Gagasan Pendidikan Antikorupsi
Maraknya
kasus tindak pidana korupsi yang terungkap menjadi angin segar bagi
tegaknya bidang perhukuman di Indonesia. Sebab, seiring dengan
ditabuhnya genderang perang tanda dimulainya era reformasi-suatu masa
yang menggulirkan rezim Orde Baru-perombakan ranah konstitusional di
sana-sini adalah cita-cita ideal.
Reformasi
hukum juga merupakan bagian paling mendasar dalam reformasi segala
bidang di negeri ini. Dengan reformasi hukum ini diharapkan akan
terwujud hukum yang tegak berdiri sendiri dan tidak pandang bulu. Maka,
tidak lantas terjadi kasus hakim kencing bediri, jaksa kencing berlari.
Cita-cita
ideal dalam mewujudkan tegaknya supremasi hukum di Jawa Barat,
umpamanya, masih dianggap berkekurangan tanpa adanya wujud reformasi
total jika tidak didukung komponen-komponen lain seperti perangkat hukum
yang jelas (baca: undang-undang), aparat penegak hukum yang tegas, dan
kesadaran warga yang tertancap kuat atas segala marabahaya laten
koruptor di daerahnya.
Oleh
karena itu, perlu digagas pula pembaruan dalam aspek lain. Misalnya,
yang saya anggap paling mendasar adalah aspek pendidikan. Sebab, semua
orang dapat maju atau menyukseskan arah pembangunan lewat pendidikan,
baik formal, informal maupun semiformal.
Kita
tahu bahwa sistem pendidikan yang selama ini diselenggarakan terlalu
mementingkan salahsatu aspek saja, misalnya kognitif siswa. Padahal,
sebagai pabrik penghasil mobilisator pembangunan, lembaga pendidikan
hendaknya diselenggrakan secara holistik, integral, dan komprehensif.
Dalam arti, seluruh pembinaan aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik
siswa dapat digenjot dengan menggunakan sistem pendidikan yang
paradigmatik.
Paradigma Pendidikan
Dalam teks Undang-undang tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 1 Ayat 1 diungkapkan, “Pendidikan
adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan
proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan
potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan,
pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta
keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara”.
Lebih tegas, aspek yang dikembangkan tidak hanya sebatas ranah kognitif an sich,
tetapi harus memerhatikan eksistensi aspek afektif, kognitif, dan
psikomotorik siswa. Sebab, sampai sekarang banyak orang cerdik pandai
dalam kognitif, tetapi kurang mampu mengaplikasikan disiplin kelimuannya
dalam kehidupan sehari-hari sehingga tidak berperan apa-apa bagi arah
pembangunan.
Kita
semua hampir sependapat bahwa orang yang melakukan tindak pidana
korupsi di negeri ini bukan orang bodoh, melainkan orang-orang yang
berpengetahuan tinggi bila dibandingkan dengan warga yang berada di
pedesaan. Namun, secara aplikatif laku lampah mereka nihil etika, moral,
dan nilai-nilai keluhungan ajaran agama. Mungkin inilah model
“paradigma kultural” yang hendak kita ubah ke arah yang baik seiring
dengan perjalanan reformasi yang baru berumur sewindu lebih ini.
Apabila kita analisis secara kritis, sebagai lembaga pendidikan yang sistemik-terdiri dari input, proses dan output- maka paradigma pendidikan yang telah lama bergulir di negara ini hanya memandang output
(baca: hasil) atau hanya bisa memproduksi intelektual mumpuni, tetapi
secara moral masih patut dipertanyakan. Padahal, yang diperlukan bangsa
ini adalah pengelola-pengelola negara yang baik secara moral, dan
kemampuan intelektual adalah prasyarat selanjutnya.
Maka,
kondisi tersebut mendorong kita untuk memikirkan ulang model pendidikan
macam apa yang membina peserta didik agar menjadi manusia yang baik
secara moral dan intelektual. Sebab, yang dibutuhkan sekarang ini adalah
mencetak manusia-mengutip istilah Murtadha Muthahhari-yang manusiawi,
yakni manusia yang membenci perilaku korup, diskriminatif, dan
individualistik sebagai model laku lampah yang patut dijauhi.
