BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Pada masa
pembinaannya yang berlangsung pada zaman nabi Muhamad SAW, pendidikan Islam
berarti memasukkan ajaran-ajaran Islam kedalam unsur-unsur budaya. Ada beberapa
hal yang terjadi dalam pembinaan tersebut :
1.
Islam mendatangkan unsur-unsur yang sifatnya
memperkaya dan melengkapi unsur budaya yang telah ada.
2.
Islam mendatangkan suatu ajaran yang bersifat
meluruskan kembali ajaran-ajaran yang telah menyimpang dari ajaran aslinya.
3.
Islam memiliki ajaran yang sifatnya mengubah
kebuadayaan bangsa Arab yang sebelumnya banyak perbudakan, perjudian pemabukan
menjadi budaya yang bersih dari hal-hal tersebut.
4.
Islam mendatangkan ajaran baru yang belum ada
sebelumnya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan meningkatkan
perkembangan budayanya.
B.
Perumusan
Masalah
1.
Apa
yang diajarkan dalam pendidikan islam?
2.
Dimanakah
pusat-pusat pendidikan islam berkembang?
3.
Siapa
saja yang melakukan pengajaran islam?
4.
Kendala
apa saja yang dihadapi dalam mengajarkan islam?
C.
Tujuan
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah
1.
Supaya
kita dapat mengetahui proses pertumbuhan dan pendidikan islam
2.
Supaya
kita mengetahui pusat-pusat pendidikan islam
BAB II
PEMBAHASAN
PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN PENDIDIKAN ISLAM
Bersamaan
dengan perluasan daerah kekuasaan islam maka berkembang pula pusat-pusat
kegiatan pendidikan islam, baik bagi mereka yang baru masuk islam, bagi para
generasi muda, maupun bagi mereka yang akan memperdalam dan mengembangkan ilmu
pengetahuan dalam islam.
A.
Pusat-pusat
Pendidikan Islam
Seiring dengan
perkembangan penyampaian ajaran islam di luar madinah, maka dipusat-pusat
wilayah yang baru dikuasai oleh islam, berdirilah pusat-pusat pendidikan[1] yang
memberikan pengajaran agama islam pada para penduduk setempat maupun para
penduduk yang datang dari daerah lain. Para sahabat menyampaikan pendidikan
islam dalam bentuk kholaqoh di masjid atau tempat pertemuan lainnya yang berupa
khuttab ataupun madrasah.
Pada masa pertumbuhan islam, terdapat beberapa
madrasah yang terkenal, antara lain :
a.
Madrasah
Makkah
Guru pertama
yang mengajar di Mekkah, ialah Mu’ad bin Jabal. Beliau mengajarkan Al-Qur’an,
Hukum-hukum Hallal dan Haram, pada masa Khalifah Abdul Malik bin Narwah
(65-86), Abdullah bin Abbas pergi ke Makkah, lalu mengajar disana. Beliau mengajarkan
Tafsir, Hadist, Fiqih, dan Sastar. Diantara murid-murid Ibnu Abbas yang
menggatikannnya sebagai guru di Madrasah Makkah ini adalah : Mujahid bin
Jabbar, Atak bin Abu Rabah, dan Tawus bin Kaisan yang kemudian diteruskan oleh
murid-murid berikutnya, yang terkenal yaitu : Sufyan bin Uyainah dan Muslim bin
Khalid Al Zanji. Imam Syafi’i sebelum berguru ke Madinah pernah belajar di
Madrasah Mekkah kepada kedua ulama tersebut.
b.
