Sabtu, 10 Januari 2015

Sejarah Pendidikan Islam (Pusat-pusat Pend Islam, Sistem Pengajaran al-qur'an, dan Perkembangan Kebudayaan islam)

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
Pada masa pembinaannya yang berlangsung pada zaman nabi Muhamad SAW, pendidikan Islam berarti memasukkan ajaran-ajaran Islam kedalam unsur-unsur budaya. Ada beberapa hal yang terjadi dalam pembinaan tersebut :
1.      Islam mendatangkan unsur-unsur yang sifatnya memperkaya dan melengkapi unsur budaya yang telah ada.
2.      Islam mendatangkan suatu ajaran yang bersifat meluruskan kembali ajaran-ajaran yang telah menyimpang dari ajaran aslinya.
3.      Islam memiliki ajaran yang sifatnya mengubah kebuadayaan bangsa Arab yang sebelumnya banyak perbudakan, perjudian pemabukan menjadi budaya yang bersih dari hal-hal tersebut.
4.      Islam mendatangkan ajaran baru yang belum ada sebelumnya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan meningkatkan perkembangan budayanya.
B.     Perumusan Masalah
1.      Apa yang diajarkan dalam pendidikan islam?
2.      Dimanakah pusat-pusat pendidikan islam berkembang?
3.      Siapa saja yang melakukan pengajaran islam?
4.      Kendala apa saja yang dihadapi dalam mengajarkan islam?
C.     Tujuan
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah
1.      Supaya kita dapat mengetahui proses pertumbuhan dan pendidikan islam
2.      Supaya kita mengetahui pusat-pusat pendidikan islam
BAB II
PEMBAHASAN
PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN PENDIDIKAN ISLAM
Bersamaan dengan perluasan daerah kekuasaan islam maka berkembang pula pusat-pusat kegiatan pendidikan islam, baik bagi mereka yang baru masuk islam, bagi para generasi muda, maupun bagi mereka yang akan memperdalam dan mengembangkan ilmu pengetahuan dalam islam.
A.    Pusat-pusat Pendidikan Islam
Seiring dengan perkembangan penyampaian ajaran islam di luar madinah, maka dipusat-pusat wilayah yang baru dikuasai oleh islam, berdirilah pusat-pusat pendidikan[1] yang memberikan pengajaran agama islam pada para penduduk setempat maupun para penduduk yang datang dari daerah lain. Para sahabat menyampaikan pendidikan islam dalam bentuk kholaqoh di masjid atau tempat pertemuan lainnya yang berupa khuttab ataupun madrasah.
Pada masa pertumbuhan islam, terdapat beberapa madrasah yang terkenal, antara lain :
a.       Madrasah Makkah
Guru pertama yang mengajar di Mekkah, ialah Mu’ad bin Jabal. Beliau mengajarkan Al-Qur’an, Hukum-hukum Hallal dan Haram, pada masa Khalifah Abdul Malik bin Narwah (65-86), Abdullah bin Abbas pergi ke Makkah, lalu mengajar disana. Beliau mengajarkan Tafsir, Hadist, Fiqih, dan Sastar. Diantara murid-murid Ibnu Abbas yang menggatikannnya sebagai guru di Madrasah Makkah ini adalah : Mujahid bin Jabbar, Atak bin Abu Rabah, dan Tawus bin Kaisan yang kemudian diteruskan oleh murid-murid berikutnya, yang terkenal yaitu : Sufyan bin Uyainah dan Muslim bin Khalid Al Zanji. Imam Syafi’i sebelum berguru ke Madinah pernah belajar di Madrasah Mekkah kepada kedua ulama tersebut.
b.      Madrasah Madinah
Madrasah Madinah lebih termahsyur, karena disanalah tempat Khalifah Abu Bakar, Umar, Usman, Ali dan disan banyak pula tinggal sahabat-sahabat Nabi Muhammad SAW. Di antaranya Zaid bin Sabit dan Abdullah bin Umar, Zaid bin Sabit adalah seorang ahli Qira at dan Fiqih dan beliaulah yang mendapatkan tugas memimpin penulisan kebali Al-Qur’an di zaman Abu Bakar dan di zaman Usman bin Affan. Sedangkan Abdullah bin Umar adalah seorang ahli hadist dan dianggap sebagai pelopor mazhab Ahl al Hadist yang berkembang pada masa-masa berikutnya.
