Sabtu, 25 Mei 2013

KONSEP ISLAMISASI SAINS DAN KAMPUS


I. PENDAHULUAN

Alqur’an is always one step ahead of science”,  Alqur’an selalu selangkah di depan penemuan-penemuan sains modern masa kini. Setiap kali ada penemuan hebat pada setiap abad, ternyata Alqur’an sudah menjelaskannya terlebih dahulu. Di dalam Alqur’an banyak berisi tentang ayat-ayat mutasyabihat yang menjelaskan tentang sains, baik  yang tersurat secara jelas maupun yang tersamar di dalamnya.
Begitu banyak ayat-ayat dalam Al-Qur’an yang memerintahkan manusia untuk memperhatikan alam semesta dengan menggunakan akalnya sehingga mencapai kesimpulan bahwa di balik keteraturan alam semesta terdapat Al-Khaliq, Tuhan sang Maha Pencipta segala sesuatu, yaitu Allah Swt. Hal ini dapat kita perhatikan dari firman-firman Allah Swt  sebagai berikut :
إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ وَاخْتِلاَفِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ لآيَاتٍ لِّأُوْلِي الألْبَابِ
Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (QS Ali Imran (3) : 190)
إِنَّ فِي اخْتِلاَفِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ وَمَا خَلَقَ اللّهُ فِي السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ لآيَاتٍ
لِّقَوْمٍ يَتَّقُونَ
Sesungguhnya pada pertukaran malam dan siang itu dan pada apa yang diciptakan Allah di langit dan di bumi, benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan-Nya) bagiorang-orang yang bertakwa”. (QS Yunus (10) : 6)
إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ وَاخْتِلاَفِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ وَالْفُلْكِ الَّتِي تَجْرِي  فِي الْبَحْرِ بِمَا يَنفَعُ النَّاسَ وَمَا أَنزَلَ اللّهُ مِنَ السَّمَاء مِن مَّاء فَأَحْيَا بِهِ الأرْضَ بَعْدَ مَوْتِهَا وَبَثَّ فِيهَا مِن كُلِّ دَآبَّةٍ وَتَصْرِيفِ الرِّيَاحِ وَالسَّحَابِ الْمُسَخِّرِ بَيْنَ السَّمَاء وَالأَرْضِ لآيَاتٍ لِّقَوْمٍ يَعْقِلُونَ
Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah mati (kering) -nya dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi; Sungguh (terdapat) tanda tanda keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan” (QS. Al Baqarah (2) : 164)
Ide atau gagasan Islamisasi sains muncul di dunia Islam dan menjadi wacana di kalangan intelektual muslim, sebagai hasil dari kritik sarjana muslim terhadap sifat dan waktu ilmu-ilmu alam dan sosial yang bebas nilai. Konferensi Internasional pertama tentang Pendidikan Islam di Mekkah pada tanggal 31 Maret sampai dengan 8 April 1977, yang salah satu tujuannya adalah untuk mendiskusikan masalah-masalah dalam Pendidikan Islam dan mencari cara-cara untuk memasukan konsep-konsep Islami serta menciptakan metodologi Islami.[1] Di antara tokohnya adalah Naqib Alatas (ilmuan Malaysia), Ismail Raji Al Faruqi (ilmuan Mesir kelahiran Palestina) dan lain-lain. Gagasan tersebut juga lahir sebagai akibat adanya pandangan bahwa ilmu pengetahuan (sains) produk modern tidak berhasil membawa manusia pada citra ilmu itu sendiri. Hal ini terjadi karena ilmu telah bebas nilai dan lepas dari akar transendental.[2] Kritik terhadap paradigma ilmu bebas nilai justru dilontarkan oleh para orientalis, seperti oleh Huston Smith dan Robert Kiely.
Namun demikian, integritas Alqur’an, kerasulan Nabi Muhammad Saw, kebenaran sunnahnya, kesempurnaan syari’ah, prestasi-prestasi gemilang  yang dicapai kaum muslimin di dalam kultur dan kebudayaan tidak satupun lepas dari serangan. Maksudnya adalah untuk menanamkan kerguan di dalam diri seorang muslim terhadap dirinya sendiri, terhadap ummatnya, terhadap agamanya  dan terhadap leluhurnya.[3]
Oleh karena itu, Islamisasi ilmu pengetahuan (sains) mutlak diperlukan. Selain untuk mengejar ketertinggalan Ummat Islam, juga sebagai jawaban terhadap  kritik terhadap perkembangan ilmu pengetahuan modern yang selama ini telah bebas nilai dan terlepas dari akar transcendental.
