Paragdigma Pendidikan Universal Di Era Modern Dan Post Modern
A. Refleksi Kritis Pendidikan di Indonesia
Pendidikan
di Indonesia yang sudah berjalan sekian puluh tahun sejak
kemerdekaannya disadari lebih menekankan pada dimensi kognitif mencetak
manusia-manusia cerdas, terampil, dan mahir telah berpretensi melahirkan
manusia yang berkepribadian pecah (split personality) dan integritas
(split integrity). Tidak mengherankan apabila kebohongan, manipulasi,
korupi, serakah, kolusi, nepotisme, kerusuhan antar etnis, pembunuhan
dan sederetan peristiwa lainnya selalu mewarnai berita di negara ini.
Dimensi-dimensi lain seperti afektif dan psikomotorik gagal
diimplementasikan dalam sistem pendidikan sebagai ciri profesional yang
mengintegrasikan antara intelektual, moral, spiritual tidak tercermin
pada para lulusannya. Krisis identitas mewarnai individu-individu yang
terlahir dari dunia pendidikan dan cenderung tidak percaya diri untuk
menjadi dirinya sendiri. Masifikasi gelombang modernitas telah membawa
siapapun termasuk dunia pendidikan untuk hanyut mengikuti mainstream
dengan melakukan penyesuaian-penyesuaian dengan alasan tidak ingin
teralienasi dan dikatakan alergi terhadap modernitas. Dalam kondisi
seperti ini hegemoni konsep-konsep pendidikan ala barat sulit bisa
dihindari, cenderung mencibirkan konsep-konsep dan ajaran lokal meskipun
diyakini syarat dengan nilai-nilai moral. Ini merupakan indikasi bahwa
pendidikan di Indonesia telah mengkhianati amanat karena gagal
memelihara nilai-nilai yang mengakar pada masyarakat.
Sektor
pendidikan yang diharapkan dapat memberikan pencerahan dan membentuk
jati diri bangsa justeru mengalami krisis internal dan kehilangan
orientasi. Konsep yang jelas dan konsisten dalam implementasinya selalu
gagal menemukan totalitasnya. Refleksi kritis dan evaluasi komprehensif
tidak memadai dilakukan. Perubahan politik di negara ini selalu
mengorbankan konsep dan sistem pendidikan sehingga kesinambungan
program-program pendidikan tidak pernah berjalan mulus. Ironisnya setiap
pergantian menteri selalu melahirkan kebijakan-kebijakan baru yang
sesungguhnya tidak memiliki dasar filosofis yang memadai. Pendidikan
terkesan menjadi alat perjuangan politik kaum elitis dan dimanfaatkan
sebagai sarana mempertahankan kelas tertentu. Belum lagi saat ini
berkembang wacana kebijakan dua jalur pendidikan yang terkesan sangat
esensialistik dan dikawatirkan akan menimbulkan segregasi sosial
menimbulkan pro dan kontra. Orang tidak lagi memiliki kesempatan
menikmati pendidikan berkualitas karena ada dalam “kemiskinan dan
kebodohan”. Pendidikan telah mengkhianati misi utamanya untuk
mencerdaskan kehidupan bangsa tanpa membeda-bedakan status sosial. Namun
realitasnya pendidikan saat ini lebih sibuk melayani golongan sosial
tertentu dan menjadi pelayan setia pada kapitalisme. Materialisasi
pendidikan sudah mulai menggejala dan menggeser ideologi pendidikan
mengarah kepada ideologi materialisme kapitalis. Kurikulum disusun dan
diorientasikan untuk mampu mendapatkan pekerjaan dibungkus dengan baju
modernitas. Konsekwensinya untuk menikmatinya diperlukan biaya yang
besar. Padahal teori modern mengatakan pendidikan adalah investasi dan
secara ekonomi sebagai modal yang akan dipetik keuntungannya. Dengan
demikian untuk merealisasikan manusia yang seutuhnya dan tidak
memarjinalkan akan sulit dicapai karena prinsip ekonomi tidak mengenal
istilah spiritual, moralitas dan kebersamaan. Nilai-nilai moral
diajarkan sebatas teori belaka dan tidak pernah dibuktikan dalam praktik
kehidupan.
