Dari begitu banyaknya kisah tentang Nabi Musa as, yang paling terkenal adalah kisah antara nabi Musa as dengan Khidir, bagaimana sebenarnya kisahnya, simak aja sob ^^
Kisah Musa dan Al-Khidir ini dapat dibaca dalam surah “Al-Kahfi” ayat 60-82
Pada suatu ketika berpidatolah
Nabi Musa di depan kaumnya Bani Isra’il. Ia berdakwah kepada mereka,
memberi nasihat dengan mengingatkan kepada mereka akan kurnia dan nikmat
Allah yang telah dicurahkan kepada mereka yang sepatutnya diimbangi
dengan syukur dan pelaksanaan ibadah yang tulus, melakukan segala
perintah-Nya dan meninggalkan segala larangan-Nya. Kepada mereka yang
beriman, bertaat dan bertakwa, Nabi Musa menjanjikan pahala syurga dan
bagi mereka yang mengingkari nikmat Allah diancam dengan seksa api
neraka.
Begitu Nabi Musa mengakhiri pidatonya bangunlah di antara para hadiri bertanya kepadanya: “Wahai Musa, siapakah di atas bumi Allah ini paling pandai dan paling berpengetahuan?” “Aku”, jawab Musa. "Apakah tidak ada kiranya orang yang lebih pandai dan lebih berpengetahuan daripadamu?” Tanya lagi si penanya itu. “Tidak ada” , ujar Musa seraya berkata dalam hati kecilnya: ”
Bukankah aku Nabi terbesar di antara Bani Isra’il? Aku adalah penakluk
Fir’aun, pemegang berbagai mukjizat, yang telah dapat membelah laut
dengan tongkatku dan akulah yang memperoleh kesempatan bercakap-cakap
langsung dengan Tuhan. Maka kemuliaan apa lagi yang dapat melebihi
kemuliaan serta kebesaran yang aku capai itu, yang belum pernah dialami
dan dicapai oleh sesiapa pun sebelum aku.”
Rasa sombong dan keunggulan diri
yang tercermin dalam kata-kata Nabi Musa, dicela oleh Allah yang
memperingatkan kepadanya bahwa ilmu itu adalah lebih luas untuk dimiliki
oleh seseorang walaupun ia adalah seorang rasul dan bahwa bagaimana
luasnya ilmu dan pengetahuan seseorang, nescaya akan terdapat orang lain
yang lebih pandai dan lebih alim daripadanya. Selanjutnya untuk
melanjutkan kekurangan yang ada pada diri Nabi Musa Allah memerintahkan
kepadanya agar menemui seorang hamba-Nya di suatu tempat di mana dua
lautan bertemu. Hamba yang soleh yang telah diberinya rahmat dan ilmu
oleh Allah itu akan memberi tambahan pengetahuan dan ilmu kepada Nabi
Musa sehingga dapat menjadikan sedar bahwa tiada manusia yang dapat
membanggakan diri dengan mengatakan bahwa akulah orang yang terpandai
dan berpengetahuan luas di atas bumi ini.
Berkata Musa kepada Tuhan: “Wahai
Tuhanku, aku akan pergi mencari hamba-Mu yang soleh itu, bagi
memperolehi bunga api ilmunya dan mendapat titisan air pengetahuan dan
ilham yang Engkau telah berikan kepadanya.”
Allah berfirman kepada Musa: “Bawalah
seekor ikan didalam sebuah keranjang dalam perjalananmu mencari dia dan
ketahuilah bahwa di tempat di mana engkau akan kehilangan ikan di dalam
keranjang itu, di situ engkau akan menemui hamba-Ku yang soleh itu.”
Nabi Musa menyiapkan diri untuk
perjalanan yang jauh, didampingi oleh “Yusya’ bin Nun” seorang drp para
pengikutnya yang setia. Ia membawa bekal makanan dan minuman di
antaranya sebuah keranjang yang terisi seekor ikan sesuai dengan
petunjuk Allah. Ia berkeras hati tidak akan kembali sebelum ia dapat
menemui hamba yang soleh itu walaupun ia harus melakukan perjalanan yang
berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun bila perlu. Ia berpesan kepada
teman sepejalanannya Yusya’ bin Nun agar segera memberitahu kepadanya
bilamana ikan yang di dalam keranjang yang dibawanya itu hilang.
