Kamis, 02 April 2015

OPTIMALISASI SUMBERDAYA DOSEN DAN PERGURUAN TINGGI

OPTIMALISASI SUMBERDAYA DOSEN

Komersialisasi Pendidikan Tinggi

Industri Pendidikan Tinggi

TIPS MEMILIH PERGURUAN TINGGI

JENIS PENDIDIKAN TINGGI

"Mau nerusin ke mana setelah SMU ?" Mungkin itu yang ada di benak siswa-siswi yang udah kelas tiga SMU. Pertanyaan klasik yang susah untuk dijawab. Karena saat ini sudah banyak sekali perguruan tinggi baik swasta maupun negeri yang ada di Indonesia.
Struktur pendidikan tinggi di Indonesia terdiri dari dua jalur pendidikan, yaitu pendidikan akademik dan pendidikan profesional. Ada baiknya kita mengetahui masing-masing jenis institusi pendidikan tinggi yang ada sebelum mendaftarkan diri.
Pendidikan akademik menghasilkan lulusan dengan gelar S1, S2 dan S3. Pendidikan jalur profesional menghasilkan lulusan yang memperoleh sebutan profesional melalui program diploma (D1, D2, D3, D4) atau Spesialis (Sp1, Sp2).
  1. Universitas : perguruan tinggi yang mempunyai program studi beragam dan dikelompokkan dalam fakultas-fakultas. Fakultas-fakultas yang ada itu dibagi lagi ke dalam beragam jurusan dan Akutansi, Manajemen dan Studi Pembangunan.
  2. Institut : perguruan tinggi yang mempunyai program studi dengan ilmu yang sejenis. Misalnya institut pertanian memiliki program studi pertanian, peternakan dan kehutanan, atau institut teknologi mengajarkan beragam ilmu yang berhubungan dengan teknik.
  3. Sekolah Tinggi : perguruan tinggi yang hanya menyelenggarakan satu program profesi sesuai dengan spesialisasinya. Misalnya Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi memiliki program profesi spesialis ekonomi, atau Sekolah Tinggi Seni Rupa Indonesia memiliki jurusan Seni Lukis, Seni Patung dll.
  4. Akademi dan Politeknik : institusi pendidikan tinggi yang hanya menyelenggarakan satu program studi dan lebih menekankan pada keterampilan praktek kerja dan kemampuan untuk mandiri. Lama pendidikan tiga tahun dan tidak memberikan gelar. Hanya saja, di politeknik porsi praktek lebih besar.

