A. Pendahuluan
Sikap keberagamaan pada orang dewasa memiliki perspektif yang luas didasarkan atas nilai-nilai yang dipilihnya. Selain itu, sikap keberagamaan ini umumnya juga dilandasi oleh pendalaman pengartian dan perluasan pemahaman tentang ajaran agama yang dianutnya. Beragama, bagi orang dewasa sudah merupakan sikap hidup dan bukan sekedar ikut-ikutan. Untuk lebih jelasnya dalam makalah ini, kami akan membahas mengenai perkembangan jiwa beragama pada masa dewasa.
B. Pengertian Dewasa dan Ciri-ciri Kedewasaan
Saat telah menginjak usia dewasa terlihat adanya kematangan jiwa mereka; “Saya hidup dan saya tahu untuk apa,” menggambarkan bahwa di usia dewasa orang sudah memiliki tanggung jawab serta sudah menyadari makna hidup.[1] Dengan kata lain, orang dewasa nilai-nilai yang yang dipilihnya dan berusaha untuk mempertahankan nilai-nilai yang dipilihnya.
Elizabeth B. Hurlock membagi masa dewasa menjadi tiga bagian:[2]
1. Masa dewasa awal (masa dewasa dini/young adult)
Masa dewasa awal adalah masa pencaharian kemantapan dan masa reproduktif yaitu suatu masa yang penuh dengan masalah dan ketegangan emosional, priode isolasi social, priode komitmen dan masa ketergantungan, perubahan nilai-nilai, kreativitas dan penyesuaian diri pada pola hidup yang baru. Kisaran umurnya antara 21 tahun sampai 40 tahun.
2. Masa dewasa madya (middle adulthood)
Masa dewasa madya ini berlangsung dari umur empat puluh sampai enam puluh tahun. Ciri-ciri yang menyangkut pribadi dan social antara lain; masa dewasa madya merupakan masa transisi, dimana pria dan wanita meninggalkan ciri-ciri jasmani dan prilaku masa dewasanya dan memasuki suatu priode dalam kehidupan dengan ciri-ciri jasmani dan prilaku yang baru. Perhatian terhadap agama lebih besar dibandingkan dengan masa sebelumnya, dan kadang-kadang minat dan perhatiannya terhadap agama ini dilandasi kebutuhan pribadi dan sosial.
3. Masa usia lanjut (masa tua/older adult)
Usia lanjut adalah periode penutup dalam rentang hidup seseorang. Masa ini dimulai dari umur enam puluh tahun sampai mati, yang ditandai dengan adanya perubahan yang bersifat fisik dan psikologis yang semakin menurun. Adapun ciri-ciri yang berkaitan dengan penyesuaian pribadi dan sosialnya adalah sebagai berikut; perubahan yang menyangkut kemampuan motorik, peruban kekuatan fisik, perubahan dalam fungsi psikologis, perubahan dalam system syaraf, perubahan penampilan.
C. Karakteristik Sikap Keberagamaan Pada Masa Dewasa
Sejalan dengan tingkat perkembangan usianya, maka sikap keberagamaan pada orang dewasa antara lain memiliki cirri sebagai berikut:[3]
Kemampuan seseorang untuk mengenali atau memahami nilai agama yang terletak pada nilai-nilai luhurnya serta menjadikan nilai-nilai dalam bersikap dan bertingkah laku merupakan ciri dari kematangan beragama. Jadi, kematangan beragama terlihat dari kemampuan seseorang untuk memahami, menghayati serta serta mengaplikasikan nilai-nilai luhur agama yang dianutnya dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam bukunya The Varieties Of Religious Experience William James menilai secara garis besar sikap dan prilaku keagamaan itu dapat dikelompokkan menjadi dua tipe, yaitu:[4]
1. Tipe Orang yang Sakit Jiwa (The Sick Soul)
Menurut William James,sikap keberagamaan orang yang sakit jiwa ini ditemui pada mereka yang pernah mengalami latar belakang kehidupan keagamaan yang terganggu. Maksudnya orang tersebut meyakini suatu agama dan melaksanakan ajaran agama tidak didasarkan atas kematangan beragama yang berkembang secara bertahap sejak usia kanak-kanak hingga menginjak usia dewasa seperti lazimnya yang terjadi pada perkembangan secara normal. Mereka meyakini suatu agama dikarenakan oleh adanya penderitaan batin antara lain mungkin diakibatkan oleh musibah, konflik batin ataupun sebab lainnya yang sulit diungkapkan secara ilmiah.
Adapun ciri-ciri tindak keagamaan mereka yang mengalami kelainan kejiwaan itu umumnya cenderung menampilkan sikap:[5]
– Pesimis
Dalam mengamalkan ajaran agama mereka cenderung bersikap pasrah diri kepada nasib yang telah mereka terima.
– Intovert
Sifat pesimis membawa mereka untuk bersikap objektif. Segala marabahaya dan penderitaan selalu dihubungkannya dengan kesalahan diri dan dosa yang telah diperbuat.
– Menyenagi paham yang ortodoks.
Sebagai pengaruh sifat pesimis dan introvert kehidupan jiwanya menjadi pasif. Hal ini lebih mendorong mereka untuk menyenangi paham keagamaan yang lebih konservatif dan ortodoks.
2. Tipe Orang yang Sehat Jiwa (Healthy-Minded-Ness)
Ciri dan sifat agama pada orang yang sehat jiwa menurut W. Starbuck yang dikemukakan oleh W. Houston Clark dalm bukunya Religion Psychology adalah:[6]
– Optimis dan gembira
Orang yang sehat jiwa menghayati segala bentuk ajaran agama dengan perasaan optimis. Pahala menurut pandangannya adalah sebagai hasil jerih payah yang diberikan Tuhan. Sebaliknya, segala bentuk musibah dan penderitaan yang dianggap sebagai keteledoran dan kesalahan yang dibuatnya dan tidak beranggapan sebagai peringatan Tuhan terhadap dosa manusia.
– Ektrovet dan tak mendalam
Sikap optimis dan terbuka yang dimiliki orang yang sehat jasmani ini menyebabkan mereka mudah melupakankesan-kesan buruk dan luka hati yang tergores sebagai ekses agamis tindakannya.
– Menyenagi ajaran ketauhidan yang liberal
Sebagai pengaruh kepribadaian yang ekstrovet maka mereka cenderung;
1) Menyenangi teologi yang luwes dan tidak kakuk
2) Menunjukkan tingkah laku keagamaan yang lebih bebas
3) Mempelopori pembelaan terhadap kepentingan agama secara sosial.
