Kamis, 02 April 2015

Sekolah Khusus Untuk Anak Autis

Sekolah Khusus Untuk Anak Autis

Pendidikan : Masa Depan Tunanetra dan Optimalisasi Pendidikan Inklusif

Masyarakat Harus Dukung Pendidikan Layanan Khusus

MENGENAL PENDIDIKAN INKLUSIF

I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam Undang Undang Dasar 1945 pasal 31 ayat 1 dan Undang-Undang Nomor 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional bab III ayat 5 dinyatakan bahwa setiap warganegara mempunyai kesempatan yang sama memperoleh pendidikan. Hal ini menunjukkan bahwa anak berkelainan berhak pula memperoleh kesempatan yang sama dengan anak lainnya (anak normal) dalam pendidikan.
Selama ini, pendidikan bagi anak berkelainan disediakan dalam tiga macam lembaga pendidikan, yaitu Sekolah Berkelainan (SLB), Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB), dan Pendidikan Terpadu. SLB, sebagai lembaga pendidikan khusus tertua, menampung anak dengan jenis kelainan yang sama, sehingga ada SLB Tunanetra, SLB Tunarungu, SLB Tunagrahita, SLB Tunadaksa, SLB Tunalaras, dan SLB Tunaganda. Sedangkan SDLB menampung berbagai jenis anak berkelainan, sehingga di dalamnya mungkin terdapat anak tunanetra, tunarungu, tunagrahita, tunadaksa, tunalaras, dan/atau tunaganda. Sedangkan pendidikan terpadu adalah sekolah biasa yang juga menampung anak berkelainan, dengan kurikulum, guru, sarana pengajaran, dan kegiatan belajar mengajar yang sama. Namun selama ini baru menampung anak tunanetra, itupun perkembangannya kurang menggembirakan karena banyak sekolah umum yang keberatan menerima anak berkelainan.
Pada umumnya, lokasi SLB berada di Ibu Kota Kabupaten. Padahal anak-anak berkelainan tersebar hampir di seluruh daerah (Kecamatan/Desa), tidak hanya di Ibu Kota Kabupaten. Akibatnya, sebagian anak-anak berkelainan, terutama yang kemampuan ekonomi orang tuanya lemah, terpaksa tidak disekolahkan karena lokasi SLB jauh dari rumah; sementara kalau akan disekolahkan di SD terdekat, SD tersebut tidak bersedia menerima karena merasa tidak mampu melayaninya. Sebagian yang lain, mungkin selama ini dapat diterima di SD terdekat, namun karena ketiadaan pelayanan khusus bagi mereka, akibatnya mereka beresiko tinggal kelas dan akhirnya putus sekolah. Permasalahan di atas akan berakibat pada kegagalan program wajib belajar.
Untuk mengantisipasi hal di atas, dan dalam rangka menyukseskan wajib belajar pendidikan dasar, dipandang perlu meningkatkan perhatian terhadap anak-anak berkelainan, baik yang telah memasuki sekolah umum (SD) tetapi belum mendapatkan pelayanan pendidikan khusus maupun anak-anak berkelainan yang belum sempat mengenyam pendidikan sama sekali karena tidak diterima di SD terdekat atau karena lokasi SLB jauh dari tempat domisilinya.

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional memberikan warna lain dalam penyediaan pendidikan bagi anak berkelainan. Pada penjelasan pasal 15 tentang pendidikan khusus disebutkan bahwa pendidikan khusus merupakan pendidikan untuk peserta didik yang berkelainan atau peserta didik yang memiliki kecerdasan luar biasa yang diselenggarakan secara inklusif atau berupa satuan pendidikan khusus pada tingkat pendidikan dasar dan menengah. Pasal inilah yang memungkinkan terobosan bentuk pelayanan pendidikan bagi anak berkelainan berupa penyelenggaraan pendidikan inklusif. Secara lebih operasional, hal ini diperkuat dengan Peraturan Pemerintah Nomor Tahun tentang Pendidikan Khusus dan Pendidikan Layanan Khusus.
Melalui pendidikan inklusif, anak berkelainan dididik bersama-sama anak lainnya (normal) untuk mengoptimalkan potensi yang dimilikinya. Hal ini dilandasi oleh kenyataan bahwa di dalam masyarakat terdapat anak normal dan anak berkelainan (berkelainan) yang tidak dapat dipisahkan sebagai suatu komunitas. Oleh karena itu, anak berkelainan perlu diberi kesempatan dan peluang yang sama dengan anak normal untuk mendapatkan pelayanan pendidikan di sekolah (SD) terdekat. Sudah barang tentu SD terdekat tersebut perlu dipersiapkan segala sesuatunya. Pendidikan inklusi diharapkan dapat memecahkan salah satu persoalan dalam penanganan pendidikan bagi anak berkelainan selama ini. Tidak mungkin membangun SLB di tiap Kecamatan/Desa sebab memakan biaya yang sangat mahal dan waktu yang cukup lama.

B. Tujuan Penulisan Buku
Setelah membaca buku Mengenal Pendidikan Inklusi ini, diharapkan pembaca (terutama para pembina dan pelaksana pendidikan di lapangan) memiliki persepsi yang sama terhadap penyelenggaraan pendidikan inklusif.

