih, itab ilmu
kalam, kitab akhlaq, dan lain-lain.
Sampai
disini jelaslah, bahwa ternyata ajaran Islam itu selain langsung
diambil dari al-Qur`an dan al-Sunnah, ada yang diambil melalui ijtihad.
Bahkan kalau persoalan hidup ini berkembang dan ijtihad terus dilakukan
untuk mencari jawaban agama Islam terhadap persoalan hidup yang belum
jelas jawabannya di dalam suatu sumber yang pertama itu. Maka ajaran
yang diambil dari ijtihad ini semakin banyak.
Studi
Islam dari sisi doctrinal itu kemudian menjadi sangat luas, yaitu studi
tentang ajaran Islam baik yang ada di dalam al-Qur`an maupun yang ada
di dalam al-Sunnah serta ada yang menjadi penjelasan kedua sember
tersebut dengan melalui ijtihad.
Jadi
sasaran studi Islam doctrinal ini sangat luas. Persoalannya adalah apa
yang kemudian di pelajari dari sumber ajaran Islam itu.
2. Sebagai gejala budaya,
yang
berarti seluruh yang menjadi kreasi manusia dalam kaitannya dengan
agama, termasuk pemahaman orang terhadap doktrin agamanya. Pada
awalnya ilmu hanya ada dua Suatu penemuan yang dihasilkan seseorang pada
suaktu-waktu mengenai suatu gejala sifat alam.
Agama
merupakan kenyataan yang dapat dihayati. Sebagai kenyataan, berbagai
aspek perwujudan agama bermacam-macam, tergantung pada aspek yang
dijadikan sasaran studi dan tujuan yang hendak dicapai oleh orang yang
melakukan studi.
Cara-cara
pendekatan dalam mempelajari agama dapat dibagi ke dalam dua golongan
besar, yaitu model studi ilmu-ilmu social dan model studi budaya.
Tujuan
mempelajari agama Islam juga dapat dikategorikan ke dalam dua macam,
yang pertama, untuk mengetahui, memahami, menghayati dan mengamalkan.
Kedua, untuk obyek penelitian. Artinya, kalau yang pertama berlaku
khusus bagi umat Islam saja, baik yang masih awam, atau yang sudah
sarjana. Akan tetapi yang kedua berlaku umum bagi siapa saja, termasuk
sarjana-sarjana bukan Isalam, yaitu memahami. Akan tetapi realitasnya
ada yang sekedar sebagai obyek penelitian saja.
Untuk
memahami suatu agama, khususnya Islam memang harus melalui dua model,
yaitu tekstual dan konstektual. Tekstual, artinya memahami Islam melalui
wahyu yang berupa kitab suci. Sedangkan kontekstual berarti memahami
Islam lewat realitas social, yang berupa perilaku masyarakat yang
memeluk agama bersangkutan.
Studi
budaya di selenggarakan dengan penggunaan cara-cara penelitian yang
diatur oleh aturan-aturan kebudayaan yang bersangkutan.
Kebudayaan
adalah keseluruhan pengetahuan yang dipunyai oleh manusia sebagai
mahkluk social yang isinya adalah perangkat-perangkat model-model
pengetahuan yang secara selektif dapat digunakan untuk memahami dan
menginterprestasi lingkungan yang di hadapi, dan untuk mendorong dan
menciptakan tindakan-tindakan yang diperlukan.
Islam
merupakan agama yang diwahyukan Allah SWT. Kepada Nabi Muhammad
SAW.sebagai jalan hidup untuk meraih kebahagiaan hidup di dunia dan
akhirat. Agama islam disebut juga agama samawi . selain agama Islam, Yahudi dan Nasrani juga termasuk ke dalam kategori agama samawi.
Sebab keduanya merupakan agama wahyu yang diterima Nabi Musa dab Nabi
Isa sebagai utusan Allah yang menerima pewahyuan agama Yahudi dan
Nasrani.
Agama
wahyu bukan merupakan bagian dari kebudayaan. Demikian pendapat Endang
Saifuddin Anshari yang mengatakan dalam suatu tulisannya bahwa:
“agama samawi dan
kebudayaan tidak saling mencakup; pada prinsipnya yang satu tidak
merupakan bagian dari yang lainnya; masing-masing berdiri sendiri.
Antara keduanya tentu saja dapat saling hubungan dengan erat seperti
kita saksikan dalam kehidupan dan penghidupan manusia sehari-hari.
