Sabtu, 25 Mei 2013

ANALISIS KEBIJAKAN PENDIDIKAN ISLAM ERA ORDE LAMA



A. Pendahuluan
Pendidikan pada dasarnya merupakan upaya merancang masa depan umat manusia yang dalam konsep dan implementasinya harus memperhitungkan berbagai faktor yang mempengaruhinya. Konsep pendidikan dapat diibaratkan dengan sebuah pakaian yang tidak dapat diimpor atau diekspor. Ia harus diciptakan sesuai dengan keinginan, ukuran, dan model dari orang yang memakainya, sehingga tampak pas dan serasi.
Demikian pula dengan konsep pendidikan yang diterapkan di Indonesia. Ia amat dipengaruhi oleh berbagai kebijakan politik pemerintah. Kebijakan-kebijakan pemerintah, mulai dari pemerintahan kolonial Belanda dan Jepang, awal dan pasca kemerdekaan, hingga masuknya Orde Baru terkesan menganak tirikan pendidikan Islam karena sebuah alasan “Indonesia bukan negara Islam”. Namun berkat semangat juang yang tinggi dari tokoh-tokoh pendidikan Islam, akhirnya berbagai kebijakan yang merugikan pendidikan dapat diredam untuk sebuah tujuan ideal yang tertera di dalam UU Republik Indonesia No. 20 tahun 2003, yaitu: “Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta  didik agar menjadi manusia yang bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”.
Dari segi sejarahnya, pendidikan Islam sudah mulai dikenal sejak kedatangan Islam ke Indonesia. Pendidikan ini memakai sistem sorogan atau perorangan dan berlangsung secara sangat sederhana serta tidak mengenal strata atau tingkatan seperti pendidikan pesantren, dan kemudian berkembang dengan sistem kelas seperti dalam pendidikan modern
B. Pendidikan Islam Zaman Kemerdekaan (1945-1965)
Penyelenggaraan pendidikan agama pasca kemerdekaan mendapat perhatian serius dari pemerintah, baik sekolah negeri maupun swasta. Usaha untuk itu dimulai dengan memberikan bantuan terhadap lembaga, sebagaimana yang dianjurkan oleh Badan Pekerja Komite Nasional Pusat (BPKNP) 27 Desember 1945 menyebutkan:
“Madrasah dan pesantren pada hakikatnya adalah suatu alat dan pencerdasan rakyat jelata yang sudah berurat, berakar dalam masyarakat Indonesia pada umumnya, hendaklah pula mendapat perhatian dan bantuan nyata tuntutan dan bantuan material dari pemerintah”
Meskipun Indonesia baru memproklamirkan kemerdekaannya dan tengah menghadapi revolusi fisik, pemerintah Indonesia sudah berbenah terutama memperhatikan masalah pendidikan yang dianggap cukup vital. Dan untuk itu dibentuklah Kementrian Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan (PP dan K), dan dipimpin oleh Ki Hajar Dewantara. Kementrian PP dan K pada saat itu mengeluarkan instruksi umum yang isinya memerintahkan kepada para kepala sekolah dan guru-guru, yaitu:
  1. Mengubarkan bendera merah-putih setiap hari di halaman sekolah.
  2. Menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya.
  3. Menghentikan pengibaran bendera Jepang dan menghapuskan nyanyian Kimigayo, lagu kebangsaan Jepang.
  4. Menghapuskan pelajaran bahasa Jepang, serta segala ucapan dan istilah yang berasal dari pemerintah Jepang.
  5. Memberi semangat kebangsaan kepada semua muridSelain dari kebijakan-kebijakan tersebut, tindakan selanjutnya yang dilakukan pemerintah Indonesia adalah menyesuaikan pendidikan dengan tuntutan dan aspirasi rakyat, sebagaimana yang tercantum dalam UUD 1945 pasal 31 yang berbunyi:
  1. Setiap warga negara berhak mendapatkan pengajaran.
  2. Pemerintah mengusahakan suatu sistem pengajaran nasional yang diatur dengan undang-undang.
Pada masa Orde Lama ini, ada beberapa peristiwa dalam bidang pendidikan yang dialami oleh bangsa Indonesia, yaitu:
  1. Dari tahun 1945-1950 landasan idiil pendidikan adalah UUD 1945 dan falsafah Pancasila.
  2. Pada permulaan tahun 1949 dengan terbentuknya Negara Republik Indonesia Serikat (RIS), di bagian timur Indonesia menganut sistem pendidikan yang diwarisi dari zaman pemerintahan Belanda.