BISNIS PERGURUAN TINGGI, KUALITAS VS KUANTITAS

Peran Pendidikan Tinggi dalam Memotivasi Sarjana Menjadi Wirausahawan

Kehadiran Perguruan Tinggi Asing (PTA),TANTANGAN sekaligus ANCAMAN

Pembiayaan Pendidikan Tinggi

Pendidikan Sebagai Investasi Jangka Panjang

Profesor Toshiko Kinosita mengemukakan bahwa sumber daya manusia Indonesia masih sangat lemah untuk mendukung perkembangan industri dan ekonomi. Penyebabnya karena pemerintah selama ini tidak pernah menempatkan pendidikan sebagai prioritas terpenting. Tidak ditempatkannya pendidikan sebagai prioritas terpenting karena masyarakat Indonesia, mulai dari yang awam hingga politisi dan pejabat pemerintah, hanya berorientasi mengejar uang untuk memperkaya diri sendiri dan tidak pernah berfikir panjang (Kompas, 24 Mei 2002).
Pendapat Guru Besar Universitas Waseda Jepang tersebut sangat menarik untuk dikaji mengingat saat ini pemerintah Indonesia mulai melirik pendidikan sebagai investasi jangka panjang, setelah selama ini pendidikan terabaikan. Salah satu indikatornya adalah telah disetujuinya oleh MPR untuk memprioritaskan anggaran pendidikan minimal 20 % dari APBN atau APBD. Langkah ini merupakan awal kesadaran pentingnya pendidikan sebagai investasi jangka pangjang. Sedikitnya terdapat tiga alasan untuk memprioritaskan pendidikan sebagai investasi jangka panjang.
Pertama, pendidikan adalah alat untuk perkembangan ekonomi dan bukan sekedar pertumbuhan ekonomi. Pada praksis manajemen pendidikan modern, salah satu dari lima fungsi pendidikan adalah fungsi teknis-ekonomis baik pada tataran individual hingga tataran global. Fungsi teknis-ekonomis merujuk pada kontribusi pendidikan untuk perkembangan ekonomi. Misalnya pendidikan dapat membantu siswa untuk mendapatkan pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan untuk hidup dan berkompetisi dalam ekonomi yang kompetitif.
Secara umum terbukti bahwa semakin berpendidikan seseorang maka tingkat pendapatannya semakin baik. Hal ini dimungkinkan karena orang yang berpendidikan lebih produktif bila dibandingkan dengan yang tidak berpendidikan. Produktivitas seseorang tersebut dikarenakan dimilikinya keterampilan teknis yang diperoleh dari pendidikan. Oleh karena itu salah satu tujuan yang harus dicapai oleh pendidikan adalah mengembangkan keterampilan hidup. Inilah sebenarnya arah kurikulum berbasis kompetensi, pendidikan life skill dan broad based education yang dikembangkan di Indonesia akhir-akhir ini. Di Amerika Serikat (1992) seseorang yang berpendidikan doktor penghasilan rata-rata per tahun sebesar 55 juta dollar, master 40 juta dollar, dan sarjana 33 juta dollar. Sementara itu lulusan pendidikan lanjutan hanya berpanghasilan rata-rata 19 juta dollar per tahun. Pada tahun yang sama struktur ini juga terjadi di Indonesia. Misalnya rata-rata, antara pedesaan dan perkotaan, pendapatan per tahun lulusan universitas 3,5 juta rupiah, akademi 3 juta rupiah, SLTA 1,9 juta rupiah, dan SD hanya 1,1 juta rupiah.
Para penganut teori human capital berpendapat bahwa pendidikan adalah sebagai investasi sumber daya manusia yang memberi manfaat moneter ataupun non-moneter. Manfaat non-meneter dari pendidikan adalah diperolehnya kondisi kerja yang lebih baik, kepuasan kerja, efisiensi konsumsi, kepuasan menikmati masa pensiun dan manfaat hidup yang lebih lama karena peningkatan gizi dan kesehatan. Manfaat moneter adalah manfaat ekonomis yaitu berupa tambahan pendapatan seseorang yang telah menyelesaikan tingkat pendidikan tertentu dibandingkan dengan pendapatan lulusan pendidikan dibawahnya. (Walter W. McMahon dan Terry G. Geske, Financing Education: Overcoming Inefficiency and Inequity, USA: University of Illionis, 1982, h.121).
Sumber daya manusia yang berpendidikan akan menjadi modal utama pembangunan nasional, terutama untuk perkembangan ekonomi. Semakin banyak orang yang berpendidikan maka semakin mudah bagi suatu negara untuk membangun bangsanya. Hal ini dikarenakan telah dikuasainya keterampilan, ilmu pengetahuan dan teknologi oleh sumber daya manusianya sehingga pemerintah lebih mudah dalam menggerakkan pembangunan nasional.
Nilai
Balik Pendidikan
