Pendahuluan
Dari seluruh sahabat Rasulullah, Ali bin Abi Thalib adalah salah satu
yang pertama kali memeluk Islam dan berjuang menegakkannya bersama
Rasulullah saw. Ia memiliki kedudukan yang sangat istimewa. Kedudukan
ini sangat istimewa diberikan Rasulullah saw. Bagi beliau, tingkat
kesalehan dan kualitas amal para sahabat tersebut tidak dapat
disetarakan dengan siapa pun juga, meskipun yang dikerjakan generasi
berikutnya tampak lebih besar. Karenanya, Rasulullah saw. melarang
mencibir dan mencaci karya para sahabat utamanya itu.
Ali bin Abi Thalib adalah salah satu orang yang pertama kali beriman
dengan Rasulullah SAW meskipun dia saat itu masih kecil. Dia adalah
putera Ali bin Abi Thalib paman Rasulullah SAW dan dikawinkan dengan
puterinya yang bernama Fatimah yang dari pihak inilah Rasulullah
memperoleh keturunan. Ali semanjak kecilnya sudah dididik dengan adab
dan budi pekerti Islam, dia termasuk orang yang sangat fasih berbicara
dan pengetahuannya juga tentang Islam sangat luas sehingga tidak heran
dia adalah salah satu periwayat yang terbanyak meriwayatkan hadits
Rasulullah SAW.
Ali menggantikan kekhalifahan Usman bin Affan yang telah meninggal
sebelum jabatannya berakhir selama kurang lebih sekitar lima tahun,
setelah sebelumnya dilakukan bai’at, dia banyak melakukan perubahan
hukum ketatanegaraan seperti kebijakan tentang hak pertanahan, pembagian
harta warisan perang. Juga timbul bermacam-macam masalah yang dapat
mempengaruhi kemajuan dan kemunduran negara Islam. Dalam makalah ini
akan dijelaskan mengenai sejarah kemajuan dan kebijakan politik pada
masa khalifah Ali bin Abi Thalib serta kemunduran akibat
pemberontakan-pemberontakan yang ditandai perang terbuka antar umat
Islam.
PEMBAHASAN
A. ALI BIN ABI THALIB
Ali dilahirkan di Mekkah, daerah Hijaz, Jazirah Arab, pada tanggal 13
Rajab. Menurut sejarawan, Ali dilahirkan 10 tahun sebelum dimulainya
kenabian Muhammad, sekitar tahun 599 Masehi atau 600 (perkiraan). Muslim
Syi'ah percaya bahwa Ali dilahirkan di dalam Ka'bah. Usia Ali terhadap
Rasulullah SAW masih diperselisihkan hingga kini, sebagian riwayat
menyebut berbeda 25 tahun, ada yang berbeda 27 tahun, ada yang 30 tahun
bahkan 32 tahun. Beliau bernama asli Haydar bin Abu Thalib, paman
Rasulullah SAW. Haydar yang berarti Singa adalah harapan keluarga Abu
Thalib untuk mempunyai penerus yang dapat menjadi tokoh pemberani dan
disegani diantara kalangan Quraisy Mekkah. Setelah mengetahui sepupu
yang baru lahir diberi nama Haydar, Rasulullah SAW terkesan tidak suka,
karena itu mulai memanggil dengan Ali yang berarti Tinggi (derajat di
sisi Allah).[1]
Kelahiran Ali bin Abi Thalib banyak memberi hiburan bagi Rasulullah
SAWkarena beliau tidak punya anak laki-laki. Uzur dan faqir nya keluarga
Abu Thalib memberi kesempatan bagi Rasulullah SAW bersama istri beliau
Khadijah untuk mengasuh Ali dan menjadikannya putra angkat. Hal ini
sekaligus untuk membalas jasa kepada Abu Thalib yang telah mengasuh Nabi
sejak beliau kecil hingga dewasa, sehingga sedari kecil Ali sudah
bersama dengan Muhammad. Ketika Rasulullah SAW menerima wahyu,
riwayat-riwayat lama seperti Ibnu Ishaq menjelaskan Ali adalah lelaki