  3. Pada tahun 1959 Presiden mendekritkan RI kembali ke UUF 1945 dan menetapkan manifesto politik RI menjadi haluan negara. Di bidang pendidikan ditetapkan Sapta Usaha Tama dan Panca Wardana..
  4. Pada tahun 1965, seusai peristiwa G-30 S/PKI kembali lagi melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen.
Inilah sekilas perjalanan sejarah pendidikan Islam di Indonesia pada awal kemerdekaan dan Orde Lama.
C. Berbagai Kebijakan Pemerintah RI dalam Bidang Pendidikan Islam
Setelah Indonesia merdeka, musuh-musuh Indonesia tidak tinggal diam, bahkan berusaha menjajah kembali. Pada bulan Oktober 1945 para ulama di Jawa memproklamasikan perang jihad fi sabililllah terhadap Belanda atau sekutu.             Fatwa ini memberikan kepastian hukum terhadap perjuangan umat Islam. Pahlawan perang barati dikategorokan sebagai syahid. Isi fatwa tersebut adalah sebagai berikut:
  1. Kemerdekaan Indonesia wajib dipertahankan.
  2. Pemerintah RI adalah satu-satunya yang sah dan wajib dibela dan diselamatkan.
  3. Musuh-musuh RI pasti akan menjajah kembali bangsa Indonesia. Karena itu kita wajib mengangkat senjata menghadapi mereka.
  4. Kewajiban-kewajiban tersebut di atas adalah jihad fi sabilillah.
Ditinjau dari segi pendidikan rakyat, maka fatwa ulama tersebut sangat besar sekali artinya. Fatwa tersebut memberikan faedah bahwa para ulama dan santri-santri dapat mempraktekkan dan mengaplikasikan ajaran jihad fi sabilillah yang sudah dikaji dan dipelajari selama bertahun-tahun dalam kitab-kitab Fiqh di pesantren-pesantren dan madrasah. Sehingga ajaran-ajaran tersebut tidak hanya menjadi materi kajian-kajian ilmiah para ulama dan santri di Indonesia. Dan dengan keluarnya fatwa ini, secara otomatis mempengaruhi kurikulum yang diajarkan di pesantren-pesantren. Pesantren yang awalnya hanya mengajarkan Islam melalui pengajian kitab-kitab kuning, dengan keluarnya fatwa tersebut mereka mulai menambahkan pelajaran ekstrakurikuler berupa seni bela diri atau hal-hal lain yang berkaitan dengan bela negara. Dan dapat dipastikan banyak dari pesantren-pesantren yang mengirimkan santri-santrinya untuk turut serta dalam mempertahankan negara secara langsung di medan perang.
Di tengah-tengah berkobarnya revolusi fisik, pemerintah RI tetap membina pendidikan pada umumnya dan pendidikan agama pada khususnya. Pembinaan pendidikan agama itu secara formal institusional dipercayakan kepada Departemen Agama dan Departemen P dan K. Oleh karena itu, maka dikeluarkanlah peraturan-peraturan bersama antara kedua departemen tersebut untuk mengelola pendidikan agama di sekolah-sekolah umum baik negeri maupun swasta. Adapun pendidikan agama di sekolah agama ditangani oleh Departemen Agama sendiri.
Pendidikan agama Islam untuk umum mulai diatur secara resmi oleh pemerintah pada bulan Desember 1946. sebelum itu pendidikan agama sebagai ganti pendidikan budi pekerti yang sudah ada sejak zaman Jepang, berjalan sendiri-sendiri di masing-masing daerah. Pada bulan tersebut dikeluarkanlah peraturan bersama dua menteri yaitu Menteri Agama dan Menteri Pendidikan dan Pengajaran yang menetapkan bahwa pendidikan agama dimulai  pada kelas IV SR (Sekolah Rakyat) sampai kelas VI. Pada masa itu keadaan keamanan Indonesia belum mantap, sehingga SKB dua menteri tersebut belum berjalan sebagaimana mestinya. Daerah-daerah di luar Jawa masih banyak yang memberikan pendidikan agama sejak kelas I SR. Pemerintah membentuk Majlis Pertimbangan Pengajaran Agama Islam pada tahun 1947 yang dipimpin oleh Ki Hajar Dewantara dari Departemen P dan K dan Prof. Drs. Abdullah Sigit dari departemen Agama. Tugasnya adalah ikut mengatur pelaksanaan dan materi pengajaran pengajaran agama yang diberikan di sekolah umum.