Terdapat beberapa ungkapan yang sering digunakan untuk melambangkan konsep ini, seperti (1) “Isalamisasi ilmu” dan (2) “Islamisasi ilmu pengetahuan kontemporer”. Ungkapan ini pertama agak mengelirukan, sebab ia membawa konotasi semua ilmu termasuk ilmu sains Islam berdasarkan Alqur’an dan Sunnah yang dibangun oleh sarjana Islam zaman tersebut tidak islami dan oleh sebab itu  harus diislamkan. Ungkapan kedua, merujuk kepada ilmu barat modern. Al Faruqi menggunakan ungkapan “Islamisasi ilmu pengetahuan modern”. Namun demikian, yang dimaksud sebenarnya adalah  ilmu pengetahuan kontemporer yang merujuk kepada ilmu yang berdasarkan pandangan barat sekuler, yang ditemui dan disebarluaskan oleh peradaban barat.
Selain islamisasi terhadap ilmu pengetahuan (sains), yang tidak kalah pentingnya adalah islamisasi terhadap lembaga, dalam hal ini adalah kampus sebagai pusat kajian dan berkembangnya sains itu sendiri, juga mutlak diperlukan untuk mendukung dan menjalankan islamisasi ilmu pengetahuan tersebut.
Dalam Makalah ini akan penulis bahas tentang beberapa hal yang berkaitan dengan konsep Islamisasi Sains dan Kampus, yaitu :
  1. Konsep Islamisasi Sains, yang meliputi : Definisi, Prinsip-prinsipnya, tujuannya, langkah-langkahnya dan alat bantu lainnya untuk mempercepat islamisasi sains serta tantangan dalam islamisasi ilmu pengetahuan.
  2. Konsep Islamisasi Kampus, yang meliputi :  Moral akademik di lingkungan kampus, moral mahasiswa dan dosen, fasilitas dan sarana/prasarana.
Sebelum kepada pembahasan, penulis akan menjelaskan beberapa arti kata yang tercantum pada judul makalah ini, yaitu sebagai berikut  :
  1. Konsep, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, berarti rancangan, pemikiran, rencana dasar, ide/pengertian yang diabstrakan, proses untuk memahami hal-hal lain.[4]
  2. Islamisasi, berarti proses pengislaman
  3. Sains, adalah ilmu pengetahuan pada umumnya, ilmu pengetahuan alam, pengetahuan sistematis tentang alam dan dunia fisik lainnya.
  4. Kampus, adalah lingkungan atau kompleks gedung perguruan tinggi (institusi, universitas dan lain-lain) tempat dimana semua kegiatan akademis berlangsung.
II. PEMBAHASAN
A. Konsep Islamisasi Sains
1. Definisi dan Pendekatan Islamisasi Sains
a. Definisi dan Pendekatan Al Attas
Islamisasi adalah pembebasan manusia mulai dari magic, mitos, animisme dan tradisi kebudayaan kebangsaan dan dari penguasaan sekuler atas akal dan bahasanya. Ini bermakna ummat Islam adalah seorang individu yang memiliki akal dan bahasa yang bebas dari magic, mitos, animisme, tradisi kebangsaan dan kebudayaan serta sekulerisme.
Lebih lanjut, Al Attas menyifatkan islamisasi sebagai proses pembebasan atau memerdekakan, sebab ia melibatkan pembebasan roh manusia yang mempunyai pengaruh atas jasmaninya, dan proses ini menimbulkan keharmonisan dan kedamaian dalam dirinya sesuai dengan fitrahnya.Islamisasi juga membebaskan manusia dari sikap tunduk kepada keperluan jasmaninya yang condong menzhalimi dirinya sendiri, sebab sifat jasmaniyahnya lebih condong untuk lalai terhadap tabiatnya sehingga menjadi jahil tentang tujuan asalnya. Islamisasi bukanlah proses evolusi, tetapi satu proses pengembalian kepada fitrah.[5]
Islamisasi diawali dengan isalamisasi bahasa, dan ini dibuktikan di dalam Alqur’an ketika diturunkan kepada orang Arab. Bahasa, pemikiran dan rasionalitas terkait erat dan saling bergantung dalam membayangkan world view atau visi hakikat (reality) kepada manusia.