II. KONSEP PENDIDIKAN INKLUSI
Pendidikan inklusi merupakan perkembangan terkini dari model pendidikan bagi anak berkelainan yang secara formal kemudian ditegaskan dalam pernyataan Salamanca pada Konferensi Dunia tentang Pendidikan Berkelainan bulan Juni 1994 bahwa “prinsip mendasar dari pendidikan inklusif adalah: selama memungkinkan, semua anak seyogyanya belajar bersama-sama tanpa memandang kesulitan ataupun perbedaan yang mungkin ada pada mereka.”
Model pendidikan khusus tertua adalah model segregasi yang menempatkan anak berkelainan di sekolah-sekolah khusus, terpisah dari teman sebayanya. Sekolah-sekolah ini memiliki kurikulum, metode mengajar, sarana pembelajaran, system evaluasi, dan guru khusus. Dari segi pengelolaan, model segregasi memang menguntungkan, karena mudah bagi guru dan administrator. Namun demikian, dari sudut pandang peserta didik, model segregasi merugikan. Disebutkan oleh Reynolds dan Birch (1988), antara lain bahwa model segregatif tidak menjamin kesempatan anak berkelainan mengembangkan potensi secara optimal, karena kurikulum dirancang berbeda dengan kurikulum sekolah biasa. Kecuali itu, secara filosofis model segregasi tidak logis, karena menyiapkan peserta didik untuk kelak dapat berintegrasi dengan masyarakat normal, tetapi mereka dipisahkan dengan masyarakat normal. Kelemahan lain yang tidak kalah penting adalah bahwa model segregatif relatif mahal.
Model yang muncul pada pertengahan abad XX adalah model mainstreaming. Belajar dari berbagai kelemahan model segregatif, model mainstreaming memungkinkan berbagai alternatif penempatan pendidikan bagi anak berkelainan. Alternatif yang tersedia mulai dari yang sangat bebas (kelas biasa penuh) sampai yang paling berbatas (sekolah khusus sepanjang hari). Oleh karena itu, model ini juga dikenal dengan model yang paling tidak berbatas (the least restrictive environment), artinya seorang anak berkelainan harus ditempatkan pada lingkungan yang paling tidak berbatas menurut potensi dan jenis / tingkat kelainannya. Secara hirarkis, Deno (1970) mengemukakan alternatif sebagai berikut:
1.Kelas biasa penuh
2.Kelas biasa dengan tambahan bimbingan di dalam,
3.Kelas biasa dengan tambahan bimbingan di luar kelas,
4.Kelas khusus dengan kesempatan bergabung di kelas biasa,
5.Kelas khusus penuh,
6.Sekolah khusus, dan
7.Sekolah khusus berasrama.
Di Amerika Serikat, diperkirakan hanya sekitar 0,5% anak berkelainan yang bersekolah di sekolah khusus, lainnya berada di sekolah biasa (Ashman dan Elkins,1994). Sedangkan di Inggris, pada tahun 1980-1990-an saja, peserta didik di sekolah khusus diproyeksikan menurun dari sembilan juta menjadi sekitar dua juta orang, karena kembali ke sekolah biasa (Warnock,1978), dan ternyata populasi peserta didik di sekolah khusus kurang dari 3% dari jumlah anak berkelainan (Fish,1985). Pendidikan inklusi mempunyai pengertian yang beragam. Stainback dan Stainback (1990) mengemukakan bahwa sekolah inklusi adalah sekolah yang menampung semua siswa di kelas yang sama. Sekolah ini menyediakan program pendidikan yang layak, menantang, tetapi sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan setiap siswa, maupun bantuan dan dukungan yang dapat diberikan oleh para guru agar anak-anak berhasil. Lebih dari itu, sekolah inklusi juga merupakan tempat setiap anak dapat diterima, menjadi bagian dari kelas tersebut, dan saling membantu dengan guru dan teman sebayanya, maupun anggota masyarakat lain agar kebutuhan individualnya dapat terpenuhi.
Selanjutnya, Staub dan Peck (1995) mengemukakan bahwa pendidikan inklusif adalah penempatan anak berkelainan tingkat ringan, sedang, dan berat secara penuh di kelas reguler. Hal ini menunjukkan bahwa kelas reguler merupakan tempat belajar yang relevan bagi anak berkelainan, apapun jenis kelainannya dan bagaimanapun gradasinya.
Sementara itu, Sapon-Shevin (O’Neil, 1995) menyatakan bahwa pendidikan inklusif sesbagai system layanan pendidikan yang mempersyaratkan agar semua anak berkelainan dilayani di sekolah-sekolah terdekat, di kelas reguler bersama-sama teman seusianya. Oleh karena itu, ditekankan adanya restrukturisasi sekolah, sehingga menjadi komunitas yang mendukung pemenuhan kebutuhan khusus setiap anak, artinya kaya dalam sumber belajar dan mendapat dukungan dari semua pihak, yaitu para siswa, guru, orang tua, dan masyarakat sekitarnya.
Melalui pendidikan inklusif, anak berkelainan dididik bersama-sama anak lainnya (normal) untuk mengoptimalkan potensi yang dimilikinya (Freiberg, 1995). Hal ini dilandasi oleh kenyataan bahwa di dalam masyarakat terdapat anak normal dan anak berkelainan (berkelainan) yang tidak dapat dipisahkan sebagai suatu komunitas.

III. LANDASAN PENDIDIKAN INKLUSI
Penerapan pendidikan inklusif mempunyai landasan fiolosifis, yuridis, pedagogis dan empiris yang kuat.

A. Landasan filosofis
Landasan filosofis utama penerapan pendidikan inklusif di Indonesia adalah Pancasila yang merupakan lima pilar sekaligus cita-cita yang didirikan atas fondasi yang lebih mendasar lagi, yang disebut Bhineka Tunggal Ika (Mulyono Abdulrahman, 2003). Filsafat ini sebagai wujud pengakuan kebinekaan manusia, baik kebinekaan vertical maupun horizontal, yang mengemban misi tunggal sebagai umat Tuhan di bumi. Kebinekaan vertical ditandai dengan perbedaan kecerdasan, kekuatan fisik, kemampuan finansial, kepangkatan, kemampuan pengendalian diri, dsb. Sedangkan kebinekaan horizontal diwarnai dengan perbedaan suku bangsa, ras, bahasa, budaya, agama, tempat tinggal, daerah, afiliasi politik, dsb. Karena berbagai keberagaman namun dengan kesamaan misi yang diemban di bumi ini, misi, menjadi kewajuban untuk membangun kebersamaan dan interaksi dilandasi dengan saling membutuhkan.
Bertolak dari filosofi Bhineka Tunggal Ika, kelainan (kecacatan) dan keberbakatan hanyalah satu bentuk kebhinekaan seperti halnya perbedaan suku, ras, bahasa budaya, atau agama. Di dalam diri individu berkelainan pastilah dapat ditemukan keunggulan-keunggulan tertentu, sebaliknya di dalam diri individu berbakat pasti terdapat juga kecacatan tertentu, karena tidak hanya makhluk di bumi ini yang diciptakan sempurna. Kecacatan dan keunggulan tidak memisahkan peserta didik satu dengan lainnya, seperti halnya perbedaan suku, bahasa, budaya, atau agama.Hal ini harus diwujudkan dalam system pendidikan. Sistem pendidikan harus memungkinkan terjadinya pergaulan dan interaksi antar siswa yang beragam, sehingga mendorong sikap silih asah, silih asih, dan silih asuh dengan semangat toleransi seperti halnya yang dijumpai atau dicita-citkan dalam kehidupan sehari-hari.