Kedua, investasi pendidikan memberikan nilai balik (rate of return) yang lebih tinggi dari pada investasi fisik di bidang lain. Nilai balik pendidikan adalah perbandingan antara total biaya yang dikeluarkan untuk membiayai pendidikan dengan total pendapatan yang akan diperoleh setelah seseorang lulus dan memasuki dunia kerja. Di negara-negara sedang berkembang umumnya menunjukkan nilai balik terhadap investasi pendidikan relatif lebih tinggi dari pada investasi modal fisik yaitu 20 % dibanding 15 %. Sementara itu di negara-negara maju nilai balik investasi pendidikan lebih rendah dibanding investasi modal fisik yaitu 9 % dibanding 13 %. Keadaan ini dapat dijelaskan bahwa dengan jumlah tenaga kerja terdidik yang terampil dan ahli di negara berkembang relatif lebih terbatas jumlahnya dibandingkan dengan kebutuhan sehingga tingkat upah lebih tinggi dan akan menyebabkan nilai balik terhadap pendidikan juga tinggi (Ace Suryadi, Pendidikan, Investasi SDM dan Pembangunan: Isu, Teori dan Aplikasi. Balai Pustaka: Jakarta, 1999, h.247).
Pilihan investasi pendidikan juga harus mempertimbangkan tingkatan pendidikan. Di Asia nilai balik sosial pendidikan dasar rata-rata sebesar 27 %, pendidikan menengah 15 %, dan pendidikan tinggi 13 %. Dengan demikian dapat dikemukakan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka manfaat sosialnya semakin kecil. Jelas sekali bahwa pendidikan dasar memberikan manfaat sosial yang paling besar diantara tingkat pendidikan lainnya. Melihat kenyataan ini maka struktur alokasi pembiayaan pendidikan harus direformasi. Pada tahun 1995/1996 misalnya, alokasi biaya pendidikan dari pemerintah Indonesia untuk Sekolah Dasar Negeri per siswa paling kecil yaitu rata-rata hanya sekirat 18.000 rupiah per bulan, sementara itu biaya pendidikan per siswa di Perguruan Tinggi Negeri mendapat alokasi sebesar 66.000 rupiah per bulan. Dirjen Dikti, Satrio Sumantri Brojonegoro suatu ketika mengemukakan bahwa alokasi dana untuk pendidikan tinggi negeri 25 kali lipat dari pendidikan dasar. Hal ini menunjukkan bahwa biaya pendidikan yang lebih banyak dialokasikan pada pendidikan tinggi justru terjadi inefisiensi karena hanya menguntungkan individu dan kurang memberikan manfaat kepada masyarakat.
Reformasi alokasi biaya pendidikan ini penting dilakukan mengingat beberapa kajian yang menunjukkan bahwa mayoritas yang menikmati pendidikan di PTN adalah berasal dari masyarakat mampu. Maka model pembiayaan pendidikan selain didasarkan pada jenjang pendidikan (dasar vs tinggi) juga didasarkan pada kekuatan ekonomi siswa (miskin vs kaya). Artinya siswa di PTN yang berasal dari keluarga kaya harus dikenakan biaya pendidikan yang lebih mahal dari pada yang berasal dari keluarga miskin. Model yang ditawarkan ini sesuai dengan kritetia equity dalam pembiayaan pendidikan seperti yang digariskan Unesco.
Itulah sebabnya Profesor Kinosita menyarankan bahwa yang diperlukan di Indonesia adalah pendidikan dasar dan bukan pendidikan yang canggih. Proses pendidikan pada pendidikan dasar setidaknnya bertumpu pada empat pilar yaitu learning to know, learning to do, leraning to be dan learning live together yang dapat dicapai melalui delapan kompetensi dasar yaitu membaca, menulis, mendengar, menutur, menghitung, meneliti, menghafal dan menghayal. Anggaran pendidikan nasional seharusnya diprioritaskan untuk mengentaskan pendidikan dasar 9 tahun dan bila perlu diperluas menjadi 12 tahun. Selain itu pendidikan dasar seharusnya “benar-benar” dibebaskan dari segala beban biaya. Dikatakan “benar-benar” karena selama ini wajib belajar 9 tahun yang dicanangkan pemerintah tidaklah gratis. Apabila semua anak usia pendidikan dasar sudah terlayani mendapatkan pendidikan tanpa dipungut biaya, barulah anggaran pendidikan dialokasikan untuk pendidikan tingkat selanjutnya.
Fungsi
Non Ekonomi
Ketiga, investasi dalam bidang pendidikan memiliki banyak fungsi selain fungsi teknis-ekonomis yaitu fungsi sosial-kemanusiaan, fungsi politis, fungsi budaya, dan fungsi kependidikan. Fungsi sosial-kemanusiaan merujuk pada kontribusi pendidikan terhadap perkembangan manusia dan hubungan sosial pada berbagai tingkat sosial yang berbeda. Misalnya pada tingkat individual pendidikan membantu siswa untuk mengembangkan dirinya secara psikologis, sosial, fisik dan membantu siswa mengembangkan potensinya semaksimal mungkin (Yin Cheong Cheng, School Effectiveness and School-Based Management: A Mechanism for Development, Washington D.C: The Palmer Press, 1996, h.7).