Namun,
karena sindrom korupsi telah mengakar kuat, diperlukan pembongkaran
secara radikal sampai ke akar-akarnya. Paradigma pendidikan antikorupsi
pun dalam konteks kekinian sangat penting untuk dicetuskan dalam rangka
menyukseskan cita-cita ideal reformasi 1998, yakni memberantas
persebaran “virus-virus korup” di Bumi Pertiwi yang telah sakit-sakitan
ini.
Antikorupsi
Pendidikan yang dipandang sebagai sebuah sistem harus mulai memerhatikan kembali komponen-komponennya.
Pertama, dari segi input
(calon siswa) tidak ada pembedaan antara anak orang kaya dan anak orang
miskin. Yang terjadi selama ini, anak orang kaya seolah punya kebebasan
untuk memilih sekolah favorit yang ia mau. Sementara anak orang miskin
mesti pikir-pikir dahulu untuk menentukan sekolah yang dipilih, terutama
apabila tersandung dengan biaya.
Kedua,
dari segi proses kita perlu menggagas suatu kondisi pembelajaran yang
dapat mengarahkan siswa pada sikap seorang intelektual yang bermoral
luhur. Jadi, setiap orang yang ikut dalam proses pendidikan, baik kepala
sekolah, guru, pegawai tata usaha, maupun pembantu sekolah, hendaknya
ikut andil dalam rangka mewujudkan kondisi pembelajaran yang baik.
Pendidikan
yang yang paling baik adalah yang menggunakan contoh. Jika semua
komponen sekolah berprilaku baik, anak pun akan terbawa untuk berprilaku
baik. Sigmund Freud mengatakan, ”Yang paling menunjang dalam proses
pendidikan adalah orang tua (keluarga), sekolah dengan segala
komponennya, dan lingkungan”. Kalau kita urutkan lagi ketiga penunjang
tersebut, maka lingkungan yang paling utama. Lingkungan dapat
dikondisikan sehingga anak pun akan ikut terkondisi.
Ketiga adalah output.
Ini sangat berkaitan dengan tujuan pendidikan itu sendiri.
Konsep-konsep pendidikan yang digunakan harus relevan dengan pencapaian
tujuan pendidikan, terutama harus memerhatikan ranah kognitif, afektif
dan psikomotorikPendidikan Adalah Pemekaran Potensi Anak
Anak
adalah anugerah Tuhan yang paling berharga bagi orang tua. Setiap orang
tua senantiasa mengupayakan yang terbaik bagi anak-anak mereka. Mulai
dari penyediaan kelengkapan menyambut kelahiran sang anak, membimbingnya
di lingkungan keluarga dan menyekolahkannya. Semua dilakukan oleh orang
tua guna membahagiakan sang anak.
Kebahagiaan
anak adalah kebahagiaan orang tua, demikian ungkapan yang mengakar
dalam perikehidupan berkeluarga. Dengan upaya optimal, orang tua
mengupayakan pendidikan terbaik bagi anaknya. Biaya pendidikan yang
tinggi siap orang tua tanggung sebagai ongkos membahagiakan sang buah
hati. Bahkan banyak orang tua yang mendatangkan guru les (bimbingan
belajar) ke rumah mereka. Tiada lain, untuk menyiapkan kebahagiaan bagi
sang anak di masa depan.
Semua
yang dilakukan orang tua tersebut bermuara pada cita-cita supaya kelak
anak mereka memiliki masa depan yang cerah dan gilang-gemintang dengan
sejumlah prestasi. Bahkan melebihi apa yang dicapai oleh orang tua
mereka. Keagungan harapan inilah kiranya yang hendak difahami oleh
anak-anak saat ini. Besar jasa dan cita-cita yang dititipkan orang tua
mereka hendaknya memacu motivasi mereka dalam belajar.
Namun
di sisi lain, orang tua sebagai pendidik pertama dan utama bagi setiap
anak hendak pula memahami bahwa perhatian pada anak tidak boleh
mengabaikan potensi dan minat mereka. Tidak lantas karena cita-cita
orang tua yang tinggi, orang tua memaksa anak untuk mengikuti segala
ketentuan orang tua dalam membahagiakan buah hati mereka. Anak juga
manusia yang memiliki potensi, minat dan kehendak.