Dalam
konteks pendidikan praktik-praktik kapitalisme dan pelanggaran moral
ironisnya juga dilakukan oleh sebagian insan dan institusi penyelenggara
pendidikan dengan menjadikan kewenangannya untuk menaikan pendapatan.
Keberhasilan sebuah lembaga pendidikan selalu diukur dari megahnya
gedung, mahalnya biaya, banyaknya peminat dan seberapa banyak alumninya
yang menjadi pejabat. Materialisasi pendidikan inilah yang menjadi
landasan awal terjadinya materialisasi dalam semua aspek kehidupan. Jati
diri sebagai bangsa yang suka bergotong royong, saling tolong menolong
dan kekeluargaan menjadi terkoyak karena semua pola hubungan serba
diukur dengan materi. Lalu bagaimana jika pendidikan nasional sebagai
lokomotif utamanya tidak memiliki jati diri dan sarat dengan orang-orang
yang mengalami krisis jati diri? Jati diri bangsa macam apa yang
diharapkan mendapatkan kontribusi dari dunia pendidikan?
B. Modernitas: Tantangan Pendidikan dalam Pembentukan Jati Diri
Proyeksi
masa depan manusia adalah kehendak untuk memperoleh kepastian dan
realitas hidup yang lebih baik. Bagaikan dua sisi mata uang di satu
pihak ingin memperoleh kepastian hidup yang lebih baik, namun di satu
sisi perkembangan global justru menggiring manusia ke medan alienasi
dari kesejatian diri dan lingkungannya. Menurut Seyyed Hossein Nasr
(1975) manusia modern cenderung mengalami pemisahan kepribadian dan
integritas. Secara positif perkembangan global mampu menciptakan budaya
dunia yang mekanistis dan efisien sekaligus tidak menghargai norma dan
nilai karena secara ekonomis tidak menguntungkan. Perubahan masyarakat
terjadi sangat signifikan baik dari aspek ideologi, ekonomi, politik,
maupun moralitas. Dari aspek ideologi bergeser dari
spiritualisme-religius menjadi materialisme-kapitalisme, segi ekonomi
bergeser dari keperluan memenuhi kebutuhan hidup keluarga menjadi
keserakahan dan nafsu menguasai sumber daya ekonomi, dari aspek politik
bergeser dari fungsinya sebagai sarana mengembangkan ajaran dan
moralitas menjadi sarana untuk menguasai masyarakat dan dari segi
moralitas pandangan terhadap konsep moralitas masyarakat sudah mulai
berubah. (Muhammad A.R., 2003:17).
Pada
skala hubungan internasional hubungan antar negara berada pada posisi
tawar menawar, saling bergantung, upaya saling menyeimbangkan
kepentingan, usaha mencapai keunggulan kompetitif, tanpa batas geografis
dan diwarnai persaingan dalam penguasaan teknologi. Kondisi ini yang
kemudian memaksa setiap negara untuk mengerahkan segala potensi dan
sumber daya manusia yang dimiliki untuk menjadi pemain-pemain unggul,
mampu bersaing dan mengambil peran di arena global. Pendidikan adalah
jalur vital dan strategis yang selalu dipilih untuk penyiapan sumber
daya manusia. Keberhasilan pendidikan dalam menelurkan individu-individu
kompetitif dalam percaturan global ternyata memiliki konsekwensi yang
harus dibayar mahal oleh Bangsa Indonesia. Pribadi-pribadi yang miskin
spiritual, materialistis, individualistik, hasrat berlebihan berkuasa,
keinginan mencari kenikmatan dengan posisi uang dan kerja, perasaan
hidup tanpa makna, apatis, bosan dan dis-orientasi merupakan beberapa
fenomena yang banyak dijumpai. Sebagian masyarakat cenderung
mengabaikan nilai-nilai agama dan ajaran-ajaran moral, namun di satu
sisi masih ada kelompok masyarakat yang ingin mempertahankan nilai-nilai
agama dan ajaran-ajaran moral. Pertemuan dua kutub inilah yang sering
menimbulkan berbagai benturan kepentingan sampai terjadinya konfrontasi
fisik seperti kerusuhan antar etnis dan berbagai kasus yang menjadi
ancaman disintegrasi nasional. Kondisi ini kemudian menjalar menjadi
ketidakpastian arah, setiap kelompok masyarakat memaksakan
kepentingannya. Masing-masing selalu menonjolkan perbedaan bukan mencari
persamaan, akibatnya sebagai satu bangsa terancam kehilangan identitas
kebangsaannya. Karakter dan jati diri sebagai bangsa yang suka menolong,
bekerja sama, ramah, mengedepankan musyawarah tidak lagi tercermin
dalam setiap tindakan. Muaranya pada krisis multidimensi yang semakin
menggerogoti jati diri bangsa dan orientasi kebangsaan yang semakin
tidak menentu.
