Ditulis oleh mutawalli |
Kamis, 14 Juli 2011 15:46 |
PENDIDIKAN
Islam seringkali dikesankan sebagai pendidikan yang tradisional dan
konservatif. Hal itu wajar karena orang memandang bahwa kegiatan
pendidikan Islam dihinggapi oleh lemahnya penggunaan metodologis
pembelajaran yang cenderung tidak menarik perhatian dan memberdayakan.
Jika problem tersebut tidak segera ditanggapi secara serius dan
berkelanjutan, maka peran pendidikan Islam akan kehilangan daya
tariknya.
Menurut
pengamatan Amin Abdullah (1998), bahwa kebanyakan pendidikan Islam
masih menggunakan pola konvensional-tradisional, tidak saja yang terjadi
dilembaga pendidikan non formal seperti pondok pesantren dan madrasah
diniyah, akan tetapi juga di sekolah Islam, madrasah dan perguruan
tinggi. Oleh karena itu harus dicari terobosan baru dan inovasi yang
relevan dengan zaman, sehingga isi dan metodologi pendidikan Islam
menjadi aktual-kontekstual. Dengan demikian, pelaksanaan pendidikan
Islam akan relevan dan sesuai dengan gerak perubahan dan tuntutan zaman.
Kajian
epistemologis dalam wilayah keilmuan apapun tidak bisa dihindarkan dari
mempersoalkan konstruksi cara berfikir dan mentalitas keilmuan. Sedang
cara berfikir itu, dipengaruhi oleh gerak perubahan zaman yang
melingkarinya serta corak tantangan kehidupan yang dihadapi oleh setiap
generasi. Secara historis pendidikan Islam memiliki pengalaman dan
budaya yang sebetulnya itu menjadi nilai berharga untuk menata kembali
gerak dan dinamika pendidikan Islam yang berkualitas.
Konstruksi
epistemologis yang bergerak inilah yang membutuhkan corak pemikiran dan
mentalitas yang kreatif, inovatif–positif seperti yang diisyaratkan
Fazlur Rahman. Sehingga secara aktif konstruktif akan selalu berupaya
dan berusaha membangun kerangka metodologis baru, karena tidak puas
dengan anomali-anomali yang melekat pada kerangka metodologis yang
selama ini telah berjalan secara konvensional–tradisional.
Dalam
tahapan pendidikan Islam dikenal tiga dominan yaitu kognitif, afektif
dan psikomotorik. Tahapan pertama adalah mentranfer atau memberikan ilmu
agama sebanyak-banyaknya kepada anak didik. Dalam kegiatan ini aspek
kognisi anak didik menjadi sangat dominan. Kedua, selain memenuhi
harapan pada tahapan pertama, proses internalisasi nilai agama
diharapkan dapat juga terjadi. Aspek ini lebih diutamakan dari pada yang
pertama.
Selanjutnya
tahapan yang hendak dicapai oleh pendidikan Islam ialah aspek
psikomotorik. Aspek ini lebih menekankan kemampuan anak didik untuk
dapat menumbuhkan motivasi dalam diri sendiri sehingga dapat
menggerakkan, menjalankan dan mentaati nilai-nilai dasar agama yang
telah terinternalisasi dalam dirinya lewat tahapan kedua. Keberhasilan
pendidikan Islam harus tercermin pada tindakan individu dan tindakan
sosial yang konkrit dalam kehidupan individu, keluarga dan masyarakat.
Pendidikan agama tidak boleh hanya terkait dengan nilai-nilai
fundamental dalam kehidupan sehari-hari dan pandangan hidup
(Weltans-Chaung) keagamaan yang terkait dengan prilaku dan persoalan
–persoalan praktis dalam kehidupan keseharian.
Amin
Abdullah (1998) mengemukakan bahwa pendidikan Islam terasa kurang
terkait atau kurang concern terhadap persoalan bagaimana mengubah
pengetahuan agama yang bersifat kognitif menjadi “makna dan nilai” yang
perlu diinternalisasikan dalam diri seseorang lewat berbagai cara, media
dan forum. Selama ini metodologi pengajaran agama berjalan secara
konvensional- tradisional, yakni menitik beratkan pada aspek
korespodensi-tekstual yang lebih menekankan yang sudah ada pada
kemampuan anak didik untuk menghapal teks-teks keagamaan daripada
isu-isu sosial keagamaan yang dihadapi manusia pada era modern seperti
kriminalitas, white callar crime, kesenjangan sosial, penggusuran tanah,
keadilan, hak asasi manusia, hak warga negara, yang dapat membangkitkan
pemikiran kritis perlu juga disinggung dalam ruang lingkup pendidikan
agama Islam. Pengajaran agama yang bersandar pada bentuk metodologi yang
bersifat statis indoktrinatif – doktriner, tidak menarik lagi bagi anak
didik dan sekaligus tidak mengantarkan anak didik sampai pada tahapan
afektif, apalagi sampai pada tahapan psikomotorik.