Anak
bukanlah kertas putih yang siap diwarnai dengan tinta sesuka hati
sebagaimana diungkapkan pengikut behaviorisme. Pendidikan bukan alat
pemasung potensi dan kreativitas mereka. Hal ini karena setiap anak
lahir dengan potensi dan minat masing-masing. Keragaman dan keunikan
pontensi yang dimiliki setiap anak inilah yang akan menjadi
keunggulannya.
Tugas
pendidikan adalah sebagai alat bantu dalam memekarkan potensi yang
dimiliki anak. Penyeragaman dan gaya indoktrinasi dalam pendidikan
merupakan teknik usang dalam mendidik yang harus ditinggalkan.
Pendidikan hendaknya dipandang sebagai proses pengembangan seluruh
potensi yang dimiliki peserta didik secara integral yang meliputi ranah
kognitif, apektif dan psikomotorik.
Mengutip
definisi pendidikan yang diungkapkan oleh Drijarkara, pendidikan adalah
pemanusiaan manusia muda atau pengangkatan manusia muda ke taraf
insani. Maka seorang pendidik (orang tua, guru dan masyarakat) hendaknya
memahami hakikat manusia sebagai bekal dalam membina manusia secara
integral demi tercapainya masyarakat yang kreatif dan berakhlak sebagai
obat sakit ibu pertiwi yang semakin akut.
Sumber:http://lenterapena.wordpress.com/category/artikel-pendidikan/
Filsafat dan sejarah pendidikan di Indonesia
Setiap pemikir mempunyai definisi berbeda tentang makna filsafat karena pengertiannya yang begitu luas dan abstrak. Tetapi secara sederhana filsafat dapat dimaknai bersama sebagai suatu sistim nilai-nilai (systems of values) yang luhur yang dapat menjadi pegangan atau anutan setiap individu, atau keluarga, atau kelompok komunitas dan/atau masyarakat tertentu, atau pada gilirannya bangsa dan negara tertentu. Pendidikan sebagai upaya terorganisasi, terencana, sistimatis, untuk mentransmisikan kebudayaan dalam arti luas (ilmu pengetahuan, sikap, moral dan nilai-nilai hidup dan kehidupan, ketrampilan, dll.) dari suatu generasi ke generasi lain. Adapun visi, misi dan tujuannya yang ingin dicapai semuanya berlandaskan suatu filsafat tertentu. Bagi kita sebagai bangsa dalam suatu negara bangsa (nation state) yang merdeka, pendidikan kita niscaya dilandasi oleh filsafat hidup yang kita sepakati dan anut bersama.
Dalam sejarah panjang kita sejak pembentukan kita sebagai bangsa (nation formation) sampai kepada terbentuknya negara bangsa (state formation dan nation state) yang merdeka, pada setiap kurun zaman, pendidikan tidak dapat dilepaskan dari filsafat yang menjadi fondasi utama dari setiap bentuk pendidikan karena menyangkut sistem nilai-nilai (systems of values) yang memberi warna dan menjadi "semangat zaman" (zeitgeist) yang dianut oleh setiap individu, keluarga, anggota-anggota komunitas atau masyarakat tertentu, atau pada gilirannya bangsa dan negara nasional. Landasan filsafat ini hanya dapat dirunut melalui kajian sejarah, khususnya Sejarah Pendidikan Indonesia.
Sebagai komparasi, di negara-negara Eropa (dan Amerika) pada abad ke-19 dan ke-20 perhatian kepada Sejarah Pendidikan telah muncul dari dan digunakan untuk maksud-maksud lebih lanjut yang bermacam-macam, a.l. untuk membangkitkan kesadaran berbangsa, kesadaran akan kesatuan kebudayaan, pengembangan profesional guru-guru, atau untuk kebanggaan terhadap lembaga-lembaga dan tipe-tipe pendidikan tertentu. (Silver, 1985: 2266).