E. Masalah-masalah Keberagamaan Pada Masa Dewasa
Seorang ahli psikologi Lewis Sherril, membagi masalah-masalah keberagamaan pada masa dewasa sebagai berikut;
[1]Prof. Dr. H. Jalaludin. Psikologi Agama, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007 hal. 105
[2] Sururin, M.Ag. Ilmu Jiwa Agama, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004 hal. 83
[3]Prof. Dr. H. Jalaludin. Psikologi Agama, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007 hal. 107- 108
[4]Prof. Dr. H. Jalaludin. Psikologi Agama, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007 hal. 124
[5]Prof. Dr. H. Jalaludin. Psikologi Agama,…. hal. 126
[6]Prof. Dr. H. Jalaludin. Psikologi Agama, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007 hal. 130
Sikap keberagamaan pada orang dewasa memiliki perspektif yang luas didasarkan atas nilai-nilai yang dipilihnya. Selain itu, sikap keberagamaan ini umumnya juga dilandasi oleh pendalaman pengartian dan perluasan pemahaman tentang ajaran agama yang dianutnya. Beragama, bagi orang dewasa sudah merupakan sikap hidup dan bukan sekedar ikut-ikutan. Untuk lebih jelasnya dalam makalah ini, kami akan membahas mengenai perkembangan jiwa beragama pada masa dewasa.
B. Pengertian Dewasa dan Ciri-ciri Kedewasaan
Saat telah menginjak usia dewasa terlihat adanya kematangan jiwa mereka; “Saya hidup dan saya tahu untuk apa,” menggambarkan bahwa di usia dewasa orang sudah memiliki tanggung jawab serta sudah menyadari makna hidup.[1] Dengan kata lain, orang dewasa nilai-nilai yang yang dipilihnya dan berusaha untuk mempertahankan nilai-nilai yang dipilihnya.
Elizabeth B. Hurlock membagi masa dewasa menjadi tiga bagian:[2]
1. Masa dewasa awal (masa dewasa dini/young adult)
Masa dewasa awal adalah masa pencaharian kemantapan dan masa reproduktif yaitu suatu masa yang penuh dengan masalah dan ketegangan emosional, priode isolasi social, priode komitmen dan masa ketergantungan, perubahan nilai-nilai, kreativitas dan penyesuaian diri pada pola hidup yang baru. Kisaran umurnya antara 21 tahun sampai 40 tahun.
2. Masa dewasa madya (middle adulthood)
Masa dewasa madya ini berlangsung dari umur empat puluh sampai enam puluh tahun. Ciri-ciri yang menyangkut pribadi dan social antara lain; masa dewasa madya merupakan masa transisi, dimana pria dan wanita meninggalkan ciri-ciri jasmani dan prilaku masa dewasanya dan memasuki suatu priode dalam kehidupan dengan ciri-ciri jasmani dan prilaku yang baru. Perhatian terhadap agama lebih besar dibandingkan dengan masa sebelumnya, dan kadang-kadang minat dan perhatiannya terhadap agama ini dilandasi kebutuhan pribadi dan sosial.
3. Masa usia lanjut (masa tua/older adult)
Usia lanjut adalah periode penutup dalam rentang hidup seseorang. Masa ini dimulai dari umur enam puluh tahun sampai mati, yang ditandai dengan adanya perubahan yang bersifat fisik dan psikologis yang semakin menurun. Adapun ciri-ciri yang berkaitan dengan penyesuaian pribadi dan sosialnya adalah sebagai berikut; perubahan yang menyangkut kemampuan motorik, peruban kekuatan fisik, perubahan dalam fungsi psikologis, perubahan dalam system syaraf, perubahan penampilan.
C. Karakteristik Sikap Keberagamaan Pada Masa Dewasa
Sejalan dengan tingkat perkembangan usianya, maka sikap keberagamaan pada orang dewasa antara lain memiliki cirri sebagai berikut:[3]
- Menerima kebenaran agama berdasarkan pertimbangan pemikiran yang matang, bukan sekedar ikut-ikutan.
- Cenderung bersifat realitas, sehinggga norma-norma agama lebih banyak diaplikasikan dalam sikap dan tingkah laku.
- Bersikap positif terhadap ajaran dan norma-norma agama, dan berusaha untuk mempelajari dan memperdalam pemahaman keagamaan.
- Tingkat ketaatan beragama didasarkan atas pertimbangan dan tanggung jawab diri hingga sikap keberagamaan merupakan realisasi dari sikap hidup.
- Bersikap lebih terbuaka dan wawasan yang lebih luas.
- Bersikap lebih kritis terhadap materi ajaran agama sehingga kemantapan beragama selain didasarkan atas pertimbangan pikiran, juga didasarkan atas pertimbangan hati nurani.
- Sikap keberagamaan cenderung mengarah kepada tipe-tipe kepribadian masing-masing, sehingga terlihat adanya pengaruh kepribadian dalam menerima, memahami serta melaksanakan ajaran agama yang diyakininya.
- Terlihat adanya hubungan antar sikap keberagamaan dengan kehidupan social, sehingga perhatian terhadap kepentingan organisasi sosial keagamaan sudah berkembang.
Kemampuan seseorang untuk mengenali atau memahami nilai agama yang terletak pada nilai-nilai luhurnya serta menjadikan nilai-nilai dalam bersikap dan bertingkah laku merupakan ciri dari kematangan beragama. Jadi, kematangan beragama terlihat dari kemampuan seseorang untuk memahami, menghayati serta serta mengaplikasikan nilai-nilai luhur agama yang dianutnya dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam bukunya The Varieties Of Religious Experience William James menilai secara garis besar sikap dan prilaku keagamaan itu dapat dikelompokkan menjadi dua tipe, yaitu:[4]
1. Tipe Orang yang Sakit Jiwa (The Sick Soul)
Menurut William James,sikap keberagamaan orang yang sakit jiwa ini ditemui pada mereka yang pernah mengalami latar belakang kehidupan keagamaan yang terganggu. Maksudnya orang tersebut meyakini suatu agama dan melaksanakan ajaran agama tidak didasarkan atas kematangan beragama yang berkembang secara bertahap sejak usia kanak-kanak hingga menginjak usia dewasa seperti lazimnya yang terjadi pada perkembangan secara normal. Mereka meyakini suatu agama dikarenakan oleh adanya penderitaan batin antara lain mungkin diakibatkan oleh musibah, konflik batin ataupun sebab lainnya yang sulit diungkapkan secara ilmiah.
Adapun ciri-ciri tindak keagamaan mereka yang mengalami kelainan kejiwaan itu umumnya cenderung menampilkan sikap:[5]
– Pesimis
Dalam mengamalkan ajaran agama mereka cenderung bersikap pasrah diri kepada nasib yang telah mereka terima.
– Intovert
Sifat pesimis membawa mereka untuk bersikap objektif. Segala marabahaya dan penderitaan selalu dihubungkannya dengan kesalahan diri dan dosa yang telah diperbuat.
– Menyenagi paham yang ortodoks.
Sebagai pengaruh sifat pesimis dan introvert kehidupan jiwanya menjadi pasif. Hal ini lebih mendorong mereka untuk menyenangi paham keagamaan yang lebih konservatif dan ortodoks.
2. Tipe Orang yang Sehat Jiwa (Healthy-Minded-Ness)
Ciri dan sifat agama pada orang yang sehat jiwa menurut W. Starbuck yang dikemukakan oleh W. Houston Clark dalm bukunya Religion Psychology adalah:[6]
– Optimis dan gembira
Orang yang sehat jiwa menghayati segala bentuk ajaran agama dengan perasaan optimis. Pahala menurut pandangannya adalah sebagai hasil jerih payah yang diberikan Tuhan. Sebaliknya, segala bentuk musibah dan penderitaan yang dianggap sebagai keteledoran dan kesalahan yang dibuatnya dan tidak beranggapan sebagai peringatan Tuhan terhadap dosa manusia.