B. Landasan yuridis
Landasan yuridis internasional penerapan pendidikan inklusif adalah Deklarasi Salamanca (UNESCO, 1994) oleh para menteri pendidikan se dunia. Deklarasi ini sebenarnya penagasan kembali atas Deklarasi PBB tentang HAM tahun 1948 dan berbagai deklarasi lajutan yang berujung pada Peraturan Standar PBB tahun 1993 tentang kesempatan yang sama bagi individu berkelainan memperoleh pendidikan sebagai bagian integral dari system pendidikan ada. Deklarasi Salamanca menekankan bahwa selama memungkinkan, semua anak seyogyanya belajar bersama-sama tanpa memandang kesulitan ataupun perbedaan yang mungkin ada pada mereka. Sebagai bagian dari umat manusia yang mempunyai tata pergaulan internasional, Indonesia tidak dapat begitu saja mengabaikan deklarasi UNESCO tersebut di atas.
Di Indonesia, penerapan pendidikan inklusif dijamin oleh Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang dalam penjelasannya menyebutkan bahwa penyelenggaraan pendidikan untuk peserta didik berkelainan atau memiliki kecerdasan luar biasa diselenggarakan secara inklusif atau berupa sekolah khusus. Teknis penyelenggaraannya tentunya akan diatur dalam bentuk peraturan operasional.

C. Landasan pedagogis
Pada pasal 3 Undang Undang Nomor 20 Tahun 2003, disebutkan bahwa tujuan pendidikan nasional adalah berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, nerilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warganegara yang demokratis dan bertanggungjawab.Jadi, melalui pendidikan, peserta didik berkelainan dibentuk menjadi warganegara yang demokratis dan bertanggungjawab, yaitu individu yang mampu menghargai perbedaan dan berpartisipasi dalam masyarakat. Tujuan ini mustahil tercapai jika sejak awal mereka diisolasikan dari teman sebayanya di sekolah-sekolah khusus. Betapapun kecilnya, mereka harus diberi kesempatan bersama teman sebayanya.

D. Landasan empiris
Penelitian tentang inklusi telah banyak dilakukan di negara-negara barat sejak 1980-an, namun penelitian yang berskala besar dipelopori oleh the National Academy of Sciences (Amerika Serikat). Hasilnya menunjukkan bahwa klasifikasi dan penempatan anak berkelainan di sekolah, kelas atau tempat khusus tidak efektif dan diskriminatif. Layanan ini merekomendasikan agar pendidikan khusus secara segregatif hanya diberikan terbatas berdasarkan hasil identifikasi yang tepat (Heller, Holtzman & Messick, 1982). Beberapa pakar bahkan mengemukakan bahwa sangat sulit untuk melakukan identifikasi dan penempatan anak berkelainan secara tepat, karena karakteristik mereka yang sangat heterogen (Baker, Wang, dan Walberg, 1994/1995).
Beberapa peneliti kemudian melakukan metaanalisis (analisis lanjut) atas hasil banyak penelitian sejenis. Hasil analisis yang dilakukan oleh Carlberg dan Kavale (1980) terhadap 50 buah penelitian, Wang dan Baker (1985/1986) terhadap 11 buah penelitian, dan Baker (1994) terhadap 13 buah penelitian menunjukkan bahwa pendidikan inklusif berdampak positif, baik terhadap perkembangan akademik maupun sosial anak berkelainan dan teman sebayanya.

IV. KONTROVERSI PENDIDIKAN INKLUSI
Seperti halnya di Indonesia, di negara asalnyapun penyelenggaraan pendidikan inklusif masih kontroversi (Sunardi, 1997).

A.Pro Inklusi
Para pendukung konsep pendidikan inklusif mengajukan argumen antara lain sebagai berikut:
1. Belum banyak bukti empiris yang mendukung asumsi bahwa layanan pendidikan khusus yang diberikan di luar kelas reguler menunjukkan hasil yang lebih positif bagi anak;
2. Biaya sekolah khusus relatif lebih mahal dari pada sekolah umum;
3. Sekolah khusus mengharuskan penggunaan label berkelainan yang dapat berakibat negatif pada anak;
4. Banyak anak berkelainan yang tidak mampu memperoleh pendidikan karena tidak tersedia sekolah khusus yang dekat;
5. Anak berkelainan harus dibiasakan tinggal dalam masyarakat bersama masyarakat lainnya.

B.Kontra inklusi
Sedangkan para pakar yang mempertahankan penyediaan berbagai alternatif penempatan pendidikan bagi anak berkelainan berargumen sebagai berikut:
1. Peraturan perundangan yang berlaku mensyaratkan bahwa bagi anak berkelainan disediakan layanan pendidikan yang bersifat kontinum;
2. Hasil penelitian tetap mendukung gagasan perlunya berbagai alternatif penempatan pendidikan bagi anak berkelainan;
3. Tidak semua orang tua menghendaki anaknya yang berkelainan berada di kelas reguler bersama teman-teman seusianya yang normal;
4. Pada umumnya sekolah reguler belum siap menyelenggarakan pendidikan inklusif karena keterbatasan sumber daya pendidikannya.
Oleh karena itu, meskipun sudah ada sekolah inklusi, keberadaan sekolah khusus (segregasi) seperti SLB masih diperlukan sebagai salah satu alternatif bentuk pelayanan pendidikan bagi anak berkelainan yang memerlukan.

C.Inklusi Moderat
Melihat kontroversi yang lebih bersifat filosofis, Vaughn, Bos, dan Schumm (2000), mengemukakan bahwa dalam praktik, istilah inklusi sebaiknya dipakai bergantian dengan instilah mainstreaming, yang secara teori diartikan sebagai penyediaan layanan pendidikan yang layak bagi anak berkelainan sesuai dengan kebutuhan individualnya. Penempatan anak berkelainan harus dipilih yang paling bebas di antara delapan alternatif di atas, berdasarkan potensi dan jenis / tingkat kelainannya. Penempatan ini juga bersifat sementara, bukan permanen, dalam arti bahwa iswa berkelainan dimungkinkan secara luwes pindah dari satu alternatif ke alternatif lainnya, dengan asumsi bahwa intensi kebutuhan khususnya berubah-ubah. Filosofinya adalah inklusi, tetapi dalam praktiknya menyediakan berbagai alternatif layanan sesuai dengan kemampuan dan kebutuhannya. Model ini juga sering disebut inklusi moderat, dibandingkan dengan inklusi radikal seperti yang diperjuangkan oleh mereka yang pro inklusi.