Madrasah
Madinah
Madrasah
Madinah lebih termahsyur, karena disanalah tempat Khalifah Abu Bakar, Umar,
Usman, Ali dan disan banyak pula tinggal sahabat-sahabat Nabi Muhammad SAW. Di
antaranya Zaid bin Sabit dan Abdullah bin Umar, Zaid bin Sabit adalah seorang
ahli Qira at dan Fiqih dan beliaulah yang mendapatkan tugas memimpin penulisan
kebali Al-Qur’an di zaman Abu Bakar dan di zaman Usman bin Affan. Sedangkan
Abdullah bin Umar adalah seorang ahli hadist dan dianggap sebagai pelopor
mazhab Ahl al Hadist yang berkembang pada masa-masa berikutnya.
Setelah
ulama-ulama tersebut wafat, kemudian digantikan oleh murid-muridnya (tabi’in),
yang terkenal adalah: Sa’ad bin Musayab dan Urwah bin Al Zubair bin Al Awwan,
yang pada generasi berikutnya muncul ahli hadist dan fiqih Ibn Syihab Al Zuhri.
c.
Madrasah
Basrah
Ulama sahabat
yang terkenal di Basrah ialah Abu Musa Al Asy’ari dan Anas bin Malik. Diantara
guru-guru yang terkenal adalah : Hasan Al Basri dan Ibn Sirih. Hasan Al Basri
adalah perintis madzhab Ahl Al Sunnah dalam lapangan iIlmu Kalam. Sedangkan Ibn
Sirin adalah seorang pelajar Kufah melawat ke Syam, sedangkan pelajar Syam
melawat kian kemari dan seterusnya. Dengan demikian dunia ilmu pengetahuan
islam tersebar keseluruh kota-kota di negeri Islam[2]
d.
Madrasah Kufah
Ulma sahabat
yang terkenal adalah Ali bin Abi Tahlib yang mengusrui masalah politik dan
pemerintahan, dan Abdullah bin Mas’ud sebagai guru agama yang diutus langsung
oleh khalifah Umar, disamping itu beliau adalah seorang ahli fiqih, tafsir dan
banyak meriwayatkan hadits-hadits Rasulullah SAW.
e.
Madrasah Damsyik
Setelah negeri
Syam menjadi bagian dari negeri islam, maka khalifah Umar bin Khattab
mengirimkan tiga guru agama yang ditempatkan pada tempat yang berbeda, antara
lain Muadz bin Jabal di Palestina, Abu Dardak di Damsyik, dan Ubadah di Hims.
Madrasah ini juga mampu melahirkan imam penduduk syam Abdurrahman Al-Auza’i
yang ilmunya sederajat dengan Imam Malik dan Abu Hanifah.
f.
Madrsah Fistat
Sahabat yang
semula mendirikan madrasah ini adalah Abdullah bin Amr Al-As merupakan seorang
yang ahli dalam ilmu hadits. Kemudian guru yang termasyhur setelah nya adalah
Yazid bin Abu Habib Al-Nuby dan Abdillah bin Abu Ja’far bi Rabi’ah.
B.
Pengajaran
Al-Qur’an
Nabi Muhammad
SAW telah dengan sempurna menyampaikan Al-Qur’an kepada para sahabat, dan telah
sempurna pula memberikan hadist atau penjelasan-penjelasan menurut keperluannya
pada masa itu.
Setelah Nabi
Muhammad SAW wafat dan islam berkembang secara luas dan diterima oleh
bangsa-bangsa di luar bangsa Arab. Maka situasipun berubah. Sumber pengajaran
Al-Qur’an dan Hadist pada masa ini adalah para sahabat. Mereka pula yang
bertanggung jawab untuk mengajarkan Al-Qur’an memberikan pengertian dan
penjelasan agar isi kandungan Al-Qur’an dapat dipahami oleh orang-orang yang
baru masuk islam, mereka bertanggung jawab untuk memberikan contoh tentang cara
mempraktekan ajaran agama islam dalam kehidupan sehari-hari. Fungsi yang sama
berlaku pula untuk anak-anak dan generasi muda, agar mereka nantinya mampu
mengemban tugas sebagai pewaris ajaran agama islam supaya mampu mengembangkan
dan mengajarkannya keseluruh umat manusia.
