Oleh : Drs.H.Mutawalli,M.Pd.I
Pendidikan
adalah hal yang paling fundamental dalam membentuk karakter setiap manusia.
Bagaimana karakter dan kepribadiannya tak terlepas dari pendidikan apa yang ia dapat
dari keluarga dan lingkungan dimana tempat dia bergaul. Tentunya dalam
pergaulan lingkungan yang paling mendominasi adalah keluarga. Seorang anak yang
dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang selalu di isi dengan nilai-nilai
Islami, secara otomatis akan tumbuh menjadi insan yang berkarakter Islami.
Namun sebaliknya, seorang anak yang
terlahir dan dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang jauh dari nilai-nilai
ke-Islaman, tentunya akan membentuk karakter manusia yang jauh dari nilai-nilai
agama.
Jhon locke seorang pakar Psikologi pada
abad ke XIV. mengemukakan sebuah teori “Tabularasa” berasal dari bahasa Yunani
yang artinya adalah kertas kosong. Beliau mengibaratkan seorang anak kecil tak
ubahnya seperti sebuah kertas kosong tanpa satu coretan apapun, dan kertas itu
akan membentuk warna sesuai dengan tinta yang dicoretkan. Lanjutnya, karakter
seorang anak akan dipengaruhi oleh
coretan-coretan pendidikan yang diberikan orangtua dan lingkungan tempat dimana
ia bergaul dalam kesehariannya. Baik pendidikan orangtua, bagusnya lingkungan
tempat ia bergaul, tentunya akan membentuk karakter kejiwaanya yang baik pula.
Dalam Islam sendiri hal ini pernah
diungkapkan Rasulullah SAW. Dalam sebuah hadits Nabi Muhammad SAW. Mengatakan
bahwa “ setiap anak yang lahir adalah
dalam kondisi Fitrah (Islam), maka orangtuanya lah yang menjadikannya Yahudi,
Nasrani atau majusi” Hadits ini menggambarkan betapa orangtua mendominasi
dalam membentuk akidah anaknya. Oleh karena keseharian anak lebih banyak
bergaul dengan orangtuanya terutama Ibu yang mengasuhnya sejak usia dini.
Disadari atau tidak, memang apa yang didengar, dan dilihat seorang anak kecil
dalam lingkungan keluarganya tentunya akan berpengaruh besar terhadap
pendidikan karakter. Tak heran jika keluarga yang broken home, mental kejiwaan
anaknya pun akan jadi terganggu.
Islam adalah agama yang memiliki
aturan komplek. Aturannya sempurna dan bertujuan untuk kemaslahatan umatnya.
Semua diatur secara sistematis dan cendrung memberikan kemudahan dalam
melaksanakan hubunganya secara vertical dengan Tuhanya, simultan tidak
menyulitkannya untuk tetap bersilaturrahim melaksanakan hubungan horizontalnya
terhadap sesame manusia lain. Sebagai contoh, sholat diwajibkan berdiri bagi
yang mampu, namun boleh duduk dan berbaring dalam kondisi sakit. Begitu juga
dengan sholat musafir boleh untuk dijamak dan diqasar, selama perjalanan itu
tidak untuk maksiat. Hal ini tidak lain adalah kemudahan yang diberikan dalam
agama sekaligus kompleksnya aturan-aturan dalam syariat. Begitu kompleksnya
aturan yang ditetapkan dalam Islam, sehingga anak yang baru lahir pun sudah
diberikan muatan-muatan Islami sebagai memori dasar untuk membentuk karakter
hidupnya. Inilah syariat akan sunatnya untuk meng-azan dan Iqamahkan bayi yang
baru lahir ditelinganya. Ini bertujuan untuk memberikan pendidikan Islam
semenjak usia dininya, yakni pendidikan Islam sebagai memori perdananya.