pertama yang mempercayai wahyu tersebut atau orang ke 2 yang percaya
setelah Khadijah istri Nabi sendiri. Pada saat itu Ali berusia sekitar
10 tahun.[2]
Pada usia remaja setelah wahyu turun, Ali banyak belajar langsung dari
Rasulullah SAW karena sebagai anak asuh, berkesempatan selalu dekat
dengan Rasulullah dan mengawinkannya dengan putri Beliau yang bernama
Fatimah. Hal inilah yang menjadi bukti bagi sebagian kaum Sufi bahwa ada
pelajaran-pelajaran tertentu masalah ruhani atau yang kemudian dikenal
dengan istilah Tasawuf yang diajarkan Rasulullah khusus kepada Ali tapi
tidak kepada Murid-murid atau Sahabat-sahabat yang lain.[3]
Bila ilmu Syari'ah atau hukum-hukum agama Islam baik yang mengatur
ibadah maupun kemasyarakatan semua yang diterima Rasulullah harus
disampaikan dan diajarkan kepada umatnya, sementara masalah ruhani hanya
bisa diberikan kepada orang-orang tertentu dengan kapasitas
masing-masing. Didikan langsung dari Rasulullah SAW kepada Ali dalam
semua aspek ilmu Islam baik aspek zhahir (exterior)atau syariah dan
bathin (interior) atau tasawuf menggembleng Ali menjadi seorang pemuda
yang sangat cerdas, berani dan bijak, fasih dalam berbicara, dan salah
satu orang yang paling banyak meriwayatkan hadits Rasulullah SAW.[4]
Selain itu Ali adalah orang yang sangat berani dan perkasa dan selalu
hadir pada setiap peperangan karena itu dia selalu berada di barisan
paling depan pada setiap peperangan yang dipimpin Rasulullah.
B. Pembaiatan ali bin abi thalib sebagai khalifah dan kemajuan yang dicapai
Setelah terbunuhnya Utsman, kaum muslimin meminta kesediaan Ali untuk
dibaiat menjadi khalifah. Mereka beranggapan bahwa kecuali Ali, tidak
ada lagi orang yang patut menduduki kursi khalifah setelah Usman.
Mendengar permintaan rakyat banyak itu, Ali berkata, “Urusan ini bukan
urusan kalian. Ini adalah perkara yang teramat penting, urusan
tokoh-tokoh Ahl asy-Syura bersama para pejuang Perang Badr.[5]
Sebenarnya Ali bin Abi Thalib pernah masuk masuk nominasi pada saat
pemilihan khalifah Usman bin Affan, tetapi saat itu dia masih dianggap
sangat muda.
Dengan terbaiatnya Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah menggantikan
Usman bin Affan, sebagian orang yang masih terpaut keluarga Usman mulai
beranggapan bahwa kepemimpinan Ali bin Abi Thalib akan mengurangi
kesenangan mereka apalagi untuk memperoleh kekayaan yang dapat mereka
lakukan sebelumnya. Ali Terpilih menjadi khalifah sebenarnya menimbulkan
pertentangan dari pihak yang ingin menjadi khalifah dan dituduh sebagai
orang yang bertanggung jawab atas terbunuhnya khalifah Usman bin
Affan.[6]
Bila pemerintahan dipegang oleh Ali, maka cara-cara pemerintahan Umar
yang keras dan disiplin akan kembali dan akan mengancam kesenangan dan
kenikmatan hidup dimasa pemerintahan Usman bin Affan yang mudah dan
lunak menjadi keadaan yang serba teliti, dan serba diperhitungkan,
hingga banyak yang tidak menyukai Ali. bagi kaum Umaiyah sebagai kaum
elit dan kelas atas dan khawatir atas kekayaan dan kesenangan mereka
akan lenyap karena keadilan yang akan dijalankan Ali.[7]
Dalam menjalankan kepemerintahan Ali melakukan kebijakan politik seperti sebagai berikut:
1. Menegakkan hukum finansial yang dinilai nepotisme yang hampir menguasai seluruh sektor bisnis.
2. Memecat Gubernur yang diangkat Usman bin Affan dan menggantinya dengan gubernur yang baru
3. Mengambil kembali tanah-tanah negara yang dibagi-bagikan Usman
bin Affan kepada keluarganya, seperti hibah dan pemberian yang tidak
diketahui alasannya secara jelas dan memfungsikan kembali baitul
maal.[8]
Meskipun dalam pemerintahan Ali perluasan Islam yang dilakukan sedikit
mengalami kendala yaitu hanya memperkuat wilayah Islam di daerah pesisir
Arab dan masih tetap peranan penting negara Islam di daerah yang telah
ditaklukkan Abu Bakar di daerah Yaman, Oman, Bahrain, Iran Bagian
Selatan. Umar bin Khattab di Persia, Syiria, Pantai Timur Laut Tengah
dan Mesir. Serta pada masa Usman di Sijistan, Khurasa, Azarbaijan,
Armenia hingga Georgia.[9]
Ali bin Abi Thalib juga dikenal juga seorang penyair ternama. Seperti syair berikut:
“Janganlah kamu berlaku aniaya jika kamu mampu berlaku adil, karena tindak aniaya akan berujung pada ....., [10]
Syair-syair Ali akhirnya dibukukan dalam kitab Nahj Al-Balaghah.
Masa pemerintahan Ali yang kurang lebih selama lima tahun (35-40
H/656-661 M) tidak pernah sunyi dari pergolakan politik, tidak ada waktu
sedikitpun dalam pemerintahannya yang dapat dikatakan stabil. Akhirnya
praktis selama memerintah, Ali lebih banyak mengurus masalah
pemberontkan di berbagai wilayah kekuasaannya. Ia lebih banyak duduk di
atas kuda perang dan di depan pasukan yang masih setia dan
mempercayainya dari pada memikirkan administrasi negara yang teratur dan
mengadakan ekspansi perluasan wilayah (futuhat). Namun demikian, Ali
berusaha menciptakan pemerintahan yang bersih, berwibawa dan egaliter.
Ia ingin mengembalikan citra pemerintahan Islam sebagaimana pada masa
Abu Bakar dan Umar sebelumnya.
Sebenarnya pembaiatan Ali sebagai khalifah adalah hal yang sangat wajar
dan pertentangan itu adalah hal yang wajar pula sebagai akibat
pertentangan dan peristiwa-peristiwa sebelumnya karena untuk
memperebutkan kekuasaan yang diselingi kasus penuntutan atas terbunuhnya
Usman dan juga pemecatan-pemecatan pejabat serta pengembalian harta
milik yang tidak jelas.
C. PEMBERONTAKAN TERHADAP ALI BIN ABI THALIB
Kaum pemberontak tidak punya pilihan lain kecuali mengangkat Ali karena
ia adalah orang yang paling bijaksana di kalangan semua suku. Ali memang
tidak diragukan lagi yang mempunyai integritas tinggi dan kapasitas
intelektual yang memadai, namun demikian politik bukanlah keahliannya,
sehingga sebagai lawanannya Muawiyah sebagai seorang politisi murni yang
juga sebagai gubenur Syiria memang sangat berambisi menjadi khalifah
dan sebagai politisi ia dapat mencari cara apa saja untuk menduduki
khalifah.
