Akibatnya,
pendidikan Islam kerap dikesan sebagai aktivitas pembelajaran yang
hanya mengurusi masalah-masalah ritual. Sementara kajian di bidang
ekonomi, politik, sosial, budaya, manajemen, kesehatan, pertanian,
kelautan dan sebagainya kurang menjadi perhatian serius. Pemisahan ilmu
dalam penyelenggaraan pendidikan Islam semacam itu pada gilirannya akan
menghambat kemajuan peradaban umat Islam itu sendiri.
Selain
adanya pemisahan ilmu agama dari kebutuhan riil masyarakat modern,
pendidikan Islam hingga kini seolah dalam posisi problematik. Di satu
sisi, umat Islam berada pada romantisme historis karena pernah memiliki
para pemikir dan ilmuwan besar serta memiliki kontribusi yang besar pula
bagi peradaban dan ilmu pengetahuan dunia. Namun di sisi lain, umat
Islam harus menghadapi sebuah fakta bahwa pendidikan Islam tidak berdaya
dihadapkan pada realitas masyarakat industri.
Kenyataan
di atas kiranya dapat dihubungkan dengan pendidikan agama Islam yang
selama ini lebih menekankan pada hubungan formalitas antara hamba dan
Tuhannya. Pada waktu yang bersamaan, Islam diajarkan lebih pada tingkat
hafalan, padahal Islam penuh dengan nilai-nilai yang harus dipraktikkan.
Sementara
dalam kehidupan sehari-hari, kita disuguhi fakta yang mengerikan.
Sekedar contoh, peserta didik yang diharapkan menjadi penentu sejarah
masa depan bangsa, akrab dengan VCD porno, narkoba, tawuran dan aneka
perbuatan tak sedap lainnya. Kasus-kasus itu mengindikasikan betapa
rendah dan rapuhnya fondasi moral dan spiritual mereka.
Semua
itu tantangan bagi dunia pendidikan, khususnya pendidikan agama Islam,
yang terkait langsung dengan penanaman dasar-dasar moral dan spiritual
di ruang sekolah. Itu sebabya, kualitas pendidikan agama Islam harus
lebih ditingkatkan berlandaskan teori-teori dan konsep-konsep kurikulum
serta metodologi pembelajaran yang dinamis dan inovatif.
Dalam
rangka itulah Mujtahid mengusung wacana reformulasi pendidikan Islam
sebagai upaya mewujudkan pendidikan yang integratif dan diharapkan
melahirkan manusia-manusia unggul yang berpredikat ulul albab, yakni
sosok yang memiliki kekuatan dzikir, fikir, dan amal shalih. Tegas
penulis, andaikan formula ulul albab ini diimplementasikan dalam segala
aktivitas pendidikan Islam, pendidikan Islam niscaya mampu bersaing
dengan lembaga-lembaga pendidikan umum.
Buku
Reformulasi Pendidikan Islam ini menganalisa secara kritis formula
pendidikan Islam baik pada wilayah konsep dan landasannya yang dilakukan
oleh para pemikir dan praktisi pendidikan Islam. Upaya penulis penting
diapresiasi mengingat wajah pendidikan Islam sampai hari ini belum
sepenuhnya berhasil untuk mencetak lulusan yang andal, baik secara
akademis maupun moral dan spiritual.
Apa
yang menjadi sorotan penulis buku ini sejatinya menjadi gambaran betapa
tingginya harapan publik terhadap kontribusi pendidikan Islam yang
seharusnya dapat menjawab setiap perubahan dan tantangan zaman.
Pendidikan Islam yang diidealkan ke depan adalah tidak saja tangguh
dalam konsep dan landasannya, melainkan juga efektif dalam operasional
dan manajerialnya.
Ada
tujuh tema pokok terkait pendidikan Islam yang ditelaah buku ini, mulai
dari konsep pendidikan Islam hingga metode dan strategi pembelajaran.
Selanjutnya, penulis menawarkan pendekatan multidisipliner sebagai
prioritas dalam melakukan transformasi pengetahuan kepada peserta didik,
seperti pendekatan filosofis psikologis, sosiologis, historis maupun
kultural.
Tentu
saja, membahas pendidikan Islam dari masa ke masa tidak akan pernah
tuntas. Meskipun penulis buku ini mengulas dari segala dimensinya,
kajian pendidikan Islam tetap saja belum final. Terlebih setiap orang
pasti memiliki keterbatasan perspektif dalam mengartikulasikan
pendidikan Islam itu ke dalam bingkai yang komprehensif. Namun,
setidaknya, buku hasil kompilasi penelitian ini cukup inspiratif di
tengah kenyataan pendidikan Islam yang kian dijauhi masyarakat karena
dinilai kurang bertaring dan cenderung bersifat normatif-teologis