MAKALAH
PSIKOLOGI AGAMA
PENGARUH PENDIDIKAN TERHADAP JIWA KEAGAMAAN
KATA PENGANTAR
Teriring
do’a sebagai seorang hamba, segenap ikhtiar sebagai seorang khalifah,
dan segala puji syukur milik Allah SWT, Pencipta semesta alam, yang
menaburkan kehidupan dengan penuh hikmah. Dengan limpahan rahmat, taufik
serta inayah-Nya, penulis diberikan kekuantan untuk menyeleseikan
makalah yang berjudul “pengaruh pendidikan terhadap jiwa keagamaan”.
Sholawat
serta salam senantiasa kita sanjungkan kepada junjungan kita Nabi Agung
Muhammad SAW, sang penerang umat, juga kepada keluarga yang
mulia,sahabatnya yang tercinta dan umatnya yang setia akhir zaman semoga kita mendapat syafaat-Nya.
Penulis menyadari bahwa penulisan makalah ini tidak terlepas dari bantuan dan partisipasi dari berbagai pihak. Sebagaimana pepatah mengatakan Tiada gading yang tak retak,
maka penulisan makalah inipun tentunya dijumpai banyak kekurangan dan
kelemahan. Untuk itu kami mohon maaf yang sebesar-besarnya dan mengharap
tegur serta saran-saran penyempurnaan, agar kekurangan dan kelemahan
yang ada tidak sampai mengurangi nilai dan manfaat bagi pendidikan studi
Islam pada umumnya.
Bengkulu, Mei 2012
Penulis
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Manusia
dilahirkan di dunia ini dalam keadaan fitrah, sehingga pengaruh
lingkungan akan turut mempengaruhi perkembangan seseorang. Baik ataupun
buruknya lingkungan akan menjadi referensi bagi perkembangan masyarakat
sekitarnya. WH. Clarck mengemukakan bahwa bayi yang baru lahir merupakan
makhluk yang tidak berdaya, namun ia dibekali oleh berbagai kemampuan
yang bersifat bawaan. Disini mengandung pengertian bahwa sifat bawaan
seseorang tersebut memerlukan sarana untuk mengembangkannya. Pendidikan
merupakan sarana yang tepat dalam mencapai hal tersebut. Baik pendidikan
keluarga, formal ataupun non formal sekalipun. Terlebih sebagai umat
islam maka pendidikan islam tentu menjadi sebuah jalan yang harus
ditempuh oleh semua umat.
B. Rumusan Maslah.
1. Bagaimana penjelasan pendidikan keluarga?
2. Bagaimana penjelasan pendidikan kelembagaan?
3. Bagaimana penjelasan pendidikan dimasyarakat?
4. Bagaiman penjelasan agama dan masalah sosial?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pendidikan Keluarga.
Barang
kali sulit untuk mengabaikan peran keluarga dalam pendidikan. Anak-anak
pada masa bayi sampai sekolah memiliki lingkungan tunggal, Yaitu
keluarga. Makanya tidak mengheran kan jika Gilbert Highest menyatakan
bahwa kebiasaan yang dimiliki anank-anak sebagian besar terbentuk oleh
pendidikan keluarga. Sejak bangundari tidur hingga saat akan tidur
kembali, Anak-anak kenerima pengaruh dan pendidikan keluarga(Gilbert
Highest, 1961:78).
Bayi yang baru lahir merupakan mahluk
yang tidak berdaya, namun ia dibekali oleh bebagai kemampuan yang
bersifat bawaan, Disini terlihat oleh berbagai aspek yang kontradiktif.
Disatu pihak bayi bayi berada dalam kondisi tanpa daya, Sedang dipihak
lain bayi mempunyai kemampuan untuk berkembang (exploratif). Tetapi
menurut Walter Houston Clark, Perkembangan bayi tidak dapat berlangsung
secara normal tanpa adanya interfensi dari luar, Walaupun secara alami
ia memiliki potensi bawaan. Seandai nya bayi dalam pertumbuhan dan
perkembangan nya hanya diharapkan menjadi manusia normal sekalipun, Maka
ia memerlukan berbagai persyaratan tertentu serta pemeliharaan yang
berkesinambungan (W.H.CLrak,1964:2).