Ali tahu bahwa Mu’awiyah sangat ambisius dan terlebih lagi pernah
diangkat oleh pendahulunya (Usman) yang mana kebijakan-kebijakan yang
ditempuhnya sering berbeda dengan Ali. Sebagai khalifah Ali bin Abi
Thalib mempunyai wewenang yang penuh untuk menentukan bawahannya dan
mencari yang loyal dengan kepemimpinannya. Oleh karena itu dia memecat
Muawiyah yang pada saat itu telah berhasil membangun syiria menjadi kota
menjadi kota yang sangat strategis dan memiliki tentara yang cukup
loyal kepada Muawiyah . hal ini membuat tidak tinggal diam dan ingin
melakukan pemberontakan. [11]
Meskipun Muawiyah tahu bahwa Ali bin Abi Thalib bukanlah orang yang
patut disalahkan dalam hal kematian khalifah Usman bin Affan dan
tidaklah mencari para pelakunya dan menghukum mereka. Padahal Muawiyah
sebenarnya tidak sebenarnya berminat menuntuk kematian Usman bin Affan
kecuali sebagai pemicu untuk memberontak terhadap Ali.[12]
Kejadian pembunuhan Usman hanyalah permulaan salah satu fitnah yang
besar pengaruhnya pada skisme dalam Islam. Menurut ahli sejarah Islam
pembunuh itu atau simpatisan menjadi sponsor pengangkatan Ali sebagai
khalifah.[13]
Kondisi masyarakat yang sudah terjerumus pada kekacauan dan tidak
terkendali lagi, menjadikan usahanya tidak banyak berhasil.Terhadap
berbagai tindakan Ali setelah menjadi khalifah, para sahabat senior
sebenarnya pernah memberikan masukan dan pandangan kepada Ali. Tetapi
Ali menolak pendapat mereka dan terlalu yakin dengan pendiriannya. Dalam
masalah pemecatan gubernur, misalnya, Mughirah ibn Syu’bah, Ibnu Abbas,
dan Ziyad ibnu Handzalah menasehati Ali, bahwa mereka tidak usah
dipecat selama menunjukan kesetiaan padanya. Pemecatan ini akan membawa
implikasi yang besar bagi resistensi mereka terhadap Ali.[14]
Marshall GS. Hudgson memaparkan:”Setelah itu dua lusin tahun setelah
wafatnya Muhammad, mulailah suatu periode fitnah (yang berlangsung
selama lima tahun). Yang makna harfiahnya ”godaan” atau ”cobaan-cobaan”,
suatu masa perang saudara untuk menguasai komunitas muslim dan
teritori-teritori taklukannya yang luas”.[15]
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, masa pemerintahan Ali tidak terlepas
dari berbagai macam pemberontakan. Ali berusaha memadamkan bentuk
perlawanan dan pemberontakan sesama muslim tersebut yang di dalamnya
terlibat para sahabat senior. Perang saudara yang terjadi pada masa Ali
yang tercatat dalam lembaran hitam sejarah Islam dan menjadi suatu
kemunduran pergerakan Islam
D. PERANG JAMAL/ONTA
Dinamakan perang Jamal, karena dalam peristiwa tersebut, janda
Rasulullah SAW dan putri Abu Bakar Shiddiq, Aisyah ikut dalam peperangan
dengan mengendarai unta. Perang ini berlangsung pada lima hari terakhir
Rabi’ul Akhir tahun 36H/657M. Ikut terjunnya Aisyah memerangi Ali
sebagai khalifah dipandang sebagai hal yang luar biasa, sehingga orang
menghubungkan perang ini dengan Aisyah dan untanya, walaupun menurut
sementara ahli sejarah peranan yang dipegang Aisyah tidak begitu
dominan.
Keterlibatan Aisyah pada perang ini pada mulanya menuntut atas kematian
Utsman bin Affan terhadap Ali, sama seperti yang dituntut Thalhah dan
Zubair ketika mengangkat bai’at pada Ali. Setelah itu Aisyah pergi ke
Mekkah kemudian disusul oleh Thalhah dan Zubair. Ketiga tokoh ini
nampaknya mempunyai harapan tipis bahwa hukum akan ditegakkan. Karena
menurut ketiganya, Ali sudah menetapkan kebijakan sendiri karena ia
didukung oleh kaum perusuh. Kemudian mereka dengan dukungan dari
keluarga Umayah menuntut balas atas kematian Utsman. Akhirnya mereka
pergi ke Basrah untuk menghimpun kekuatan dan di sana mereka mendapat
dukungan masyarakat setempat.[16]
Ali beserta pasukannya yang sudah berada di Kufah telah mendengar kabar
bahwa di Syria (Syam) Muawiyah telah bersiap-siap dengan pasukannya
untuk menghadapi Ali. Ali segera memimpin dan menyiapkan pasukannya
untuk memerangi Mu’awiyah. Namun sebelum rencana tersebut terlaksana,
tiga orang tokoh terkenal yaitu Aisyah tokoh terkenal Aisyah, Thalhah,
dan Zubair beserta para pengikutnya di Basrah telah siap untuk
memberontak kepada Ali. Ali pun mengalihkan pasukannya ke Basrah untuk
memadamkan pemberontakan tersebut.