Agar
pendidikan agama tidak kehilangan daya tarik dan fungsionalnya, perlu
diangkat topik-topik, isu-isu, tema-tema, problema-problema sosial
keagamaan dan problema kemasyarakatan yang konkret dan relevan sehingga
problema-problema tersebut dapat berbicara dengan sendirinya, tanpa
berpretensi dan menggurui. Dengan cara ini siswa atau mahasiswa di
manusiakan (dipedulikan dan dihargai eksistensinya), dan terasa pula
lebih demokratis.
Reformulasi Kesadaran Historis Pendidikan Islam
Untuk
mengembangkan pendidikan Islam masa depan yang kompetitif dan unggul,
tidak bisa melupakan, apalagi sampai meninggalkan nilai sejarah dan
khazanah peradaban. Sebab sejarah menjadi sangat berharga untuk menilai
dan memulai kembali perombakan atau pembaruan model pendidikan Islam
yang inovatif dan relevan dengan tuntutan global. Menurut
Azyumardi Azra (dalam Mulkhan, 1998: 77) mencoba memberikan beberapa
alternatif kearah reformulasi pemikiran pendidikan Islam, dengan melalui
pendekatan historis. Sebuah rekonstruksi di antaranya yaitu pertama,
berkenaan dengan situasi riil sistem pemikiran, wacana dan realita
sistem pendidikan Islam. Kedua, berkenaan dengan upaya rekonstruksi ilmu
sebagai alternatif apa yang harus kita lakukan di dalam merekonstruksi
sistem pendidikan Islam ini.
Permasalahan
pertama berkaitan dengan situasi objektif pendidikan Islam, yaitu
adanya krisis konseptual (tentang pembagian ilmu-ilmu di dalam Islam).
Biasanya disebut dengan istilah ilmu profan (keduniawian) dan ilmu
sakral (ukhrawi). Krisis ini berimplikasi pada keilmuan dan sekaligus
pada kelembagaan. Dalam Islam, seperti dikemukakan John J. Donohue dan
John L. Esposito (1994: 171) bahwa sebenarnya tidak dikenal istilah
dikotomi apapun, termasuk bidang pendidikan.
Krisis
kelembagaan ini adalah adanya dikotomisasi antara lembaga-lembaga
pendidikan yang menekankan pada salah satu aspek dari ilmu-ilmu yang
ada, baik ilmu agama maupun ilmu umum. Model kelembagaan yang dikotomis
tidak akan mampu melahirkan peradaban yang unggul dan menjadi kekuatan bagi kemajuan umat.
Persoalan
lain adalah konflik antara tradisi pemikiran dan pendidikan Islam
modernitas. Dalam konteks Indonesia, krisis ini paling jelas dapat
dilihat di pesantren. Di pesantren paling jelas terjadi krisis akibat
konflik antara tradisi pemikiran dan praktik pendidikan Islam dengan
modernitas.
Persoalan
selanjutnya yaitu krisis metodologi atau krisis pedagogik. Sekarang ini
kecendrungan di kalangan lembaga-lembaga pendidikan Islam adalah lebih
merupakan proses teaching (proses pengajaran), ketimbang proses learning
(proses pendidikan). Dengan demikian proses pengajaran, hanya mengisi
aspek kognitif dan tidak membentuk pribadi dan watak. Proses pendidikan
hanya melahirkan kemampuan otak (kognitif) ketimbang karekter perilaku
dan tindakan yang etis.
Persoalan
terakhir adalah krisis orientasi. Lembaga-lembaga pendidikan Islam atau
sistem pendidikan pada umumnya lebih berorientasi ke masa silam
ketimbang masa depan. Sebagaimana kita rasakan dalam perkuliahan, mata
kuliah hampir seluruhnya orientasinya kebelakang. Cara demikian harus
diubah bagaimana pembelajaran diorientasikan masa depan. Peserta didik
diajak untuk melakukan observasi, meneliti, dan menghasilkan karya yang
bermanfaat untuk membangun masa depan umat yang lebih unggul.