Dunia
pendidikan dituntut perannya untuk kembali menjernihkan arah perjalanan
bangsa. Realitasnya jelas dunia pendidikan akan berada pada posisi
kondisi dilematis-kontradiktif karena tuntutan modernitas sekaligus
sebagai tuntutan peran penjaga nilai-nilai moral. Sementara dunia
pendidikan berada dalam paradok, di satu sisi ingin menanamkan dan
mengajarkan nilai-nilai moral, namun pada sisi lain justeru perilaku
sebagian institusi pendidikan malah mencerminkan praktek-praktek
pendidikan yang menyimpang dari nilai moral, misi dan visi utamanya.
Sejak lama pendidikan selalu berhadapan dengan dua tipeologi yang
diametral. Apa yang harus dilakukan untuk oleh pendidikan untuk
konsisten kepada misi utamanya?
Pendidikan
sebagai totalitas usaha dan tindakan harus diubah orientasinya memberi
kesempatan anak didik berkembang serasi dalam tiga ranah kecakapan.
Pendidikan tidak boleh steril terhadap realitas sosial dan modernitas
yang konsen dengan pengembangan nilai-nilai kemanusiaan. Namun apapun
solusi yang ditawarkan syarat utama pendidikan harus melakukan
penjernihan terhadap dirinya sendiri, yaitu;
1.
Pendidikan dan institusinya harus bebas dari kepentingan politik.
Proses pembelajaran harus dibebaskan dari doktrin legal formal yang
mengarahkan kepada keberpihakan parsial termasuk keberpihakan berpihak
kepada kapitalisme. Proses pembelajaran dijauhkan dari proses
reproduksi dan dekontruksi ideologi-ideologi kelas sosial tertentu
untuk melanggengkan kekuasaan dengan memaksakan nilai-nilai kependidikan
versi mereka. Pendidikan harus memiliki identitas dirinya sebagai
totalitas usaha untuk membebaskan dan mencerahkan. Proses pembelajaran
diarahkan pada terciptanya transformasi dan edukasi sosial secara
komprehensif.
2. Pendidikan
tidak boleh terjebak kepada usaha-usaha materialisasi pendidikan,
pemerintah segera merealisasikan 20 % APBN (komitmen pemerintah baru
pada tahun 2009) untuk anggaran pendidikan karena pendidikan merupakan
hak dasar yang utamanya menjadi tanggung jawab negara.
3.
Pendidikan diarahkan dalam menanamkan integritas etik dan akhlak dan
mengembalikan makna “pendidikan” bukan sekedar “pengajaran” dan makna
“mendidik” bukan sekedar “mengajar”. Pendidikan moral dan budi pekerti
kembali dihidupkan, tingkah laku dan sikap diposisikan sebagai salah
satu aspek penting evaluasi secara menyeluruh.
4.
Mengembangkan metode-metode pendidikan yang mengedepankan
keteladanan dan memberikan kesempatan peserta didik untuk
mengaktualisasikan nilai-nilai yang diajarkan.
5.
Hilangkan dikotomi antara pembelajaran nilai-nilai dengan ilmu
pengetahuan umum. Pendidikan harus mensintesakan antara sistem
pendidikan berbasis berbasis nilai-nilai yang mengakar pada budaya
bangsa dan agama dengan sistem pendidikan modern yang mengedepankan
nilai-nilai humanity, equity dan demokrasi
Pertanyaannya
model pendidikan apa yang ditawarkan yang dapat mensintesakan dua kutub
sistem pendidikan dan berkontribusi dalam membentuk jati diri bangsa?