Pada tahun 1950 di mana kedaulatan Indonesia telah pulih untuk seluruh Indonesia, maka rencana pendidikan agama untuk seluruh wilayah Indonesia makin disempurnakan dengan dibentuknya panitia bersama yang dipimpin Prof. Mahmud Yunus dari Departemen Agama dan Mr. Hadi dari Departemen P dan K, hasil dari panitia itu adalah SKB yang dikeluarkan pada bulan Januari 1951, Nomor: 1432/Kab. Tanggal 20 Januari 1951 (Pendidikan), Nomor K 1/652 tanggal 20 Januari 1951 (Agama), yang isinya adalah:
  1. Pendidikan agama mulai diberikan di kelas IV Sekolah Rakyat.
  2. Di daerah-daerah yang masyarakat agamanya kuat, maka pendidikan agama mulai diberikan pada kelas I SR, dengan catatan bahwa pengetahuan umumnya tidak berkurang dibandingkan dengan sekolah lain yang pendidikan agamanya dimulai pada kelas IV SR.
  3. Di sekolah lanjutan pertama atau tingkat atas, pendidikan agama diberikan sebanyak dua jam dalam seminggu.
  4. Pendidikan agama diberikan pada murid-murid sedikitnya 10 orang dalam satu kelas dan mendapat izin dari orang tua atau wali.
  5. Pengangkatan guru agama, biaya pendidikan agama, dan materi pendidikan agama ditanggung oleh Departemen Agama.
Untuk menyempurnakan kurikulumnya, maka dibentuk panitia yang dipimpin oleh KH. Imam Zarkasyi dar Pindok Gontor Ponorogo. Kurikulum tersebut disahkan oleh Menteri Agama pada tahun 1952.
Dalam sidang pleno MPRS, pada bulan Desember 1960 diputuskan sebagai berikut: “Melaksanakan Manipol Usdek di bidang mental, agama, dan kebudayaan dengan syarat spiritual dan material agar setiap warga negara dapat mengembangkan kepribadiannya dan kebangsaan Indonesia serta menolak pengaruh-pengaruh buruk budaya asing (Bab II, Pasal II: I).
Dalam ayat 3 dari pasal tersebut dinyatakan bahwa: “Pendidikan agama menjadi mata pelajaran di sekolah-sekolah umum, mulai dari sekolah rendah sampai universitas. Dengan pengertian bahwa murid berhak ikut serta dalam pendidikan agama jika wali murid/ murid dewasa tidak menyatakan keberatannya”.
Pada tahun 1966, MPRS melakukan sidang, suasana pada waktu itu adalah membersihkan sisa-sisa mental G-30 S/ PKI. Dalam keputusannya di bidang pendidikan agama telah mengalami kemajuan yaitu dengan menghilangkan kalimat terakhir dari keputusan yang terdahulu. Denan demikian maka sejak tahun 1966 pendidikan agama menjadi hak wajib para siswa mulai dari Sekolah Dasar sampai Perguruan Tinggi Umum Negeri di seluruh Indonesia.
D. Organisasi dan Lembaga Pendidikan Islam
Lahirnya beberapa organisasi Islam di Indonesia lebih banyak karena didorong oleh mulai tumbuhnya sikap patriotisme dan rasa nasionalisme serta sebagai respon terhadap kepincangan-kepincangan yang ada di kalangan masyarakat Indonesia pada akhir abad ke-19 yang mengalami kemunduran total sebagai akibat eksploitasi politik pemerintah Belanda. Langkah pertama diwujudkan dengan kesadaran berorganisasi.