Dari
persoalan di atas, Azyumardi Azra memberikan beberapa alternatif ke
arah rekonstruksi pemikiran dan praktik pendidikan Islam. Pertama,
adalah berkaitan dengan persoalan formulasi, merumuskan kembali tentang
ilmu-ilmu Islam. Mengingat hal di atas, formulasi ilmu-ilmu Islam dan
umum sangatlah penting. Barangkali pemikiran ini menunjuk bahwa dikotomi
antara ilmu umum dan Islam harus diakhiri dan diwujudkan kembali
keilmuan yang integratif. Keduanya menjadi satu kesatuan yang harus
dipelajari oleh umat Islam tanpa berat sebelah.
Kedua,
pengembangan sikap penerimaan kultural yang sadar terhadap perubahan.
Dengan demikian, maka arah dari penerimaan kultural yang sadar,
penambahan sikap kultur yang sadar terhadap perubahan, hasil akhirnya
akan menciptakan sistem pendidikan yang lebih berorientasi ke masa depan
(future oriented), tidak hanya sekedar berorientasi ke masa lalu (past oriented).
Ketiga,
rekonstruksi kelembagaan pendidikan seperti perguruan Al-Azhar di
Kairo. Pemikiran ini telah mendorong beberapa perubahan pada perguruan
tinggi sebelumnya, seperti IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, IAIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta, STAIN Malang, IAIN Sunan Gunungjati Bandung, IAIN
Sultan Syarif Kasim Riau dan IAIN Alauddin Makassar kini telah berubah
menjadi universitas. Perguruan tinggi yang sebelumnya hanya memuat
ilmu-ilmu agama (ushuluddin, tarbiyah, syari’ah, dakwah dan adab) saat
ini telah dikembangkan fakultas-fakultas umum. Dengan demikian
memudahkan untuk memadukan (integrasi) antara ilmu agama dan ilmu umum.
Pada
prinsipnya, konsep pendidikan Islam yang ideal dan praktis adalah apa
yang di sebut paradigma tauhid. Dalam hal ini paradigma tauhid bukan
berarti hanya mengesakan Allah, tetapi mengintegrasikan seluruh aspek,
seluruh pandangan dan aspek kehidupan di dalam sistem dan lapangan
kehidupan sosial kita. Dalam konteks pendidikan, antara aspek esoteris
(batin) dengan eksoteris (lahir) harus ada keselarasan dan kesatuan.
Keempat, rekonstruksi perumusan kembali makna pendidikan. Proses pendidikan Islam yang kita tempuh lebih baik menggunakan ta’dib ketimbang tarbiyah, meminjam istilah Naquib Al-Attas, karena kata ta’dib lebih mengandung proses inkulturasi, proses pembudayaan, tidak hanya proses intelektualisasi. Dengan proses ta’dib maka akan muncul dari sistem pendidikan manusia yang betul-betul berbudaya, berkarakter dan berakhlak.
Dan rekonstruksi kelima
adalah pendidikan yang berkelanjutan dan berkesinambungan. Cara ini
harus dijadikan pijakan oleh siapa saja yang ingin meningkatkan mutu
pendidikan. Karena pendidikan adalah aktifitas yang tidak pernah
berhenti untuk mencari hal-hal yang terbaik, dan mencari model
pengembangan yang relevan dengan masa depan.
Dari
kelima rekonstruksi di atas, pendidikan Islam diharapkan mampu menjadi
pilar pendidikan yang dapat mengahadapi segala tantangan dan perubahan
zaman. Lebih dari itu, pendidikan Islam juga harus mampu menjawab segala
persoalan yang muncul dalam konteks kekinian. Pendidikan Islam menjadi
tempat untuk melahirkan sosok manusia yang mampu mengemban tugas
kehidupan secara luas.
Apapun
metode dan pendekatan yang digunakan dalam membangun pendidikan islam
harus tetap berpijak dari nilai-nilai besar yang diajarkan dalam kitab
suci dan hadits dan dipadu dengan hasil observasi, riset dan eksperimen.
Modal seperti inilah perlu menjadi kerangka berpikir umat Islam agar
keluar dari mindset yang tradisional, konservatif dan rigit,
begitu pula yang terlalu jauh keluar sehingga tampak liberal, westernis
atau kebarat-baratan.
|