Setelah ulama-ulama tersebut wafat, kemudian digantikan oleh murid-muridnya (tabi’in), yang terkenal adalah: Sa’ad bin Musayab dan Urwah bin Al Zubair bin Al Awwan, yang pada generasi berikutnya muncul ahli hadist dan fiqih Ibn Syihab Al Zuhri.
c.       Madrasah Basrah
Ulama sahabat yang terkenal di Basrah ialah Abu Musa Al Asy’ari dan Anas bin Malik. Diantara guru-guru yang terkenal adalah : Hasan Al Basri dan Ibn Sirih. Hasan Al Basri adalah perintis madzhab Ahl Al Sunnah dalam lapangan iIlmu Kalam. Sedangkan Ibn Sirin adalah seorang pelajar Kufah melawat ke Syam, sedangkan pelajar Syam melawat kian kemari dan seterusnya. Dengan demikian dunia ilmu pengetahuan islam tersebar keseluruh kota-kota di negeri Islam[2]
d.      Madrasah Kufah
Ulma sahabat yang terkenal adalah Ali bin Abi Tahlib yang mengusrui masalah politik dan pemerintahan, dan Abdullah bin Mas’ud sebagai guru agama yang diutus langsung oleh khalifah Umar, disamping itu beliau adalah seorang ahli fiqih, tafsir dan banyak meriwayatkan hadits-hadits Rasulullah SAW.
e.       Madrasah Damsyik
Setelah negeri Syam menjadi bagian dari negeri islam, maka khalifah Umar bin Khattab mengirimkan tiga guru agama yang ditempatkan pada tempat yang berbeda, antara lain Muadz bin Jabal di Palestina, Abu Dardak di Damsyik, dan Ubadah di Hims. Madrasah ini juga mampu melahirkan imam penduduk syam Abdurrahman Al-Auza’i yang ilmunya sederajat dengan Imam Malik dan Abu Hanifah.
f.       Madrsah Fistat
Sahabat yang semula mendirikan madrasah ini adalah Abdullah bin Amr Al-As merupakan seorang yang ahli dalam ilmu hadits. Kemudian guru yang termasyhur setelah nya adalah Yazid bin Abu Habib Al-Nuby dan Abdillah bin Abu Ja’far bi Rabi’ah.
B.     Pengajaran Al-Qur’an
Nabi Muhammad SAW telah dengan sempurna menyampaikan Al-Qur’an kepada para sahabat, dan telah sempurna pula memberikan hadist atau penjelasan-penjelasan menurut keperluannya pada masa itu.
Setelah Nabi Muhammad SAW wafat dan islam berkembang secara luas dan diterima oleh bangsa-bangsa di luar bangsa Arab. Maka situasipun berubah. Sumber pengajaran Al-Qur’an dan Hadist pada masa ini adalah para sahabat. Mereka pula yang bertanggung jawab untuk mengajarkan Al-Qur’an memberikan pengertian dan penjelasan agar isi kandungan Al-Qur’an dapat dipahami oleh orang-orang yang baru masuk islam, mereka bertanggung jawab untuk memberikan contoh tentang cara mempraktekan ajaran agama islam dalam kehidupan sehari-hari. Fungsi yang sama berlaku pula untuk anak-anak dan generasi muda, agar mereka nantinya mampu mengemban tugas sebagai pewaris ajaran agama islam supaya mampu mengembangkan dan mengajarkannya keseluruh umat manusia.
Problema pertama yang dihadapi oleh para sahabat dalam pengajara Al-Qur’an adalah menyangkut Al-Qur’an itu sendiri karena pada zaman ini belum dikumpulkan dalam satu mushaf sebagaimana yang kita lihat seperti saat ini, pada zaman ini Al-Qur’an masih dalam bentuk hafalan-hafalan para sahabat, tetapi tidak semua sahabat itu hafal Al-Qur’an, dan banyak para sahabat yang hafal Al-Qur’an mati syahid[3] dalam peperangan sehingga semakin berkurangnya nara sumber pengajar Al-Qur’an. Karena khawatir akan hal tersebut Umar bin Khatab kemudian membicarakannnya dengan Khalifah Abu Bakar kemudian Khaifah Abu Bakar menetujui usulan dari Umar bin Khatab yang dilanjutkan dengan menyuruh Zaid bin Tsabit mengumpulkan ayat-ayat Al-Qur’an. Kemudiah beliau mengumpulkan ayat-ayat Al-Qur’an dari daun, pelepah kurma, tanah keras, tulang unta, tulang kambing, dan dari para sahabat yang hafal Al-Qur’an[4].