Aisyah ikut berperang melawan Ali alasannya bukan semata menuntut balas
atas kematian Utsman, akan tetapi ada semacam dendam pribadi antara
dirinya dengan Ali. Dia masih teringat terhadap peristiwa tuduhan
selingkuh terhadap dirinya (hadits al-ifk), dimana pada waktu itu Ali
memberatkan dirinya. Faktor lain adalah persaingan dalam pemilihan
jabatan khalifah dengan ayahnya, Abu Bakar, yang kemudian disusul dengan
sikap Ali yang tidak segera membai’at Abu Bakar, dan yang terakhir ada
faktor Abdullah bin Zubair, kemenakannya, yang berambisi untuk menjadi
khalifah, yang terus mendesak dan memprovokasi Aisyah agar memberontak
terhadap Ali.[17]
Seperti dikutip oleh Syalabi dari Ath-Thabari bahwa Pertempuran dalam
peperangan Jamal ini terjadi amat sengitnya, sehingga Zubai melarikan
diri dan dikejar oleh beberapa orang yang benci kepadanya dan
menewaskannya. Begitu juga Thalhah telah terbunuh pada permulaan perang
ini, sehingga perlawanan ini hanya dipimpin Aisyah hingga akhirnya
ontanya dapat dibunuh maka berhentilah peperangan setelah itu. Ali tidak
mengusik-usik Aisyah bahkan dia menghormatinya dan mengembalikannya ke
Mekkah dengan penuh kehormatan dan kemuliaan.[18]
Menurut Thabari peperangan jamal disebabkan oleh karena kenigninan dan
nafsu perseorangan yang timbul pada diri Abdullah bin Zubair dan
Thalhah, dan oleh perasaan benci Aisyah terhadap Ali. Abdullah bin
Zubair bernafsu besar untuk menduduki kursi khalifah dan kemudian
menghasut Aisyah sebagai Ummul Mukminin untuk segera memberontak
terhadap Ali bin Abi Thalib.[19]
Dalam pemerintahannya Ali ingin menerapkan aturan-aturan pokok untuk
kepentingan umat Islam secara keseluruhan. Aturan ini jelas bertentangan
dengan mereka yang ingin mengumpulkan kekayaaan termasuk Zubair dan
Thalhah. Terlebih lagi Ali sangat berhati-hati dalam pembagian rampasan
perang. Ia memberi bagian yang sama kepada semua orang tanpa memandang
status, suku dan asal-usul mereka. [20]
E. PERANG SHIFFIN DAN TAHKIM
Disebut perang shiffin karena perang yang menghadapkan pasukan pendukung
Ali dengan pasukan pendukung Mu’awiyah berlangsung di Shiffin dekat
tepian sungai Efrat wilayah Syam, perang ini berlangsung pada bulan
Shafar tahun 37H/658M.[21]
Setelah kematian Utsman, pihak keluarga Utsman dari Bani Umayah, dalam
hal ini diwakili oleh Mu’awiyah bin Abi Sufyan yang menajdi gubernur di
Syam sejak khalifah Umar bin Khathab, mengajukan tuntutan atas kematian
Utsman kepada Ali agar mengadili dan menghukum para pembunuh khalifah
Utsman berdasarkan syari’at Islam. Dalam kondisi dan situasi yang sulit
dan belum stabil pada waktu itu, nampaknya Ali tidak sanggup untuk
memenuhi tuntutan itu. Sementara Mu’awiyah bin Abi Sufyan yang pada
waktu menjabat gubernur Syam belum mengakui khalifah Ali di Madinah.
