Oleh Drs.H.Mutawalli,M.Pd.I
KURIKULUM 2013 yang menekankan pendekatan tematik-integratif dan berkarakter kini mulai diberlakukan, meskipun penolakan atau resistensi masih terjadi. Adanya penolakan ini penting difahami esensinya. Mengabaikan penolakan bisa berakibat pada pelaksanaannya setengah hati. Sejumlah penelitian di berbagai negara juga membuktikan betapa pentingnya memahami reformasi kurikulum dari sisi pelaksananya (misalnya: guru), bukan hanya dari sisi pembuat kebijakannya. Alasannya, pembuat kebijakan hanya beberapa orang, sedangkan pelaksanannya di lapangan dalam konteks Indonesia berjumlah jutaan dan mereka menentukan terlaksanakannya kurikulum atau tidak.
Selama ini, budaya pembelajaran di sekolah-sekolah kita masih berorientasi mata pelajaran. Meskipun masih kelas I, murid sudah diberikan roster mata pelajaran. Sedangkan dalam Kurikulum 2013, banyak yang sudah tematik integratif, dengan mengedepankan tema-tema pembelajaran dari sejumlah mata pelajaran. Mengubah kebiasaan lama ini tentunya tak mudah bagi semua orang, sehingga saya menyebutnya sebagai “titik kritis pertama” yang berpeluang mempengaruhi kualitas pelaksanaannya.
Dalam beberapa hal, model Kurikulum 2013 di Indonesia mirip kurikulum di Australia. Sebagai orang tua dari dua anak yang masih duduk kelas I dan II SD di Melbourne, Australia, saya selalu dikirimi oleh pihak sekolah tema apa saja yang akan dipelajari anak-anak pada setiap masa sekolah. Jadi bukan mata pelajarannya.
Tema-tema tersebut hasil gabungan dari sejumlah mata pelajaran, yang dalam pelaksanaannya penuh dengan berbagai aktivitas menyenangkan. Jadi meskipun belajar dari pukul 09.00-15.30, anak-anak tetap senang bersekolah. Sedangkan di sekolah kita, terutama kelas I dan II, belajarnya cuma dua jam untuk dua hingga tiga mata pelajaran, sehingga sulit mengintegrasikan sejumlah mata pelajaran dalam tema-tema yang diajarkan pada waktu yang singkat itu. Untuk itu, saya menyebutnya “titik kritis kedua”.
Aktivitas menyenangkan
Saya teringat komentar dua anak saya waktu hari pertama pulang dari sekolah di Melbourne. Awalnya, diliputi rasa khawatir kalau anak-anak saya tak betah bersekolah di sana. Apalagi pada pagi pertama mereka masuk kelas, dua-duanya menangis minta pulang. Namun ketika sorenya, mereka meloncat-loncat kegirangan, seraya berkata: “Besok sekolah lagi, ya Yah.” Komentar lugu dari anak kecil ini saya fahami sebagai isyarat pembelajaran yang penuh aktivitas menyenangkan di kelasnya.
Terus-terang, komentar ini bertolak belakang dengan komentar anak-anak saya yang juga bersekolah lama di Aceh. Mereka mengeluh bosan bersekolah karena setiap hari harus menyelasaikan PR yang begitu banyak. Suatu kali saya mencoba melihat tugas apa saja yang diberikan. Ternyata ada tugas yang hanya memerintahkan anak-anak untuk menulis kembali satu hingga dua halaman penuh teks dalam buku, entah apa maksudnya. Bagi anak-anak yang mendapat banyak tugas dari mata pelajaran lain, hal ini sangat membebankan.
Saya selalu mengambil waktu untuk melakukan sejumlah pembiasaan dalam keluarga. Sebelum mengerjakan tugas, anak-anak saya ajak untuk shalat berjamaah, lalu membaca masing-masing satu halaman Alquran, baru membuat PR. Bayangkan kalau PR-nya banyak. Kalau begini cara pembelajarannya, masa dua jam di sekolah, guru akan menghabiskannya untuk memberikan ponten untuk anak-anak, bukan mengajar. Sehingga ini akan menjadi “titik kritis ketiga” bagi pelaksanaan Kurikulum 2013 yang menuntut waktu pembelajaran yang lama dan menyenangkan.
