Delapan cara meriwayatkan hadits, yaitu :
1 – Mendengar
Mendengar hadits dari lafad syeikh. Bagian ini adalah bagian yang teratas dan bentuk riwayat yang tertinggi di sisi sebagian besar Ulama. Mendengar terbagi kepada menulis dan meriwayatkan hadits tanpa menulis apakah dari hafalan atau atau tulisannya. Sementara itu menulis merupakan cara yang terbaik dari cara-cara yang lain walaupun kedua-duanya mempunyai nilai yang sama pada martabat (kedudukan) asalnya.
2 – Pembacaan
Pembacaan bermaksud membaca hadits di hadapan Syeikh. Kebanyakan ahli hadits menamakannya sebagai pembentangan bacaan dari pembaca di hadapan Syeikh sebagaimana pembentangan Al-Quran bagi Qari tetapi Syeikhul Islam Ibnu Hajar telah berkata di dalam Syarah Al-Bukhari: Di antara pembacaan dan pembentangan terdapat masalah umum dan khusus. Pembacaan lebih umum dari pembentangan. Pembacaan dikira berdasarkan apakah anda sendiri yang membaca di hadapan Syeikh atau orang lain yang membaca di hadapannya dan anda mendengarnya. Pembacaan juga dikira walaupun melalui kitab, hafalan, Syeikh yang menghafaz apa yang dibaca di hadapannya atau tidak menghafaznya tetapi menjaga asal usulnya serta mempercayai Perowi selainnya. Oleh yang demikian tidak ragu-ragu lagi bahwa merupakan riwayat yang sahih selagi apa yang diceritakan itu tidak terdapat perselisihan yang amat ketara.
3 – Ijazah:
Ijazah merupakan keizinan meriwayatkan Hadits apakah sebutan atau penulisan. Walau bagaimanapun ulama-ulama hadits berselisih pendapat tentang martabatnya berbanding dengan martabat (kedudukan) sebelumnya. Pendapat yang paling tepat dalam masalah ini ialah Ijazah bukanlah berbentuk pembacaan di hadapan Syeikh dan mendengar darinya.
4- Munawalah, yaitu Penyerahan
Muwalah ialah pemberian riwayat asal yang didengarnya oleh Syeikh kepada muridnya melalui bagian-bagian yang menyamai dengan kitabnya dan dia berkata: Ini adalah riwayatku dari Fulan, oleh itu riwayatkanlah pula dariku.
Cara ini adalah sahih malah ia juga merupakan cara asal sebagaimana yang telah ditetapkan oleh Imam Bukhari dalam bab Ilmu:
(Bahwa Rasulullah s.a.w telah menulis satu risalah kepada ketua tentera lalu bersabda: Kamu jangan membacanya sehingga tiba pada tempat tertentu. Apabila tiba pada tempat yang dimaksudkan, beliau membacanya kepada orang banyak serta memberitahu kepada mereka tentang perintah Nabi s.a.w). Munawalah terbagi kepada dua bagian:
Disertai dengan Ijazah dan tidak disertai dengan Ijazah. Bagian yang disertai dengan Ijazah ialah peringkat Ijazah yang tertinggi manakala bagian yang tidak disertai dengan Ijazah seperti terus menyerahkannya adalah terbatas kepada: Ini adalah yang didengar. Sebenarnya tidak harus meriwayatkan dengan cara begini. Pendapat yang sahih bahwa kedudukan Munawalah adalah lebih rendah dari pendengaran dan pembacaan malah pendapat ini adalah pendapat imam-imam yang terkemuka.
5- Penulisan:
Penulisan ialah seorang Syeikh menulis apa yang didengarnyanya, menulis beberapa haditsnya kepada orang yang hadir bersamanya atau kepada orang yang tidak hadir bersamanya. Penulisan ini boleh dilakukan apakah beliau sendiri yang menulisnya atau ditulis darinya dengan perintahnya.
Penulisan terbagi kepada dua bentuk: Disertai dengan Ijazah dan ini adalah bentuk yang sah dan kuat seperti Munawalah dengan Ijazah. Bentuk yang kedua pula ialah tulisan yang tidak disertai dengan Ijazah. Satu golongan telah menegah dari meriwayatkan hadits dengan cara begini seperti Al-Qadi Abu Al-Hasan Al-Mawardi As-Syafie malah banyak juga ulama-ulama terdahulu dan terkemudian yang mengharuskannya seperti Mansur dan Lais bin Saad. Penulisan ini memadai dengan mengetahui tulisan penulis dan sesetengah mereka telah mensyaratkan tulisan yang terang, ini adalah pendapat yang lemah.
6- I’lam:
I’lam ialah Syeikh memberitahu kepada muridnya bahwa hadits atau kitab ini didengarnya dari Fulan tetapi dia tidak mengizinkan untuk meriwayatkan darinya. Banyak dari kalangan ahli hadits, ahli Fiqih dan Ulama Usul telah mengharuskan riwayat dengan cara ini seperti Ibnu Juraij dan Ibnu Sibagh. Pendapat yang sahihnya tidak harus meriwayatkannya tetapi wajib beramal dengannya sekiranya sanadnya sah. Pendapat ini telah diputuskan oleh Imam Al-Ghazali di dalam kitabnya Al-Mustasfa
7- Wasiat:
Wasiat ialah seorang Syeikh mewasiatkan dengan menulis riwayatnya ketika hampir meninggal dunia atau sebelum musafir kepada seseorang. Ulama salaf (sahabat) r.a telah mengharuskan kepada orang yang diberi wasiat supaya meriwayatkan wasiat tersebut karena pada pendapatnya ia merupakan suatu keizinan. Ada sesetengah pendapat yang menegah dari meriwayat dengan cara begini. Walau bagaimanapun pendapat yang betul ialah diharuskan karena kedudukan wasiat lebih tinggi dari kedudukan Al-Wijaadah tanpa ada perselisihan pendapat malah telah diamalkan oleh Imam As-Syafie serta imam-imam yang lain dan inilah cara yang paling utama.
8- Al-Wijadah:
Al-Wijadah adalah kata terbitan dari perkataan (وجد) yaitu kata terbitan yang tidak pernah didengarnya dari orang-orang Arab. Al-Wijadah ialah Perowi mendapatkan hadits-hadits dari tulisan Syeikh yang dikenalinya tetapi dia tidak mendengarnya dari Syeikh dan tidak mendapat keizinan dari Syeikh untuk meriwayatkan hadits darinya.
Mengikut riwayat yang diambil dari sebagian besar ulama-ulama hadits Mazhab Maliki dan selain dari mereka bahwa hukum beramal dengan Al-Wijadah adalah tidak harus. Manakala Imam As-Syafie dan pengikutnya pula mengharuskan beramal dengannya dan telah diputuskan oleh sesetengah pengkaji dari kalangan As-Syafie bahwa wajib beramal dengannya apabila didapati boleh dipercayai.