A. Pendahuluan
Pendidikan pada dasarnya merupakan upaya merancang masa depan umat manusia yang
dalam konsep dan implementasinya harus memperhitungkan berbagai faktor
yang mempengaruhinya. Konsep pendidikan dapat diibaratkan dengan sebuah
pakaian yang tidak dapat diimpor atau diekspor. Ia harus diciptakan
sesuai dengan keinginan, ukuran, dan model dari orang yang memakainya,
sehingga tampak pas dan serasi.
Demikian pula dengan konsep pendidikan
yang diterapkan di Indonesia. Ia amat dipengaruhi oleh berbagai
kebijakan politik pemerintah. Kebijakan-kebijakan pemerintah, mulai dari
pemerintahan kolonial Belanda dan Jepang, awal dan pasca kemerdekaan,
hingga masuknya Orde Baru terkesan menganak tirikan pendidikan Islam
karena sebuah alasan “Indonesia bukan negara Islam”. Namun berkat
semangat juang yang tinggi dari tokoh-tokoh pendidikan Islam, akhirnya
berbagai kebijakan yang merugikan pendidikan dapat diredam untuk sebuah
tujuan ideal yang tertera di dalam UU Republik Indonesia No. 20 tahun
2003, yaitu: “Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan
membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi
peserta didik agar menjadi manusia yang bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha
Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan
menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”.
Dari segi sejarahnya, pendidikan Islam
sudah mulai dikenal sejak kedatangan Islam ke Indonesia. Pendidikan ini
memakai sistem sorogan atau perorangan dan berlangsung secara sangat
sederhana serta tidak mengenal strata atau tingkatan seperti pendidikan
pesantren, dan kemudian berkembang dengan sistem kelas seperti dalam
pendidikan modern
B. Pendidikan Islam Zaman Kemerdekaan (1945-1965)
Penyelenggaraan pendidikan agama pasca
kemerdekaan mendapat perhatian serius dari pemerintah, baik sekolah
negeri maupun swasta. Usaha untuk itu dimulai dengan memberikan bantuan
terhadap lembaga, sebagaimana yang dianjurkan oleh Badan Pekerja Komite
Nasional Pusat (BPKNP) 27 Desember 1945 menyebutkan:
“Madrasah dan pesantren pada hakikatnya
adalah suatu alat dan pencerdasan rakyat jelata yang sudah berurat,
berakar dalam masyarakat Indonesia pada umumnya, hendaklah pula mendapat
perhatian dan bantuan nyata tuntutan dan bantuan material dari
pemerintah”
Meskipun Indonesia baru memproklamirkan
kemerdekaannya dan tengah menghadapi revolusi fisik, pemerintah
Indonesia sudah berbenah terutama memperhatikan masalah pendidikan yang
dianggap cukup vital. Dan untuk itu dibentuklah Kementrian Pendidikan
Pengajaran dan Kebudayaan (PP dan K), dan dipimpin oleh Ki Hajar
Dewantara. Kementrian PP dan K pada saat itu mengeluarkan instruksi umum
yang isinya memerintahkan kepada para kepala sekolah dan guru-guru,
yaitu:
- Mengubarkan bendera merah-putih setiap hari di halaman sekolah.
- Menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya.
- Menghentikan pengibaran bendera Jepang dan menghapuskan nyanyian Kimigayo, lagu kebangsaan Jepang.
- Menghapuskan pelajaran bahasa Jepang, serta segala ucapan dan istilah yang berasal dari pemerintah Jepang.
- Memberi semangat kebangsaan kepada semua muridSelain dari kebijakan-kebijakan tersebut, tindakan selanjutnya yang dilakukan pemerintah Indonesia adalah menyesuaikan pendidikan dengan tuntutan dan aspirasi rakyat, sebagaimana yang tercantum dalam UUD 1945 pasal 31 yang berbunyi:
- Setiap warga negara berhak mendapatkan pengajaran.
- Pemerintah mengusahakan suatu sistem pengajaran nasional yang diatur dengan undang-undang.
Pada masa Orde Lama ini, ada beberapa peristiwa dalam bidang pendidikan yang dialami oleh bangsa Indonesia, yaitu:
- Dari tahun 1945-1950 landasan idiil pendidikan adalah UUD 1945 dan falsafah Pancasila.