Problema
pertama yang dihadapi oleh para sahabat dalam pengajara Al-Qur’an adalah
menyangkut Al-Qur’an itu sendiri karena pada zaman ini belum dikumpulkan dalam
satu mushaf sebagaimana yang kita lihat seperti saat ini, pada zaman ini
Al-Qur’an masih dalam bentuk hafalan-hafalan para sahabat, tetapi tidak semua
sahabat itu hafal Al-Qur’an, dan banyak para sahabat yang hafal Al-Qur’an mati
syahid[3]
dalam peperangan sehingga semakin berkurangnya nara sumber pengajar Al-Qur’an.
Karena khawatir akan hal tersebut Umar bin Khatab kemudian membicarakannnya
dengan Khalifah Abu Bakar kemudian Khaifah Abu Bakar menetujui usulan dari Umar
bin Khatab yang dilanjutkan dengan menyuruh Zaid bin Tsabit mengumpulkan
ayat-ayat Al-Qur’an. Kemudiah beliau mengumpulkan ayat-ayat Al-Qur’an dari
daun, pelepah kurma, tanah keras, tulang unta, tulang kambing, dan dari para
sahabat yang hafal Al-Qur’an[4].
Problema yang
muncul selanjutnya adalah masalah pembacaan (qira’at). Al-Qur’an adalah bacaan
dalam bahasa Arab. Jadi, mereka yang tidak berbahasa Arab harus menyesuaikan
lidahnya dengan lidah orang Arab. Hal ini memerlukan proses dan waktu, menuntut
ketekunan dan kesabaran para sahabat yang mengajarkan Al-Qur’an, oleh karena
itu setiap pengajaran Al-Qur’an selalu dibarengi dengan pengajaran bahasa Arab
secara sederhana.
Problema qira’at
tersebut semakin nampak setelah terjadi komunikasi antara kaum muslimin dari
satu daerah dengan daerah yang lain, yang mendapatkan pengajaran dari
sahabat-sahabat yang berbeda. Para sahabat mengajarkan qira’at menurut bacaan
(qira’at) dengan dialek (lahjah) masing-masing. Penggunaan latjah yang
berbeda-beda tidaklah menjadi masalah selama masih dalam lingkungan kaum
muslimin yang berbahasa Arab. Dan Rasulullah SAW pun memperkenankan hal yang
demikian. Tetapi setelah Al-Qur’an di terima dan dihafal oleh kaum muslimin
yang tidak berbahasa Arab, maka kaum muslimin dari satu daerah yang diajarkan
dengan satu dialek, akan merasa asing dengan bacaan Al-Qur’an kaum muslimin
yang berasal dari daerah yang lainnya karena menggunakan dialek yang berbeda.
Kemudian timbul perselisihan dalam pembacaan qira’at karena masing-masing
daerah menganggap bahwa bacaan mereka yang paling benar dan yang lainnya salah.
Hal ini
disadari pada masa Khalifah Usman bin Affan dan sahabat yang mula-mula
memperhatikan adanya pertikaiyan umat Islam dalam hal pembacaan Al-Qur’an
tersebut adalah Huzaifah bin Yaman, sewaktu beliau ikut dalam pertempuran di
Armenia dan Azerbeijan. Selama dalam perjalanan beliau mendengar pertikaian
antara kaum muslimin tentang bacaan Al-Qur’an dan saling mempertahankan
kebenaran bacaan masing-masing. Setelah kembali ke Madinah, Huzaifah segera
menemui khalifah Usman bin Affan dan mengusulkan agar Khalifah segera mengatasi
perselisihan antar umat islam dalam hal pembacaan Al-Qur’an tersebut.