Sebagaimana pula terlihat dalam hubungan erat antara suami dan istri,
yang dapat melahirkan putra, namun suami bukan merupakan bagian dari si
istri, demikian pula sebaliknya.
Atas
dasar pandangan di atas, maka agama Islam sebagai agama samawi bukan
merupakan bagian dari kebudayaan (Islam), demikian pula sebaliknya
kebudayaan Islam bukan merupakan bagian dari agama Islam. Masing-masing
berdiri sendiri, namun terdapat kaitan erat antara keduanya. Menurut
Faisal Ismail, hubungan erat itu adalah bahwa Islam merupakan dasar,
asas pengendali, pemberi arah, dan sekaligus merupakan sumber
nilai-nilai budaya dalam pengembangan dan perkembangan cultural. Agama
(Islam)lah yang menjadi pengawal, pembimbing, dan pelestari seluruh
rangsangan dan gerak budaya, sehingga ia menjadi kebudayaan yang
bercorak dan beridentitas Islam.
Lebih
jauh Faisal menjelaskan bahwa walaupun memiliki keterkaitan, Islam dan
kebudayaan merupakan dua entitas yang berbeda, sehingga keduanya bisa
dilihat dengan jelas dan tegas. Shalat misalnya adalah unsure (ajaran)
agama, selain berfungsi untuk melestarikan hubungan manusia dengan
Tuhan, juga dapat melestarikan hubungan manusia dengan manusia juga
menjadi pendorong dan penggerak bagi terciptanya kebudayaan. Untuk
tempat sholat orang membangun masjid dengan gaya arsitektur yang megah
dan indah, membuat sajadah alas untuk bersujud dengan berbagai disain,
membuat tutup kepala, pakaian, dan lain-lain. Itulah yang termasuk aspek
kebudayaan.
Proses interaksi Islam dengan budaya dapat terjadi dalam dua kemungkinan. Pertama adalah Islam mewarnai, mengubah, mengolah, an memperbaharui budaya. Kedua,
justru Islam yang diwarnai oleh kebudayaan. Masalahnya adalah
tergantung dari kekuatan dari dua entitas kebudayaan atau entitas
keislaman. Jika entitas kebudayaan yang kuat maka akan muncul
muatan-muatan local dalam agama, seperti Islam Jawa. Sebaliknya, jika
entitas Islam yang kuat mempengaruhi budaya maka akan muncul kebudayaan
Islam.
Agama
sebagai budaya, juga dapat diihat sebagai mekanisme control, karena
agama adalah pranata social dan gejala social, yang berfungsi sebagai
kontro, terhadap institus-institus yang ada.
Dalam kebudayaan dan peradaban dikenal umat Islam berpegang pada kaidah: Al-Muhafadhatu ala al-qadim al-shalih wa al-akhdzu bi al jaded alashlah, artinya: memelihara pada produk budaya lama yang baik dan mengambil produk budaya baru yang lebih baik.
Oleh
karena itu, dapat di simpulkan bahwa hasil pemikiran manusia yang
berupa interprestasi terhadap teks suci itu disebut kebudayaan, maka
sisitem pertahanan Islam, system keuangan Islam, dan sebagainya yang
timbul sebagai hasil pemikiran manusia adalah kebudayaan pula. Kalaupun
ada perbedaannya dengan kebudayaan biasa, maka perbedaan itu terletak
pada keadaan institusi-institusi kemasyarakatan dalam Islam, yang
disusun atas dasar prinsip-prinsip yang tersebut dalam al-Qur`an.
3. Sebagai interaksi social,
yaitu realitas umat Islam.Bila
islam dilihat dari tiga sisi, maka ruang lingkup studi islam dapat
dibatasi pada tiga sisi tersebut. Oleh karena sisi doktrin merupakan
suatu keyakinan atas kebenaran teks wahyu, maka hal ini tidak memerlukan
penelitian didalamnya.
Melalui
pendekatan antropologi hubungan agama dengan berbagai masalh kehidupan
manusia, dan dengan itu pula agama terlihat akrab dan fungsional dan
berbagai fenomena kehidupan manusia[8]
Islam
sebagai sasaran studi social ini dimaksudkan sebagai studi tentang
Islam sebagai gejala social. Hal ini menyangkut keadaan masyarakat
penganut agama lengkap dengan struktur, lapisan serta berbagai gejala
social lainnya yang saling berkaitan.