- Pada permulaan tahun 1949 dengan terbentuknya Negara Republik Indonesia Serikat (RIS), di bagian timur Indonesia menganut sistem pendidikan yang diwarisi dari zaman pemerintahan Belanda.
- Pada tahun 1959 Presiden mendekritkan RI kembali ke UUF 1945 dan menetapkan manifesto politik RI menjadi haluan negara. Di bidang pendidikan ditetapkan Sapta Usaha Tama dan Panca Wardana..
- Pada tahun 1965, seusai peristiwa G-30 S/PKI kembali lagi melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen.
Inilah sekilas perjalanan sejarah pendidikan Islam di Indonesia pada awal kemerdekaan dan Orde Lama.
C. Berbagai Kebijakan Pemerintah RI dalam Bidang Pendidikan Islam
Setelah Indonesia merdeka, musuh-musuh
Indonesia tidak tinggal diam, bahkan berusaha menjajah kembali. Pada
bulan Oktober 1945 para ulama di Jawa memproklamasikan perang jihad fi
sabililllah terhadap Belanda atau sekutu. Fatwa ini
memberikan kepastian hukum terhadap perjuangan umat Islam. Pahlawan
perang barati dikategorokan sebagai syahid. Isi fatwa tersebut adalah
sebagai berikut:
- Kemerdekaan Indonesia wajib dipertahankan.
- Pemerintah RI adalah satu-satunya yang sah dan wajib dibela dan diselamatkan.
- Musuh-musuh RI pasti akan menjajah kembali bangsa Indonesia. Karena itu kita wajib mengangkat senjata menghadapi mereka.
- Kewajiban-kewajiban tersebut di atas adalah jihad fi sabilillah.
Ditinjau dari segi pendidikan rakyat,
maka fatwa ulama tersebut sangat besar sekali artinya. Fatwa tersebut
memberikan faedah bahwa para ulama dan santri-santri dapat mempraktekkan
dan mengaplikasikan ajaran jihad fi sabilillah yang sudah dikaji dan
dipelajari selama bertahun-tahun dalam kitab-kitab Fiqh di
pesantren-pesantren dan madrasah. Sehingga ajaran-ajaran tersebut tidak
hanya menjadi materi kajian-kajian ilmiah para ulama dan santri di
Indonesia. Dan dengan keluarnya fatwa ini, secara otomatis mempengaruhi
kurikulum yang diajarkan di pesantren-pesantren. Pesantren yang awalnya
hanya mengajarkan Islam melalui pengajian kitab-kitab kuning, dengan
keluarnya fatwa tersebut mereka mulai menambahkan pelajaran
ekstrakurikuler berupa seni bela diri atau hal-hal lain yang berkaitan
dengan bela negara. Dan dapat dipastikan banyak dari pesantren-pesantren
yang mengirimkan santri-santrinya untuk turut serta dalam
mempertahankan negara secara langsung di medan perang.
Di tengah-tengah berkobarnya revolusi
fisik, pemerintah RI tetap membina pendidikan pada umumnya dan
pendidikan agama pada khususnya. Pembinaan pendidikan agama itu secara
formal institusional dipercayakan kepada Departemen Agama dan Departemen
P dan K. Oleh karena itu, maka dikeluarkanlah peraturan-peraturan
bersama antara kedua departemen tersebut untuk mengelola pendidikan
agama di sekolah-sekolah umum baik negeri maupun swasta. Adapun
pendidikan agama di sekolah agama ditangani oleh Departemen Agama
sendiri.
Pendidikan agama Islam untuk umum mulai
diatur secara resmi oleh pemerintah pada bulan Desember 1946. sebelum
itu pendidikan agama sebagai ganti pendidikan budi pekerti yang sudah
ada sejak zaman Jepang, berjalan sendiri-sendiri di masing-masing
daerah. Pada bulan tersebut dikeluarkanlah peraturan bersama dua menteri
yaitu Menteri Agama dan Menteri Pendidikan dan Pengajaran yang
menetapkan bahwa pendidikan agama dimulai pada kelas IV SR (Sekolah
Rakyat) sampai kelas VI. Pada masa itu keadaan keamanan Indonesia belum
mantap, sehingga SKB dua menteri tersebut belum berjalan sebagaimana
mestinya. Daerah-daerah di luar Jawa masih banyak yang memberikan
pendidikan agama sejak kelas I SR. Pemerintah membentuk Majlis
Pertimbangan Pengajaran Agama Islam pada tahun 1947 yang dipimpin oleh
Ki Hajar Dewantara dari Departemen P dan K dan Prof. Drs. Abdullah Sigit
dari departemen Agama. Tugasnya adalah ikut mengatur pelaksanaan dan
materi pengajaran pengajaran agama yang diberikan di sekolah umum.