Dalam konteks globalisasi model pendidikan seperti apa yang dapat
mempertahankan peran menjadi penjaga dan pewaris nilai-nilai moral
sekaligus menghasilkan individu-individu yang kreatif, menguasai
teknologi dan ilmu pengetahuan, mampu mengembangkan iner dynamic dan
kompetitif?
C. Pendidikan Profetik : Sarana Membangun Jati Diri Bangsa
Pendidikan
profetik merupakan paradigma pendidikan yang berusaha melakukan sintesa
antara sistem pendidikan yang konsen terhadap nilai-nilai moral dan
religius dengan sistem pendidikan modern yang mengembangkan nilai-nilai
kemanusiaan. Dualisme sistem pendidikan yang dikotomis yang dalam
konteks Indonesia dua sisi diametrikal antara pendidikan ala barat yang
dinasionalisasi dan pendidikan ala timur yang sudah secara historis
telah ada sejak nenek moyang. Pendidikan profetik dapat dikembangkan
dalam tiga dimensi yang mengarahkan perubahan atas masyarakat yaitu
humanisasi, liberasi dan transendensi (Moh. Sofan, 2004:131). Paradigma
pendidikan profetik dapat dipahami sebagai seperangkat teori yang tidak
hanya mendeskripsikan dan mentransformasikan gejala sosial, dan mengubah
sesuatu hanya demi perubahan namun lebih dari itu mengarahkan perubahan
atas dasar cita-cita etik dan profetik. Cita-cita etik dan profetik
inilah yang seharusnya diderivasikan dari nilai-nilai yang mengakar pada
budaya, ajaran agama dan nilai-nilai moral bangsa sehingga pencapaian
cita–cita pendidikan tidak mengorbankan jati diri bangsa. Sementara
dalam hubungan antara nilai-nilai agama dan budaya bangsa harus
diletakkan dalam kerangka pluralisme dan multikulturalisme. Artinya
sistem pendidikan harus memberikan pemahaman nilai-nilai agama dan
nilai-nilai inilah yang kemudian menjadi tugas pendidikan untuk
melakukan reorientasi konsep-konsep normatif agar dapat dipahami secara
empiris (Kuntowijoyo dalam Muh Sofan, 2004:135). Pendidikan
diorientasikan untuk memfasilitasi terbentuknya kesadaran ilmiah dalam
memformulasikan konsep-konsep normatif menjadi konsep-konsep teoritis.
Pendekatan deduktif-induktif idealnya diterapkan dalam pembelajaran
pengetahuan umum dan pendidikan moral.
Pada
saat inilah diperlukan obyektifikasi dan konseptualisasi agar tingkat
kesadaran teologis-normatif menjadi bermakna dan kontekstual.
Konseptualisasi dalam bahasa ilmu yang obyektif inilah yang tidak
diintegrasikan dalam sistem pendidikan nasional. Akibatnya seluruh
konsep pendidikan yang bersumber dari eksternal (di luar dimensi budaya
dan nilai-nilai lokal) tidak diadopsi melalui proses dialog atau
pencernaan secara tuntas. Hal inilah yang membuat pendidikan kita
menjadi “terombang ambing” dalam mensikapi arus perubahan sosial yang
masif. Akibatnya institusi pendidikan dan individu di dalamnya yang
diharapkan menjadi lokomotif pembentukan jati diri bangsa kehilangan
kendali dan mengalami disorientasi. Karena itu misi praktis bagi
pendidikan saat ini adalah membebaskan dirinya sendiri dan selanjutnya
membebaskan manusia dari kungkungan bermacam aliran dan filsafat yang
memposisikan manusia sebagai makhluk yang tidak otonom dalam berpikir
dan tidak memiliki hak kemerdekaan. Menurut Paulo Freire bahwa
pendidikan adalah proses pembebasan dan pendidikan adalah proses
membangkitkan kesadaran kritis. Namun sekali lagi syarat utama
pendidikan sendiri terlebih dahulu harus membebaskan diri dari pasungan
dan dominasi kepentingan kapitalisme dan politisasi pendidikan.