Dua
ahli psikologi prancis bernama Itar dan sanguin pernah meniliti
anak-anak asuhan srigala. Mereka menemukan dua oarang bayiyang
dipelihara oleh seklompok srigala disebuah gua, Ketika ditemukan, kedua
bayi manusia itu sudahberusia kanak-kanak. Namun, Kedua bayi tersebut
tidak menunjukkan kemampuan yang seharus nya dimiliki manusia pada usia
kanak-kanak. Tak seorangpun diantara keduanya mampu mengucapakan
kata-kata, kecuali aungan sekor srigala. Keduanya juga berjalan
merangkak dan makan dngan cera menjilat. Dan terlihat pertumbuhan gigi
serinya paling pinggir lebih runcing menyrupai taring srigala. Setelah
dikembalikan kelingkungan masyarakat mnusia, ternyata kedua anak-anak
hasil asuhan srigala tak dapat menyesuikan diri, dan akhir nya mati.
Contoh
diatas menunjukkan bagaimana pengaruh pendidikan, Baik dalam bentuk
pemeliharaan ataupun pembentukan kebiasaan terhadap massa depan
perkembangan seorang anak. Meskipun seorang anak /bayi manusia yang
dibekali sebuah potensi kemanusiaan, Namun dilingkungan pemeliharaan
srigala tersebut potensi tidak berkembang.
Kondisi seperti
itu tampak nya menyebabkan manusia memerlukan pemeliharaan, Pengawasan
dan bimbingan yang serasi dan sesuai agar pertumbuhan dan perkembangan
dapat berjalan baik dan benar. Manusia memang bukan mahkluk yan
instintik secara utuh, Sehingga
ia tidak mungkin berkembang dan tumbuh secara instingtif sepenuh nya.
Makanya menurut W.H. Clrak, bayi memerlukan persyaratan-persyaratan
tertentupengawasan serta pemeliharaan terus menerus sebagai latihan
dasar dalam pembentukan dasar dalam pembentukan kebiasaan dan
sikap-sikap tertentu agar ia memiliki kemungkinanuntuk berkembang secara
wajar dalam kehidupan dimassa depan.
Keluarga
menurut para pendidik merupakan lapangan pendidikan yang pertama dan
pendidiknya adalah kedua orang tua. Orang tua adalh pendidik kodrati.
Mereka pendidik bagi ank-anaknya karena
secara kodrat ibu dan ayah diberikan anugrah oleh tuhan penciptaberupa
naluri orang tua. Karena naluri ini,timbul kasih sayangpara orang tua
terhadap anak mereka, sehingga secara moral kedua nya merasa terbeban
tanggung jawab untuk memelihara, mengawasi ,melindungi, serta membimbing
keturunan mereka.
Pendidikan
keluarga merupakan pendidikan dasar bagi pembentukan jiwa keagamaan.
Perkembangan agama menurut W.H.Clark, berjalin dengan unsur-unsur
kejiwaan sehingga sulit di identifikasisecara jelas, karena masalh
menyangkut kejiwaan, manusia begitu rumit dan kompleksnya. Namun
demikian, melalui fungsi-fungsi jiwa yang masih sederhana tersebut,
Agama terjalin dan terlibat didalam nya. Melalui jalinan unsur-unsur dan
tenaga kejiwaan ini pulalah agama itu berkembang. Dalam kaitan pula
itulah terlihat peran pendidikan keluarga,dalam menanamkan jiwa
keagamaan pada anak, Maka. Tak mengheran kan jika rosul menekan kan
tanggung jawab itu pada kedua orang tua.
B. Penidikan Kelembagaan.
Di
masyarakat primitif lembaga pendidikan secara khusus tidak ada.
Anak-anak umumnya dididik dilingkungan keluarga dan masyarakat
lingkungan nya. Pendidik secara kelembagaan memang belom diperlukan,
karena fariasi profesi dalam kehidupan belom ada. Jika anak dilahirkan
dilingkungan keluarga tani, Maka dapat dipastikan ia akan menjadi petani
seperti orang tua dan masyarakat lingkungan nya. Demikian pula anak
seorang nelayan, Ataupun anak seorang pemburu.
Sebaliknya,
dimasyarakat yang telah memiliki peradaban modern, tradisi seperti itu
tak mungkin dipertahankan. Untuk menyeleraskan diri dengan perkembangan
kehidupan masyarakatnya, Seseorang memerlukan pendidikan. Sejalan dengan
kepentingan itu, Maka dibentuk lembaga khusus yang menylenggarakn
tugas-tugas kependidikan dimaksud. Dengan demikian, Secara kelembagaan
maka sekolah-sekolah pada hakikat nya adalah merupakan lembaga
pendidikan yang artifisialis (sengaja dibuat).