V. IMPLIKASI MANAJERIAL INKLUSIF
Salah satu karakteristik terpenting dari sekolah inklusi adalah satu komunitas yang kohesif, menerima dan responsive terhadap kebutuhan individual siswa. Untuk itu, Sapon-Shevin (dalam Sunardi, 2002) mengemukakan lima profil pembelajaran di sekolah inklusi, yaitu:
1. Pendidikan inklusi berarti menciptakan dan menjaga komunitas kelas yang hangat, menerima keanekaragaman, dan menghargai perbedaan.
Guru mempunyai tanggungjawab menciptakan suasana kelas yang menampung semua anak secara penuh dengan menekankan suasana dan perilaku social yang menghargai perbedaan yang menyangkut kemampuan, kondisi fisik, sosialekonomi, suku, agama, dan sebagainya. Pendidikan inklusi berarti penerapan kurikulum yang multilevel dan multimodalitas.
2. Mengajar kelas yang heterogen memerlukan perubahan pelaksanaan kurikulum secara mendasar.
Pembelajaran di kelas inklusi akan bergerser dari pendekatan pembelajaran kompetitif yang kaku, mengacu materi tertentu, ke pendekatan pembelajaran kooperatif yang melibatkan kerjasama antarsiswa, dan bahan belajar tematik.
3. Pendidikan inklusi berarti menyiapkan dan mendorong guru untuk mengajar secara interaktif.
Perubahan dalam kurikulum berkatian erat dengan perubahan metode pembelajaran. Model kelas tradisional di mana seorang guru secara sendirian berjuang untuk dapat memenuhi kebutuhan semua anak di kelas harus bergeser dengan model antarsiswa saling bekerjasama, saling mengajar dan belajar, dan secara aktif saling berpartisipasi dan bertanggungjawab terhadap pendidikannya sendiri dan pendidikan teman-temannya. Semua anak berada di satu kelas bukan untuk berkompetisi melainkan untuk saling belajar dan mengajar dengan yang lain.
4. Pendidikan inklusi berarti penyediaan dorongan bagi guru dan kelasnya secara terus menerus dan penghapusan hambatan yang berkaitan dengan isolasi profesi.
Meskipun guru selalu berinteraksi dengan orang lain, pekerjaan mengajar dapat menjadi profesi yang terisolasi. Aspek terpenting dari pendidikan inklusif adalah pengejaran dengan tim, kolaborasi dan konsultasi, dan berbagai cara mengukur keterampilan, pengetahuan, dan bantuan individu yang bertugas mendidik sekelompok anak. Kerjasama antara guru dengan profesi lain dalam suatu tim sangat diperlukan, seperti dengan paraprofessional, ahli bina bicara, petugas bimbingan, guru pembimbing khusus, dan sebagainya. Oleh karena itu, untuk dapat bekerjasama dengan orang lain secara baik memerlukan pelatihan dan dorongan secara terus-menerus.
5. Pendidikan inklusi berarti melibatkan orang tua secara bermakna dalam proses perencanaan.
Keberhasilan pendidikan inklusif sangat bergantung kepada partisipasi aktif dari orang tua pada pendidikan anaknya, misalnya keterlibatan mereka dalam penyusunan Program Pengajaran Individual (PPI) dan bantuan dalam belajar di rumah.

VI. MODEL PENDIDIKAN INKLUSI IDONESIA
A. Alternatif Penempatan
Melihat kondisi dan system pendidikan yang berlaku di Indonesia, model pendidikan inklusif lebih sesuai adalah model yang mengasumsikan bahwa inklusi sama dengan mainstreaming, seperti pendapat Vaughn, Bos & Schumn.(2000). Penempatan anak berkelainan di sekolah inklusi dapat dilakukan dengan berbagai model sebagai berikut:
1. Kelas reguler (inklusi penuh)
Anak berkelainan belajar bersama anak lain (normal) sepanjang hari di kelas reguler dengan menggunakan kurikulum yang sama
2. Kelas reguler dengan cluster
Anak berkelainan belajar bersama anak lain (normal) di kelas reguler dalam kelompok khusus.
3. Kelas reguler dengan pull out
Anak berkelainan belajar bersama anak lain (normal) di kelas reguler namun dalam waktu-waktu tertentu ditarik dari kelas reguler ke ruang sumber untuk belajar dengan guru pembimbing khusus.
4. Kelas reguler dengan cluster dan pull out
Anak berkelainan belajar bersama anak lain (normal) di kelas reguler dalam kelompok khusus, dan dalam waktu-waktu tertentu ditarik dari kelas reguler ke ruang sumber untuk belajar dengan guru pembimbing khusus.
5. Kelas khusus dengan berbagai pengintegrasian
Anak berkelainan belajar di dalam kelas khusus pada sekolah reguler, namun dalam bidang-bidang tertentu dapat belajar bersama anak lain (normal) di kelas reguler.
6. Kelas khusus penuh
Anak berkelainan belajar di dalam kelas khusus pada sekolah reguler.

Dengan demikian, pendidikan inklusif tidak mengharuskan semua anak berkelainan berada di kelas reguler setiap saat dengan semua mata pelajarannya (inklusi penuh), karena sebagian anak berkelainan dapat berada di kelas khusus atau ruang terapi berhubung gradasi kelainannya yang cukup berat. Bahkan bagi anak berkelainan yang gradasi kelainannya berat, mungkin akan lebih banyak waktunya berada di kelas khusus pada sekolah reguler (inklusi lokasi). Kemudian, bagi yang gradasi kelainannya sangat berat, dan tidak memungkinkan di sekolah reguler (sekolah biasa), dapat disalurkan ke sekolah khusus (SLB) atau tempat khusus (rumah sakit).
Setiap sekolah inklusi dapat memilih model mana yang akan diterapkan, terutama bergantung kepada:
1. jumlah anak berkelainan yang akan dilayani,
2. jenis kelainan masing-masing anak,
3. gradasi (tingkat) kelainan anak,
4. ketersediaan dan kesiapan tenaga kependidikan, serta
5. sarana-prasara yang tersedia.

B. Komponen Yang Perlu Disiapkan
Mutu pendidikan (lulusan) dipengaruhi oleh mutu proses belajar-mengajar; sementara itu, mutu proses belajar-mengajar ditentukan oleh berbagai faktor (komponen) yang saling terkait satu sama lain, yaitu:
1.input siswa,
2.kurikulum (bahan ajar),
3.tenaga kependidikan (guru/instruktur/ pelatih),
4.sarana-prasarana,
5.dana,
6.manajemen (pengelolaan), dan
7.lingkungan (sekolah, masyarakat, dan keluarga),
yang secara diagramatis dapat dilihat pada diagram 1. Komponen-komponen seperti pada diagram merupakan sub-sistem dalam sistem pendidikan (sistem pembelajaran). Bila ada perubahan pada salah satu sub-sistem (komponen), maka menuntut perubahan/penyesuaian komponen lainnya.

Dalam hal ini, bila dalam suatu kelas terdapat perubahan pada input siswa, yakni tidak hanya menampung anak normal tetapi juga anak berkelainan, maka menuntut penyesuaian (modifikasi) kurikulum (bahan ajar), peranserta guru, sarana-prasarana, dana, manajemen (pengelolaan kelas), lingkungan, serta kegiatan belajar-mengajar.