Problema yang muncul selanjutnya adalah masalah pembacaan (qira’at). Al-Qur’an adalah bacaan dalam bahasa Arab. Jadi, mereka yang tidak berbahasa Arab harus menyesuaikan lidahnya dengan lidah orang Arab. Hal ini memerlukan proses dan waktu, menuntut ketekunan dan kesabaran para sahabat yang mengajarkan Al-Qur’an, oleh karena itu setiap pengajaran Al-Qur’an selalu dibarengi dengan pengajaran bahasa Arab secara sederhana.
Problema qira’at tersebut semakin nampak setelah terjadi komunikasi antara kaum muslimin dari satu daerah dengan daerah yang lain, yang mendapatkan pengajaran dari sahabat-sahabat yang berbeda. Para sahabat mengajarkan qira’at menurut bacaan (qira’at) dengan dialek (lahjah) masing-masing. Penggunaan latjah yang berbeda-beda tidaklah menjadi masalah selama masih dalam lingkungan kaum muslimin yang berbahasa Arab. Dan Rasulullah SAW pun memperkenankan hal yang demikian. Tetapi setelah Al-Qur’an di terima dan dihafal oleh kaum muslimin yang tidak berbahasa Arab, maka kaum muslimin dari satu daerah yang diajarkan dengan satu dialek, akan merasa asing dengan bacaan Al-Qur’an kaum muslimin yang berasal dari daerah yang lainnya karena menggunakan dialek yang berbeda. Kemudian timbul perselisihan dalam pembacaan qira’at karena masing-masing daerah menganggap bahwa bacaan mereka yang paling benar dan yang lainnya salah.
Hal ini disadari pada masa Khalifah Usman bin Affan dan sahabat yang mula-mula memperhatikan adanya pertikaiyan umat Islam dalam hal pembacaan Al-Qur’an tersebut adalah Huzaifah bin Yaman, sewaktu beliau ikut dalam pertempuran di Armenia dan Azerbeijan. Selama dalam perjalanan beliau mendengar pertikaian antara kaum muslimin tentang bacaan Al-Qur’an dan saling mempertahankan kebenaran bacaan masing-masing. Setelah kembali ke Madinah, Huzaifah segera menemui khalifah Usman bin Affan dan mengusulkan agar Khalifah segera mengatasi perselisihan antar umat islam dalam hal pembacaan Al-Qur’an tersebut.
Khalifah Usman bi Affan kemudian meminjam naskah atau lembaran-lembaran Al-Qur’an yang telah ditulis pada zaman Khalifah Abu Bakar yang disimpan oleh Hafsah binti Umar, untuk ditulis kembali oleh panitia yang ditunjuk olehnya, panitia tersebut diketuai oleh Zaid bin Tsabit (penulis ayat-ayat Al-Qur’an pada zaman Nabi Muhammad SAW dan pada zaman Khalifah Abu Bakar) dengan anggota : Abdullah bin Zubair bin Ash dan Abdurrahman bin Haris. Dalam tugas menuliskan kembali Al-Qur’an tersebut, Khalifah Usman memerintahkan untuk mengambil pedoman kepada bacaan mereka yang hafal Al-Qur’an dan kalau ada pertikaian antara mereka tentang bacaan tersebut, maka haruslah dituliskan berdasarkan dialek suku Quraisy, sebab Al-Qur’an itu diturunkan menurut dialek merekan.
Al-Qur’an yang dibukukan dinamakan Al-Mushaf dan dibuat sebanyak lima buah mushaf yang kemudian dikirimkan ke Makkah, Syria, Basrah, dan Kufah sedangkan yang satu tetap dipegang Khalifah sendiri di Madinah, Khalifah Usman memerintahkan supaya umat islam berpegang kepada mushaf yang lima itu, baik dalam pembacaan dan penyalinan berikutnya.
Dengan demikian manfaat pembukuan Al-Qur’an di masa Khalufah Usman bin Affan adalah :
a.       Menyatukan kaum muslimin pada satu macam mushaf yang seragam ejaan dan tulisannya
b.      Menyatukan bacaan, dan walaupun masih terjadi perbedaanya. Namun harus tidak berlawanan dengan ejaan mushaf usmani. Dan bacaan-bacaan yang tidak sesuai tidak diperbolehkan
c.       Menyatukan tertib susunan surat-surat, menurut tertib urut seperti pada mushaf-mushaf sekarang[5].
Sejak itulah pengajaran Al-Qur’an secara berangsur-angsur menjadi satu sebagaimana yang tertulis dalam mushaf usmani, dan yang lainnya ditetapkan tidak sah dan akhirnya ditinggalkan.