Selain
itu, sejalan dengan fungsi dan peranan nya, maka sekolah sebagai
kelembagaan pendidikan adalah pelajud dari pendidikan keluarga. Karena
keterbatasan orang tua untuk mendidik anak-anak mereka, maka mereka
diserahakn kesekolah-sekolah. Sejalan dengan kepentingan dan massa depan
anak-anak, terkadang para orang tua sangat efektif dalam menentukan
tempat untuk menyekolahkan anak-anak mereka. Mungkin saja para orang tua
yang berasal dari keluarga taat beragam akan memasukkan anak-anak nya
kesekolah agama. Sebalik nya, para oarang tua lain lebih mengarahkan
anak mereka kesekolah umum. Ataau sebalik nya orang tua yang
mengendalikan anak nya sulit bisa juga para orang tua memasukkan anak
nya kesekolah Agama dengan tujuan pembentukan kepribadian yang lebih
baik.
Fungsi
sekolah dalam kaitannya dengan pembentukan jiwa keagamaan pada anak,
antara lain sebagai pelanjut pendidikan agama di lingkungan keluarga
atau membentuk jiwa keagamaan pada diri anak yang tidak menerima
pendidikan agama dalam keluarga. Dalam konteks ini guru agama harus
mampu mengubah sikap anak didiknya agar menerima pendidikan agama yang
dibarikannya.
Menurut
Mc Guire proses perubahan sikap dari tidak menerima ke sikap menerima
berlangsung melalui tiga tahap perubahan sikap. Proses pertama adalah
adanya perhatian; kedua, adanya pemahaman; dan ketiga, adanya penerimaan
(Djamaluddin Ancol: 40-41). Dengan demikian pengaruh kelembagaan
pendidikan dalam pembentukan jiwa keagamaan pada anak, sengat tergantung
dari kemampuan para pendidik untuk menimbulkan ketiga proses itu. Pertama,
pendidikan agama yang diberikan harus dapat menarik perhatian peserta
didik. Untuk menopang pencapaian itu, maka guru agama harus dapat
merencanakan materi, metode serta alat-alat bantu yang menungkinkan
anak-anak memberikan perhatiannya.
Kedua,
para guru agama harus mampu memberikan pemahaman kepada anak didik
tentang materi pendidikan yang diberkannya. Pemahaman ini akan lebih
mudah diserap jika pendidikan agama yang diberikan dikaitkan dengan
kehidupan sehari-hari. Jadi tidak terbatas plada kegiatan yag bersifat
hafalan semata. Ketiga, penerimaan siswa terhadap meteri
pendidikan agama yang diberikan. Plenerimaan ini sangat tergantung
dengan hubungan antara materi dengan kebutuhan dan nilai bagi kehidupan
anak didik. Dan sikap menerima tersebut pada garis besarnya banyak
ditentukan oleh sikap pendidik itu sendiri, antara lain memiliki
keahllian dalam bidang agama dan memiliki sifat-sifatyang sejalan dengan
ajaran agama, seperti jujur dan dapat dipercaya. Kedua ciri ini akan
sangat menetukan dalam mengubah sikap para anak didik.
C. Pendidikan di Masyarakat.
Masyarakat
merupakan lapangan pendidikan yang ketiga. Para pendidik umumnya
sependapat bahwa lapangan pendidikan yang ikut mempengaruhi pendidikan
anak didik adalah keluarga, kelembagaan pendidiklan dan lingkungan
masyarakat. Kerasian antara ketiga lapangan pendidikan ini akan memberi
dampak yang positif bagi perkembangan anak, termasuk dalam pembentukan
jiwa keagamaan mereka.
Seperti
diketahi bahwa dalam keadaan yang ideal, pertumbuhan seseorang menjadi
sosok yang memiliki kepribadian terintegrasi dalam berbagai aspek
mencakup fisik,psikis,moral dan spritual (M.Buchori: 155). Maka menurut
Wetherington, untuk mencapai tujuan itu perlu pola asuh yang serasi,
menurutnya adaenam aspek dalam mengasuh pertumbuhan itu, yaitu:
1. Fakta-fakta asuhan;
2. Alat-alatnya;
3. Regularitas;
4. Perlindungan; dan
5. Unsur waktu (M.Buchori: 156).
Wetherington
memberi contoh mengenai fakta asuhana yanng diberikan kepada anak
kembar yang diasuh di lingkungan yang berbeda. Hasilnya ternyata
menunjukkan bahwa ada perbedaan antara keduanya sebagai hasil pengaruh
lingkungan. Selanjutnya ia mengutip hasil penelitian Newman tentang
adanya perbedaan dalam lingkungan sosial dan pendidikan menghasilkan
perbedaan-perbedaan yang tidak dapat disangkal. Dengan demikian
menurutnya, kehidupan rumah (keluarga) yang baik dapat menimbulkan
perubahan-perubahan yang penting dalam perubahan psikis (kejiwaan) dan
dalam suasana yang lebih kaya pada suatu sekolah perubahan-perubahan
semacam itu akan lebih banyak lagi (M.Buchori: 156).
Selanjutnya
karena asuhan terhadap perumbuhan anak harus berlangsung secara teratur
dan terus-menerus. Oleh karena itu, lingkungan masyarakat akan
memberikan dampak dalam pembentukan pertumbuhan itu. Jika pertumbuhan
fisik akan mberhenti saat anak mencapai usia dewasa, namun pertumbuhan
psikis akan berlangsung seumur hidup. Hal ini menunjukkan bahwa masa
asuhan di kelembagaan pendidikan (sekolah) hanya berlangsung selama
waktu tertentu. Sebaliknya asuhan oleh masyarakat akan berjalan seumur
hidup. Dalam kaitan ini ada pula terlihat besarnya pengaruh masyarakat
terhadap pertumbuhan psikis. Jiwa keagamaan yang memuat norma-norma
kesopanan tidak akan dapat dikuasai hanya dengan mengenal saja. Menurut
Emerson, norma-norma kesopanan menghendaki adanya norma-norma kesopanan
pula pada orang lain. (M.Buchori: 157).
Dalam
ruang lingkup yang lebih luas dapat diartikan bahwa pembentukan
nilai-nilaikesopanan atau nilai-nilai yang erkaitan dengan aspek-aspek
spritual akan lebih afektif jika seseorang beradadalam lingkungan yang
menjunjung tinggi nilai-nilai tersebut. Sebagai contoh, hasil penelitian
Masri Singarimbun terhadap kasus kumpul kebo di Mojolama. Ia menemukan
13 kasus kumpul kebo ini ada hubungannya dengan sukap toleran masyarakat
terhadap hidup bersama tanpa nikah (Djamaluddin Ancok: 27). Kasus
seperti itu mungkin akan lebih kecil di lingkungan masyarakat yang
menentang pola hidup seperti itu.
Di
sini terlihat hubungan antara llingkungan dan sukap masyarakat terhadap
nilai-nilai agama. Di lingkungan masyarakat sendiri barangkali akan
lebih memberi pengaruh bagi pendidikan jiwa keagamaan dibandingkan
dengan masyarakat lain yang memiliki ikatan yang longgar terhadap
norma-norma keagamaan. Dengan demikian, fungsi dan peran masyarakat
dalam pembenukan.
D. Agama dan masalah sosial.
Tumbuh
dan kesadaran agama (religions cons ciausness) dan pengalaman Agama
(religions experince), ternyata melalui proses yang gradul, tidak
sekaligus. Pengaruh luar sangat berperan dalam menumbuh kembangkan nya,
khususnya pendidikan. Adapun pendidikan yang berpengaruh, yakni
pendidikan dalam keluarga. Apabila dalam lingkungan keluarga anak-anak
tidak diberikan pendidikan agama, biasanya sulit memperoleh kesadaran
dan pengalaman agama yang memadai.
Pepatah
mengatakan :”Bila anak tidak dididik oleh oarang tuanya, maka ia akan
dididik oleh siang dan malam.” Maksud nya pengaruh lingkungan nya akan
mengisi dan memberi bentuk dalam jiwa anak itu. Dalam kehidupan
dikota-kota basar, Anak-anak kehilangan dari hubungan dengan orang tua
cukup banyak, mungkin dikarenakan faktor ekonomi, hingga harus ikut
mencari nafkah seharian ataupun karena mereka yatim piatu. Anak-anak ini
sering disebut anak jalanan.
Dalam
kesehariaan nya, nanak-anak ini umumnya tergabung dalam kelompok
pengamen, pemulung, pengemis,dan sebagainya. Mengamati linkungan
pergaulan nya sehari-hari serta kegiatan yang mereka lakukan, maka kasus
anak jalalan selain dapat menimbulkan kerawanan sosial,juga kerawanan
dalam nilai-nilai keagamaan. Selain latar belakang sosial ekonomi,
mereka ini tidak memiliki kesempatan untuk memperoleh bimbingan
keagamaan. Bahkan, dikota-kota besar, mereka ini seakan sudah terbentuk
menjadi golongan tersendiri dalm masyarakat, Yakni masyarakat rentan.