b. Definisi dan Pendekatan Ismail Raji Al Faruqi
Islamisasi ilmu sebagai usaha untuk mengacukan kembali ilmu, yaitu mendefinisikan kembali , menyusun ulang data, memikirkan kembali argument dan rasionalisasi, menilai kembali kesimpulan dan tafsiran, membentuk kembali tujuan dan melakukannya secara yang membolehkan disiplin itu memperkayakan visi dan perjuangan Islam. Sebagaimana Al Attas, Al Faruqi menekankan kepentingan mangacu dan membangun kembali disiplin sains sosial, sains kemanusiaan dan sain tabi’i dalam kerangka Islam dengan memadukan prinsip-prinsip Islam ke dalam tubuh ilmu tersebut.
Islamisasi dapat dicapai melalui integrasi ilmu baru ke dalam khasanah warisan Islam dengan membuang, menata, menganalisa, menafsir ulang dan menyesuaikannya menurut nilai dan pandangan Islam.
Dari segi metodologi, Al Faruqi mengemukakan ide Islamisasi ilmu bersandarkan tauhid. Metodologi tradisional tidak mampu memikul tugas ini, karena beberapa kelemahan, yaitu : Pertama : ia menyempitkan konsep utama seperti fiqih, faqih, ijtihad dan mujtahid. Kedua : kaidah tradisional ini memisahkan wahyu dan akal, yang selanjutnya memisahkan pemikiran dan tindakan. Ketiga : kaidah ini membuka ruang untuk dualisme, sekuler dan agama.
2. Prinsip Yang Mendasari Islamisasi Ilmu Pengetahuan
Secara ontologi, Islamisasi sains memandang bahwa dalam realitas alam semesta, realitas sosial, dan historis ada hukum ciptaan Allah Swt yang disebut dengan sunnatullah . sebagai ciptaan Allah Swt, hukum tersebut tidak netral, tetapi mempunyai tujuan sesuai dengan tujuan Allah Swt yang menciptakannya.[6]
Al Faruqi menggariskan beberapa prinsip dasar dalam pandangan Islam sebagai kerangka pemikiran, metodologi dan cara hidup Islam, yaitu :
  1. Keesaan Allah Swt ( tauhid )
  2. Kesatuan Penciptaan
  3. Kesatuan kebenaran
  4. Kesatuan Ilmu
  5. Kesatuan kehidupan
  6. Kesatuan kemanusiaan
3. Tujuan Islamisasi Sains
Tujuan islamisasi ilmu, sebagaimana yang dikemukakan Al Attas adalah :
  1. untuk melindungi orang Islam dari ilmu yang sudah tercemar yang menyesatkan dan menimbulkan kekeliruan
  2. untuk mengembangkan ilmu yang hakiki yang dapat membangunkan pemikiran dan rohani pribadi muslim yang akan menambahkan keimanannya kepada Allah Swt.
  3. Melahirkan keamanan, kebaikan, keadilan dan kekuatan keimanan
Selanjutnya, Al Faruqi menguraikan tujuan yang mengacu kepada rencana kerja islamisasi ilmu pengetahuan (sains) adalah sebagai berikut :
  1. Penguasaan disiplin ilmu modern
  2. Penguasaan khasanah Islam
  3. Penentuan relevansi Islam bagi masing-masing bidang ilmu modern
  4. Pencarian sintesa kreatif antara khasanah Islam dengan ilmu modern
  5. Pengarahan aliran pemikiran Islam ke jalan-jalan yang mencapai pemenuhan pola rencana Allah Swt.
4. Langkah-Langkah Yang Dilakukan Dalam  Islamisasi Sains
Untuk merealisir tujuan-tujuan tersebut, menurut Al Faruqi terdapat beberapa langkah menurut urutan logis yang menentukan perioritas masing-masing langkah tersebut. Adapun langkah-langkah yang diperlukan untuk mencapai proses islamisasi pengetahuan (sains), sebagaimana yang dikemukakan oleh ilmuan Mesir kelahiran Palestina Ismail Raji Al Faruqi adalah sebagai berikut  :[7]
Langkah Pertama : Penguasaan Disiplin Ilmu Modern; Penguraian Kategoris.