Fungsi politis merujuk pada sumbangan pendidikan terhadap perkembangan politik pada tingkatan sosial yang berbeda. Misalnya pada tingkat individual, pendidikan membantu siswa untuk mengembangkan sikap dan keterampilan kewarganegaraan yang positif untuk melatih warganegara yang benar dan bertanggung jawab. Orang yang berpendidikan diharapkan lebih mengerti hak dan kewajibannya sehingga wawasan dan perilakunya semakin demoktratis. Selain itu orang yang berpendidikan diharapkan memiliki kesadaran dan tanggung jawab terhadap bangsa dan negara lebih baik dibandingkan dengan yang kurang berpendidikan.
Fungsi budaya merujuk pada sumbangan pendidikan pada peralihan dan perkembangan budaya pada tingkatan sosial yang berbeda. Pada tingkat individual, pendidikan membantu siswa untuk mengembangkan kreativitasnya, kesadaran estetis serta untuk bersosialisasi dengan norma-norma, nilai-nilai dan keyakinan sosial yang baik. Orang yang berpendidikan diharapkan lebih mampu menghargai atau menghormati perbedaan dan pluralitas budaya sehingga memiliki sikap yang lebih terbuka terhadap keanekaragaman budaya. Dengan demikian semakin banyak orang yang berpendidikan diharapkan akan lebih mudah terjadinya akulturasi budaya yang selanjutnya akan terjadi integrasi budaya nasional atau regional.
Fungsi kependidikan merujuk pada sumbangan pendidikan terhadap perkembangan dan pemeliharaan pendidikan pada tingkat sosial yang berbeda. Pada tingkat individual pendidikan membantu siswa belajar cara belajar dan membantu guru cara mengajar. Orang yang berpendidikan diharapkan memiliki kesadaran untuk belajar sepanjang hayat (life long learning), selalu merasa ketinggalan informasi, ilmu pengetahuan serta teknologi sehingga terus terdorong untuk maju dan terus belajar.
Di kalangan masyarakat luas juga berlaku pendapat umum bahwa semakin berpendidikan maka makin baik status sosial seseorang dan penghormatan masyarakat terhadap orang yang berpendidikan lebih baik dari pada yang kurang berpendidikan. Orang yang berpendidikan diharapkan bisa menggunakan pemikiran-pemikirannya yang berorientasi pada kepentingan jangka panjang. Orang yang berpendidikan diharapkan tidak memiliki kecenderungan orientasi materi/uang apalagi untuk memperkaya diri sendiri.
Kesimpulan
Jelaslah bahwa investasi dalam bidang pendidikan tidak semata-mata untuk mendongkrak pertumbuhan ekonomi tetapi lebih luas lagi yaitu perkembangan ekonomi. Selama orde baru kita selalu bangga dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi, namun pertumbuhan ekonomi yang tinggi itu hancur lebur karena tidak didukung oleh adanya sumber daya manusia yang berpendidikan. Orde baru banyak melahirkan orang kaya yang tidak memiliki kejujuran dan keadilan, tetapi lebih banyak lagi melahirkan orang miskin. Akhirnya pertumbuhan ekonomi hanya dinikmati sebagian orang dan dengan tingkat ketergantungan yang amat besar.
Perkembangan ekonomi akan tercapai apabila sumber daya manusianya memiliki etika, moral, rasa tanggung jawab, rasa keadilan, jujur, serta menyadari hak dan kewajiban yang kesemuanya itu merupakan indikator hasil pendidikan yang baik. Inilah saatnya bagi negeri ini untuk merenungkan bagaimana merencanakan sebuah sistem pendidikan yang baik untuk mendukung perkembangan ekonomi. Selain itu pendidikan juga sebagai alat pemersatu bangsa yang saat ini sedang diancam perpecahan. Melalui fungsi-fungsi pendidikan di atas yaitu fungsi sosial-kemanusiaan, fungsi politis, fungsi budaya, dan fungsi kependidikan maka negeri ini dapat disatukan kembali. Dari paparan di atas tampak bahwa pendidikan adalah wahana yang amat penting dan strategis untuk perkembangan ekonomi dan integrasi bangsa. Singkatnya pendidikan adalah sebagai investasi jangka panjang yang harus menjadi pilihan utama.
Sumber: http://warnadunia.com/artikel-pendidikan-pendidikan-sebagai-investasi-jangka-panjang/