Tatkala Nabi Musa nerserta
Yusya’ bin Nun sampai di mana dua lautan bertemu yang telah diisyaratkan
dalam firman Allah kepadanya, tertidurlah ia di atas sebuah batu yang
besar yang berada di tepi lautan. Pada saat ia lagi tidur nyenyak,
turunlah hujan rintik-rintik, membasahi seekor di dalam keranjang itu
dan tanpa mereka ketahui melompatlah ikan tersebut itu masuk ke dalam
laut.
Setelah Musa terjaga dari
tidurnya, bangunlah mereka meneruskan perjalanan yang tidak menentu arah
mahupun tujuan. Dan dalam perjalanan yang sudah agak jauh, berhentilah
Musa beristirehat sekadar untuk menghilangkan rasa penatnya seraya
meminta dari Yusya bin Nun agar menyiapkan santapannya karena ia sudah
sgt lapar. Ketika Yusya bin Nun membuka keranjang untuk mengambil
makanan teringatlah olehnya akan ikan yang hilang dan melompat ke dalam
laut. Maka berkatalah Yusya’ kepada Nabi Musa: “Aku
telah dilupakan oleh syaitan untuk memberitahu kepadamu segera, bahwa
tatkala engkau berada di atas batu karang sedang tidur nyenyak, ikan
kami yang berada di dalam keranjang tiba-tiba hidup kembali setelah
kejatuhan air hujan dan melompat masuk ke dalam laut. Sepatutnya aku
melapurkan kkepadamu segera, sesuai dengan pesananmu, namun aku
dilupakan oleh syaitan.”
Wajah Nabi Musa berseri-seri
menjadi kegirangan mendengar berita itu dari Yusya’ karena telah dapat
mengetahui di mana ia akan dapat bertemu dengan hamba Allah yang dicari
itu. Berkata Musa kepada Yusya’: “Inilah
tempat yang kami tuju dan disini kami akan menemui orang yang kami cari.
Marilah kami kembali ke tempat batu karang itu yang menjadi tempat
tujuan terakhir dari perjalanan kami yang jauh ini.”
Setiba mereka kembali di tempat
di mana mereka kehilangan ikan, mereka melihat seorang bertubuh kurus
langsing yang pada wajahnya tampak cahaya dan iman serta tanda-tanda
orang soleh. Ia sedang menutpi tubuhnya dan pakaiannya sendiri, yang
segera disingkapnya ketika mendengar kata-kata salam Nabi Musa
kepadanya.
“Siapakah engkau?” bertanya orang soleh itu.
Musa menjawab: “Aku adalah Musa.”
Bertanya kembali orang soleh itu: “Musa, nabi Bani Isra’ilkah?”
“Betul”, jawab Musa, seraya bertanya: “Dari manakah engkau mengetahui bahawa aku adalah Nabi Bani Isra’il?”
“Dari yang mengutusmu kepadaku”, jawab orang soleh itu.
“Inilah hamba Allah yang aku cari”, berkata Musa dalam hatinya, seraya mendekatinya dan berkata kepadanya:
“Dapatkah engkau memperkenankan aku mengikutimu dan berjalan bersamamu
ke mana saja engkau pergi sebagai bayanganmu dan sebagai muridmu? Aku
akan mematuhi segala petunjuk dan perintahmu.”
Hamba soleh atau menurut banyak pendapat ahli-ahli tafsir Nabi Al-Khidhir itu menjawab: “Engkau
tidak akan sabar dan tidak dapat menahan diri bila engkau mengikutiku
dan berjalan bersamaku. Engkau akan mengalami dan melihat hal-hal yang
ajaib yang sepintas lalu nampak seakan-akan perbuatan yang salah dan
mungkar namun pada hakikatnya adalah perbuatan benar dan wajar dab
engkau sebagai manusia tidak akan berdiam diri melihatku melakukan
perbuatan dan tingkah laku yang ganjil menurut pandanganmu.”
Musa menjawab dengan sikap seorang murid yang ingin belajar dan menambah pengetahuan : “Insya-Allah engkau akan mendapati aku seorang yang sabar yang tidak akan melanggar sesuatu perintah atau petunjuk daripadamu.”