Disiplin ilmu dalam tingkat kemajuannya sekarang di Barat harus dipecah-pecah menjadi kategori-kategori, prinsip-prinsip, metodologi-metodologi, problem-problem dan tema-tema. Penguraian tersebut harus mencerminkan daftar isi sebuah buku pelajaran dalam bidang metodologi disiplin ilmu yang bersangkutan, atau silabus kuliah disiplin ilmu tersebut seperti yang harus dikuasai oleh mahasiswa tingkat sarjana. Pengraian tersebut tidaklah berbentk bab dan tidak pula ditulis dalam istilah teknis.
Langkah Kedua : Survei Disiplin Ilmu
Setiap disiplin ilmu harus disurvei dan esei-esei harus ditulis dalam bentuk bagan mengenai asal-usul perkembangannya beserta pertumbuhan metodologinya, perluasan cakrawala wawasannya, dan tak lupa sumbangan-sumbangan pemikiran yang diberikan oleh para tokoh utamanya. Bibliografi , dengan keterangan singkat, karya-karya terpenting di bidang itu harus dicantumkan sebagai penutup dari masing-masing disiplin ilmu.
Langkah ini bertujuan untuk memantapkan pemahaman seorang muslim akan disiplin ilmu yang dikembangkan di dunia barat. Survei disiplin ilmu  yang cukup berbobot dan dilengkapi dengan catatan pustaka dan catatan kaki akan merupakan dasar pengertian bersama bagi para ahli yang akan melakukan islamisasi disiplin ilmu tersebut.
Langkah Ketiga : Penguasaan Khasanah Islam, Sebuah antologi
Sebelum menyelami seluk-beluk relevansi Islam bagi suatu disiplin ilmu modern, perlu ditemukan sampai berapa jauh khasanah ilmiah Islam menyentuh dan membahas obyek disiplin ilmu tersebut. Warisan ilmiah para ilmuan Islam nenek moyang kita, ini perlu untuk dipakai sebagai titik awal usaha untuk mengislamisasikan ilmu-ilmu modern. Proses islamisasi ilmu-ilmu modern akan menjadi miskin jika kita tidak menghiraukan khasanah dan memanfaatkan pandangan-pandangan tajam para pendahulu kita tersebut. Meskipun demikian, kontribusi khasanah ilmiah Islam tradisional pada suatu disiplin ilmu modern tidak mudah diperoleh, dibaca, dipahami oleh seorang ilmuan muslim dewasa ini, karena ilmuan muslim masa kini tidak dipersiapkan untuk menelusuri sumbangan-sumbangan khasanah Islam pada disiplin ilmu yang ditekuninya. Langkah ini meliputi :  persiapan penerbitan beberapa jilid antologi bacaan-bacaan pilihan dari khasanah ilmiah Islam untuk setiap disiplin ilmu modern. Antologi-antologi ini akan memberi kemudahan bagi para ilmuan muslim modern untuk mengetahui sumbangan khasanah ilmiah Islam di bidang keilmuan yang menjadi spesialisasi mereka. Antologi ini akan disusun menurut topik sesuai urutan yang dikenal dan berisi sumbungan terbaik dari khasanah ilmiah Islam yang menyangkut sejumlah persoalan yang merupakan objek disiplin ilmu modern
Langkah Keempat : Penguasan KhasanahIlmiah Islam Tahap Analisa
Analisa sumbangan khasanah ilmiah Islam tidak bias dilakukan sembarangan. Daftar urut prioritas perlu dibuat, dan para ilmuan muslim dihimbau untuk mengikutinya. Prinsip-prinsip pokok, masalah-masalah pokok dan tema-tema abadi yaitu tajuk-tajuk yang mempunyai kemungkinan relevansi kepada permasalahan masa kini harus menjadi sasaran strategi penelitian dan pendidikan Islam.