Besarkah Manfaat Pendidikan Tinggi terhadap Pembangunan Ekonomi?

Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan

Tepatnya pada tanggal 17 Desember 2008 lalu, RUU Badan Hukum Pendidikan (BHP) disahkan oleh DPR menjadi UU. Pengesahan ini diwarnai dengan aksi unjuk rasa di depan dan di dalam gedung DPR oleh mahasiswa dari Universitas Indonesia (UI), Institut Teknologi Bandung (ITB), Universitas Negeri Jakarta (UNJ), dan Institut Pertanian Bogor (IPB). Aksi ini menolak pengesahan RUU BHP ini menjadi UU BHP karena dinilai di dalam pasal-pasalnya terdapat unsure liberalisasi dalam bidang pendidikan.
Dalam pasal 42 ayat 1 UU ini disebutkan bahwa “Badan Hukum Pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan tinggi dapat melakukan investasi dalam bentuk portofolio.” Dapat dilihat di pasal ini bagaimana sebuah badan hukum pendidikan yaitu sekolah maupun perguruan tiggi dapat bermain saham. Sekolah atau kampus dapat bermain saham layaknya sebuah perusahaan. Ini kampus atau perusahaan? Dalam pasal inilah salat satu unsur liberlasasi dapat ditemukan. Dalam pasal lain, yaitu pasal 43 ayat 1 disebutkan pula bahwa “Badan Hukum Pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan tinggi dapat melakukan investasi dengan mendirikan badan usaha berbadan hukum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan untuk memenuhi dana pendidikan.” Jelas dari dua pasal ini mengindikatorkan secara gamblang bahwa sekolah atau kampus dapat bermain saham dan investasi layaknya sebuah perusahaan.
Kemudian yang menjadi permasalahan adalah pada BAB X pasal 57 tentang Pembubaran BHP. Pada pasal ini disebutkan bahwa BHP buabar karena putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap berdasarkan alasan melanggar ketertiban umum, kesusilaan, dan/atau peraturan perundang-undangan; dinyatakan pailin; dan atau asetnya tidak cukup untuk melunasi utang setelah pernyataan pailit dicabut. Dapat dilihat, bagaimana sebuah sekolah atau kampus dapat dibubarkan karena pailit, karena sudah tidak ada lagi dana. Para siswa ataupun para mahasiswa yang menempuh pendidikan tersebut kemudian dipindahkan begitu saja ke sekolah lain. Agar tidak mengalami pailit tentu sekolah atau kampus harus mencari dana. Darimana dana itu? Tentu saja dari para mahasiswa atau siswa yang menempuh pendidikan di sekolah atau kampus tersebut. Tentu secara tidak langsung biaya pendidikan akan menjadi mahal, karena sekolah atau kampus mencari dana sebanyak mungkin agar tetap survive, tidak pailit.
Dari pasal-pasal ini dapat dilihat bahwa liberalisasi pendidikan diberlakukan ketika Undang-Undang ini diberlakukan ke seluruh sekolah maupun perguruan tinggi. Kata “liberalisasi” memang tidak tertulis secara gamblang, secara tersirat lah makna liberalisasi ini diterapkan dalam Undang-Undang ini. Di dalam Undang-Undang ini tidak pula mengatur adanya bagaimana sebuah kurikulum dalam sekolah atau kampus. Pendidikan adalah suatu hal yang esensial dalam membangun sebuah peradaban, tetapi dengan disahkannya UU BHP ini maka pendidikan dijadikan sebuah komoditi perdagangan. Tak terbayangkan bagaimana masa depan pendidikan Indonesia kelak ketika BHP ini telah diberlakukan dan dilaksanakan. Bagaimana seorang anak miskin tidak lagi bersekolah, tidak lagi bisa menempuh pendidikan tinggi disebabkan oleh kekurangan biaya, karena pendidikan kelak akan menjadi sangat mahal. Hanya orang-orang kaya saja yang dapat mengakses pendidikan tinggi, ruang gerak orang miskin untuk mendapatkan akses pendidikan menjadi lebih sempit. Sekarang saja sebelum UU ini diberlakukan terlihat jelas banyak anak seorang miskin putus sekolah dengan alasan biaya, apalagi jika memang UU ini dilaksanakan. Sungguh tak terbayang hancurnya pendidikan Indonesia, dan tentu karena hancurnya pendidikan hancur pula negeri ku ini yang tercinta.
sumber:http://robeeon.net/politik/undang-undang-badan-hukum-pendidikan.html#more-157