Pada tahun 1950 di mana kedaulatan
Indonesia telah pulih untuk seluruh Indonesia, maka rencana pendidikan
agama untuk seluruh wilayah Indonesia makin disempurnakan dengan
dibentuknya panitia bersama yang dipimpin Prof. Mahmud Yunus dari
Departemen Agama dan Mr. Hadi dari Departemen P dan K, hasil dari
panitia itu adalah SKB yang dikeluarkan pada bulan Januari 1951, Nomor:
1432/Kab. Tanggal 20 Januari 1951 (Pendidikan), Nomor K 1/652 tanggal 20
Januari 1951 (Agama), yang isinya adalah:
- Pendidikan agama mulai diberikan di kelas IV Sekolah Rakyat.
- Di daerah-daerah yang masyarakat agamanya kuat, maka pendidikan agama mulai diberikan pada kelas I SR, dengan catatan bahwa pengetahuan umumnya tidak berkurang dibandingkan dengan sekolah lain yang pendidikan agamanya dimulai pada kelas IV SR.
- Di sekolah lanjutan pertama atau tingkat atas, pendidikan agama diberikan sebanyak dua jam dalam seminggu.
- Pendidikan agama diberikan pada murid-murid sedikitnya 10 orang dalam satu kelas dan mendapat izin dari orang tua atau wali.
- Pengangkatan guru agama, biaya pendidikan agama, dan materi pendidikan agama ditanggung oleh Departemen Agama.
Untuk menyempurnakan kurikulumnya, maka
dibentuk panitia yang dipimpin oleh KH. Imam Zarkasyi dar Pindok Gontor
Ponorogo. Kurikulum tersebut disahkan oleh Menteri Agama pada tahun
1952.
Dalam sidang pleno MPRS, pada bulan
Desember 1960 diputuskan sebagai berikut: “Melaksanakan Manipol Usdek di
bidang mental, agama, dan kebudayaan dengan syarat spiritual dan
material agar setiap warga negara dapat mengembangkan kepribadiannya dan
kebangsaan Indonesia serta menolak pengaruh-pengaruh buruk budaya asing
(Bab II, Pasal II: I).
Dalam ayat 3 dari pasal tersebut
dinyatakan bahwa: “Pendidikan agama menjadi mata pelajaran di
sekolah-sekolah umum, mulai dari sekolah rendah sampai universitas.
Dengan pengertian bahwa murid berhak ikut serta dalam pendidikan agama
jika wali murid/ murid dewasa tidak menyatakan keberatannya”.
Pada tahun 1966, MPRS melakukan sidang,
suasana pada waktu itu adalah membersihkan sisa-sisa mental G-30 S/ PKI.
Dalam keputusannya di bidang pendidikan agama telah mengalami kemajuan
yaitu dengan menghilangkan kalimat terakhir dari keputusan yang
terdahulu. Denan demikian maka sejak tahun 1966 pendidikan agama menjadi
hak wajib para siswa mulai dari Sekolah Dasar sampai Perguruan Tinggi
Umum Negeri di seluruh Indonesia.
D. Organisasi dan Lembaga Pendidikan Islam
Lahirnya beberapa organisasi Islam di
Indonesia lebih banyak karena didorong oleh mulai tumbuhnya sikap
patriotisme dan rasa nasionalisme serta sebagai respon terhadap
kepincangan-kepincangan yang ada di kalangan masyarakat Indonesia pada
akhir abad ke-19 yang mengalami kemunduran total sebagai akibat
eksploitasi politik pemerintah Belanda. Langkah pertama diwujudkan
dengan kesadaran berorganisasi.