VII. ISU-ISU STRATEGIS
Sehubungan dengan hal di atas, dalam rangka penyelenggaraan pendidikan inklusif perlu diperhatikan beberap isu strategis berikut:

1.Input siswa
Kemampuan awal dan karakteristik siswa menjadi acuan utama dalam mengembangkan kurikulum dan bahan ajar serta penyelenggaraan proses belajar-mengajar. Implikasinya antara lain perlu dipikirkan:
a. a.Siapa input siswanya, apakah semua peserta didik berkelainan
dapat mengikuti kelas reguler bercampur anak lainnya (anak
normal)?
b. Bagaimana identifikasinya?
c. Apa alat identifikasi yang digunakan?
d. Siapa yang terlibat dalam identifikasi?
2.Kurikulum
Kurikulum (bahan ajar) yang dikembangkan hendaknya mengacu kepada kemampuan awal dan karakteristik siswa. Implikasinya antara lain perlu dipikirkan:
a. a.Bagaimana model kurikulum (bahan ajarnya) untuk kemampuan
anak yang beragam dalam kelas reguler yang sama?
b. Siapa yang mengembangkannya?
c. Bagaimana pengembangannya?
3.Tenaga kependidikan
Tenaga kependidikan (guru/instruktur/pelatih/therapist dsb.) yang mengajar hendaknya memiliki kualifikasi yang dipersyaratkan, yaitu memiliki pengetahuan, keterampilan, dan sikap tentang materi yang akan diajarkan/dilatihkan, dan memahami karakteristik siswa. Implikasinya antara lain perlu dipikirkan:
a. a.Siapa saja tenaga kependidikan yang terlibat?
b. Apa peranserta masing-masing?
c. Bagaimana kualifikasi gurunya?
d. Persyaratan apa yang harus dimiliki?
4.Sarana-prasarana
Sarana-prasarananya hendaknya disesuaikan dengan tuntutan kurikulum (bahan ajar) yang telah dikembangkan. Implikasinya antara lain perlu dipikirkan:
a. Prasarana apa yang diperlukan?
b. Sarana apa yang diperlukan?
5.Dana
Penyelenggaraan pendidikan inklusif di sekolah reguler memerlukan dukungan dana yang memadai. Untuk itu dapat ditanggung bersama antara pemerintah, masyarakat, dan orang tua siswa, serta sumbangan suka rela dari berbagai pihak.
Implikasinya antara lain perlu dipikirkan:
a.Dari mana sumber dana untuk operasional sekolah inklusi?
b.Untuk keperluan apa saja dana tersebut?
6.Manajemen
Penyelenggaraan pendidikan inklusif memerlukan manajemen yang berbeda dengan sekolah reguler. Implikasinya antara lain perlu difikirkan:
a. a.Bagaimana manajemennya?
b. Siapa saja yang dilibatkan?
c. Apa tugas dan fungsinya?
7.Lingkungan
Agar tercipta suasana belajar yang menyenangkan maka lingkungan belajar dibuat sedemikian rupa sehingga proses belajar-mengajar dapat berlangsung secara aman dan nyaman. Implikasinya antara lain perlu difikirkan:
a. a.Bagaimana lingkungan sekolahnya?
b. Bagaimana lingkungan sekitaranya?cBagaimana lingkungan
rumah tangganya?
c. Upaya apa yang dilakukan dalam rangka meningkatkan
peranserta masyarakat dan orang tua untuk meningkatkan mutu
pendidikan di sini?
8.Proses belajar-mengajar
Proses belajar-mengajar lebih banyak memberikan kesempatan belajar kepada siswa melalui pengalaman nyata. Implikasinya antara lain perlu dipikirkan:
a. a.Bagaimana perencanaan kegiatan belajar-mengajar?
b. Bagaimana pelaksanaan kegiatan belajar-mengajar?
c. Bagaimana evaluasi kegiatan belajar-mengajar?