Dengan
demikian yang menjadi obyek dalam kaitan dengan Islam sebagai sasaran
studi social adalah Islam yang telah menggejala atau yang sudah menjadi
fenomena Islam. Yang menjadi fenomena adalah Islam yang sudah menjadi
dasar dari sebuah perilaku dari para pemeluknya.
M. Atho Mudzhar, menulis dalam bukunya, pendekatan Studi Islam dalam Teori dan Praktek, bahwa ada lima bentuk gejala agama yang perlu diperhatikan dalam mempelajari atau menstudi suatu agama. Pertama, scripture atau naskah-naskah atau sumber ajaran dan symbol-simbol agama. Kedua, para penganut atau pemimpin atau pemuka agama, yaitu yang berkenaan dengan perilaku dan penghayatan para penganutnya. Ketiga, ritus-ritus, lembaga-lembaga dan ibadat-ibadat, seperti shalat, haji, puasa, perkawinan dan waris. Keempat, alat-alat, organisasi-organisasi keagamaan tempat penganut agama berkumpul, seperti NU dan lain-lain[9].
Masih
menurut M. Atho Mudzhar, agama sebagai gejala social, pada dasarnya
bertumpu pada konsep sosiologi agama. Sosiologi agama mempelajari
hubungan timbal balik antara agama dan masyarakat. Masyarakat
mempengaruhi agam, dan agama mempengaruhi masyarakat. Tetapi menurutnya,
sosiologi sekarang ini mempelajari bukan masalah timbale balik itu,
melainkan lebih kepada pengaruh agama terhadap tingkah laku masyarakat.
Bagaimana agama sebagai system nlai mempengaruhi masyarakat.
Meskipun
kecenderungan sosiologi agama. Beliau member contoh teologi yang
dibangun oleh orang-orang syi`ah, orang-orang khawarij, orang-orang ahli
al-Sunnah wa al-jannah dan lain-lain. Teologi-teologi yang dibangun
oleh para penganut masing-masing itu tidak lepas dari pengaruh
pergeseran perkembangan masyarakat terhadap agama.
Persoalan
berikutnya adalah bagaimana lita melihat masalah Islam sebagai sasaran
studi social. Dalam menjawab persoalan ini tentu kita berangkat dari
penggunaan ilmu yang dekat dengan ilmu kealaman, karena sesungguhnya
peristiwa-peristiwa yang terjadi mengalami keterulangan yang hampir sama
atau dekat dengan ilmu kealaman, oleh karena itu dapat diuji.
jadi
dengan demikian metodologi studi Islam dengan mengadakan penelitian
social. Penelitian social berada diantara ilmu budaya mencoba memahami
gejala-gejala yang tidak berulang tetapi dengan cara memahami
keterulangan.
Sedangkan
ilmu kealaman itu sendiri paradigmanya positivism. Paragdima positivism
dalam ilmu ini adalah sesuatu itu baru dianggap sebagai ilmu kalau
dapat dimati (observable), dapat diukur (measurable), dan dapat dibuktikan (verifiable).
Sedangkan ilmu budaya hanya dapat diamati. Kadang-kadang tidak dapat
diukur atau diverifikasi. Sedangkan ilmu social yang diangap dekat
dengan ilmu kealaman berarti juga dapat diamati, diukur, dan
diverifikasi.
Melihat
uraian di atas, maka jika Islam dijadikan sebagai sasaran studi social,
maka harus mengikuti paragdima positivism itu, yaitu dapat diamati
gejalanya, dapat diukur, dan dapat diverifikasi.
Hanya
saja sekarang ini juga berkembang penelitian kualitatif yang tidak
menggunakan paragdima positivisme. Ini berarti ilmu social itu dianggap
tidak dekat kepada ilmu kealaman. Jika halnya demikian, maka berarti
dekat kepada ilmu budaya ini berarti sifatnya unik.
Lima
hal sebagai gejala agama yang telah disebut di atas kemudian dapat
dijadikan obyek dari kajian Islam dengan menggunakan pendekatan ilmu
social sebagaimana juga telah dungkap diatas.
Masalahnya
tokoh agama Islam, penganut agama Islam, interaksi antar umat beragama,
dan lain-lain dapat diangkat menjadi sasaran studi Islam.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Rozak, Metodologi Studi Islam, Bandung : Pustaka Setia , 2008
Atho Mudzahar, Pendekatan Studi Islam, Yogyakarta : Pustaka Pelajar , 2007
Mukti Ali, Metodologi Memahami Agama Islam, Jakarta : Bulan Bintang, 1991
Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, Jakarta: Rajawali Pres, 2012