Untuk memudahkan pengajaran Al-Qur’an bagi kaum muslimin yang tidak berbahasa Arab, maka para guru Al-Qur’an telah mengusahakan antara lain :
a.       Mengembangkan cara membaca Al-Qur’an dengan baik yang kemudian memunculkan ilmu Tajwid Al-Qur’an.
b.      Meneliti cara membaca Al-Qur’an (qira’at) yang telah berkembang pada masa itu, mana-mana yang sah dan sesuai dengan bacaan yang tertulis dalam mushaf, dan mana-mana yang tidak sah. Hal ini kemudian memunculkan ilmu qira’at, yang kemudin kita kenal dengan Qira’at al Sab’ah.
c.       Memberikan tanda-tanda baca dalam tulisan mushaf sehingga menjadi mudah dibaca dengan benar bagi mereka yang baru belajar membaca Al-Qur’an.
d.      Memberikan penjelasan tentang maksud dan pengertian yang dikandung oleh ayat-ayat Al-Qur’an yang diajarkan yang kemudian berkembang menjadi Ilmu Tafsir.
Oleh karena itu, pengajaran bahasa Arab, dengan kaidah-kaidahnya, selalu menyertai pengajaran Al-Qur’an kepada kaum muslimin non Arab, dengan tujuan agar mereka mudah membaca dan kemudian memahami Al-Qur’an yang mereka pelajari. Akhirnya Al-Qur’an secara utuh, baik bacaan, tulisan, maupun pengertiannya menjadi milik dan merupakan bagian yang tak terpisahkan dari nilai budaya mereka, dan diharapkan mereka mampu mengembangkan dan mewariskannya kepada generasi berikutnya
C.     Pertumbuhan dan Perkembangan Kebudayaan Islam.
Pendidikan islam pada dasarnya adalah mewariskan nilai kebudayaan islam kepada generasi muda dan mengembangkannya sehingga mencapai dan memberikan manfaat maksimal bagi hidup dan kehidupan manusia sesuai dengan tingkat perkembangannya. Jika perkembangan pendidikan islam pada masa Rasulullah adalah merupakan masa penyemaian niali kebudayaan islam kedalam sistem kebudayaan bangsa Arab, maka pendidikan islam yang telah berkembang pada saat ini adalah merupakan pemupukan secara luas nilai dan kebudayaan islam agar tumbuh dengan subur dalam lingkukngan yang lebih luas.
Islam adalah agama fitrah, agama yang berdasarkan potensi dasar manusiawi dengan landasan petunjuk Allah. Pendidikan islam berarti menumbuhkan dan mengembangkan potensi fitrah tersebut, dan mewujudkannya dalam sistem budaya manusiawi yang islami. Sehingga wajar apabila islam menerima budaya yang sesuai ajaran islam dan menolak semua budaya yang menyimpang dari ajaran yang islami lalu menggantinya dengan ajaran yang baru yang bersifat islami.
Masalah yang pertama dialami oleh para sahabat begitu rasulullah wafat ialah siapa dan bagaimana pengganti yang menggantikannya. Berbagai pandangan berkembang dikalangan sahabat tentang siapa yang berhak menggantikan Rasulullah SAW sebagai pemegang kekuasaan tertiggi. Ali bin Abi Thalib pun merasa berhak menggantikan nabi karna faktor pewarisan, namun para sahabat sepakat menunjuk Abu Bakar sebagai kholifah pengganti Rasulullah.
Setelah Mu’awiyah berhasil merebut kekuasaan pada masa Ali, maka sistem politik mengalami perubahan dengan banyak dipengaruhi oleh kekuasaan raj-raja Romawi. Dengan berkembangnya sistem politik ini, berkembang pulalah pola dan corak kehidupan masyarakatnya. Pola kehidupan yang lama ingin dipertahankan oleh masyarakat, sehingga menimbulkan banyak permasalahan yang membuat para sahabat terpaksa untuk membuat ketentuan hukum.
Sebenarnya Rasulullah telah memberikan pedoman untuk menentukan memberikan keputusan hukum terhadap masalah-masalah baru yang berkembang dalam kehidupan masyarakat. Yang terang kum dalam sebuah hadits yang meriwayatkan tentang percakan Rasul dengan Muadz bin Jabal ketika ia diangkat sebagai hakim di kota Syam.
Petunjuk nabi Muhamad tersebut adalah dalam memberikan keputusan hukum tersebut adalah pertama-tama hendaknya dicari ketetapan hukumnya dalam Al-Qur’an, jika tidak ada hendaknya dicari dalam As-sunnah atau hadits, dan apa bila tetap tidak menemukan maka menggunakan fikiran yang berupa ijtihad untuk memberikan ketentuan hukum.