Akhirnya Ali mengirimkan utusan ke Damaskus ibu kota Syam, untuk
mengajukan dua pilihan kepada Mu’awiyah yaitu mengangkat bai’at atau
meletakkan jabatan. Tetapi Mu’awiyah tidak mau menentukan pilihan
sebelum tuntutan dari keluarga Umayah dipenuhi.
Dengan alasan khalifah Ali tidak sanggup menegakkan hukum sesuai
syari’at, juga menuduh Ali dibalik pembunuhan Utsman, hal ini tidandai
dengan tidak diambil tindakan oleh Ali terhadap para pemberontak bahkan
pemimpinnya Muhammad bin Abu Bakar yang merupakan anak angkat Ali,
diangkat menjadi gubernur Mesir, akhirnya Mu’awiyah mengadakan kampanye
besar-besaran di wilayahnya menentang Ali, sehingga mendapat dukungan
dan simpati dari mayoritas pengikut dan rakyat di wilayah kekuasaannya.
Kemudian Mu’awiyah menyiapkan pasukan yang besar untuk melawan khalifah
Ali. Walaupun menurut ahli sejarah, motivasi perlawanan Mu’awiyah itu
sebenarnya tidak murni menuntut balas atas kematian Utsman, tetapi ada
ambisi untuk menjadi khalifah.
Setelah dibebastugaskan dari jabatannya ia menyingkir ke Palestina. Ia
sebelumnya tidak pernah ikut campur dalam poitik dan pemerintahan pada
masa awal kekhalifahan Ali bin Abi Thalib. Dengan diiming-imingi jabatan
oleh Mu’awiyah, akirnya ia pun terjun lagi dalam hingar bingar dunia
politik dan mempunyai peran yang sangat penting dalam peristiwa perang
Shiffin ini.
Setelah selesai perang Jamal, Ali mempersiapkan pasukannya lagi untuk
menghadapi tantangan Mu’awiyah bin Abi Sufyan, dengan dukungan pasukan
dari Irak, Iran, dan Khurasan dan dibantu pasukan dari Azerbeijan dan
dari Mesir pimpinan Muhammad bin Abu Bakr. Usaha-usaha untuk menghindari
perang terus diusahakan oleh Ali, dengan tuntutan membai’atnya atau
meletakkan jabatan. Namun nampaknya Mu’awiyah tetap pada pendiriannya
untuk menolak tawaran Ali, bahkan Mu’awiyah menuntut sebaliknya, agar
Ali dan pengikutnya membai’at dirinya.
Perang antara Khalifah Ali dan Mu’awiyah pasukan Ali sudah hampir
memperoleh kemenangan, dan pihak tentara Mu’awiyah bersiap-siap
melarikan diri. Tetapi pada waktu itu ‘Amr bin Ash yang menjadi tangan
kanan Mu’awiyah dan terkenal sebagai seorang ahli siasat perang minta
berdamai dengan mengangkat Al-Qur’an.[22]
Dari pihak Ali mendesak menerima tawaran tersebut. Akhirnya Ali dengan
berat hati menerima arbitrase tersebut, walaupun Ali mengetahui itu
hanya sisat busuk dari Amr bin Ash. Sebagai perantara dalam tahkim ini
pihak Ali diwakili oleh Abu Musa al-Asy’ari dan Amr bin Ash yang
mewakili pihak Mu’awiyah. Sejarah mencatat antara keduanya terdapat
keepakatan untuk menjatuhkan Ali dan Mu’awiyah secara bersamaan.
