![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgN1Z4gZLKlD5RRrnCPRsvsbH5h_TUYK82t2Wa9F906NdgPkX8Ci3r6Aeshz-UraS83VHH35BX409xDwDJL5LmslSz87Nq1lsje1PdLaD6vZA4KGKZ0PmKTBm5nX0DqiuKgjEWswEO4atM/s1600/mushaf+al-qur%27an.jpg)
Naskah Aceh
BERITA “Cina
akan Bangun Museum Alquran” yang dimuat dalam rubrik Internasional di
Harian Serambi Indonesia, Sabtu (18/2), telah mendorong saya untuk
mengamati dan coba menghubungkannya dalam konteks Aceh. Kita patut
memberikan apresiasi atas komitmen Otorita Dongxiang, Provinsi Gansu,
Cina, yang ingin membangun museum ini dikarenakan penemuan Alquran kuno
yang ditulis dengan tulisan tangan (manuskrip), yang diperkirakan
disalin abad ke-9 dan 11 Masehi.
Imam
Ma Qingfang, sebagai pemilik Alquran kuno “level A” tersebut menolak
tawaran luar negeri. Ia percaya dan akan lebih sangat berharga untuk
menjaga tetap di wilayahnya sebagai “kitab jiwa” di negeri Tirai Bambu
itu. Dengan demikian, koleksi tersebut melengkapi beberapa inventarisasi
koleksi sebelumnya di wilayah Dongxiang yang mencapai 46 salinan
Alquran kuno.
Usaha dan tekad tersebut mendapat apresiasi Pemerintah setempat, bak gayung bersambut, Pemerintah Cina
membangun
Museum Alquran dengan teknologi canggih untuk menjaga ketahanan
lembaran-lembaran kuno dan mengurangi dari kerusakan karena usia,
kelembaban cuaca serta bakteri pada kertas.
Hal
ini tidak mengherankan, karena Cina merupakan salah satu negara di Asia
yang sangat menjunjung sejarahnya, menghargai peninggalan masa lalu,
menjaga warisan budaya, dan mengapresiasi dalam bentuk pengkajian yang
dapat dikembangkan untuk masa mendatang.
Sahabat tertua
Bagi
Aceh, Cina merupakan sahabat tertua, keduanya memiliki hubungan
historis yang sangat kuat, dan telah menjalin kerja sama di berbagai
bidang, termasuk hubungan dagang dan budaya sejak awal abad ke-9.
Persahabatan tersebut semakin mesra pada saat Laksamana Cheng Ho
menghadiahkan lonceng besar “Cakra Donya” untuk Sultan Pasai pada 1409 M
(812 H), yang kini tergantung megah di pelataran depan Museum Negeri
Aceh, di Banda Aceh.
Peranan
Samudera Pasai sebagai kerajaan Islam terbesar pada abad tersebut
menjelma menjadi pusat Islam Asia Tenggara, pusat perdagangan, transit
pelabuhan Internasional dan memiliki komiditi lada terbaik yang diekspor
ke India dan Cina. Sebaliknya, dari negeri tembok raksasa diimpor
barang-barang seperti kain sutera, keramik dan lainnya masuk ke Pasai.
Di
Aceh, Mushaf Alquran kuno dan manuskrip bukanlah hal langka, ada
sekitar 3.500 ribu lebih naskah kuno tersebar di Aceh yang sudah
teridentifikasi. Setengahnya tersimpan di Museum Aceh, sisanya di
Zawiyah Tanoh Abee dan kolektor pribadi masyarakat.
Sebagian
kondisinya terbengkalai dan mengkhawatirkan, karena tersimpan di
gudang, kolong atap meunasah atau mesjid, dan berserakan di rumah-rumah
masyarakat perawatan tradisional. Itu pun belum termasuk kategori
manuskrip Aceh di luar negeri yang terjual dan terjarah.
Mushaf
Alquran kuno Aceh dapat dikenali dari motif, bentuk, corak dan warna
hiasannya yang sangat khas dan terpadu. Gaya dan ciri khas iluminasi
(illumination) di dalam Mushaf Alquran Aceh tercermin dari motif hiasan
dan ukiran yang lebih didominasi warna merah, hitam dan kuning, yang
berbeda dengan motif dan khat Rasm Ustmani yang disebar pada abad ke-7
M.