Khalifah Usman
bi Affan kemudian meminjam naskah atau lembaran-lembaran Al-Qur’an yang telah
ditulis pada zaman Khalifah Abu Bakar yang disimpan oleh Hafsah binti Umar,
untuk ditulis kembali oleh panitia yang ditunjuk olehnya, panitia tersebut
diketuai oleh Zaid bin Tsabit (penulis ayat-ayat Al-Qur’an pada zaman Nabi
Muhammad SAW dan pada zaman Khalifah Abu Bakar) dengan anggota : Abdullah bin
Zubair bin Ash dan Abdurrahman bin Haris. Dalam tugas menuliskan kembali
Al-Qur’an tersebut, Khalifah Usman memerintahkan untuk mengambil pedoman kepada
bacaan mereka yang hafal Al-Qur’an dan kalau ada pertikaian antara mereka tentang
bacaan tersebut, maka haruslah dituliskan berdasarkan dialek suku Quraisy,
sebab Al-Qur’an itu diturunkan menurut dialek merekan.
Al-Qur’an yang
dibukukan dinamakan Al-Mushaf dan dibuat sebanyak lima buah mushaf yang
kemudian dikirimkan ke Makkah, Syria, Basrah, dan Kufah sedangkan yang satu
tetap dipegang Khalifah sendiri di Madinah, Khalifah Usman memerintahkan supaya
umat islam berpegang kepada mushaf yang lima itu, baik dalam pembacaan dan
penyalinan berikutnya.
Dengan demikian
manfaat pembukuan Al-Qur’an di masa Khalufah Usman bin Affan adalah :
a.
Menyatukan
kaum muslimin pada satu macam mushaf yang seragam ejaan dan tulisannya
b.
Menyatukan
bacaan, dan walaupun masih terjadi perbedaanya. Namun harus tidak berlawanan
dengan ejaan mushaf usmani. Dan bacaan-bacaan yang tidak sesuai tidak
diperbolehkan
c.
Menyatukan
tertib susunan surat-surat, menurut tertib urut seperti pada mushaf-mushaf
sekarang[5].
Sejak itulah
pengajaran Al-Qur’an secara berangsur-angsur menjadi satu sebagaimana yang
tertulis dalam mushaf usmani, dan yang lainnya ditetapkan tidak sah dan
akhirnya ditinggalkan.
Untuk
memudahkan pengajaran Al-Qur’an bagi kaum muslimin yang tidak berbahasa Arab,
maka para guru Al-Qur’an telah mengusahakan antara lain :
a.
Mengembangkan
cara membaca Al-Qur’an dengan baik yang kemudian memunculkan ilmu Tajwid
Al-Qur’an.
b.
Meneliti
cara membaca Al-Qur’an (qira’at) yang telah berkembang pada masa itu, mana-mana
yang sah dan sesuai dengan bacaan yang tertulis dalam mushaf, dan mana-mana
yang tidak sah. Hal ini kemudian memunculkan ilmu qira’at, yang kemudin kita
kenal dengan Qira’at al Sab’ah.
c.
Memberikan
tanda-tanda baca dalam tulisan mushaf sehingga menjadi mudah dibaca dengan
benar bagi mereka yang baru belajar membaca Al-Qur’an.
d.
Memberikan
penjelasan tentang maksud dan pengertian yang dikandung oleh ayat-ayat
Al-Qur’an yang diajarkan yang kemudian berkembang menjadi Ilmu Tafsir.
Oleh karena
itu, pengajaran bahasa Arab, dengan kaidah-kaidahnya, selalu menyertai
pengajaran Al-Qur’an kepada kaum muslimin non Arab, dengan tujuan agar mereka
mudah membaca dan kemudian memahami Al-Qur’an yang mereka pelajari. Akhirnya
Al-Qur’an secara utuh, baik bacaan, tulisan, maupun pengertiannya menjadi milik
dan merupakan bagian yang tak terpisahkan dari nilai budaya mereka, dan
diharapkan mereka mampu mengembangkan dan mewariskannya kepada generasi
berikutnya
C.
Pertumbuhan
dan Perkembangan Kebudayaan Islam.