BHP dan PSB

Tantangan dan Tren Pendidikan Tinggi

Biaya Mahal Pendidikan Tinggi

Masalah biaya pendidikan masih terus menjadi sorotan. Sebagai contoh, tentang komersialisasi dan liberalisasi. Patut kita pahami bersama bahwa kalau kita melihat biaya pendidikan tinggi, ternyata memang tidaklah sederhana. Biaya universitas pasti tinggi karena sebagai learning center yang science center, dana yang dibutuhkan untuk satu universitas sangat besar.
Mengapa hal ini terjadi? Karena yang dikelola oleh satu universitas sangat kompleks, yaitu ilmu pengetahuan, dosen/pakar, sumberdaya manusia pendukung, mahasiswa, sarana prasarana akademik maupun pendukung, program akademik, dan informasi akademik. Sesudah melalui proses yang mahal universitas yang harus dihasilkan oleh suatu perguruan tinggi ialah sumberdaya manusia profesional/pakar dan ilmu pengetahuan baru.
Di samping hasil dari perguruan tinggi yang berupa ilmu pengetahuan, dihasilkan pula sumberdaya manusia yang memiliki potensi untuk mendayagunakan negara. Oleh karena itu, sedemikian vitalnya kepentingan perguruan tinggi. Dalam prosesnya perguruan tinggi menjadi tempat terakhir untuk restrukturisasi, rekonstruksi, reparasi, maupun tindakan lain. Dalam arti untuk membuat agar pengalaman proses pendidikan yang sebelumnya telah dialami menjadi lebih benar.
Semua yang dikelola oleh perguruan tinggi harus ditingkatkan terus kualitasnya dari tahun ke tahun agar mampu bersaing terhadap kemajuan zaman ini. Tentu saja akan menyerap dana yang sangat besar. Sebagai contoh, untuk mengelola kemampuan dosen sebagai pakar harus ditingkatkan secara berkelanjutan agar sesuai dengan zamannya dan memiliki standar (sebaiknya global).
Cara untuk meningkatkan kemampuannya melalui berbagai program, seperti pendidikan lanjut, pelatihan, lokakarya, dan seminar sebagai modal pengembangan jejaring di satu sisi dan tukar-menukar informasi hasil riset. Pengelolaan dosen saja tentu sudah menyerap dana yang tinggi.
Patut kita catat bahwa kalau dosen tidak dikelola dengan baik maka ilmu pengetahuan yang digunakan dalam proses pembelajaran untuk mahasiswa kualitasnya tidak memadai. Contoh lain ialah kegiatan riset yang langsung terkait dengan kegiatan dosen dan pada tingkat pascasarjana melibatkan mahasiswa akan menyerap dana besar, bahkan tiada ujung akhirnya.
Peningkatan kemampuan dosen merupakan modal besar bagi peningkatan daya saing perguruan tinggi. Pengelolaan mahasiswa secara proporsional sesuai dengan keahlian yang diinginkannya juga bukan barang murah karena sarana pembelajaran harus selalu disesuaikan. Proses pendidikan di pendidikan tinggi mengacu kepada kegiatan Tri Dharma.
Kegiatan pendidikan harus diperbarui dari waktu ke waktu sesuai dengan kemajuan zaman yang tentunya harus didukung oleh kegiatan riset termasuk pengabdian kepada masyarakat. Untuk memperbaharui seluruh proses kegiatan dibutuhkan biaya yang tidak murah. Ketersediaan dana sangat penting bagi pengelolaan universitas. Karena itu, sumber dana untuk penyelenggaraannya harus jelas.
Secara garis besar dana untuk mengoperasikan universitas dapat berasal dari pemerintah dan dana masyarakat. Dana pemerintah dapat dibagi dalam dana rutin dan dana kompetitif, sementara dana masyarakat dapat dibagi menjadi dana dari uang sekolah (dan yang terkait) serta dana riset dan pengembangan (kerja sama) yang sifatnya kompetitif dan berbagai sumbangan berbagai pihak.
Dana masyarakat selain uang sekolah yang berasal dari mahasiswa, dana masyarakat lainnya diusahakan oleh universitas. Setiap universitas harus memolakan pendapatan dananya untuk kegiatannya sesuai dengan renstra maupun rencana kerja dan anggaran tahunan masing-masing. Keuangan akan sangat menentukan mutu universitas, akuntabilitas akademik, dan keuangan menjadi keharusan untuk dijalankan.
Atasi biaya tinggi
Sebagaimana telah disebutkan, dana untuk mengoperasikan universitas dapat berasal dari pemerintah dan masyarakat. Masalahnya, bagaimanakah proporsi yang baik?