Karena merasa ingin tahu bagaimana kondisi dalam dan dalam sekolah, saya besoknya ketika mengantar mereka ke sekolah, mencoba memperhatikan dengan seksama apa saja yang menyenangkan. Ternyata memang banyak, baik di luar kelas maupun di dalam kelas. Bukan hanya proses pembelajarannya dengan beragam aktivitas yang dipadukan dengan berbagai macam permainan, tetapi juga fasilitas di dalam dan luar kelas yang atraktif, memadai, dan mendukung pembelajaran. Kelas penuh warna-warni gambar yang memberi inspirasi bagi murid.
Sedangkan di luar sekolah, lapangan sekolah yang luas ditambah dengan berbagai tempat permainan anak-anak, sehingga mereka akan betah di sana. Bahkan, untuk fasilitas yang tak dimiliki sekolah, dilakukan kerja sama dengan pihak lain atau universitas yang memilikinya. Misalnya, anak-anak diajari life skills berenang seminggu sekali, yang dipandu oleh para guru dan pelatih dari kolam renang di universitas. Di lain waktu, anak-anak diajak bertamasya ke kebun binatang atau tempat-tempat bersejarah. Untuk kegiatan-kegiatan seperti ini biasanya dikutip uang dari orang tua.
Kondisi seperti ini harus diakui tak semuanya disediakan di sekolah-sekolah kita. Meskipun memiliki halaman luas, tak sedikit yang kelihatan kering tak difungsikan, dan tak mengundang mata untuk meihatnya. Sehingga banyak anak yang tak betah. Kalaupun betah, tak sedikit yang mengganggu teman karena tak cukup fasilitas permainan untuk dinikmati di sana. Ketiadaan fasilitas ini saya anggap sebagai “titik kritis kelima”, karena anak-anak hanya bisa mendapatkan pengetahuan dari guru, tidak dari alam.
Selanjutnya, sekolah-sekolah di Australia mengembangkan nilai-nilai, seperti bekerjasama, berbagi, bertanggungjawab, menghormati orang lain, menolong, dan sebagainya. Nilai-nilai ini diharapkan dimiliki anak-anak agar tercipta anak-anak yang berkarakter. Di luar kelas, nilai-nilai itu ditempel besar-besar di pagar sekolah. Di kelas, anak-anak diajarkan untuk bertanggungjawab, misalnya, dengan mengumpulkan kembali permainan atau membuang sampah pada tempatnya. Terus-terang, saya tidak tahu bagaimana menciptakan karakter di sekolah-sekolah di mana anak-anak yang dipaksa melakukan tugas tulis-menulis dan banyak menghafal. Bila masalah pembentukan karakter tidak diperhatikan, akan menjadi “titik kritis keenam” dalam Kurikulum 2013.
Suatu kali, saya sengaja mendatangi guru anak-anak saya sewaktu di Aceh. Tujuan saya berkomunikasi dengan guru tentang bagaimana anak-anak saya. Guru mengeluh anak saya batat, tidak mau menulis. Lantas saya katakan, mungkin karena tulis-menulisnya terlalu banyak; belum saatnya untuk anak-anak kelas rendah. Secara psikologis, anak-anak SD perlu belajar sambil bermain. Ruang kelas penting ditata dengan berbagai hal yang memberikan pengetahuan, sehingga begitu masuk kelas, anak-anak langsung melihat berbagai pengetahuan tanpa harus menghafal pun akan terhafal. Ternyata guru itu marah, dianggap mendiktenya.
Buku komunikasi
Berbeda dengan di Australia, guru selalu menyediakan kesempatan bagi orang tua untuk berpartisipasi dan menyumbang saran langsung atau melalui buku komunikasi. Apalagi orang tua tahu kelakuan dan kecenderungan anaknya. Sehingga bila dikomunikasikan kepada guru akan menjadi informasi penting guru yang sudah belajar psikologi perkembangan anak dan teori belajar sewaktu di perguruan tinggi. Namun, bila guru tidak menguasai psikologi perkembangan anak dan teori belajar, misalnya akibat mengangkat guru lulusan SMU, akan menyebabkan malpraktik dalam bidang pembelajaran, yang dalam hal ini bisa disebut sebagai “titik kritis ketujuh”.
Semoga titik-titik kritis ini menjadi pertimbangan dalam melaksanakan Kurikulum 2013. Saya mencermati, sekolah-sekolah kita bukannya tidak punya uang dan kemampuan untuk melaksanakan pendidikan seperti dalam rancangan kurikulum baru itu, tetapi masih memerlukan kerja sama lebih serius untuk menambal kekurangan yang ada, sehingga sampai pada level siap untuk melaksanakannya.