Pendidikan
islam pada dasarnya adalah mewariskan nilai kebudayaan islam kepada generasi
muda dan mengembangkannya sehingga mencapai dan memberikan manfaat maksimal
bagi hidup dan kehidupan manusia sesuai dengan tingkat perkembangannya. Jika
perkembangan pendidikan islam pada masa Rasulullah adalah merupakan masa
penyemaian niali kebudayaan islam kedalam sistem kebudayaan bangsa Arab, maka
pendidikan islam yang telah berkembang pada saat ini adalah merupakan pemupukan
secara luas nilai dan kebudayaan islam agar tumbuh dengan subur dalam
lingkukngan yang lebih luas.
Islam adalah
agama fitrah, agama yang berdasarkan potensi dasar manusiawi dengan landasan
petunjuk Allah. Pendidikan islam berarti menumbuhkan dan mengembangkan potensi
fitrah tersebut, dan mewujudkannya dalam sistem budaya manusiawi yang islami.
Sehingga wajar apabila islam menerima budaya yang sesuai ajaran islam dan
menolak semua budaya yang menyimpang dari ajaran yang islami lalu menggantinya
dengan ajaran yang baru yang bersifat islami.
Masalah yang
pertama dialami oleh para sahabat begitu rasulullah wafat ialah siapa dan
bagaimana pengganti yang menggantikannya. Berbagai pandangan berkembang
dikalangan sahabat tentang siapa yang berhak menggantikan Rasulullah SAW
sebagai pemegang kekuasaan tertiggi. Ali bin Abi Thalib pun merasa berhak
menggantikan nabi karna faktor pewarisan, namun para sahabat sepakat menunjuk
Abu Bakar sebagai kholifah pengganti Rasulullah.
Setelah
Mu’awiyah berhasil merebut kekuasaan pada masa Ali, maka sistem politik
mengalami perubahan dengan banyak dipengaruhi oleh kekuasaan raj-raja Romawi.
Dengan berkembangnya sistem politik ini, berkembang pulalah pola dan corak
kehidupan masyarakatnya. Pola kehidupan yang lama ingin dipertahankan oleh
masyarakat, sehingga menimbulkan banyak permasalahan yang membuat para sahabat
terpaksa untuk membuat ketentuan hukum.
Sebenarnya Rasulullah
telah memberikan pedoman untuk menentukan memberikan keputusan hukum terhadap
masalah-masalah baru yang berkembang dalam kehidupan masyarakat. Yang terang
kum dalam sebuah hadits yang meriwayatkan tentang percakan Rasul dengan Muadz
bin Jabal ketika ia diangkat sebagai hakim di kota Syam.
Petunjuk nabi
Muhamad tersebut adalah dalam memberikan keputusan hukum tersebut adalah
pertama-tama hendaknya dicari ketetapan hukumnya dalam Al-Qur’an, jika tidak
ada hendaknya dicari dalam As-sunnah atau hadits, dan apa bila tetap tidak
menemukan maka menggunakan fikiran yang berupa ijtihad untuk memberikan
ketentuan hukum.
Dalam praktenya
ternyata para sahabat tetap merasa kesulitan dalam menentukan hukum, disamping
Al-Qur’an hanya menjelaskan ketentuan hukum secara umum, ternya para sahabat
juga memiliki masalah dalam menentukan hadits yang sesuai, karena para sahabat
tidak semuanya menghafal hadits. Suatu perkara tersebut menjadi sangat jelas
ketika terdapat permasalah yang jauh dari para sahabat. Sehingga timbullah
pertanyaan tentang bagaimana pengunaan ra’yu ijtihad.
Dalam
berijtihad kemudian berkembang dua pola, yakni Ahl Al-Hadits dalam memberikan
ketentuan hukum sangat bertegangan dengan hadits-hadits Rasulullah, sehingga
bagaimanapun mereka berusaha mendapatkan hadits-hadits tersebut dari
sahabat-sahabat yang lain. Sehingga terjadilah usaha pengumpulan hadits-hadits
pada masa Khalifah Umar bin Abdul Azis.