Pencetus iluminasi
Oleh
karena itu, penyalinan Mushaf Alquran pertama kali dimulai di Aceh
untuk wilayah Melayu-Nusantara, sekitar abad ke-11 dan secara resmi abad
ke-13 periode Kesultanan Pasai, termasuk pencetus iluminasi yang
berbeda dari Mushaf di Timur Tengah, Turki Ustmani dan Afrika.
Setidaknya
ada tiga lembaga yang mengoleksi Alquran, seperti Museum Negeri Aceh
kurang lebih 38 Alquran, walaupun angka ini belum dapat dipastikan
secara mutlak. Kemudian, Museum Ali Hasjmy di Jalan Jend Sudirman, Banda
Aceh, menyimpan 20 Alquran, dan Zawiyah Tanoh Abee, Aceh Besar,
mengoleksi 23 Alquran.
Selain
di tiga tempat atau lembaga tersebut, di Aceh, sejumlah Alquran juga
dijaga kesuciannya dengan setia secara personal, yang sama bernilai dan
berharga, seperti koleksi Tarmizi A Hamid dan Harun Keuchik Leumik,
keduanya di Banda Aceh, Syahrial bin Zainun Idris di Aceh Besar, dan
lainnya yang belum terinvetarisir.
Sedangkan
di luar negeri, Alquran motif Aceh tersebar di beberapa negara Asia,
Arab dan Eropa. Malaysia telah mengoleksi tidak kurang dari 10 Alquran
di empat tempat berbeda. Demikian beberapa mushaf di Museum Brunei
Darussalam, dan puluhan koleksi Aceh di Belanda, terutama di Leiden,
Universiteitsbibliotheek dan Amsterdam.
Pertanyaannya,
apakah ada Mushaf Alquran bermotif Aceh di koleksi Cina? Kemungkinan
tersebut mungkin saja ada, mengingat hubungan sejarah keduanya sangat
harmonis dan kental pada masa lalu. Tentunya, akan lebih menarik untuk
didalami hubungan sejarah Alquran keduanya, pengaruh budaya dan
iluminasi Aceh di Cina, dan paling penting, tokoh-tokoh Aceh yang
berdakwah di Cina, termasuk penyalinan Mushaf Alquran kuno.
Akses informasi
Bercermin
kepada komitmen negeri Cina, kita akan melihat ketimpangan yang terjadi
di negeri kita. Fungsi Museum yang diharapkan dapat memberikan akses
informasi tentang masa lalu, ternyata dalam kenyataannya kini tidak
lebih dari seonggok gedung yang membisu.
Dengan
segudang dokumentasi dan naskah kuno yang dimiliki dan tersimpan di
dalamnya, tak mampu menjadi daya tarik bagi pengunjung dari dalam dan
luar negeri, serta tidak menjadi pilihan utama bagi para peneliti. Ini,
tentunya, disebabkan ada mekanisme dan birokrasi yang amburadul.
Persoalan
itu pun ditambah lagi dengan tidak adanya sumber daya manusia (SDM) di
bidang-bidang penting seperti ahli Mushaf Alquran, Iluminasi dan Seni
Islam, Filolog (pengkaji naskah) dan Kodikolog. Di sisi lain, koordinasi
antara beberapa lembaga terkait di bidang dokumentasi, informasi dan
kearsipan, khususnya untuk koleksi data naskah kuno masih nihil, bahkan
tidak ada.
Gedung-gedung
itu semakin semrawut manajemennya, apalagi tidak mendapat subsidi dan
alokasi dana yang cukup dari Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota,
terutama tidak ada kebijakan yang mendukung program-program tersebut.
Demikian
pula program wisata Islami Aceh yang digadang-gadangkan pemerintah
ternyata kerap menjadi sorotan, karena peninggalan dan warisan Islam di
Aceh sama sekali tidak terealisasi dan jauh dari perhatian pemda.