Sebagi
masyarakat rentan, golongan ini seakan berada diluar lingkaran budaya
dan tradisi masyrakat umum. Boleh dikatakan mereka mempunyai “budaya”
sendiri yang terbentuk diluar kaidah-kaidah dan nilai yang berlaku atau
pola fikir,kehidupan yang cenderung permisif (serba boleh).
Bila
konflik agama dapat ditimbulkan oleh tindakan radikal, karena sikap
fanatisme agama, maka dalam kasus anak jalanan ini, mungkin sebaliknya.
Konflik dapat terjadi karena kosong nya nilai-nilai agama. Dalam kondisi
kehidupan yang seperti ini, tindakan emosional dapat terjadi
sewaktu-waktu. Hal ini dikarenakan tidak adanya nilai-nilai yang dapat
mengikat dan mengatur sikap dan perilaku yang negatif.dengan demikian,
mereka akan mudah terprofokasi oleh sebagi isi yang berkembang.
Dalam
kontes ini sebenarnya institusi pendidikan agama dapat berperan.
Demikian organisasi keagamaan. Membiarkan anak jalanan ataupun
menyerahkan semua kepada pemerintah, bagai manapun bukan sifat yang
arif. Kasus anak jalanan napak nya memang memerlukan penanganan yang
serius. Selain menjadi masalah sosial, kasus ini juga menjadi bagian
dari masalh keagamaan. Sebagai aplikasi dari kesadaran agama.
E. Pengaruh Pendidikan Terhadap Psikologi Agama
Psikologi
agama yang memepelajari rasa agama dan perkembangannya mempunyai
peranan yang saling korelatif dalam pendidikan agama islam. Pendidikan
islam sebagi sebuah upaya penyadaran terhadap umat islam akan lebih
mudah diterima oleh masyarakat. Pertumbuhan rasa agama akan semakin
meningkat dan juga bisa dihubungkan dengan kondisi di sekitarnya, baik
sosial,ekonomi, politik hukum dan sebagainya. Peran psikologi agama
dalam pendidikan islam lebih memudahkan pemahaman masyarakat dalam
menelaah agama secara komprehensif. Agama tidak dipandang hanya sebagi
kebutuhan orang-orang tertentu, tapi agama memang menjadi kebutuhan
stiap pribadi seseorang yang menjadikan perkembangan pribadi secara
psikisnya. Proses penyadaran dan perubahan untuk meningkatkan nilai jiwa
keagamaan pun akan mudah di kembangkan.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan.
Dari
penjelasan di atas dapat disimpulakan bahwa Pendidikan keluarga
merupakan pendidikan dasar bagi pembentukan jiwa keagamaan. Perkembangan
agama menurut W.H.Clark, berjalin dengan unsur-unsur kejiwaan sehingga
sulit di identifikasisecara jelas, karena masalh menyangkut kejiwaan,
manusia begitu rumit dan kompleksnya.
Di
sini terlihat hubungan antara llingkungan dan sukap masyarakat terhadap
nilai-nilai agama. Di lingkungan masyarakat sendiri barangkali akan
lebih memberi pengaruh bagi pendidikan jiwa keagamaan dibandingkan
dengan masyarakat lain yang memiliki ikatan yang longgar terhadap
norma-norma keagamaan. Dengan demikian, fungsi dan peran masyarakat
dalam pembenukan.
B. Saran.
Kami
mohon kepada para pembaca khususnya kepada pembimbing untuk memberikan
kritik atau masukan yang membangun demi tersusunnya makalah yang bertema
“pengaruh pendidikan terhadap jiwa keagamaan” ini dapat tersusun
secara sempurna, karena kami yakin dengan kelemahan atau kekurangan
pengetahuan kami tentang penyusunan makalah ini jauh dari kesempurnaan.
DAFTAR PUTAKA
Ali Ashraf, Horison. 1993. Baru Pendidikan Islam, Jakarta: Pustaka Firdaus
Prof.Dr.H Jalaludin.Psikologi Agama (edisi revisi 2004). rajawali Pers: Jakarta.
Jalaludin. 2005. Psikologi Agama. Jakarta: PT Rajawali Grafindo