Walaupun banyak cara yang ditempuh oleh
pemerintah kolonial pada waktu itu untuk membendung pergolakan rakyat
Indonesia melalui bidang pendidikan, namun tidak banyak membawa hasil,
malah berakibat makin menumbuhkan kesadaran para tokoh organisasi Islam
untuk melawan penjajah Belanda. Dengan sendirinya, kesadaran
berorganisasi yang dijiwai oleh semangat keislaman dan rasa nasionalisme
yang tinggi, menimbulkan perkembangan era baru di lapangan pendidikan
dan pengajaran. Dan lahirlah perguruan-perguruan nasional yang ditopang
oleh usaha-usaha swasta (partikelir menurut istilah pada waktu itu) yang
berkembang pesat sejak awal tahun 1900-an, sekolah-sekolah itu semula
memiliki dua corak, yaitu:
- Sesuai dengan haluan politik, seperti:
- Taman Siswa, yang mula-mula didirikan di Yodyakarta.
- Sekolat Sarikat Rakyat di Semarang, yang berhaluan komunis.
- Ksatria Institut, yang didirikan oleh Douwes Dekker (Dr. Setiabudi) di Bandung.
- Perguruan Rakyat, di Jakarta dan Bandung.
- Sesuai dengan tuntutan ajaran agama Islam, yaitu:
- Sekolah-sekolah Serikat Islam.
- Sekolah-sekolah Muhammadiyah.
- Sekolah Thowalib di Padang Panjang.
- Sekolah-sekolah Nahdhatul Ulama.
- Sekolah-sekolah Persatuan Umat Islam (PUI).
- Sekolah-sekolah Persatuan islam (Persis).
- Sekolah-sekolah al-Jam’iyatul Washliyah.
- Sekolah-sekolah al-Irsyad.
- Sekolah-sekolah Normal Islam.
10. dan masih banyak lagi
sekolah-sekolah lain yang didirikan oleh organisasi Islam maupun oleh
perorangan di berbagai kawasan Indonesia, baik dalam bentuk Pondok
Pesantren maupun madrasah.
Setelah Indonesia merdeka dan mempunyai
Departemen Agama, maka secara instansional Departemen Agama diserahi
tanggung jawab dan kewajiban terhadap pembinaan dan pengembangan
pendidikan agama. Lembaga pendidikan agama ada yang berstatus negeri dan
ada yang swasta.
Setelah keluarnya SKB Menteri Agama dan
Menteri P dan K, sebagai tindak lanjutnya adalah penyadiaan dan
pengadaan tenaga guru agama yang ditugaskan di sekolah-sekolah umum
negeri. Untuk memenuhi kebutuhan guru agama Islam itu, maka pada tahun
1950 Departemen Agama mendirikan Sekolah Guru Agama Islam (SGAI).
Lulusan sekolah ini dipersiapkan untuk menjadi guru agama di sekolah
dasar. Sedangkan untuk guru agama di sekolah menengah, maka didirikan
Sekolah Guru dan Hakim Agama Islam (SGHA). Untuk memenuhi tenaga guru di
SGHA dan tenaga dosen agama Islam di perguruan tinggi umum, maka
Departemen Agama mendirikan PTAIN yang kemudian bernama IAIN.
PTAIN didirikan di Yogyakarta pada bulan
Septembar 1951 berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 34 tahun 1950, yang
ditanda tangani Presiden RI. Pada bulan Juni 1957 di Jakarta dibuka
Akademi Dinas Ilmu Agama (ADIA) oleh Departemen Agama berdasarkan
Penetapan Menteri Agama No. 1 tahun 1957. tujuannya untuk mendidik dan
mempersiapkan pegawai negeri, untuk menjadi guru agama pada sekolah
lanjutan atas atau menjadi petugas di bidang pendidikan di lingkungan
Departemen Agama. Dan pada bulan Mei 1960 Departemen Agama menggabungkan
PTAIN dan ADIA menjadi IAIN al-Jami’ah al-Islamiyah al-Hukumiyyah
E. Beberapa Faktor Kebijakan Pendidikan Islam di Era Orde Lama
Dari beberapa pemaparan di atas tentang
kondisi dan beberapa kebijakan pendidikan Islam di era Orde Lama,
seperti fatwa para ulama di pulau Jawa tentang kewajiban berjihad, SKB
dua menteri, keputusan MPRS tahun 1966, dan kiprah Departemen Agama
dalam memenuhi kebutuhan akan guru agama dapat disimpulkan bahwa
pemerintah pada masa itu telah memberikan perhatian terhadap
pengembangan pendidikan Islam.