D. Membangun Rasa Percaya Diri Dunia Pendidikan
Sikap
tidak percaya diri juga termanifestasikan dalam pengelolaan sistem
pendidikan. Penanganan pendidikan di Indonesia diposisikan bukan sebagai
prioritas utama sejak 40 tahun silam. Hal ini berimplikasi pada sistem
manajerial yang tidak profesional, dilaksanakan secara amatiran,
berdasarkan common sense, spekulasi, miskonsepsi, bahkan tahayul dan
mitos (Munandir dalam Imam Tolkhah, 2003:17). Rangkaian inovasi termasuk
perubahan sistem yang diujicobakan melalui pelbagai model kurikulum
belum pernah dievaluasi mendalam untuk dicari akar permasalahannya
secara mendasar. Bahkan pertanggungjawaban atas hasil evaluasi kepada
publik tidak pernah dilaksanakan secara memadai. Nampaknya pendidikan
kita lebih percaya dan menyukai konsep-konsep sebagai epigon dari barat
yang belum tentu sesuai dengan kondisi masyarakat. Ajaran lokal yang
sarat dengan nilai moral seringkali dianggap kuno dan tidak sesuai
dengan jamannya karena teropong modernitas telah menjebak membentuk
pemikiran bahwa sesuatu yang modern diposisikan sebagai sesuatu yang
lebih baik. Pendidikan kita agaknya sedang menderita “sakit leher”
karena keengganan untuk kembali menengok ajaran moral dan nilai-nilai
lokal untuk diintegrasikan dalam praktek pendidikan. Atau materialisasi
pendidikan melalui budaya konsumerisme juga sudah meracuni dunia
pendidikan. Bongkar pasang kurikulum mulai dari konsep CBSA, MBS (School
Based Management), Manajemen Berbasis Masyarakat (Community Based
Management), Life Skill sampai dengan Kurikulum Berbasis Kompetensi
(KBK) mungkin ada dan terus dilakukan. Proses tambal sulam dan uji coba
(triar error) merupakan indikator sederhana bahwa dunia pendidikan
telah kehilangan identitas dan rasa percaya dirinya bahwa wilayah
garapannya demikian strategis dalam pembentukan karakter dan jati diri
bangsa.
Rasa
percaya diri ini menjadi semakin menurun seiring terbatasnya sarana dan
pra sarana, rendahnya kualitas guru, adanya sentralisasi pembinaan dan
penyeragaman kurikulum, birokrasi dan sebagainya. Sistem pendidikan
sentralistik dan konformistik telah mengakibatkan; 1). masyarakat
kehilangan daya improvisasi, inovasi dan kreatifitas 2). Peserta didik
tercabut dari akar budayanya sehingga kehilangan identitas sejati yang
berarti terjadi isolasi akademik atas lingkungan keseharian dan
pluralitasnya. Pasungan kehendak penguasa menjadikan pendidikan sebagai
pelestari ideologi pembangunan merupakan bentuk isolasi akademik karena
tidak dioerientasikan sebagai usaha membebaskan masyarakat dari
ketertindasan. Kecerdasan, kemahiran dan keahlian yang diperoleh dari
bangku pendidikan belum bisa mendorong tumbuhnya rasa percaya diri dan
menjadi kekuatan dalam menghadapi berbagai persoalan bangsa.
Membangun
rasa percaya diri pendidikan harus dimulai dari timbulnya rasa percaya
diri yang kuat dunia pendidikan sendiri akan kemampuannya dalam menjaga
nilai-nilai moral sepanjang tidak bertentangan dengan moral masyarakat
dam nilai-nilai agama. Pendidikan dan beragam institusinya sendiri harus
menentukan keputusan moral dan menunjukkan perilaku moral mencerminkan
nilai-nilai agama, moral dan ajaran-ajaran lokal. Mengambil keputusan
moral yang tepat berdasarkan agama atau ideologi yang dianut dalam
masyarakat merupakan bentuk rasa percaya diri, yaitu;. Pertama, dunia
pendidikan yakin bahwa dirinya memiliki kemampuan untuk bangkit atau
melakukan penjernihan diri dari pasungan paradok dan kungkungan ajaran
kapitalisme. Kedua, sadar akan perannya sebagai agen perubahan sekaligus
pewaris nilai-nilai yang berarti percaya akan kekuatan yang ada pada
bangsanya.