Dalam praktenya ternyata para sahabat tetap merasa kesulitan dalam menentukan hukum, disamping Al-Qur’an hanya menjelaskan ketentuan hukum secara umum, ternya para sahabat juga memiliki masalah dalam menentukan hadits yang sesuai, karena para sahabat tidak semuanya menghafal hadits. Suatu perkara tersebut menjadi sangat jelas ketika terdapat permasalah yang jauh dari para sahabat. Sehingga timbullah pertanyaan tentang bagaimana pengunaan ra’yu ijtihad.
Dalam berijtihad kemudian berkembang dua pola, yakni Ahl Al-Hadits dalam memberikan ketentuan hukum sangat bertegangan dengan hadits-hadits Rasulullah, sehingga bagaimanapun mereka berusaha mendapatkan hadits-hadits tersebut dari sahabat-sahabat yang lain. Sehingga terjadilah usaha pengumpulan hadits-hadits pada masa Khalifah Umar bin Abdul Azis.
Kemudian pola yang kedua adalah yang dikembangkan oleh Ahl Ar-ra’yu (ahli fikir). Mereka ini karena keterbatasan hadits yang mereka terima dan terdapatnya banyak hadits palsu, sehingga mereka hanya menerima hadits-hadits yang sokheh saja dan lebih banyak menggunakan ra’yu dalam berijtihad. Sehingga ra’yu mendorong terhadap penelitian tentang hadits, yang kemudian lahirlah ilmu hadits.
Berhadapan dengan pemikiran teologis dari orang kristen yang ingin merusak ajaran islam, maka dalah islam berkembanglah ilmu teologi yang semula digunakan khusus untuk melawan pemikiran teologis dari orang kristen, yang dikenal dengan ilmu kalam. Kemudian ilmu kalam ini berkembang menjadi ilmu yang membahas tentang berbagai pola pemikiran yang berkembang dalam dunia islam.
Pada garis besarnya, pemikiran islam dalam pertumbuhannya muncul dalam tiga pola, yaitu :
  1. Pola pemikiran yang bersifat skolastik, yang terikat pada dogma-dogma dan berfikir dalam rangka mencari pembenaran terhadap dogma-dogma agama. Pola pikir ini terikat pada ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits.menurut pola pemikiran ini, kebenaran hanyalah didapat dari wahyu sedangkan akal berfungsi sebagai alat penerimanya.
  2. Pola pemikiran yang bersifat rasional, yang lebih mengutamakan akal fikiran. Pola fikir ini menganggap bahwa akal fikiran sebagaimana juga halnya dengan wahyu, adalah merupakan sumber kebenaran. Akal digunakan sebagai alat untuk mencari kebenaran sedangkan wahyu hanya digunakan sebagai penunjang untuk mencari kebenaran.
  3. Pola berfikir yang bersifat batiniyah dan intuitif yang berasal dari mereka yang mempunyai pola kehidupan sufitis. Menurut pemikiran ini kebenaran yang tertinggi adalah diperoleh dari pengalaman-pengalaman batin dalam kehidupan yang mistis dan dengan jalan berkontemplasi. Dalam proses pemikiran ini, seorang yang ingin mendapatkan kebenaran harus melalui beberapa tahapan.
BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Dari uraian makalah kami, nampak bahwa keluasan wilayah kekuasaan islam dan banyaknya wilayah-wilayah yang memeluk islam sehingga menjadi semakin luas pula ruang perkembangan kebudayaan yang islami. Bermacam-macam ilmu pengetahuan tumbuh yang pada mulanya behubungan erat dengan mengajarkan Al-Qur’an, kemudian meluas kebidang hukum fiqih dengan berbagai madzhab yang ditimbulkannya. Dibidang pemikiran Islam berkembang berbagai pola yang merupakan pengembangan yang lebih luas dari ajaran-ajaran Islam yang bersumber dari Al-Qur’an dan Hadist Nabi Muhammad SAW.
B.     Kritik dan Saran
Demikianlah makalah tentang pertumbuhan dan perkembangan pendidikan islam, semoga dapat bermanfaat bagi kita semua, atas kesalahan dalam penulisan makalah ini kami mohon maaf, selanjutnya kritik dan saran sangat kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA
1.      Dudung Abdurrahman, Sejarah Peradaban Islam,2010. Jakarta: Rajawali Pers
2.      Fahidin, Fuad Muhammad, Perkembangan Kebudayaan Islam, 1985. Jakarta: Bulan Bintang
3.      Zuhairini dkk, Sejarah Pendidikan Islam, 1995, Jakarta: Bumi Aksara