Langkah Kelima : Penetuan Relevansi Islam yang Khas Terhadap Disiplin Ilmu
Keempat langkah di atas harus member informasi kepada mereka dengan otoritas dan kejelasan sebesar mungkin mengenai sumbangan khasanah Islam dalam bidang-bidang yang dipelajari, dan pada tujuan-tujuan umum disiplin ilmu modern. Bahan-bahan ini akan dibuat lebih spesifik dengan cara menerjemahkannya ke prinsip-prinsip yang setara dengan disiplin ilmu modern dalam tingkat keumuman, teori, referensi, dan aplikasinya. Dalam hal ini hakekat disiplin ilmu modern beserta metode-metode dasar, prinsip, problema, tujuan dan harapan, hasil-hasil capaian dan keterbatasan-keterbatasannya. Semuanya harus dikaitkan kepada khasanah Islam. Begitu pula relevansi-relevansi khasanah Islam yang spesifik pada masing-masing  ilmu harus diturunkan secara logis dari sumbangan umum mereka. Tiga persoalan pokok yang harus diajukan dan jawabannya harus diusahakan adalah : Pertama :Apakah yang telah disumbangkan oleh Islam mulai dari Alqur’an hingga para modernis masa kini, kepada keseluruhan permasalahan yang dilingkup oleh disiplin-disiplin ilmumodern” ? Kedua :Bagaimanakah besar sumbangan itu jika dibandingkan dengan hasil-hasil yang dicapai oleh ilmu-ilmu Barat tersebut”? atau “Sampai dimanakah tingkat pemenuhan, kekurangan serta kelebihan khasanah Islam itu dibandingkan wawasan dan lingkup disiplin ilmu Barat modern tersebut” ? dan yang ketiga :Apabila ada bidang-bidang masalah yang sedikit disentuh atau bahkan di luar jangkauan khasanah Islam, merumuskan kembali permasalahannya dan memperluas cakrawala wawasan disiplin ilmu tersebut “?
Langkah Keenam : Penilaian Kritis Terhadap Disiplin Ilmu Modern, Tingkat Perkembangannya di Masa Kini
Ini adalah suatu langkah utama dalam proses islamisasi sains. Semua langkah sebelumnya merupakan langkah pendahuluan sebagai suatu persiapan. Sudahkah disiplin ilmu tersebut memenuhi harapan manusia dalam tujuan umum hidupnya? Sudahkah disiplin ilmu tersebut dapat menyumbang pemahaman dan perkembangan pola penciptaan ilahiah yang harus diwujudkannya ? jawaban pertanyaan ini harus terkumpul dalam laporan sebenarnya mengenai tingkat perkembangan disiplin ilmu modern dilihat dari sudut pandang Islam. Dan harus dapat memberikan kecerahan di beberapa bidang permasalahan yang memerlukan perbaikan, penambahan, perubahan atau penghapusan Islami.
Langkah Ketujuh : Penilaian Kritis Terhadap Khasanah Islam, Tingkat Perkembangannya Dewasa ini
Yang dimaksud dengan khasanah Islam pertama-tama adalah Qur’an sebagai kitab suci, firman-firman Allah Swt, dan sunnah Rasulullah Saw, ini bukan sasaran kritik atau penilaian. Status ilahiah dari Al Qur’an dan sifat normatif dari sunnah adalah sesuatu yang tidak untuk dipertanyakan. Walaupun begitu pemahaman seorang muslim mengenai kedua hal tersebut boleh dipertanyakan. Bahkan selalu harus dinilai dan dikritik berdasarkan prinsip-prinsip yang bersumber pada kedua sumber pokok Islam yang disebut terdahulu, begitu pula segala sesuatu yang berupa karya manusia yang walaupun berdasarkan kedua sumber utama tersebut tetapi melalui usaha intelektual manusia. Relevansi pemahaman manusia tentang wahyu ilahi di berbagai bidang permaslahan ummat dewasa ini harus dikritik dari tga sudut peninjauan : pertama.
Langkah Kedelapan : Survey Permasalahan yang Dihadapi Ummat Islam.
Secara bersamaan, perhatian kita harus diarahkan terhadap masalah-masalah utama di semua bidang, yang meliputi : masalah politik, sosial, ekonomi, intelektual, budaya, moral dan spiritual yang dihadapi ummat Islam.
Langkah Kesembilan : Survey Permasalahan yang Dihadapi Ummat Manusia.