KURIKULUM 2013 yang menekankan pendekatan tematik-integratif dan berkarakter kini mulai diberlakukan, meskipun penolakan atau resistensi masih terjadi. Adanya penolakan ini penting difahami esensinya. Mengabaikan penolakan bisa berakibat pada pelaksanaannya setengah hati. Sejumlah penelitian di berbagai negara juga membuktikan betapa pentingnya memahami reformasi kurikulum dari sisi pelaksananya (misalnya: guru), bukan hanya dari sisi pembuat kebijakannya. Alasannya, pembuat kebijakan hanya beberapa orang, sedangkan pelaksanannya di lapangan dalam konteks Indonesia berjumlah jutaan dan mereka menentukan terlaksanakannya kurikulum atau tidak.
Selama ini, budaya pembelajaran di sekolah-sekolah kita masih berorientasi mata pelajaran. Meskipun masih kelas I, murid sudah diberikan roster mata pelajaran. Sedangkan dalam Kurikulum 2013, banyak yang sudah tematik integratif, dengan mengedepankan tema-tema pembelajaran dari sejumlah mata pelajaran. Mengubah kebiasaan lama ini tentunya tak mudah bagi semua orang, sehingga saya menyebutnya sebagai “titik kritis pertama” yang berpeluang mempengaruhi kualitas pelaksanaannya.
Dalam beberapa hal, model Kurikulum 2013 di Indonesia mirip kurikulum di Australia. Sebagai orang tua dari dua anak yang masih duduk kelas I dan II SD di Melbourne, Australia, saya selalu dikirimi oleh pihak sekolah tema apa saja yang akan dipelajari anak-anak pada setiap masa sekolah. Jadi bukan mata pelajarannya.
Tema-tema tersebut hasil gabungan dari sejumlah mata pelajaran, yang dalam pelaksanaannya penuh dengan berbagai aktivitas menyenangkan. Jadi meskipun belajar dari pukul 09.00-15.30, anak-anak tetap senang bersekolah. Sedangkan di sekolah kita, terutama kelas I dan II, belajarnya cuma dua jam untuk dua hingga tiga mata pelajaran, sehingga sulit mengintegrasikan sejumlah mata pelajaran dalam tema-tema yang diajarkan pada waktu yang singkat itu. Untuk itu, saya menyebutnya “titik kritis kedua”.
Aktivitas menyenangkan
Saya teringat komentar dua anak saya waktu hari pertama pulang dari sekolah di Melbourne. Awalnya, diliputi rasa khawatir kalau anak-anak saya tak betah bersekolah di sana. Apalagi pada pagi pertama mereka masuk kelas, dua-duanya menangis minta pulang. Namun ketika sorenya, mereka meloncat-loncat kegirangan, seraya berkata: “Besok sekolah lagi, ya Yah.” Komentar lugu dari anak kecil ini saya fahami sebagai isyarat pembelajaran yang penuh aktivitas menyenangkan di kelasnya.
Terus-terang, komentar ini bertolak belakang dengan komentar anak-anak saya yang juga bersekolah lama di Aceh. Mereka mengeluh bosan bersekolah karena setiap hari harus menyelasaikan PR yang begitu banyak. Suatu kali saya mencoba melihat tugas apa saja yang diberikan. Ternyata ada tugas yang hanya memerintahkan anak-anak untuk menulis kembali satu hingga dua halaman penuh teks dalam buku, entah apa maksudnya. Bagi anak-anak yang mendapat banyak tugas dari mata pelajaran lain, hal ini sangat membebankan.
Saya selalu mengambil waktu untuk melakukan sejumlah pembiasaan dalam keluarga. Sebelum mengerjakan tugas, anak-anak saya ajak untuk shalat berjamaah, lalu membaca masing-masing satu halaman Alquran, baru membuat PR. Bayangkan kalau PR-nya banyak. Kalau begini cara pembelajarannya, masa dua jam di sekolah, guru akan menghabiskannya untuk memberikan ponten untuk anak-anak, bukan mengajar. Sehingga ini akan menjadi “titik kritis ketiga” bagi pelaksanaan Kurikulum 2013 yang menuntut waktu pembelajaran yang lama dan menyenangkan.