Walaupun banyak cara yang ditempuh oleh pemerintah kolonial pada waktu itu untuk membendung pergolakan rakyat Indonesia melalui bidang pendidikan, namun tidak banyak membawa hasil, malah berakibat makin menumbuhkan kesadaran para tokoh organisasi Islam untuk melawan penjajah Belanda. Dengan sendirinya, kesadaran berorganisasi yang dijiwai oleh semangat keislaman dan rasa nasionalisme yang tinggi, menimbulkan perkembangan era baru di lapangan pendidikan dan pengajaran. Dan lahirlah perguruan-perguruan nasional yang ditopang oleh usaha-usaha swasta (partikelir menurut istilah pada waktu itu) yang berkembang pesat sejak awal tahun 1900-an, sekolah-sekolah itu semula memiliki dua corak, yaitu:
  1. Sesuai dengan haluan politik, seperti:
    1. Taman Siswa, yang mula-mula didirikan di Yodyakarta.
    2. Sekolat Sarikat Rakyat di Semarang, yang berhaluan komunis.
    3. Ksatria Institut, yang didirikan oleh Douwes Dekker (Dr. Setiabudi) di Bandung.
    4. Perguruan Rakyat, di Jakarta dan Bandung.
      1. Sesuai dengan tuntutan ajaran agama Islam, yaitu:
  2. Sekolah-sekolah Serikat Islam.
  3. Sekolah-sekolah Muhammadiyah.
  4. Sekolah Thowalib di Padang Panjang.
  5. Sekolah-sekolah Nahdhatul Ulama.
  6. Sekolah-sekolah Persatuan Umat Islam (PUI).
  7. Sekolah-sekolah Persatuan islam (Persis).
  8. Sekolah-sekolah al-Jam’iyatul Washliyah.
  9. Sekolah-sekolah al-Irsyad.
  10. Sekolah-sekolah Normal Islam.
10.  dan masih banyak lagi sekolah-sekolah lain yang didirikan oleh organisasi Islam maupun oleh perorangan di berbagai kawasan Indonesia, baik dalam bentuk Pondok Pesantren maupun madrasah.
Setelah Indonesia merdeka dan mempunyai Departemen Agama, maka secara instansional Departemen Agama diserahi tanggung jawab dan kewajiban terhadap pembinaan dan pengembangan pendidikan agama. Lembaga pendidikan agama ada yang berstatus negeri dan ada yang swasta.
Setelah keluarnya SKB Menteri Agama dan Menteri P dan K, sebagai tindak lanjutnya adalah penyadiaan dan pengadaan tenaga guru agama yang ditugaskan di sekolah-sekolah umum negeri. Untuk memenuhi kebutuhan guru agama Islam itu, maka pada tahun 1950 Departemen Agama mendirikan Sekolah Guru Agama Islam (SGAI). Lulusan sekolah ini dipersiapkan untuk menjadi guru agama di sekolah dasar. Sedangkan untuk guru agama di sekolah menengah, maka didirikan Sekolah Guru dan Hakim Agama Islam (SGHA). Untuk memenuhi tenaga guru di SGHA dan tenaga dosen agama Islam di perguruan tinggi umum, maka Departemen Agama mendirikan PTAIN yang kemudian bernama IAIN.
PTAIN didirikan di Yogyakarta pada bulan Septembar 1951 berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 34 tahun 1950, yang ditanda tangani Presiden RI. Pada bulan Juni 1957 di Jakarta dibuka Akademi Dinas Ilmu Agama (ADIA) oleh Departemen Agama berdasarkan Penetapan Menteri Agama No. 1 tahun 1957. tujuannya untuk mendidik dan mempersiapkan pegawai negeri, untuk menjadi guru agama pada sekolah lanjutan atas atau menjadi petugas di bidang pendidikan di lingkungan Departemen Agama. Dan pada bulan Mei 1960 Departemen Agama menggabungkan PTAIN dan ADIA menjadi IAIN al-Jami’ah al-Islamiyah al-Hukumiyyah
E. Beberapa Faktor Kebijakan Pendidikan Islam di Era Orde Lama
Dari beberapa pemaparan di atas tentang kondisi dan beberapa kebijakan pendidikan Islam di era Orde Lama, seperti fatwa para ulama di pulau Jawa tentang kewajiban berjihad, SKB dua menteri, keputusan MPRS tahun 1966, dan kiprah Departemen Agama dalam memenuhi kebutuhan akan guru agama dapat disimpulkan bahwa  pemerintah pada masa itu telah memberikan perhatian terhadap pengembangan pendidikan Islam.