– Ektrovet dan tak mendalam
Sikap optimis dan terbuka yang dimiliki orang yang sehat jasmani ini menyebabkan mereka mudah melupakankesan-kesan buruk dan luka hati yang tergores sebagai ekses agamis tindakannya.
– Menyenagi ajaran ketauhidan yang liberal
Sebagai pengaruh kepribadaian yang ekstrovet maka mereka cenderung;
1) Menyenangi teologi yang luwes dan tidak kakuk
2) Menunjukkan tingkah laku keagamaan yang lebih bebas
3) Mempelopori pembelaan terhadap kepentingan agama secara sosial.
E. Masalah-masalah Keberagamaan Pada Masa Dewasa
Seorang ahli psikologi Lewis Sherril, membagi masalah-masalah keberagamaan pada masa dewasa sebagai berikut;
- Masa dewasa awal, masalah yang dihadapi adalah memilih arah hidup yang akan diambildengan menghadapi godaan berbagai kemungkinan pilihan.
- Masa dewasa tengah, masalah sentaral pada masa ini adalah mencapai pandangan hidup yang matang dan utuh yang dapat menjadi dasar dalam membuat keputusan secara konsisten.
- Masa dewasa akhir, ciri utamanya adalah ‘pasrah’. Pada masa ini, minat dan kegiatan kurang beragama. Hidup menjadi kurang rumit dan lebih berpusat pada hal-hal yang sungguh-sungguh berarti. Kesederhanaan lebih sangat menonjol pada usia tua.
[1]Prof. Dr. H. Jalaludin. Psikologi Agama, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007 hal. 105
[2] Sururin, M.Ag. Ilmu Jiwa Agama, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004 hal. 83
[3]Prof. Dr. H. Jalaludin. Psikologi Agama, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007 hal. 107- 108
[4]Prof. Dr. H. Jalaludin. Psikologi Agama, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007 hal. 124
[5]Prof. Dr. H. Jalaludin. Psikologi Agama,…. hal. 126
[6]Prof. Dr. H. Jalaludin. Psikologi Agama, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007 hal. 130
PERKEMBANGAN REMAJA
PEMBAHASAN
Istilah
asing yang sering dipakai untuk menunjukkan makna remaja, antara lain
adalah puberteit, adolescentia dan youth. Dalam bahasa Indonesia sering
pula dikatakan pubertas atau remaja. Istilah puberty (Inggris) atau
puberteit (Belanda) berasal dari bahasa latin pubertas yang berarti usai
kedewasaan, istilah ini berkaitan dengan kata latin lainnya pubescere
yang berarti masa pertumbuhan rambut di daerah tulang “Pusic”(di wilayah
kemaluan). Penggunaan istilah ini lebih terbatas pada kematangan
seksual.
a. Remaja Menurut Hukum.
Dalam
hubungan dengan hukum tampaknya hanya Undang-undang perkawinan saja
yang mengenal konsep remaja waluapun tidak secara terbuka. Usia minimal
untuk suatu perkawinan menurut Undang-undang di sebutkan 16
tahun untuk wanita dan 19 tahun untuk pria (pasal 7 UU No.1/1974
tentang perkawinan).
b. Remaja Ditinjau Dari Sudut Perkembangan Fisik.
Dalam
kedokteran dan ilmu-ilmu yang lain yang terkait, remaja dikenal sebagai
suatu tahap perkembangan fisik dimana alat-alat kelamin manusia
mencapai kematangannya.
c. Remaja Ditinjau Dari Faktor Sosial Psikologis.
Yaitu dimana isi kesadaran tersusun dengan baik, pengetahuan yang satu terkait dengan perasaan atau sikap.
d. Definisi Remaja Untuk Masyarakat Indonesia.
Menurut
Sarlito, tidak ada profil remaja Indonesia yang seragam dan berlaku
secara nasional. Masalahnya adalah Indonesia terdiri dari barbagai suku,
adat, dan tingkatan sosial ekonomi, maupun pendidikan sebagai pedoman
umum untuk remaja Indonesia dapat digunakan batasan usia 11-24 tahun dan
belum menikah.
2.1. PERTUMBUHAN MENTAL REMAJA.
Ide-ide
agama, dasar –dasar keyakinan dan pokok-pokok ajaran agama, pada
dasarnya dapat diterima seseorang pada masa kecilnya. Ide pokok ajaran
agama yang diterimanya pada waktu kecilnya itu akan berkembang dan
bertambah subur, apabila anak atau remaja dalam menganut kepercayaan itu
tidak mendapat kritikan-kritikan dalam hal agama dan apa yang bertumbuh
dari kecil itulah yang menjadi keyakinan yang di peganginya melalui
penglaman-pengalaman yang di percaya.
Alfred
Binet, seorang psikolog prancis (1857-1911) yang terkenal dengan tes
Binet/Simon. Yang pertama kali di perkenalkannya Intelligent Quotient
(IQ). Berpendapat bahwa kemampuan untuk mengerti masalah-masalah yang
abstrak, tidak sempurna perkembangannya sebelum mencapai usia 12 tahun.
Dan kemampuan untuk mengambil kesimpulan yang abstrak dari fakta-fakta
yang ada baru tampak pada umur 14 tahun. Itulah sebabnya anak-anak telah
dapat menolak saran-saran yang tidak dapat di mengertinya dan mereka
sudah dapat mengkritik pendapat-pendapat tertentu yang berlawanan dengan
kesimpulan yang di ambilnya.
Perkembangan
mental remaja kearah berfikir logis (falsafi), juga mempengaruhi
pandangan dan kepercayaannya kepada Tuhan. Karena mereka tidak dapat
melupakan Tuhan dari segala peristiwa yang terjadi di alam ini.
Kepercayaan
remaja akan hari akhirat, hari pembalasan dimana setiap orang akan
menerima ganjaran atau siksaan sesuai dengan perbuatannya di dunia, akan
menyebabkan ragu pula akan keadilan Tuhan, apabila ia melihat adanya
(banyak) orang yang terpaksa dalam perbuatannya. Contoh: Ucapan seorang
gadis berumur 18 tahun sebagai berikut:
“Kalaupun
saya dihukum oleh Tuhan karena durhaka kepada orangtua, apa boleh buat;
tetapi saya akan protes kepadanya, karena saya durhaka, bukan atas
keinginan saya, tapi karena perlakuan merekalah yang menyebabkan saya
durhaka, mereka kasar dan sering menyakiti hati saya.”
Agama
remaja adalah hasil interaksi antara dia dan lingkungannya. Sedang
gambarannya tentang Tuhan dan sifat-sifatnya, di pengaruhi oleh kondisi
perasaan dan sifat remaja itu sendiri.