MENANGANI ANAK BERBAKAT

Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa yang membedakan antara manusia dengan binatang adalah kemampuan intelektualnya. Dengan kemampuan ini manusia dapat melakukan perubahan kebudayaan maupun pembaharuan teknologi di dalam masyarakat. Oleh karenanya pendidikan yang antara lain berfungsi mengembangkan kemampuan ini, tidak boleh hanya semata-mata menyajikan kumpulan pengetahuan yang sifatnya materi hafalan belaka. Sekolah-sekolah sebagai institusi pendidikan seyogyanya dapat mewujudkan lingkungan yang baru, penuh kekayaan pengalaman yang bersifat human, fleksibel dan mengandung tantangan untuk dapat memenuhi kebutuhan setiap individu.
Bila diamati secara cermat, setiap manusia memiliki ciri, kecenderungan dan potensi sendiri-sendiri sebagai anugerah Tuhan dan alam (a gift of God and nature). Di sini kita akan menemukan anak manusia dengan kemampuan biasa (rata-rata) atau luar biasa (di bawah atau di atas rata-rata). Anak dengan karakteristik yang beragam itu memerlukan cara perlakuan dan penanganan yang berbeda-beda untuk dapat mencapai tumbuh kembang yang optimal.
Khusus untuk anak-anak yang berkemampuan di atas rata-rata (dalam konteks ini dikatakan sebagai anak berbakat) perlu ditemukenali lebih jauh agar para guru dan orangtua dapat memahami kemampuan anak berbakat dibandingkan dengan kemampuan anak lainnya, sehingga para guru dan orangtua akan lebih efektif dalam membina dan membimbing anak. Sementara bagi sang anak sendiri, akan tercukupi kebutuhan-kebutuhannya serta terpuaskan keinginannya untuk mengembangkan bakatnya.
Siapa sebenarnya anak berbakat itu? Anak berbakat adalah mereka yang oleh orang-orang profesional diidentifikasikan sebagai anak yang mampu mencapai prestasi tinggi karena memiliki kemampuanh yang unggul. Kemampuan yang dimaksud tidak sebatas kemampuan melihat hubungan-hubungan logis dan mengadaptasi prinsip-prinsip abstrak kepada situasi konkret, tetapi juga memiliki kemampuan menggeneralisasikan, lebih dari orang lainnya. Oleh karenanya, kita dapat mendefinisikan anak berbakat itu sebagai anak yang : (1) memiliki kemampuan intelektual di atas rata-rata; (2) memiliki tanggung jawab (komitmen) yang tinggi terhadap tugas; (3) memiliki kreativitas yang tinggi. Dengan demikian, anak berbakat akan mampu mengembangkan sifat-sifat tersebut dan menerapkannya dalam kehidupan di masyarakat.
Anak berbakat (gifted) harus dibedakan dengan anak genius. Karena anak genius adalah anak berbakat tetapi dengan taraf sangat tinggi (highly gifted) jauh di atas anak berbakat pada umumnya walaupun anak berbakat itu sendiri telah memiliki kemampuan di atas rata-rata.
Berdasarkan teori Triarchic, pada prinsipnya ada 3 macam keberbakatan: Pertama, bakat analitik, yakni bakat dalam memilah masalah dan memahami bagian-bagian dari masalah tersebut. Kedua, bakat sintetik, yakni bakat dalam kemampuan intuitif, kreatif dan cakap dalam mengatasi situasi-situasi tertentu. Ketiga, bakat praktis, yakni bakat dalam analitik maupun sintetik dalam kehidupan sehari-hari
Bagian terpenting dari teori di atas menurut Stenberg adalah kemampuan mengkoordinasikan 3 aspek kemampuan dan bagaimana mengaplikasikannya untuk memperoleh keberhasilan. Oleh karena itu menurut Stenberg, orang yang berbakat adalah orang yang mampu mengelola sendiri cara berpikir yang baik.
Selanjutnya, berdasarkan hasil penelitian Terman, ada empat macam keberbakatan dengan segala macam karakteristiknya:
Pertama, keberbakatan akademik dengan karakteristik antara lain : memiliki perbendaharaan yang maju, meninat terhadap buku dan membaca lebih dini, menyukai buku bacaan orang dewasa, cepat dalam belajar dan mudah mengingat, cepat memahami hubungan sebab akibat, memiliki rasa ingin tahu yang besar dan sebagainya.
Kedua, keberbakatan kreatif dengan karakteristik antara lain: menyukai kerja sendiri dengan cara sendiri, senang bereksperimen dan penuh imajinasi, mampu berpikir dengan banyak cara, banyak menghasilkan ide-ide bagu dan sebagainya.
Ketiga, keberbakatan kepemimpinan dan sosial dengan karakteristik: menarik dan rapi dalam penampilan, diterima oleh mayoritas, memberikan sumbangan yang positif dan konstruktif, bersikap adil/netral, memiliki tenggang rasa, dan sebagainya.
Keempat, keberbakatan seni dengan karakteristik mampu menyusun nada-nada orisinal, menyukai aktivitas musikal, mudah mengingat dan memproduksi melodi, memiliki titi nada yang sempurna, dapat memainkan berbagai instrumen/alat musik, dan sebagainya.
Anak berbakat memerlukan berbagai kebutuhan khusus sesuai dengan ciri keunggulan yang dimiliki oleh masing-masing anak. Kebutuhan khusus inilah yang memerlukan layanan khusus dalam bentuk pendidikan luar biasa (special education) karena sifatnya yang amat khusus.
Menurut Virgil Ward, pendidikan anak berbakat intelektual berbeda dengan anak yang lain dan seyogyanya amat menekankan pada aspek aktivitas intelektualnya. Disamping itu, pembelajaran anak berbakat harus diwarnai kecepatan dan tingkat kompleksitas yang lebih sesuai kemampuannya yang secara riil lebih tinggi dari anak biasa.
Sementara Kitano dan Kirby menambahkan bahwa individu berbakat memerlukan pertimbangan khusus dalam pendidikannya, karena secara kualitatif berbeda dengan individu lainnya. Program pendidikan yang dirancangpun harus berbeda dengan program pendidikan untuk anak lainnya, dengan penekanan luar biasa pada perkembangan kreatif dan proses berpikir tinggi. Sehubungan dengan itu, hafalan dalam pembelajaran bagi anak berbakat harus sejauh mungkin dicegah. Tekanannya justru pada teknik yang berorientasi pada penemuan (discovery oriented) dan pendekatan induktif.
Di sinilah dibutuhkan kurikulum yang berdiferensiasi bagi anak berbakat, terutama yang mengacu pada penanjakan kehidupan mental melalui berbagai program yang akan menumbuhkan kreativitasnya serta mencakup berbagai pengalaman belajar intelektual tingkat tinggi, meskipun kurikulum nasional sepenuhnya juga diperlukan oleh anak berbakat.
Agar materi belajar tidak terlalu sempit maka berbagai wahana luar sekolah seperti kegiatan di masyarakat atau kegiatan ekstrakurikuler dengan pengkajian suatu obyek perlu lebih digiatkan untuk mendukung kurikulum yang berdiferensiasi.
Sementara bagi orangtua, anak berbakat tetap harus dibimbing dan diasuh sebagai anak lainnya, yakni dicukupi kebutuhan-kebutuhannya baik fisik (sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan, dll) maupun psikis (kenyamanan, ketenangan, kasih sayang dan perlindungan maupun rekreasi) secara penuh.
Itu artinya, anak berbakat memerlukan perlakuan dan penanganan khusus agar anak berbakat dapat berkembang secara optimal sesuai dengan potensi yang dimilikinya. Tugas guru dan orangtua adalah mengkondisikan situasi lingkungan belajar anak agar mampu mendukung tumbuh kembang keberbakatannya sesuai dengan spesifikasi yang dimiliki.





Upaya Pemberian Layanan Pendidikan

Upaya Pemberian Layanan Pendidikan Bagi Anak Berkebutuhan Khusus

A. PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Anak adalah buah hati dalam setiap keluarga. Tanpa anak, keluarga akan terasa sepi, gelap, dan tanpa warna. Tak heran jika ketemu teman lama yang pertama kali terlontar adalah pertanyaan berapa anakmu sekarang? Bukan berapa mobilmu, rumahmu atau yang lainnya.

Sering terdengar ungkapan anak adalah titipan dari yang Maha Pencipta, maka peliharalah dengan sebaik-baiknya, berilah tempat yang paling baik, jadikanlah manusia yang berguna karena anak itu terlahir suci adanya seperti kertas putih. Bagaimana kertas itu menjadi penuh warna tergantung pada orang tua dan lingkungan yang akan memberi warna maupun coretan pada kertas tersebut.

Interaksi anak dengan orang tua ketika di rumah, dengan guru dan teman ketika di sekolah dan dengan tetangga atau orang lain ketika di masyarakat akan membentuk berbagai karakter dalam diri anak tersebut. Ada yang pendiam, periang, egois, peramah, cerdas, bodoh, pemurung, sosial dan sebagainya. Semua karakter-karakter ini tentunya sebagai akibat dari proses pewarnaan pada diri anak.

Pada mulanya, pengertian anak berkebutuhan khusus adalah anak cacat, baik cacat fisik maupun mental. Anak-anak yang cacat fisik sejak lahir, seperti tidak memiliki kaki atau tangan yang sempurna, buta warna, atau tuli termasuk anak berkebutuan khusus. Pengertian anak berkebutuhan khusus kemudian berkembang menjadi anak yang memiliki kebutuhan individual yang tidak bisa disamakan dengan anak yang normal. Pengertian anak berkebutuhan khusus tersebut akhirnya mencakup anak yang berbakat, anak cacat, dan anak yang mengalami kesulitan.