Tetapi, sepertinya peranan umat Islam yang tergabung dalam pemerintahan pada saat itu belum cukup maksimal dalam mewarnai kebijakan-kebijakan pendidikan Islam di sekolah-sekolah umum negeri pada masa itu. Fenomena ini dapat terlihat pada peraturan bersama dua menteri pada tahun 1946 dan SKB dua menteri pada tahun 1951 yang manyatakan bahwa pendidikan agama dimulai pada kelas IV SR sampai kelas VI SR, itupun dengan syarat bahwa dalam satu kelas minimal harus ada 10 murid dan para murid tersebut harus mendapatkan izin dari para orang tua atau wali murid. Dengan adanya peraturan tersebut, terlihat bahwa pengajaran agama masih sangat minim dan dapat dikatakan bahwa pelajaran agama hanya sebagai pelajaran tambahan dan bukan mata pelajaran yang wajib dan porsinya masih di bawah pelajaran-pelajaran umum.
Hal ini kemungkinan disebabkan karena Indonesia dari tahun 1945 sampai tahun 1950 masih menghadapi Revolusi Fisik, sehingga perhatian pemerintah dan rakyat lebih tertuju pada masalah-masalah politik dan bagaimana mempertahankan negara dari ancaman musuh. Hal ini terlihat pada edaran dari Menteri PP dan K pertama Ki Hajar Dewantara yang menitik beratkan kepada para kepala sekolah dan guru agar menanamkan sikap nasionalisme kepada para siswa. Dan yang juga cukup besar pengaruhnya dalam penentuan peraturan pendidikan agama tersebut adalah pengaruh para tokoh nasionalis dan komunis yang ada di DPR dan MPR pada masa itu. Jika dilihat dalam beberapa peraturan dan undang-undang yang dikeluarkan pemerintah tentang pendidikan agama sampai 1965, semuanya menyertakan syarat “mendapatkan izin dari orang tua atau wali siswa” atau “orang tua atau wali siswa tidak meyatakan keberatannya”. Barulah pada tahun 1966 setelah PKI dibubarkan, peraturan harus mendapat izin dari orang tua atau wali siswa untuk mengikuti pelajaran agama dapat dihapuskan dan pelajaran agama menjadi hak wajib bagi semua siswa dari Sekolah Dasar sampai Perguruan Tinggi Umum Negeri di seluruh wilayah Indonesia
Selanjutnya, yang paling menentukan perkembangan kependidikan agama khususnya Islam adalah peran aktif sekolah-sekolah swasta yang berlatar belakang Islam. Mereka dengan konsisten menjadikan pengajaran agama sebagai pelajaran wajib yang diajarkan kepada para siswa sejak kelas I SR, meskipun pada waktu itu pemerintah mengeluarkan peraturan bahwa pengajaran agama dimulai dari kelas IV SR.
Dengan banyaknya sekolah-sekolah Islam swasta itu, baik sekolah umum, madrasah, ataupun pesantren, dunia pendidikan di Indonesia dapat terwarnai dengan nilai-nilai keagamaan yang mereka usung. Sehingga mereka dapat menjadi penyeimbang terhadap sistem pendidikan nasional yang pada saat itu belum terlalu memperhatikan aspek pendidikan agama.
DAFTAR PUSTAKA
Djaelani, A. Timur, Peningkatan Mutu Pendidikan dan Pembangunan Perguruan Agama, (Jakarta; CV. Darmaga, 1980)
Djumhur, dan H. Danasuprata, Sejarah Pendidikan, (Bandung; Jakarta pen Cerdas, 1961), cet. Ke-2
Djumhur, I., Sejarah Pendidikan,(Bandung; CV. Ilmu, 1979)
Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta; Raja Grafindo Persada, 1996), cet. Ke-2
Nata, Abuddin, Modernisasi Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta; UIN Jakarta Press, 2006), cet. Ke-1
Nizar, Syamsul, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009), cet. Ke-3
Zuhairini, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta; Bumi Aksara, 2006), cet. Ke-8