2.2. PERKEMBANGAN MORAL DAN HUBUNGANNYA DENGAN AGAMA.
Kita
tidak dapat mengatakan seorang anak yang baru lahir bermoral atau tidak
bermoral. Karena moral itu tumbuh dan berkembang dari
pengalaman-pengalaman yang di alami oleh anak-anak sejak ia lahir,
pertumbuhannya baru dapat mencapai kematangan pada usia remaja, ketika
kecerdasannya telah selesai bertumbuh.
Pembinaan
moral, terjadi melalui pengalaman-pengalaman dan kebiasaan, yang di
tanamkan sejak kecil oleh orangtua. Yang dimulai dengan pembiasaan hidup
sesuai dengan nilai moral, yang ditirunya dari orangtua dan mendapat
latihan-latihan untuk itu.
Dalam
pembiasaan moral, agama mempunyai peranan yang penting, karena
nilai-nilai moral yang datang dari agama tetap tidak berubah oleh waktu
dan tempat.
Karena
itu agama mempunyai peranan penting dalam pengendalian moral seseorang.
Tetapi harus di ingat bahwa pengertian tentang agama, tidak otomatis
sama dengan bermoral. Betapa banyak orang yang mengerti tentang agama,
akan tetapi moralnya merosot. Dan tidak sedikit pula orang yang tidak
mengerti agama sama sekali tetapi moralnya cukup baik.
Untuk
lebih jelasnya, dapat kita lihat sangkut paut keyakinan beragama dengan
moral remaja terutama dalam masalah-msalah sebagai berikut:
2.2.1. Tuhan Sebagai Penolong Moral
Dengan
itu dapat di tegaskan bahwa Tuhan bagi remaja adalah keharusan moral,
pada masa remaja itu, Tuhan lebih menonjol sebagai penolong moral dari
pada sandaran emosi. Kepercayaan kepada Allah pada periode pertama dari
masa remaja, bukanlah keyakinan fikiran, akan tetapi adalah kebutuhan
jiwa.
2.2.2. Pengertian Surga dan Neraka
Pada
masa remaja surga dan neraka tidak lagi di ibaratkan sesuatu yang akan
dirasakan dikemudian hari, namun remaja mengibaratkan surga dan neraka
adalah sesuatu yang bergejolak di dalam dirinya dan menghubungkannya
dengan hal-hal yang kongkrit.
2.2.3. Pengertian Tentang Malaikat dan Setan.
Memuncaknya
rasa dosa pada masa remaja dan bertambah meningkatnya kesadaran moral
dan petumbuhan kecerdasan, semuanya bekerjasama, sehingga hilanglah
keyakinannya tentang malaikat dan setan seperti pemahaman masa kecilnya,
namun mereka sadar bahwa betapa erat hubungan setan dan malaikat itu
dengan dirinya. Mereka menyadari adanya hubungan yang erat antara setan
dengan dorongan jahat yang ada dalam dirinya dan hubungan antara
malaikat dengan moral serta keindahan yang ideal, demikian antara surga
dan ketentraman batin dan kekuasaan yang baik, juga antara neraka dengan
ketentraman batin dan hukuman-hukuman atas dosa, intinya adalah remaja sudah mulai melepaskan diri dari alam khayal ke alam kenyataan.
2.3. KEDUDUKAN REMAJA DALAM MASYARAKAT DAN PENGARUHNYA TERHADAP KEYAKINANNYA.
Para
remaja sangat memperhatikan penerimaan sosial dari teman sebayanya.
Mereka sangat sedih, apabila dalam pergaulan ia tidak mendapat tempat
atau kurang di perdulikan oleh teman-temannya, remaja cenderung meniru
apa yang di buat, dipakai, atau dilakukan oleh teman-temannya, jika
terjadi perbedaan pendapat antara orangtua dengan teman-temannya maka
biasanya remaja memihak kepada pendapat teman-temannya, dan hal ini juga
terjadi dalam aktifitas keagamaan.
Disamping
pandangan teman-temannya, remaja juga memperhatikan statusnya dalam
masyarakat pada umumnya. Namun remaja sering kali menarik diri dari
masyarakat, acuh tak acuh terhadap aktifitas agama, bahkan kadang-kadang
tindakan mereka menentang adat kebiasaan dan nilai-nilai. Hal ini
biasanya disebabkan oleh remaja tidak mendapat kedudukan yang jelas
dalam masyarakat. Dan remaja di lain pihak ingin bebas, terlepas dari
kekuasaan dan kritikan-kritikan orang dewasa, mereka cenderung mencari
orang lain yang dapat mereka jadikan teladan atau pahlawan (hero).
Remaja
sebenarnya cenderung untuk ikut aktif dalam kegiatan-kegiatan agama,
asal lembaga-lembaga itu dapat mengikut sertakan remaja dan memberi
kedudukan yang pasti kepada mereka. Kebijaksanaan pemimpin agama, yang
dapat menyadari bahwa remaja mempunyai dorongan dan kebutuhan sosial
yang perlu dipenuhi akan dapat menggerakkan remaja untuk ikut aktif
dalam kegiatan keagamaan.
2.4 SIKAP REMAJA TERHADAP AGAMA
2.4.1 Percaya Dengan Turut-Turutan.
Sesungguhnya
kebanyakan remaja percaya terhadap Tuhan dan menjalankan agama, karena
mereka terdidik dalam lingkungan yang beragama, karena bapak ibunya
orang beragama, teman dan masyarakat sekelilingnya rajin beribadah maka
mereka ikut percaya dan melaksanakan ibadah dan ajaran-ajaran agama
sekedar mengikuti suasana lingkungan dimana ia hidup. Mereka seolah-olah
Apatis, tidak ada perhatian untuk meningkatkan agama, dan tidak mau
aktif dalam kegiatan agama.
Hal
ini terjadi apabila orang tuanya memberikan didikan agama dengan cara
yang menyenangkan, jauh dari pengalaman pahit di waktu kecil, dan
setelah remaja tidak mengalami pula hal-hal yang menggoncangkan jiwanya,
sehingga cara kekanak-kanakan itu terus berjalan, dan ditinjau kembali.
Percaya
turut-turutan ini biasanya tidak lama dan banyak terjadi hanya pada
masa-masa remaja pertama (umur 13-16 tahun) sesudah itu berkembang
kepada cara yang lebih kritis dan lebih sadar.
2.4.2 Percaya Dengan Kesadaran.
Masa
remaja adalah masa dimana perubahan dan kegoncangan terjadi di segala
bidang, yang dimulai dengan perubahan jasmani yang sangat cepat, jauh
dari keseimbangan dan keserasian. Setelah remaja menemukan jati dirinya
ia mungkin merasa asing dalam masyarakat, sehingga sikapnya jadi
berubah, ingin menjauh dari masyarakat atau tenggelam dari
aktifitas-aktifitas masyarakat.
Setelah
kegoncangan remaja pertama ini agak reda yaitu kira-kira 16 tahun,
dimana pertumbuhan jasmani hampir selesai, kecerdasan juga sudah dapat
berfikir lebih matang dan pengetahuan telah bertambah pula. Semua itu
mendorong remaja kepada lebih tenggelam lagi dalam memikirkan dirinya
sendiri, ingin mengambil tempat yang menonjol dalam masyarakat.