Selama ini cara pandang terhadap anak berkebutuhan khusus, masih negatif maka pemenuhan hak anak berkebutuhan khusus juga belum dapat memperoleh hak yang sama dengan masyarakat lainnya. Persamaan hak sebenarnya telah diatur dengan berbagai perangkat perundangan formal, tetapi permasalahannya tidak adanya sanksi yang jelas terhadap pelanggaran peraturan yang ada, sehingga masih banyak anak-anak berkebutuhan khusus yang belum memperoleh haknya. Sehubungan dengan itu maka guru sebagai ujung tombak pendidikan formal perlu memberikan layanan secara optimal bagi semua siswa termasuk anak berkebutuhan khusus.

2. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas maka permasalahan mendasar yang hendak ditelaah dalam makalah ini adalah bagaimana upaya memberikan hak-hak anak berkebutuhan khusus?

3. Tujuan dan Manfaat

Tujuan penyusunan makalah ini adalah untuk mendeskripsikan upaya memberikan hak-hak anak berkebutuhan khusus.

Penyusunan makalah ini bermanfaat secara teoretis, untuk mengkaji upaya dalam memberikan hak-hak anak berkebutuhan khusus. Secara praktis, bermanfaat bagi:
(1) para pendidik untuk memperhatikan dan memberikan pelayanan pada anak berkebutuhan khusus,
(2) mahasiswa agar memahami cara memberikan pelayanan pada anak berkebutuhan khusus.

B. PEMBAHASAN

Always say you yes for children. Selalu berkatalah ya pada anak. Jarang didapati guru yang demikian ini. Rata-rata mereka melarang siswa-siswanya melakukan sesuatu. Contoh jangan manjat pagar nanti jatuh, jangan main api nanti terbakar dan sebagainya. Padahal siswa saat melakukan hal tersebut pada kondisi senang dengan hal baru, menemui keasyikan dan mencoba untuk belajar dari hal tersebut. Pada tarap belajar inilah nantinya akan timbul suatu kreativitas pada diri siswa tersebut. Mereka akan berhenti jika ternyata api itu panas, ataupun tidak akan melakukan lagi ketika mereka jatuh dari suatu pagar tersebut.

Larangan-larangan semacam ini tentunya dapat mematikan kreativitas siswa. Siswa akan selalu dalam lingkaran ketidaktahuan, ketakutan, tidak berani mencoba sesuatu yang baru. Namun kadang guru sendiri tidak menyadari akan hal ini. Seharusnya untuk hal-hal baru seperti diatas siswa diberi kesempatan untuk mencoba melakukan sementara guru tetap memberi pengawasan sehingga siswa dapat bereksperimen dengan aman.

Guru tidaklah selalu bersikap sebagai petugas hukum di lingkungan sekolah. Di mana biasanya guru yang membuat peraturan. Kemudian mereka pula yang memberi sanksi atau hukuman pada siswanya, jika siswa melakukan suatu kesalahan, misalnya dengan disuruh lari mengitari halaman, berdiri di depan kelas, memukul dengan sabuk atau tindakan lain yang lebih mengarah pada hukuman fisik.

Sebenarnya guru dapat bersikap lebih demokratis pada siswa, mencoba membicarakan dengan siswa hal-hal apa saja yang baik dapat mereka lakukan, mana yang baik dan mana yang tidak. Siswa diberi kesempatan untuk mengemukakan pendapatnya dan mengklarifikasi antara hal yang baik dan yang tidak untuk kemudian disusun sebagai suatu peraturan secara bersama dan demokratis. Dalam menentukan hukuman hendaknya juga dengan sikap yang demokratis. Cobalah siswa untuk menentukan hukuman sendiri sebagai sikap pertanggungjawaban terhadap kesalahannya dan tidak akan mengulanginya lagi.

Guru harus mampu menyediakan media untuk siswanya sebagai upaya untuk menelurkan siswa yang cerdas dan kreatif. Pernyataan tersebut selaras dengan teori teori pendekatan ekologis dan genetis yang diungkapkan oleh Spiel (1994), Oerter (1992), Scarr&Mc. Cartney (1982). Menurut pandangan mereka, perkembangan siswa selalu berupa interaksi antara bakat (genotip) dan lingkungan. Setidaknya ada tiga hasil interkasi genotip dan lingkungan (Kartono, tahun 1995:119).

Pertama, adanya hasil interaksi genotif-lingkungan yang bersifat pasif. Hal ini timbul karena guru memberi lingkungan yang sesuai dengan bakat mereka sendiri. Misalnya guru yang gemar musik akan selalu memberikan lingkungan musik pada siswanya sehingga siswa sejak awal hidup dalam lingkunga musik tersebut.

Kedua, hasil interaksi genotif-lingkungan yang bersifat evokatif . Hal ini timbul karena siswa dengan bakat berbeda-beda menimbulkan berbagai macam reaksi terhadap lingkungan sosialnya. Contohnya siswa masa usia sekolah sering melakukan hal-hal yang seenaknya saja sehingga menimbulkan perhatian pada orang lain yang mempengaruhi perilakunya sendiri lagi.

Ketiga, hasil interaksi genotif-lingkungan yang bersifat aktif. Hal ini timbul karena seseorang memilih lingkungan yang cocok dengan pribadinya sendiri. Kebanyakan terjadi pada usia remaja dan sering dilakukan bersama-sama dengan pencarian identitas ego atau citra diri atau jati diri.

Terkait dengan hal di atas, ada beberapa landasaran yuridis formal yang mendasari upaya untuk memberikan hak-hak pada anak berkebutuhan khusus, diantaranya yaitu :

1. UUD 1945 pasal 31 ayat 1 dan 2 tentang hak mendapat pendidikan.

2. UU No. 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional. Pasal 3, 5 dan 32 tentang pelayanan pendidikan khusus.

3. UU No. 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak pasal 48, 49, 50, 51, 52, 53

4. UU No. 4 tahun 1997 pasal 5 tentang penyandang cacat.

5. Deklarasi Bandung (Nasional) "Indonesia menuju pendidikan inklusif" 8-14 Agustus 2004.

Sejalan dengan hal tersebut Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tanggal 20 November 1989 menetapkan konfensi hak anak termasuk di dalamnya hak anak yang berkebutuhan khusus, di antaranya:

1. Dalam deklarasi Hak-hak Asasi Manusia Sedunia, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah dinyatakan bahwa masa kanak-kanak berhak memperoleh pemeliharaan dan bantuan khusus.

2. Sebagaimana yang dinyatakan dalam Deklarasi Hak-hak anak, "anak karena tidak memiliki kematangan jasmani dan mentalnya, memerlukan pengamanan dan pemeliharaan khusus termasuk perlindungan hukum yang layak, sebelum dan sesudah kelahiran."