Tetapi, sepertinya peranan umat Islam
yang tergabung dalam pemerintahan pada saat itu belum cukup maksimal
dalam mewarnai kebijakan-kebijakan pendidikan Islam di sekolah-sekolah
umum negeri pada masa itu. Fenomena ini dapat terlihat pada peraturan
bersama dua menteri pada tahun 1946 dan SKB dua menteri pada tahun 1951
yang manyatakan bahwa pendidikan agama dimulai pada kelas IV SR sampai
kelas VI SR, itupun dengan syarat bahwa dalam satu kelas minimal harus
ada 10 murid dan para murid tersebut harus mendapatkan izin dari para
orang tua atau wali murid. Dengan adanya peraturan tersebut, terlihat
bahwa pengajaran agama masih sangat minim dan dapat dikatakan bahwa
pelajaran agama hanya sebagai pelajaran tambahan dan bukan mata
pelajaran yang wajib dan porsinya masih di bawah pelajaran-pelajaran
umum.
Hal ini kemungkinan disebabkan karena
Indonesia dari tahun 1945 sampai tahun 1950 masih menghadapi Revolusi
Fisik, sehingga perhatian pemerintah dan rakyat lebih tertuju pada
masalah-masalah politik dan bagaimana mempertahankan negara dari ancaman
musuh. Hal ini terlihat pada edaran dari Menteri PP dan K pertama Ki
Hajar Dewantara yang menitik beratkan kepada para kepala sekolah dan
guru agar menanamkan sikap nasionalisme kepada para siswa. Dan yang juga
cukup besar pengaruhnya dalam penentuan peraturan pendidikan agama
tersebut adalah pengaruh para tokoh nasionalis dan komunis yang ada di
DPR dan MPR pada masa itu. Jika dilihat dalam beberapa peraturan dan
undang-undang yang dikeluarkan pemerintah tentang pendidikan agama
sampai 1965, semuanya menyertakan syarat “mendapatkan izin dari orang
tua atau wali siswa” atau “orang tua atau wali siswa tidak meyatakan
keberatannya”. Barulah pada tahun 1966 setelah PKI dibubarkan, peraturan
harus mendapat izin dari orang tua atau wali siswa untuk mengikuti
pelajaran agama dapat dihapuskan dan pelajaran agama menjadi hak wajib
bagi semua siswa dari Sekolah Dasar sampai Perguruan Tinggi Umum Negeri
di seluruh wilayah Indonesia
Selanjutnya, yang paling menentukan
perkembangan kependidikan agama khususnya Islam adalah peran aktif
sekolah-sekolah swasta yang berlatar belakang Islam. Mereka dengan
konsisten menjadikan pengajaran agama sebagai pelajaran wajib yang
diajarkan kepada para siswa sejak kelas I SR, meskipun pada waktu itu
pemerintah mengeluarkan peraturan bahwa pengajaran agama dimulai dari
kelas IV SR.
Dengan banyaknya sekolah-sekolah Islam
swasta itu, baik sekolah umum, madrasah, ataupun pesantren, dunia
pendidikan di Indonesia dapat terwarnai dengan nilai-nilai keagamaan
yang mereka usung. Sehingga mereka dapat menjadi penyeimbang terhadap
sistem pendidikan nasional yang pada saat itu belum terlalu
memperhatikan aspek pendidikan agama.
DAFTAR PUSTAKA
Djaelani, A. Timur, Peningkatan Mutu Pendidikan dan Pembangunan Perguruan Agama, (Jakarta; CV. Darmaga, 1980)
Djumhur, dan H. Danasuprata, Sejarah Pendidikan, (Bandung; Jakarta pen Cerdas, 1961), cet. Ke-2
Djumhur, I., Sejarah Pendidikan,(Bandung; CV. Ilmu, 1979)
Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta; Raja Grafindo Persada, 1996), cet. Ke-2
Nata, Abuddin, Modernisasi Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta; UIN Jakarta Press, 2006), cet. Ke-1
Nizar, Syamsul, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009), cet. Ke-3
Zuhairini, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta; Bumi Aksara, 2006), cet. Ke-8