Jika kita mengkaji berbagai universitas di dunia tidak ada proporsi yang baku. Sistem universitas di Eropa hingga saat ini masih mengandalkan dana masyarakat meskipun mulai bergeser pada sistem Amerika Serikat. Sistem di Amerika Serikat lebih mengandalkan dana masyarakat. Australia yang tadinya mengacu kepada sistem Eropa saat ini pun telah bergeser pada sistem AS.
Bagaimanakah untuk Indonesia? Sebagaimana universitas yang ada di negara-negara maju, pendanaan universitas akan tergantung pada asal pembentukannya, yaitu universitas yang didirikan oleh pemerintah (milik negara) dan universitas yang didirikan oleh swasta (milik swasta). Jika universitas didirikan oleh pemerintah maka wajar pemerintah memberikan dana secara rutin.
Di negara maju mereka menyebutnya sebagai government grant atau government appropriation. Dana yang berasal dari pemerintah untuk universitas yang didirikan oleh pemerintah ada yang mendekati 100 persen. Tetapi, dengan adanya sistem badan hukum milik negara untuk universitas proporsinya ada yang sudah 30 persen.
Jika kita bandingkan dengan universitas di AS ternyata dana pemerintah ada pada kisaran 10 persen. Sebagai contoh Pennsylvania State University (RKAT 2007) proporsi dana untuk operasionalnya 10 persen dari pemerintah, uang sekolah mahasiswa 32 persen, sisanya berasal dari kegiatan riset, pengembangan, dan dukungan kegiatan unit komersial universitas tersebut.
University Sydney (2007) dana dari pemerintah 15 persen dan dari uang sekolah 29 persen. Lainnya berasal dari kegiatan riset, pengembangan, dan dukungan kegiatan unit komersial universitas tersebut. Di Universitas California San Diego berdasarkan informasi langsung dari Presiden Universitas dana yang berasal dari pemerintah 12 persen.
Bagaimanakah dengan di Indonesia? Di Indonesia proporsi dananya pasti bervariasi, ada yang menuju 100 persen berasal dari pemerintah. Contoh kasus ITB tanpa dimasukkan kegiatan dari berbagai unit komersialnya (perusahaan) proporsinya 37 persen berasal dari pemerintah dan 37 persen dari dana pemerintah.
Jika dimasukkan dana kegiatan komersial proporsinya menjadi 23 persen dana pemerintah dan 26 persen dari uang sekolah, dan sisanya seluruh aktivitas dosen dalam kerangka riset, pengembangan, ataupun industrial exposure, dalam kerangka kegiatan ITB sebagai universitas riset dan sebagian kecil sumbangan-sumbangan lain.
Bagaimana pun dan apa pun bentuk proporsinya universitas tidak akan pernah menjadi komersial jika seluruh pendapatan digunakan untuk operasi demi peningkatan mutu, termasuk membantu mahasiswa yang tidak mampu. Asas ini dikenal sebagai nirlaba. Dalam konsep ini tidak boleh hasil dari kegiatan universitas diberikan kepada pihak lain karena ini akan menjadikan universitas sebagai bahan komersial atau komoditas.
Kebijakan ini jika dilakukan dengan baik dan benar dapat menyelesaikan berbagai masalah secara nasional. Misalnya mengatasi uang sekolah bagi masyarakat yang kurang kemampuan finansialnya dari sumber dana masyarakat.
Selain dari kegiatan riset, pengembangan, dan industri, menghimpun dana dari masyarakat melalui mahasiswa yang mampu membayar seluruh kebutuhan pendidikannya akan sangat membantu operasi. Subsidi silang baru terjadi jika mahasiswa membayar melebihi dana yang dibutuhkannya secara penuh untuk pendidikannya. Dari sisi yang lain universitas harus dapat mengumpulkan dana dari berbagai kegiatan riset, pengembangan, dan industri.
Dana ini juga bisa untuk peningkatan kapasitas dosen yang erat terkait dengan peningkatan mutu universitas. Kapasitas dosen modal awal melaksanakan proses pembelajaran. Dalam rencana kerja dan anggaran tahunan universitas salah satu dana operasionalnya ialah beasiswa yang akan memberikan bantuan uang sekolah maupun biaya lainnya.
Mahasiswa dapat dikategorikan dalam tiga kelompok, yaitu mahasiswa membayar penuh, membayar lebih secara sukarela, dan bersubsidi. Biasanya untuk universitas di negara maju proporsi mahasiswa yang bersubsidi jumlah proporsinya akan terbesar.