3. Di semua negara bagian di dunia, ada anak-anak yang hidup dalam keadaan yang sulit, dan bahwa anak-anak seperti itu membutuhkan perhatian khusus.

Menurut Ki Hajar Dewantara mengingatkan bahwa pendidikan merupakan tanggung jawab bersama antara keluarga, sekolah dan pemerintah (Suyanto, 2005:225) oleh karena itu upaya untuk memberikan pelayanan kepada anak yang berkebutuhan khusus hendaknya melibatkan :
(1) kerja sama dengan orang tua,
(2) kerja sama antara guru,
(3) kerja sama organisasi profesional,
(4) kerja sama dengan masyarakat.

Dari berbagai upaya di atas diharapkan anak-anak berkebutuhan khusus mendapatkan pelayanan khusus sesuai dengan hak-haknya. Sehingga anak tidak akan kehilangan hak-haknya untuk mengembangkan potensi secara optimal. Dengan demikian anak berkebutuhan khusus dapat mengembangkan potensinya seperti anak-anak lain untuk membekali hidupnya serta dapat bermanfaat bagi dirinya, lingkungan, dan masyarakat.

C. PENUTUP

1. Simpulan

Anak berkebutuhan khusus hendaknya memperoleh pelayanan secara khusus. Apapun upaya untuk memberikan pelayanan kepada anak-anak berkebutuhan khusus di antaranya:
(1) menindaklanjuti landasan yuridis,
(2) menindaklanjuti Konvensi hak anak,
(3) Melakukan kerjasama dengan orang tua, guru, organisasi profesional, dan masyarakat.

2. Saran

Pentingnya pelayanan pada anak berkebutuhan khusus hendaknya para guru mampu memberikan layanan secara khusus pada anak-anak yang membutuhkan sehingga anak-anak tersebut tidak kehilangan hak-haknya. DAFTAR PUSTAKA

Kartono Kartini, 1995. Psikologi Anak. Bandung, Mandar Maju.

Sularto St, 2003. Seandainya Aku Bukan Anakmu. Jakarta, Buku Kompas.

Suyanto Slamet, 2005. Dasar-Dasar Pendidikan Anak Usia Dini. Yogyakarta, Hikayat.

Suparno, 2007. Pendidikan anak Berkebutuhan Khusus. Jakarta, Dirjen Dikti Depdiknas

Pengertian Kelompok Etnik Minoritas(Pendidikan Layanan Khusus)

Definisi mengenai kelompok minoritas sampai saat ini belum dapat diterima secara universal. Namun demikian yang lazim digunakan dalam suatu negara, kelompok minoritas adalah kelompok individu yang tidak dominan dengan ciri khas bangsa, suku bangsa, agama, atau bahasa tertentu yang berbeda dari mayoritas penduduk. Minoritas sebagai ‘kelompok’ yang dilihat dari jumlahnya lebih kecil dibandingkan dengan jumlah penduduk lainnya dari negara bersangkutan dalam posisi yang tidak dominan. Keanggotaannya memiliki karakteristik etnis, agama, maupun bahasa yang berbeda dengan populasi lainnya dan menunjukkan setidaknya secara implisit sikap solidaritas yang ditujukan pada melestarikan budaya, tradisi, agama dan bahasa.
Sehubungan dengan hal tersebut beberapa wilayah di Indonesia akhir-akhir ini sering muncul kerusuhan sosial yang dilatarbelakangi etnis dan agama. Hal ini merupakan masalah yang sangat serius apabila tidak segera diselesaikan akan dapat mengancam terjadinya disintegrasi bangsa. Oleh karena itu, permasalahan yang dihadapi berbagai daerah di Indonesia adalah masih banyak terjadi diskriminasi terhadap hak-hak kelompok minoritas, baik agama, suku, ras dan yang berkenaan dengan jabatan dan pekerjaan bagi penyandang cacat, sehingga sampai saat ini dirasakan masih ‘belum terpenuhinya hak-hak kelompok minoritas’.
Permasalahan yang dihadapi di berbagai daerah Indonesia adalah masih banyak diskriminasi terhadap kelompok minoritas baik etnis maupun agama, padahal mereka sebagai masyarakat atau suku bangsa harus diberlakukan sama dengan kelompok mayoritas lainnya.
Dalam rangka pemajuan dan perlindungan kaum minoritas antara lain adanya larangan diskriminasi karena diskriminasi berdampak negatif pada kaum minoritas secara politik, sosial, budaya dan ekonomi serta merupakan sumber utama terjadinya ketegangan. Diskriminasi berarti menunjukan perbedaan, pengecualian, pembatasan atau pengistimewaan apapun berdasarkan alasan seperti ras, warna kulit, bahasa, agama atau asal-usul kebangasaan atau sosial, status kelahiran atau status lainnya, yang mempunyai tujuan atau pengaruh untuk meniadakan atau merusak pengakuan, penikmatan, pemenuhan semua hak dan kebebasan dari semua orang yang setara.
Rambu-rambu perlindungan yang penting yang akan menguntungkan kaum minoritas mencakup pengakuan sebagai pribadi dihadapan hukum, persamaan dihadapan badan-badan pengadilan, persamaan dihadapan hukum, perlindungan hukum yang sama disamping hak penting seperti kebebasan beragama, menyatakan pendapat dan berserikat.
Dalam hubungan ini telah banyak diberlakukan berbagai peraturan perundangan sebagai instrumen hukum dan HAM nasional disamping instrumen HAM Internasional,
seperti: (a) Konvenan Internasional Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Ras 1965 (Pasal 1); (b) Deklarasi UNESCO tentang Ras dan Prasangka Ras 1978 (Pasal 1, 2 dan 3); dan (c) Deklarasi Berdasarkan Agama dan Kepercayaan 1981 (Pasal 2).
Sedangkan penjelasan ketentuan umum Undang-undang Hak Asasi Manusia No. 39 tahun 1999, diskriminasi adalah pembatasn, pelecehan atau pengucilan yang langsung ataupun tak langsung didasarkan pada perbedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik,kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa yang berakibat pengurangan, penyimpangan atau penghapusan pengakuan, pelaksanaan HAM dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik individual maupun kolektif dalam bidang ekonomi, sosial, budaya dan aspek kehidupan lainnya. Secara normatif bentuk perlindungan hukum telah diatur melalui instrumen internasional maupun nasional yang berkaitan dengan HAM terhadap kelompok minoritas, namun dalam implementasi masih dinilai perlu untuk menjadi perhatian bersama. Hal ini mencakup pola interaksi antara kelompok minoritas dengan kelompok lainnya untuk dilakukan dengan baik berlandaskan azas keterbukaan dan toleransi terhadap tata nilai semua kelompok yang ada di masyarakat.