Jika kita kembali melihat bagaimana
para Nabi, Ulama dan orang-orang sholeh terdahulu, mereka menanamkan
nilai-nilai akidah semenjak kecil terhadap anak-anaknya. Nabi Ya’kub as. Ketika
menjelang kematiannya dia mengumpulkan anak-anaknya dan bertanya “Ma ta’buduna min ba’dii” artinya apa
yang akan kalian sembah sepeninggalku nanti. Anak-anaknya menjawab kami akan
menyembah Tuhanmu dan tuhan nenek moyangmu Ibramim, Ismail dan Ishaq yaitu
Tuhan yang Maha Esa dan kami hanya tunduk kepadaNya ( QS. Al-Baqarah : 103).
Nabi Ya’kub tidak bertanya tentang kehidupan financial anak-anaknya. Misalnya
wahai anak-anakku kalau aku sudah tiada
nanti kalian semua makan apa. setelah ia
wafat, melainkan hanya akidah sebagai tonggak dasar seorang Muslim kisah ini
diabadikan Allah SWT.
Dalam Al-Qur’an Surah Al-Baqarah ayat 133. Di
sisi lain, dalam surah Luqman Allah juga mengabadikan kisah Luqman al- Hakim,
seorang ayah mengajarkan kepada anaknya ini adalah sebahagian kisah tentang
bagaimana para orang sholeh terdahulu
lebih mengutamakan pendidikan akidah dalam membentuk pribadi anak-anaknya
semenjak usia dini. Pendidikan akidah adalah signifikan, oleh karena amal
ibadah yang dilakukan seorang tidak akan bernilai sama sekali dihadapan Allah
SWT. Jika akidahnya menyimpang. Di tanah air kita Indonesia ini sudah banyak
aliran-aliran dan paham ke-Agamaan yang menyimpang dari syariat Islam yang benar, bahkan
tidak sedikit di mereka yang
difatwakan Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebagai aliran dan faham sesat dan
menyesatkan. Ajaranya selalu menyelisihi dari apa yang sudah mapan
dibangun oleh Nabi yang dituliskan pada
ulama terdahulu dalam berbagai literature, namun anehnya pengikutnya begitu
banyak dan terkadang merekrut orang-orang dari kalangan intelektual seperti
para mahasiswa dan pelajar, ini adalah problem umat Islam yang fundamental
Aliran dan paham menyimpang terus menjamur dimana-mana Salah satu solusi dalam
membentengi akidah bahkan semenjak mereka pada usia dininya. Akidah kokoh yang
ditanamkan, akan menjadikannya tidak mudah untuk terpengaruh dengan
ajaran-ajaran baru yang cenderung menyimpang dan jauh dari ajaran syariat yang
dibawa oleh Rasulullah SAW. Pendidikan akidah, dan agama semenjak usia dini
adalah penting dengan tidak mengesampingkan pendidikan yang bersifat duniawi
dalam mewujudkan kecakapan hidupnya di dunia.
Pendidikan usia dini terhadap anak
akan membentuk karakter kepribadiannya, jika seorang anak di didik dengan
nilai-nilai Islami semnjak kecil, tentu akan menjadikannya anak yang sholeh dan
berakhlak baik ketika ia meranjak dewasanya. Namun sebaliknya jika dari
semenjak usia dini pendidikan yang ia dapat jauh dari nilai-nilai Islami, dapat
dipastikan bahwa karakter kejiwaanya pun akan membentuk sesuai dengan
pendidikan yang ditanamkan padanya. Factor pendidikan dalam keluarga, orangtua,
dan lingkungan tentunya berperan penting dalam mewujudkan seorang anak dengan
karakter kepribadian Muslim yang bertaqwa. Pendidikan intelektual keduniawian
perlu untuk menjadikannya cakap dalam hidup keduawiannya. Namun perlu
disinergikan dengan pendidikan akidah yang bersifat ukhrawi. Jika kedua hal itu
dapat diwujudkan secara simultan, pasti akan mewujudkan generasi intelektual
yang piawi dalam kehidupan duniawinya, dan benar dalam akidahnya.