Berkata Al-Khidhir kepada Musa: “JIka
engkau benar-benar ingin mengikutiku dan berjalan bersamaku maka engkau
harus berjanji tidak akan mendahului bertanya tentang sesuatu sebelum
aku memberitahukan kepadamu. Engkau harus berjanji bahwa engkau tidak
akan menentang segala perbuatan dan tindakan yang aku lakukan dihadapan
mu walaupun menurut pandanganmu itu salah dan mungkar. Aku dengan
sendirinya memberi alasan dan tafsiran bagi segala tindakan dan
perbuatanmu kepadamu kelak pada akhir perjalanan kami berdua.”
Dengan diterimanya pesyaratan
Nabi Al-Khidhir oleh Musa yang berjanji akan mematuhinya bulat-bulat,
maka diajaklah Nabi Musa mengikutinya dalam perjalanan.
Pelanggaran pertama terhadap
persyaratan Al-Khidhir terjadi tatkala mereka sampai di tepi pantai, di
mana terdapat sebuah perahu sedang berlabuh. Nabi Al-Khidhir meminta
pertolongan pemilik perahu itu, agar menghantar mereka di suatu tempat
yang di tuju. Dengan senang hati diangkutlah mereka berdua secara
percuma tanpa bayaran bahkan dihormati dan diberi layanan yang baik
kerana dilihatnya oleh pemilik perahu bahwa kedua orang itu memiliki
sifat-sifat dan ciri-ciri yang tidak terdapat pada orang biasa.
Tatkala mereka berada dalam
perut perahu yang sedang meluncur dengan lajunya di antara
gelombang-gelombang tiba-tiba Musa melihat Al-Khidhir melubangi perahu
itu dengan mengambil dua keping kayunya. Perbuatan mana yang dianggap
oleh Musa suatu gangguan dan pengrusakan bagi milik seseorang yang telah
berbuat baik terhadap mereka.
Musa lupa akan janjinya sendiri dan ditegulah Al-Khidhir dengan berkata: “Engkau
telah melakukan perbuatan mungkar dengan merusak dan melubangi perahu
ini. Apakah dengan perbuatan kamu ini engkau hendak menenggelamkan
perahu ini dengan semua penumpangnya? Tidakkah engkau merasa kasihan
kepada pemilik perahu ini yang telah berjasa kepada kami dan
menghantarkan kami ke tempat yang kami tuju tanpa membayar sesen pun?”
Berkata Al-Khidhir menjawab teguran Musa: “Bukankah
aku telah katakan kepadamu bahawa engkau tidak akan sabar menahan diri
melihat tindak-tandukku di dalam perjalanan menyertaiku.”
Musa berkata: “Maafkanlah daku. Aku telah lupa akan janjiku sendiri. Janganlah aku dipersalahkan dan dimarahi akan kelupaanku.”
Permintaan maaf Musa diterimalah
oleh Al-Khidhir dan tibalah meeka berdua di tempat yang dituju di
sebuah pantai. Kemudian perjalanan dilanjutkan di darat dan bertemulah
mereka dengan seorang anak laki-laki yang sedang bermain-main dengan
kawan-kawannya. Tiba-tiba dipanggillah anak itu oleh Al-Khidhir,
dibawanya ke tempat yang agak jauh, dibaringkannya dan dibunuhnya
seketika itu. Alangkah terperanjatnya Musa melihat tindakan Al-Khidhir
yang dengan sewenang-wenangnya telah membunuh seorang anak yang tidak
berdosa, seorang yang mungkin sekali dalam fikiran Musa adalah harapan
satu-satunya bagi kedua orang tuanya.
Musa sebagai Nabi yang diutus
oleh Allah untuk memerangi kemungkaran dan kejahatan tidak dapat berdiam
diri melihat Al-Khidhir melakukan pembunuhan yang tiada beralasan itu,
maka ditegurlah ia seraya berkata: “Mengapa
engkau telah membunuh seorang anak yang tidak berdosa? Sesungguhnya
engkau telah melakukan perbuatan yang mungkar dan keji.”
Al-Khidhir menjawab dengan sikap dinginnya: “Bukankah aku telah berkata kepadamu, bahwa engkau tidak akan sabar menahan diri berjalan dengan aku?”
Dengan rasa malu mendengar teguran Al-Khidhir itu, berucaplah Musa: “Maafkanlah
aku untuk kedua kalinya dan perkenankanlah untuk aku meneruskan
perjalanan bersamamu dengan pergertian bahwa bila terjadi lagi
perlanggaran dari pihakku untuk kali ketiganya, maka janganlah aku
diperbolehkan menyertaimu seterusnya.Sesungguhnya telah cukup engkau
memberi uzur dan memberi maaf kepadaku.”