Kemudian setelah itu dipilih seorang khalifah yang baru. Selanjutnya,
Abu Musa al-Aasy’ari sebagai orang tertua lebih dahulu mengumumkan
kepada khalayak umum putusan menjatuhkan kedua pimpinan itu dari dari
jabatan-jabatan masing-masing. Sedangkan Amr bin ‘Ash kemudian
mengumumkan bahwa ia menyetujui keputusan dijatuhkannya Ali dari jabatan
sebagai Khalifah yang telah diumumkan Abu Musa itu, maka yang berhak
menjadi khalifah sekarang adalah Mu’awiyah.[23]
Bagimanapun peristiwa tahkim ini secara politik merugikan Ali dan
menguntungkan Mu’awiyah. Yang sah menjadi khalifah adalah Ali, sedangkan
Mu’awiyah kedudukannya hanya sebagai seorang gubernur daerah yang tidak
mau tunduk kepada Ali sebagai khalifah. Dengan adanya arbitrase ini
kedudukannya naik menjadi khalifah, yang otomatis ditolak oleh Ali yang
tidak mau meletakkan jabatannya sebagai khalifah.[24]
Kesediaan Ali mengadakan Tahkim juga tidak disetujui oleh sebagian
tentaranya, mereka sangat kecewa atas tindakan Ali dan menganggap bahwa
tindakan itu tidaklah berdasarkan hukum Al-Qur’an sehingga mereka keluar
dari pendukung Ali.
Setelah itu sebagian pasukan Ali tersebut memisahkan diri dan membentuk
gerakan sempalan yang kemudian dikenal dengan sebutan kaum ‘Khawarij’.
Pendapat dan pemikiran mereka dikenal sangat ekstrim, pelaku-pelaku
arbitrase dianggap telah kafir dalam arti telah keluar dari Islam karena
tidak berhukum pada hukum Allah. Khawarij memandang Ali, Mu’awiyah, Amr
bin Ash, Abu Musa al-Asy’ari dan lain-lain yang menerima arbitrase
adalah kafir.[25]
Kaum khawarij semula hanya merupakan gerakan pemberontak politik saja,
tetapi kemudian berubah menjadi sebuah aliran dalam pemahaman agama
Islam (sekte).
F. AKHIR PEMERINTAHAN ALI
Dengan terjadinya berbagai pemberontakan dan keluarnya sebagian
pendukung Ali, menyebabkan banyak pengikut Ali gugur dan berkurang serta
dengan hilangnya sumber kemakmuran dan suplai ekonomi khalifah dari
Mesir karena dikuasai oleh Muawiyah menjadikan kekuatan Khalifah
menurun, sementara Muawiyah makin hari makin bertambah kekuatannya. Hal
tersebut memaksa Khalifah untuk menyetujui perdamaian dengan Muawiyah.
Perdamaian antara Khalifah dengan Muawiyah, makin menimbulkan kemarahan
kaum Khawarij dan menguatkan keinginan untuk menghukum orang-orang yang
tidak disenangi. Karena itu mereka bersepakat untuk membunuh Ali,
Mu’awiyah, Amr bin Ash, Abu Musa al-Asy’ari. Namun mereka hanya berhasil
membunuh Ali yang akhirnya meninggal pada tanggal 19 Ramadhan tahun 40
H./661M, oleh Abdurrahman ibn Muljam, salah seorang yang ditugasi
membunuh tokoh-tokoh tersebut. Sedangkan nasib baik berpihak kepada
Mu’awiyah dan Amr bin Ash, mereka berdua luput dari pembunuhan
tersebut.[26]
Kedudukan Ali sebagai khalifah kemudian dijabat oleh anaknya Hasan
selama beberapa bulan. Namun, karena Hasan tentaranya lemah, sementara
Mu’awiyah semakin kuat, maka Hasan membuat perjanjian damai. Perjanjian
ini dapat mempersatukan umat Islam kembali dalam satu kepemimpinan
politik, di bawah Mu’awiyah ibn Abi Sufyan. Di sisi lain, perjanjian itu
juga menyebabkan Mu’awiyah menjadi penguasa absolut dalam Islam. Tahun
41 H (661 M), tahun persatuan itu, dikenal dalam sejarah sebagai tahun
jama’ah (’am jama’ah). Dengan demikian berakhirlah masa yang disebut
dengan masa Khulafa’ur Rasyidin, dan dimulailah kekuasaan Bani Umayyah
dalam sejarah politik Islam.[27]