Kemudian pola
yang kedua adalah yang dikembangkan oleh Ahl Ar-ra’yu (ahli fikir). Mereka ini
karena keterbatasan hadits yang mereka terima dan terdapatnya banyak hadits
palsu, sehingga mereka hanya menerima hadits-hadits yang sokheh saja dan lebih
banyak menggunakan ra’yu dalam berijtihad. Sehingga ra’yu mendorong terhadap
penelitian tentang hadits, yang kemudian lahirlah ilmu hadits.
Berhadapan
dengan pemikiran teologis dari orang kristen yang ingin merusak ajaran islam,
maka dalah islam berkembanglah ilmu teologi yang semula digunakan khusus untuk
melawan pemikiran teologis dari orang kristen, yang dikenal dengan ilmu kalam.
Kemudian ilmu kalam ini berkembang menjadi ilmu yang membahas tentang berbagai
pola pemikiran yang berkembang dalam dunia islam.
Pada garis
besarnya, pemikiran islam dalam pertumbuhannya muncul dalam tiga pola, yaitu :
- Pola pemikiran yang bersifat skolastik, yang terikat pada dogma-dogma dan berfikir dalam rangka mencari pembenaran terhadap dogma-dogma agama. Pola pikir ini terikat pada ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits.menurut pola pemikiran ini, kebenaran hanyalah didapat dari wahyu sedangkan akal berfungsi sebagai alat penerimanya.
- Pola pemikiran yang bersifat rasional, yang lebih mengutamakan akal fikiran. Pola fikir ini menganggap bahwa akal fikiran sebagaimana juga halnya dengan wahyu, adalah merupakan sumber kebenaran. Akal digunakan sebagai alat untuk mencari kebenaran sedangkan wahyu hanya digunakan sebagai penunjang untuk mencari kebenaran.
- Pola berfikir yang bersifat batiniyah dan intuitif yang berasal dari mereka yang mempunyai pola kehidupan sufitis. Menurut pemikiran ini kebenaran yang tertinggi adalah diperoleh dari pengalaman-pengalaman batin dalam kehidupan yang mistis dan dengan jalan berkontemplasi. Dalam proses pemikiran ini, seorang yang ingin mendapatkan kebenaran harus melalui beberapa tahapan.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari uraian
makalah kami, nampak bahwa keluasan wilayah kekuasaan islam dan banyaknya
wilayah-wilayah yang memeluk islam sehingga menjadi semakin luas pula ruang
perkembangan kebudayaan yang islami. Bermacam-macam ilmu pengetahuan tumbuh
yang pada mulanya behubungan erat dengan mengajarkan Al-Qur’an, kemudian meluas
kebidang hukum fiqih dengan berbagai madzhab yang ditimbulkannya. Dibidang
pemikiran Islam berkembang berbagai pola yang merupakan pengembangan yang lebih
luas dari ajaran-ajaran Islam yang bersumber dari Al-Qur’an dan Hadist Nabi
Muhammad SAW.
B.
Kritik dan Saran
Demikianlah makalah tentang pertumbuhan dan perkembangan pendidikan islam, semoga dapat
bermanfaat bagi kita semua, atas kesalahan dalam penulisan makalah ini kami mohon maaf,
selanjutnya kritik dan saran sangat kami harapkan demi
kesempurnaan makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA
1.
Dudung
Abdurrahman, Sejarah Peradaban Islam,2010. Jakarta: Rajawali Pers
2.
Fahidin,
Fuad Muhammad, Perkembangan Kebudayaan Islam, 1985. Jakarta: Bulan
Bintang
3.
Zuhairini
dkk, Sejarah Pendidikan Islam, 1995, Jakarta: Bumi Aksara