Substansi dan tekanan dalam Sejarah Pendidikan itu bermacam-macam tergantung kepada maksud dari kajian itu: mulai dari tradisi pemikiran dan para pemikir besar dalam pendidikan, tradisi nasional, sistim pendidikan beserta komponen-komponennya, sampai kepada pendidikan dalam hubungannya dengan sejumlah elemen problematis dalam perubahan sosial atau kestabilan, termasuk keagamaan, ilmu pengetahuan (sains), ekonomi, dan gerakan-gerakan sosial. Sehubungan dengan MI semua Sejarah Pendidikan erat kaitannya dengan sejarah intelektual dan sejarah sosial. (Silver, 1985: Talbot, 1972: 193-210)
Esensi
dari pendidikan itu sendiri sebenarnya ialah pengalihan (transmisi)
kebudayaan (ilmu pengetahuan, teknologi, ide-ide dan nilai-nilai
spiritual serta (estetika) dari generasi yang lebih tua kepada generasi yang lebih muda dalam setiap masyarakat atau bangsa. Oleh sebab itu sejarah dari pendidikan mempunyai sejarah yang sama tuanya dengan masyarakat pelakunya sendiri, sejak dari pendidikan informal dalam keluarga batih, sampai kepada pendidikan formal dan non-formal dalam masyarakat agraris maupun industri.
Selama ini Sejarah Pendidikan masih menggunakan pendekatan lama atau "tradisional" yang umumnya diakronis yang kajiannya berpusat pada sejarah dari ide-ide dan pemikir-pemikir besar dalam pendidikan, atau sejarah dan sistem pendidikan dan
lembaga-lembaga, atau sejarah perundang-undangan dan kebijakan umum
dalam bidang pendidikan. (Silver, 1985: 2266) Pendekatan yang umumnya
diakronis ini dianggap statis, sempit serta terlalu melihat ke dalam.
Sejalan dengan perkembangan zaman
dan kemajuan dalam pendidikan beserta segala macam masalah yang timbul
atau ditimbulkannya, penanganan serta pendekatan baru dalam Sejarah
Pendidikan dirasakan sebagai kebutuhan yang mendesak oleh para sejarawan pendidikan kemudian. (Talbot, 1972: 206-207)
Para sejarawan, khususnya sejarawan pendidikan melihat hubungan timbal balik antara pendidikan dan masyarakat; antara penyelenggara pendidikan dengan pemerintah sebagai representasi bangsa dan negara yang merumuskan kebijakan (policy) umum bagi pendidikan nasional. Produk dari pendidikan menimbulkan mobilitas sosial (vertikal maupun horizontal); masalah-masalah yang timbul dalam pendidikan yang dampak-dampaknya (positif ataupun negatif) dirasakan terutama oleh masyarakat pemakai, misalnya, timbulnya golongan menengah yang menganggur karena jenis pendidikan tidak sesuai dengan pasar kerja; atau kesenjangan dalam pemerataan dan mutu pendidikan; pendidikan lanjutan yang hanya dapat dinikmati oleh anak-anak orang kaya dengan pendidikan terminal dari anak-anak yang orang tuanya tidak mampu; komersialisasi pendidikan dalam bentuk yayasan-yayasan dan sebagainya. Semuanya menuntut peningkatan metodologis penelitian dan penulisan sejarah yang lebih baik danipada sebelumnya untuk menangani semua masalah kependidikan ini.
Sehubungan dengan di atas pendekatan Sejarah Pendidikan baru tidak cukup dengan cara-cara diakronis saja. Perlu ada pendekatan metodologis yang baru yaitu a.l,
interdisiplin. Dalam pendekatan interdisiplin dilakukan kombinasi
pendekatan diakronis sejarah dengan sinkronis ilmu-ihmu sosial. Sekarang
ini ilmu-ilmu sosial tertentu seperti antropologi, sosiologi, dan politik telah memasuki "perbatasan" (sejarah) pendidikan dengan "ilmu-ilmu terapan" yang disebut antropologi pendidikan,
sosiologi pendidikan, dan politik pendidikan. Dalam pendekatan ini
dimanfaatkan secara optimal dan maksimal hubungan dialogis "simbiose
mutualistis" antara sejarah dengan ilmu-ilmu sosial.
Sejarah Pendidikan Indonesia dalam arti nasional termasuk relatif baru. Pada zaman pemerintahan kolonial telah juga menjadi perhatian yang diajarkan secara diakronis sejak dari sistem-sistem pendidikan zaman Hindu, Islam, Portugis, VOC, pemerintahan Hindia-Belanda abad ke-19. Kemudian dilanjutkan dengan pendidikan zaman Jepang dan setelah Indonesia merdeka model diakronis ini masih terus dilanjutkan sampai sekarang.