Dengan janji terakhir yang
diterima oleh Al-Khidhir dari Musa diteruskanlah perjalanan mereka
berdua sampai tiba di suatu desa di mana mereka ingin beristirehat untuk
menghilangkan lelah dan penat mereka akibat perjalanan jauh yang telah
ditempuh. Mereka berusaha untuk mendapat tempat penginapan sementara dan
sedikit bahan makanan untuk sekadar mengisi perut kosong mereka, namun
tidak seorang pun dari penduduk desa yang memang terkenal bachil {pelit}
itu yang mahu menolong mereka memberi tempat beristirehat atau sesuap
makanan sehingga dengan rasa kecewa mereka segera meninggalkan desa itu.
Dalam perjalanan Musa dan
Al-Khidhir hendak keluar dari desa itu mereka melihat dinding salah satu
rumah desa itu nyaris roboh. Segera AL-Khidhir menghampiri dinding itu
dan ditegakkannya kembali. Dan secara spontan, tanpa disedar, berkata
Musa kepada Al-Khidhir: “Hairan bin
ajaib, mengapa engkau berbuat kebaikan bagi orang0orang yang jahat dan
pelit ini. Mereka telah menolak untuk memberi kepada kami tempat
istirehat dan sesuap makanan untuk perut kami yang lapar. Sepatutnya
engkau menuntut upah bagi usahamu menegakkan dinding itu, agar dengan
upah yang engkau perolehi itu dapat kami menutupi keperluan makan minum
kami.”
Al-Khidhir menjawab: “Wahai
Musa, inilah saat untuk kami berpisah sesuai dengan janjimu yang
terakhir. Cukup sudah aku memberimu kesempatan dan uzur. Akan tetapi
sebelum kami berpisah , akan aku berikan kepadamu tujuan serta
alasan-alasan perbuatan-perbuatanku yang engkau rasakan tidak wajar dan
kurang patut.”
“Ketahuilah hai Musa”, Al-Khidhir melanjutkan huraiannya,”bahwa
pengrusakan bahtera yang kami tumpangi itu adalah dimaksudkan untuk
menyelamatkannya dari pengambil-alihan oleh seorang raja yang zalim yang
sedang mengejar di belakang bahtera itu. Sedang bahtera itu adalah
milik orang-orang fakir-miskin yang digunakan sebagai sarana mencari
nafkah bagi hidup mereka sehari-hari. Dengan melubangi yang aku lakukan
dalam bahtera itu, si raja yang zalim itu akan berfikir dua kali untuk
merampas bahtera itu yang dianggapnya rusak dan berlubang itu. Maka
perbuatanku yang pada lahirnya adalah pengrusakan milik orang, namun
tujuannya ialah menyelamatkannya dari tindakan perampasan
sewenang-wenangnya.”
“Adapun
tentang anak yang aku bunuh itu ialah bertujuan menyelamatkan kedua
orang tuanya dari gangguan anak yang durhaka itu. Kedua orang tua anak
itu adalah orang-orang yang mukmin, soleh dan bertakwa yang aku
khuatirkan akan menjadi tersesat dan melakukan hal-hal yang buruk karena
dorongan anaknya yang durhaka itu. Aku harapkan dengan matinya anak itu
Allah akan mengurniai anak pengganti yang soleh dan berbakti kepada
mereka berdua.”
"Sedang
mengenai dinding rumah yang ku perbaiki dan ku tegakkan kembali itu
adalah karena dibawahnya terpendam harta peninggalan milik dua orang
anak yatim piatu. Ayah mereka adalah orang yang soleh ahli ibadah dan
Allah menghendaki bahwa warisan yang ditinggalkan untuk kedua anaknya
itusampai ketangan mereka selamat dan utuh bila mereka sudah mencapai
dewasanya, sebagai rahmat dari Tuhan serta ganjaran bagi ayah mereka
yang soleh dan bertakwa itu.”
“Demikianlah
wahai Musa, apa yang ingin engkau ketahui tentang tujuan
tindakan-tindakanku yang sepintas lalu engkau anggap buruk dan melanggar
hukum. Semuanya itu telah kulakukan bukan atas kehendakku sendiri
tetapi atas tuntunan wahyu Allah kepadaku.”