Kebangunan jiwa itu mungkin dalam bentuk abnormal atau menyeleweng.
2.4.3 Kebimbangan Beragama
Para
remaja merasa ragu untuk menentukan antara unsur agama dengan mistik
sejalan dengan perkembangan masyarakat kadang-kadang secara tidak di
sadari tindak keagamaan yang mereka lakukan di topangi oleh praktek
kebatinan yang mistik. Penyatuan unsur ini merupakan suatu dilemma yang
kabur bagi para remaja.
Secara individu sering pula terjadi keraguan yang disebabkan beberapa hal antara lain:
a. Kepercayaan, menyangkut masalah ketuhanan dan implikasinya, terutama (kristen) status ketuhanan sebagai trinitas.
b. Tempat suci, menyangkut masalah pemuliaan dan pengagungan tempat-tempat suci keagamaan
c. Alat perlengkapan keagamaan, seprti fungsi Salib dan Rosario dalam Kristen.
d. Perbedaan aliran dalam keagamaan, sekte (Kristen) atau madzhab (Islam).
Keraguan
yang demikian akan menjurus kearah munculnya konflik dalam diri para
remaja sehingga mereka dihadapkan kepada pemilihan antar mana yang baik
dan yang buruk, antara yang benar dan salah.
Konflik ada beberapa macam di antaranya:
a. Konflik antara percaya dan ragu
b. Konflik yang terjadi antara pemilihan satu di antara dua macam agama atau ide keagamaan serta lembaga keagamaan.
c. Konflik yang terjadi oleh pemilihan antar ketaatan beragama atau sekulerisme.
d. Konflik
yang terjadi antara melepaskan kebiasaan masa lalu dengan kehidupan
keagamaan yang di dasarkan atas petunjuk-petunjuk Illahi.
2.4.4 Tidak Percaya Terhadap Tuhan
Salah
satu perkembangan yang mungkin terjadi pada akhir masa remaja adalah
mengingkari ujud Tuhan sama sekali dan menggantinya dengan keyakinan
lain. Atau mungkin pula hanya tidak mempercayai adanya Tuhan saja secara
mutlak. Dalam keadaan pertama mungkin seseorang merasa gelisah, tetapi
dalam keadaan kedua terselip di belakangnya kegoncangan jiwa, dan hal
ini terjadi dibawah umur 20 tahun.
Perkembangan
remaja kearah tidak mempercayai adanya Tuhan itu, sebenarya mempunyai
akar atau sumber dari kecilnya, Misal: anak yang merasa tertekan oleh
kekuasaan atau kedzaliman orangtua.
Dalam
kenyataan terlihat, bahwa kebimbangan beragama lebih banyak terjadi
pada orang-orang yang telah maju, karena mempelajari filsafat (DR.Al-Mali 69)
Suatu
hal yang dapat mendorong orang sampai mengingkari ujud Tuhan, ialah
dorongan-dorongan seksual yang dirasakannya. Sesungguhnya
dorongan-dorongan yang tidak terpenuhi itu akan menyebabkan remaja
kecewa, apabila kekecewaan itu berulang-ulang, akan bertambahlah
kepadanya rasa pesimis dan putus asa dalam hidup.
Dengan
ringkas dapat dikatakan bahwa, kerusakan akhlaq akan membawa kepada
rasa anti agama. Hal ini memang di jaga sekali oleh ulama’-ulama’,
sehingga banyaklah aturan dan hukum untuk mengekang, jangan sampai
dorongan seks itu dipenuhi semau-maunya.
KESIMPULAN
Definisi
remaja untuk masyarakat Indonesia. (Sarlito) tidak ada profil remaja
Indonesia yang berlaku secara nasional masalahnya Indonesia terdiri dari
berbagai suku dan budaya. Oleh karena itulah sebagai pedoman umum dapat
di gunakan batasan usia 11-14 tahun dan belum menikah.
Salah
satu perkembangan yang mungkin terjadi pada akhir masa remaja adalah
mengingkari ujud Tuhan sama sekali dan menggantinya dengan pengetahuan
lain.
Perkembangan
remaja kearah tidak mempercayai adanya Tuhan itu, sebenarnya mempunyai
akar atau sumber dari kecilnya. Misal: Anak yang merasa tertekan oleh
kekuasaan atau kedzaliman orangtua.
Dengan ringkas dapat dikatakan bahwa, kerusakan akhlaq akan membawa kepada anti agama.
Perkembangan
mental kearah berfikir logis (falsafi), juga mempengaruhi kepercayaan
dan pandangannya terhadap Tuhan. Karena mereka tidak dapat melupakan
Tuhan dari segala peristiwa yang terjadi di alam ini.
DAFTAR PUSTAKA
Daradjat,Zakiah.Ilmu Jiwa Agama, Bulan Bintang, Jakarta, 2003
Jalaluddin, Dr, Psikologi Agama, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1997
Sunarto, Dr, Perkembangan Peserta Didik, Asdi Maha Satya, Jakarta, 2002
Kematangan Beragama
PENDAHULUAN
Sebagaimana
diketahui dalam perkembangan manusia, manusia mengalami dua macam
perkembangan yaitu perkembangan jasmani dan perkembangan rohani.
Perkembangan jasmani diukur berdasarkan umur kronologis, puncak
perkembangan jasmani yang dicapai manusia disebut kedewasaan. Sebaliknya
perkembangan rohani diukur berdasarkan tingkat kemampuan (Abilitas),
pencapaian tingkat abilitas tertentu bagi perkembangan rohani disebut
istilah kematangan (Maturity).
Dalam
makalah ini kami mencoba untuk memaparkan criteria orang yang matang
beragama yang erat kaitannya dengan perkembangan manusia yang semua itu
kami jelaskan dalam makalah ini.
PEMBAHASAN
A. Pengertian Matang Beragama
Manusia
mengalami dua macam perkembangan yaitu perkembangan jasmani dan rohani.
Perkembangan jasmani diukur berdasarkan umur kronologis. Puncak
perkembangan jasmani yang dicapai manusia disebut kedewasaan, sebaliknya
perkembangan rohani diukur berdasarkan tingkat kemampuan (Abilitas).
Pencapaian tingkat abilitas tertentu bagi perkembangan rohani disebut
istilah kematangan (Maturity).
Kemampuan
seseorang untuk mengenali atau memahami nilai agama yang terletak pada
nilai-nilai luhurnya serta menjadikan nilai-nilai dalam bersikap dan
bertingkah laku merupakan ciri dari kematanan beragama, jadi kematangan
beragama terlihat dari kemampuan seseorang untuk memahami, menghayati
serta mengaplikasikan nilai-nilai luhur agama yang dianutnya dalam
kehidupan sehari-hari. Ia menganut suatu agama karena menurut
keyakinannya agama tersebutlah yang terbaik. Karena itu ia berusaha
menjadi penganut yang baik, keyakinan itu ditampilkannya dalam sikap dan
tingkah laku keagamaan yang mencerminkan ketaatan terhadap agamanya.