Karena merasa ingin tahu bagaimana kondisi dalam dan dalam sekolah, saya besoknya ketika mengantar mereka ke sekolah, mencoba memperhatikan dengan seksama apa saja yang menyenangkan. Ternyata memang banyak, baik di luar kelas maupun di dalam kelas. Bukan hanya proses pembelajarannya dengan beragam aktivitas yang dipadukan dengan berbagai macam permainan, tetapi juga fasilitas di dalam dan luar kelas yang atraktif, memadai, dan mendukung pembelajaran. Kelas penuh warna-warni gambar yang memberi inspirasi bagi murid.
Sedangkan di luar sekolah, lapangan sekolah yang luas ditambah dengan berbagai tempat permainan anak-anak, sehingga mereka akan betah di sana. Bahkan, untuk fasilitas yang tak dimiliki sekolah, dilakukan kerja sama dengan pihak lain atau universitas yang memilikinya. Misalnya, anak-anak diajari life skills berenang seminggu sekali, yang dipandu oleh para guru dan pelatih dari kolam renang di universitas. Di lain waktu, anak-anak diajak bertamasya ke kebun binatang atau tempat-tempat bersejarah. Untuk kegiatan-kegiatan seperti ini biasanya dikutip uang dari orang tua.
Kondisi seperti ini harus diakui tak semuanya disediakan di sekolah-sekolah kita. Meskipun memiliki halaman luas, tak sedikit yang kelihatan kering tak difungsikan, dan tak mengundang mata untuk meihatnya. Sehingga banyak anak yang tak betah. Kalaupun betah, tak sedikit yang mengganggu teman karena tak cukup fasilitas permainan untuk dinikmati di sana. Ketiadaan fasilitas ini saya anggap sebagai “titik kritis kelima”, karena anak-anak hanya bisa mendapatkan pengetahuan dari guru, tidak dari alam.
Selanjutnya, sekolah-sekolah di Australia mengembangkan nilai-nilai, seperti bekerjasama, berbagi, bertanggungjawab, menghormati orang lain, menolong, dan sebagainya. Nilai-nilai ini diharapkan dimiliki anak-anak agar tercipta anak-anak yang berkarakter. Di luar kelas, nilai-nilai itu ditempel besar-besar di pagar sekolah. Di kelas, anak-anak diajarkan untuk bertanggungjawab, misalnya, dengan mengumpulkan kembali permainan atau membuang sampah pada tempatnya. Terus-terang, saya tidak tahu bagaimana menciptakan karakter di sekolah-sekolah di mana anak-anak yang dipaksa melakukan tugas tulis-menulis dan banyak menghafal. Bila masalah pembentukan karakter tidak diperhatikan, akan menjadi “titik kritis keenam” dalam Kurikulum 2013.
Suatu kali, saya sengaja mendatangi guru anak-anak saya sewaktu di Aceh. Tujuan saya berkomunikasi dengan guru tentang bagaimana anak-anak saya. Guru mengeluh anak saya batat, tidak mau menulis. Lantas saya katakan, mungkin karena tulis-menulisnya terlalu banyak; belum saatnya untuk anak-anak kelas rendah. Secara psikologis, anak-anak SD perlu belajar sambil bermain. Ruang kelas penting ditata dengan berbagai hal yang memberikan pengetahuan, sehingga begitu masuk kelas, anak-anak langsung melihat berbagai pengetahuan tanpa harus menghafal pun akan terhafal. Ternyata guru itu marah, dianggap mendiktenya.
Buku komunikasi
Berbeda dengan di Australia, guru selalu menyediakan kesempatan bagi orang tua untuk berpartisipasi dan menyumbang saran langsung atau melalui buku komunikasi. Apalagi orang tua tahu kelakuan dan kecenderungan anaknya. Sehingga bila dikomunikasikan kepada guru akan menjadi informasi penting guru yang sudah belajar psikologi perkembangan anak dan teori belajar sewaktu di perguruan tinggi. Namun, bila guru tidak menguasai psikologi perkembangan anak dan teori belajar, misalnya akibat mengangkat guru lulusan SMU, akan menyebabkan malpraktik dalam bidang pembelajaran, yang dalam hal ini bisa disebut sebagai “titik kritis ketujuh”.
Semoga titik-titik kritis ini menjadi pertimbangan dalam melaksanakan Kurikulum 2013. Saya mencermati, sekolah-sekolah kita bukannya tidak punya uang dan kemampuan untuk melaksanakan pendidikan seperti dalam rancangan kurikulum baru itu, tetapi masih memerlukan kerja sama lebih serius untuk menambal kekurangan yang ada, sehingga sampai pada level siap untuk melaksanakannya.