B. Faktor Yang Mempengaruhi Perkembangan Kepribadian Manusia.
Seperti
halnya yang telah dijelaskan diatas dalam tingkat perkembangan yang
dicapai diusia anak-anak, maka kedewasaan jasmani belum tentu berkembang
setara dengan perkembangan rohani. Secara normal memang seorang yang
sudah mencapai tingkat kedewasaan akan memiliki pola kematangan rohani
seperti kematangan berpikir, kematangan pribadi maupun kematangan emosi.
Tetapi perimbangan antara kedewasaan jasmani dan kematangan rohani ini
ada kalanya tidak berjalan sejajar. Secara fisik (jasmani) seseorang
mungkin sudah dewasa, tetapi secara rohani ia ternyata belum matang.
Keterlambatan
pencapaian kematangan rohani ini menurut ahli psikokogi pendidikan
sebagai keterlambatan dalam perkembangan kepribadian. Factor-faktor ini
menurut Dr.Singgih D. Gunarsa dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu:
factor yang terdapat pada diri anak dan factor yang berasal dari
lingkungan.
Adapun
factor intern anak itu yang dapat mempengaruhi perkembangan kepribadian
adalah: konstitusi tubuh, struktur dan keadaan fisik, koordinasi
motorik, kemampuan mental dan bakat khusus (intelegensi tinggi, hambatan
mental, bakat khusus), emosionalitas. Semua factor intern ini ikut
mempengaruhi terlambat tidaknya perkembangan kepribadian seseorang.
Selanjutnya
yang termasuk pengaruh factor lingkungan adalah: keluargaa, sekolah
(Singgih D.Gunarta: 88-96). Selain itu ada factor lain yang juga
mempengaruhi perkembangan kepribadian seseorang yaitu kebudayaan tempat
dimana seseorang itu dibesarkan. Kebudayaan turut mempengaruhi
pembentukan pola tingkah laku serta berperan dalam pembentukan
kepribadian. Kebudayaan yang menekankan pada norma yang didasarkan
kepada nilai-nilai luhur seperti kejujuran, loyalitas, kerja sama
bagaimanapun akan memberi pengaruh dalam pembentukan pola dan sikap yang
merupakan unsur dalam kepribadian seseorang. Demikian pula halnya
dengan kematangan beragama.
Dalam
kehidupan tak jarang dijumpai mereka yang taat beragama itu dilatar
belakangi oleh berbagai pengalaman agama serta type kepribadian
masing-masing. Kondisi seperti ini menurut temuan psikologi agama
mempengaruhi sikap keagamaan seseorang. Dengan demikian pengaruh
tersebut secara umum memberi ciri-ciri tersendiri dalam sikap
keberagamaan masing-masing.
C. Ciri-ciri Dan Sikap Keberagamaan.
Dalam
bukunya “The Varieties Of Religious Experience” William James menilai
secara garis besarnya sikap dan perilaku keagamaan itu dapat
dikelompokkan menjadi dua type, yaitu: type orang yang sakit jiwa, type
orang yang sehat jiwa. Kedua type ini menunjukkan perilaku dan sikap
keagamaan berbeda:
1. Type orang yang sakit jiwa (The Sick Soul).
Menurut
Wiliiam James sikap keberagamaan orang yang sakit jiwa ini ditemui pada
mereka yang pernah mengalami latar belakang kehidupan keagamaan yang
terganggu. Latar belakan itulah yang kemudian menjadi penyebab perubahan
sikap yang mendadak terhadap keyakinan agama. Mereka beragama akibat
dari suatu penderitaan yang mereka alami sebelumnya, William James
menggunakanistilah “The Suffering”.
William
Starbuck, seperti yang dikemukakan oleh William James berpendapat bahwa
penderitaan yang dialami disebabkan oleh dua factor utama yaitu: factor
intern dan factor ekstern. Alasan ini pula tampaknya yang menyebabkan
dalam psikologi agama dikenal dua sebutan yaitu The Sick Soul dan The
Suffering, type yang pertama dilatar belakangi oleh factor intern (dalam
diri), sedangkan yang kedua adalah karena factor ekstern (penderitaan).
a. Faktor intern yang diperkirakan menjadi penyebab dari timbulnya sikap keberagamaan yang tidak lazim ini adalah:
Ø Temperamen.
Temperamen
merupakan salah satu unsur dalam membentuk kepribadian manusia sehingga
dapat tercermin dari kehidupan jiwa orang-orang yang melancholis akan
berbeda dengan orang yang berkepribadian displastis dalam sikap dan
pandangannya terhadap ajaran agama.
Ø Gangguan Jiwa.
Orang
yang mengidap gangguan jiwa menunjukkan kelainan dalam sikap dan
tingkah lakunya. Tindak tanduk keagamaan dan pengalaman keagamaan yang
ditampilkannya tergantung dari gangguan jiwa yang mereka idap.
Ø Konflik dan Keraguan
Konflik
kejiwaan yang terjadi pada diri seseorang mengenai keagamaan
mempengaruhi sikap keagamaannya. Konflik dan keraguan ini dapat
mempengaruhi sikap seseorang terhadap agama seperti taat, fanatic atau
agnostic hingga keateis.
Ø Jauh dari Tuhan
Orang
yang dalam kehidupannya jauh dari ajaran agama, lazimnya akan merasa
dirinya lemah dan kehilangan pegangan saat menghadapi cobaan, hal ini
menyebabkan terjadi semacam perubahan sikap pada dirinya.
Adapun
ciri-ciri tidak keagamaan mereka yang mengalami kelainan kejiwaan itu
umumnya cenderung menampilkan sikap: pesimis, introvert, menyayangi
paham yang ortodoks, mengalami proses keagamaan secara nograduasi.
b. Faktor Ekstern yang diperkirakan turut mempengaruhi sikap keagamaan secara mendadak, adalah:
Ø Musibah
Terkadang
musibah yang serius dapat mengguncangkan kejiwaan seseorang,
keguncangan ini sering pula menimbulkan kesadaran pada diri manusia
berbagai macam tafsiran. Bagi mereka yang semasa sehatnya kurang
memiliki pengalaman dan kesadaran agama yang cukup umumnya menafsirkan
musibah sebagai peringatan Tuhan bagi dirinya. Akibat musibah seperti
itu tak jarang pula menimbulkan perasaan menyesal yang mendalam dan
mendorong mereka untuk mematuhi ajaran agama secara sungguh-sungguh.
Ø Kejahatan
Mereka
yang menekuni kehidupan dilingkungan dunia hitam, baik sebagai pelaku
maupun sebagai pendukung kejahatan, umumnya akan mengalami keguncangan
batin dan rasa berdosa.
2. Type Orang Yang Sehat Jiwa (Healty-Minded-Ness)
Ciri
dan sifat agama pada orang yang sehat jiwa menurut W.Starbuck yang
dikemukakan oleh W.Houston Clark dalam bukunya Religion Psychology
adalah:
a. Optimis dan Gembira
Orang
yang sehat jiwa menghayati segala bentuk ajaran agama dengan perasaan
optimis. Pahala menurut pandangannya adalah hasil jerih payahnya yang
diberikan Tuhan.
b. Ekstrovet dan tak Mendalam
Sikap
optimis dan terbuka yang dimiliki orang yang sehat jiwa ini menyebabkan
mereka mudah melupakan kesan-kesan buruk dan luka hati yang tergores
sebagai ekses agamis tindakannya. Dosa mereka anggap sebagai akibat
perbuatan mereka yang keliru.
c. Menyenangi ajaran ketauhidan yang liberal
Sebagai pengaruh kepribadian yang ekstrovet maka mereka cenderung:
Ø Menyenangi Theologi yang luwes dan tidak baku
Ø Menunjukkan tingkah laku keagamaan yang lebih bebas
Ø Menekankan ajaran cinta kasih daripada kemurkaan dan dosa
Ø Bersifat liberal dalam menafsirkan pengertian ajaran islam
Ø Selalu berpandangan positif
Ø Berkembang secara graduasi, dll.
D. Mistisisme Dan Psikologi Agama
Menurut
Prof. Harun Nasution dalam tulisan Orientalis Barat, mistisisme yang
dalam islam adalah tasyawuf disebut sufisme, sebutan ini tidak dikenal
dalam agama-agama lain, melainkan khusus untuk sebutan mistisisme islam
(Harun Nasution: 56). Sebagaimana halnya mistisisme, tasyawuf atau
sufisme mempunyai tujuan memperoleh hubungan langsung dan disadari
dengan Tuhan, sehingga disadari benar bahwa seseorang berada dihadirat
Tuhan. Intisarinya adalah kesadaran akan adanya komunikasi dan dialog
antara ruh manusia dengan Tuhan dengan mengasingkan diri dan
berkontemplasi (Harun Nasution: 56). Kesadaran berada dekat Tuhan itu
dapat mengambil bentuk ijtihad, bersatu dengan Tuhan.
Ciri
khas Mistisisme yang pertama kali menarik para ahli psikologi agama
adalah kenyataan bahwa pengalaman-pengalaman mistik atau
perubahan-perubahan kesadaran yang mencapai puncaknya dalam kondisi yang
digambarkannya sebagai kemanunggalan. Kondisi ini digambarkan oleh
mereka yang mengalami hal itu dirasakan sebagai pengalaman menyatu
dengan Tuhan.
Mistisisme
dalam kajian psikologi agama dilihat dari hubungan sikap dan perilaku
agama dengan gejala kejiwaan yang melatar belakanginya. Jadi bukan
dilihat dari absah tidaknya mistisisme itu berdasarkan pandangan agama
masing-masing. Dengan demikian mistisisme menurut pandangan psikologi
agama hanya terbatas pada upaya untuk mempelajari gejala-gejala kejiwaan
tertentu yang terdapat pada tokoh-tokoh mistik, tanpa harus
mempermasalahkan agama yang mereka anut. Mistisisme merupakan gejala
umum yang terlihat dalam kehidupan tokoh-tokoh mistik, baik yang teistik
maupun nonteistik.
1. Sejarah perkembangan aliran kepercayaan.
Dalam
memaparkan sejarah perkembangan ini kami mengetengahkan intisari dari
uraian Prof. Selo Sumartjan dalam simpusium mengatakan “sila ketuhanan
yang maha esa” tanggal 14 Februari 1966 di Jakarta.
Dalam evolusi system-sistem kepercayaan diuraikan sebagi berikut:
Manusia
dan masyarakat hidup dalam dua lingkungan yaitu lingkungan alam dan
lingkungan masyarakat. Lingkungan alam meliputi: benda organis dan
anorganis yang hidup disekitar manusia dan lingkungan masyarakat adalah
masa manusia yang berada disekitarnya.
Didorong
oleh keinginan untuk mempertahankan hidupnya, maka timbul keinginan
mereka untuk mencari jalan agar pengaruh alam itu tidak merugikan dan
membinasakan mereka. Berdasarkan kondisi social budaya yang mereka
miliki dicarilah usaha untuk menguasai alam dengan kekuatan ghaib
sejalan dengan kekuatan alam yang bagi mereka merupakan kekuatan ghaib.
Perkembangan
itu melibatkan masyarakat umum dan individu yang bersifat umum
berkembang menjadi kultus dan individualis berkembang menjadi
perdukunan. Perkembangan masyarakat pada kenyataan selalu membawa bekas
dari unsur generasi terdahulu. Demikian pula perkembangan kepercayaan
dari tahap politeisme menjadi monoteisme.
2. Hal-hal termasuk mistisisme
a. Ilmu Ghaib
Yang
dimaksud dengan ilmu ghaib disini adalah cara-cara dan maksud
menggunakan kekuatan-kekuatan yang diduga ada dialam ghaib, yaitu yang
tidak dapat diamati oleh rasio dan pengalaman fisik manusia.
Berdasarkan fungsinya kekuatan ghaib itu dapat dibagi menjadi:
Ø Kekuatan ghaib hitam (black magic), untuk dan mempunyai pengaruh jahat
Ø Kekuatan ghaib merah (red magic), untuk melumpuhkan kekuatan atau kemauan orang lain (hypotisme)
Ø Kekuatan ghaib kuning (yellow magic), untuk praktek occuitisme
Ø Kekuatan ghaib putih (white magic), untuk kebaikan.
b. Magis
Mistis
ialah suatu tindakan dengan anggapan bahwa kekuatan ghaib bisa
mempengaruhi duniawi secara nonkultus dan nonteknis berdasarkan kenangan
dan pengalaman. Untuk menjelaskan hubungan antara unsure-unsur
kebatinan ini kita pertentangkan magis ini dengan masalah lain yang erat
hubungannya.
Ø Magic dan tahayul
Orang
percaya bahwa untuk membunuh seseorang dapat dipergunakan bagian yang
berasal dari tubuh orang yang dimaksud. Misalnya tindakan membunuh dan
membakar rambut dan kuku agar seseorang mati (magis) dan penggunaan
rambut dan kuku sebagai alat pembunuh (Tahayul).
Ø Magis dan Ilmu ghaib
Seperti contoh diatas jika meleui suatu proses pengolahan tertentu secara irrasional tergolong ilmu ghaib.
Ø Magis dan kultus
Jika
dihubungkan dengan kultus maka magis merupakan perbuatan yang dianggap
mempunyai kekuaan memaksa kehendak kepada supernatural (Tuhan). Kultus
merupakan perbuatan yang terbatas pada mengharap dan mempengaruhi
supernatural (Tuhan).
c. Kebatinan
Ilmu
kebatinan umumnya bermaksud untuk menemukan jalan yang dapat
menempatkan manusia pada tempat yang sewajarnya ditengah-tengah
masyarakat didunia dan juga dalam hubungannya dengan Tuhan. Ilmu
kebatinan memberikan ajaran kepada para penganutnya tentang bagaimana
mereka masing-masing dapat hidup secara harmonis yang mengandung
keterangan dan rasa damai dengan masyarakat serta dengan Tuhannya
melalui pengalaman syarat-syarat ilmunya.
d. Para psikologi
Menurut ilmu jiwa gejala jiwa manusia itu dapat dibagi atas:
1) Gejala jiwa yang normal (yang terdapat pada orang yang normal)
2) Gejala jiwa yang annormal terdiri dari:
Ø Gejala jiwa supranormal: yang terdapat pada tokoh-tokoh pemimpin yang terkenal dan genius
Ø Gejala
jiwa paranormal: gejala jiwa yang terdapat pada manusia normal dengan
beberapa kelebihan yang menyebabkan beberapa kemampuan berupa
gejala-gejala yang terjadi tanpa melalui sebab akibat panca indera
Ø Gejala jiwa ubnormal: gejala jiwa yang menyimpang dari gejala biasa karena beberapa gangguan (sakit jiwa)
Para
(disamping) psikologi meneliti ilmu pengetahuan yang mempelajari
tentang gejala-gejala jiwa yang terjadi tanpa peran panca indera serta
perubahan-perubahan yang bersifat fisik yang digerakkan oleh jiwa tanpa
menggunakan kekuatan yang terkait dalam tubuh manusia.
e. Aliran kebatinan dan schizophrenia
Yang
menggerakkan seseorang untuk memasuki aliran kebatinan ada berbagai
motif kejiwaan, misalnya: ingin tahu, rasa tidak aman, kurang percaya
pada diri sendiri ataupun ingin memperdalam ajaran suatu aliran
kebatinan.
Dalam
aliran kebatinan dikenal suatu cara meditasi yang mengarah kekehidupan
mistik, menurut Evely Underhill stadium meditasi itu umumnya adalah:
Ø Kebangunan diri pribadi kearah realitas ketuhanan
Ø Purgation, yaitu suatu stadium kesediaan dan usaha
Ø Illumination, yaitu stadium kegembiraan yang sebenarnya menjurus kesatu eksaltasi
Ø Purifikasi, yaitu kesempurnaan pribadi
Ø Persatuan dan kehidupan absolute
Jika dianalisis secara psikologis dan urutan stadium meditasi tersebut tampak gejala-gejala kejiwaan sebagai berikut:
· Respon terhadap dunia luar menyempit (mengasingkan diri dan konsentrasi jiwa)
· Timbulnya eksaltasi dan kesedihan yang mendalam
· Terdapat gejala disosiasi, halusinasi dan waham
· Terdapat kebekuan dorongan berbuat, hilang kemampuan penerimaan rangsangan dan keinginan untuk menilai keadaan lingkungan.
Ditinjau
dari gejala penderita schizophrenia, maka tampat ciri-ciri yang hampir
sama. Penderitaan schizophrenia (schizoprenik) mengalami gejala-gejala:
· Kekaburan individualitas yang disebabkan oleh proses disintegrasi kepribadian
· Dengan
adanya disintegrasi itu penderita memiliki predisposisi khusus yang
cenderung untuk menafsirkan sesuatu yang kadang-kadang irrealistik dan
melakukan tindakan yang asosial.
· Timbulnya
halusinasi yang menyebabkan terjadinya Anxienty yang hebat sehingga
dapat menimbulkan frustasi dan panicreaction serta perbuatan nekad.
William James dalam buku “The Varieties Of Religious Experience” mengemukakan tanda-tanda mistisisme sebagai berikut:
· Tak dapat diungkapkan (ineffability)
· Intustif (neutik quality)
· Sementara dan cepat (tran siency)
· Cenderung kearah kepasifan (passivity)
f. Tasyawuf dan Tariqat
Tasyawuf
disebut juga mistisisme, islam memperoleh hubungan langsung dan
disadari dengan Tuhan, sehingga disadari benar bahwa seseorang berarti
dihadirat Tuhan. Menurut Harun Nasution intisari dari mistisisme
(termasuk tasyawuf) ialah kesadaran akan adanya komunikasi dan dialog
antara roh manusia dengan Tuhan dengan mengasingkan diri dan
berkontemplasi. Untuk berada dekat dengan Tuhan orang harus menempuh
jalan yang panjang yang berisi stasiun-stasiun yang disebut muqamat.
Pelaksanaan tariqat itu diantaranya:
1. Zikir, yaitu ingatan yang menerus kepada Allah dalam hati, serta menyebut namanya dengan lisan
2. Rahb, yaitu menyebut kalimat “Laa Ilaaha Illallah” dengan gaya gerak dan irama tertentu
3. Muzik, yaitu dengan membaca wirid diiringi wirid-wirid dan bacaan-bacaan supaya lebih khidmat.
4. Bernafas, yaitu mengatur nafas pada waktu melakukan zikir tertentu.
Tarikat
itu pada mulanya adalah tasyawuf dan kemudian berkembang dengan
berbagai faham dan aliran yang dibawa oleh para syekhnya dan kemudian
melembaga menjadi suatu organisasi yang disebut tarikat.
Tasyawuf
atau mistisisme menurut Harun Nasution dijumpai dalam setiap agama,
mereka yang bergabung dalam kegiatan ini bertujuan untuk mendekatkan
diri kepada Tuhan dengan cara melakukan pensucian jiwa. Tuhan sebagai
dzat yang maha suci hanya mungkin didekati oleh manusia yang suci pula,
kesucian bersifat rohaniah. Makanya untuk mendekatkan diri kepada Tuhan
dilakukan melalui proses pensucian jiwa. Sebagai unsure spiritual
(Rohaniah).
KESIMPULAN
Berasarkan
pembahasan pada uraian diatas maka dapat diambil suatu kesimpulan
tentang criteria orang yang matang beragama, dalam hal ini akan terjawab
masalah tersebut dengan terlebih dahulu memahami: pengertian matang
beragama, factor yang mempengaruhi perkembangan kepribadian manusia,
ciri-ciri dan sikap keberagamaan, mistisisme dan agama.
Jadi
kematangan beragama terlihat dari kemampuan seseorang untuk memahami,
menghayati, serta mengaplikasikan nilai-nilai luhur agama yang dianutnya
dalam kehidupan sehari-hari. Ia menganut suatu agama karena menurut
keyakinannya agama tersebutlah yang terbaik, karena itu ia berusaha
menjadi penganut yang baik. Keyakinan itu ditampilkan dalam sikap dan
tingkah laku keagamaan yang mencerminkan ketaatan terhadap agamanya.
Secara normal memang seorang yang sudah mencapai tingkat kedewasaan akan
memiliki pola kematangan rohani seperti kematangan berfikir, kematangan
kepribadian maupun kematangan emosi, tetapi perimbangan antara
kedewasaan jasmani dan kematangan rohani ini ada kalanya tidak berjalan
sejajar, secara fisik (jasmani) seseorang mungkin sudah dewasa, tetapi
secara rohani ternyata ia belum matang.
DAFTAR PUSTAKA
H. Jalaludin, Prof. Dr, Psikologi Agama Edisi Refisi 2002, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002.
H. Ramayulis, Prof. Dr, Pengantar Psikologi Agama, Kalam Mulia, Jakarta, 2002.
Nasution Harun, Filsafat Mistisisme Dalam Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1973.
Tafsir Ahmad, Prof. Dr, Filsafat Ilmu, PT Remaja Rosdakarya, Bandung, 2006