Selain melakukan survey terhadap permasalah-permasalahan yang dihadapi ummat Islam, para pemikir Islam juga dipanggil untuk menghadapi maslah-masalah yang dihadapi dunia dewasa ini dan untuk membuat penyelesaian masalah tersebut sesuai dengan Islam. Ummat Islam yang memiliki wawasan yang diperlukan untuk kemajuan peradaban manusia sesuai dengan yang dikehendaki Allah Swt, karena manusia diciptakan sebagai khalifah atau wakil Allah Swt  di muka bumi. Sesuai dengan firman Allah Swt :
وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلاَئِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الأَرْضِ خَلِيفَةً
Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi“. [8]
Langkah Kesepuluh : Analisa Kreatif dan Sintesa
Setalah memahami dan menguasai ilmu modern dan ilmu-ilmu Islam tradisional, menimbang kekuatan dan kelemahan masing-masing, setelah menentukan relevansi Islam bagi pemikiran ilmiah tertentu pada disiplin ilmu modern, setelah mengidentifikasi dan memahami permasalahan yang dihadapi ummat Islam dalam lintas sejarahnya khalifah Allah di muka bumi, memahami permasalahan yang dihadapi ummat manusia dan sebagainya. Sebuah jalan baru harus ditempuh agar dapat membuat kembali kepemimpinannya di dunia dan untuk melanjutkan peranannya sebagai penyelamat dan pengangkat peradaban manusia. Sintesa kreatif harus dicetuskan di antara ilmu-ilmu Islam tradisional dan disiplin ilmu modern untuk dapat mendobrak kemandegan selama beberapa abad terakhir ini. Sintesa kreatif ini harus dapat menjaga relevansi dengan realitas ummat Islam dengan memperhatikan permasalahan yang telah dikenali sebelumnya. Sintesa tersebut harus memberikan penyelesaian tuntas bagi permaslahan dunia, di samping memerhatikan permaslahan yang selalu muncul di hadapan Islam.
Langkah Kesebelas : Penuangan Kembali Disiplin Ilmu Modern ke Dalam Kerangka Islam : Buku-Buka Dars Tingkat Universitas.
Berdasarkan wawasan baru tentang makna Islam serta pilihan-pilihan kreatif bagi realisasi makna Islam tersebut itulah sejumlah buku dars di tingkat perguruan tinggi akan ditulis di semua bidang keilmuan modern.
Islamisasi disiplin tersebut tidak mungkin terealisasi  melalui sebuah buku dars, walaupun sebuah buku tersebut memenuhi semua persyaratan dengan sempurna. Oleh karena itu, sejumlah buku-buku dars diperlukan untuk membina daya tahan intelektual para pemikir muslim dan untuk pegangan di perguruan tinggi.
Langkah Keduabelas : Penyebarluasan Ilmu-ilmu yang Telah Diislamisasikan.        Adalah sesuatu yang sia-sia apabila hasil karya para ilmuan muslim hanya disimpan, atau hanya diketahui oleh segelintir kawan-kawan penulis, atau hanya satu lembaga, atau satu Negara saja. Karya apapun yang dibuat berdasarkan Lillahi Ta’ala adalah milik seluruh ummat Islam. Pemanfaatan karya-karya tersebut tidak akan keberkahan dari Allah Swt, kecuali jika dilaksanakan untuk sebanyak-banyak mungkin makhluk-Nya.
Selayaknya karya intelektual yang dibuat berdasarkan langkah-langkah yang diuraikan sebelumnya dimaksudkan untuk membangkitkan, mencerahkan dan memperkaya ummat Islam, bahkan ummat manusia di dunia.
Selanjutnya, produk atau hasil rencana kerja tersebut harus secara resmi disajikan di semua perguruan tinggi muslim dunia dengan harapan agar mereka mempertimbangkan produk tersebut sebagai bahan bacaan wajib di fakultas yang sesuai.
Sedangkan menurut Al Attas, proses islamisasi ilmu melibatkan 2 (dua) langkah utama, yaitu :
Langkah Pertama : proses mengasingkan unsure-unsur dan konsep-konsep utama barat dari ilmu tersebut.
Langkah Kedua : menyerapkan unsur-unsur dan konsep-konsep utama Islam ke dalamnya. Jelasnya, ilmu hendaklah diserapkan dengan unsur-unsur dan konsep pokok Islam setelah unsur-unsur dan konsep pokok asing dikeluarkan dari setiap ranting.
Yang dimaksud dengan unsur-unsur dan konsep-konsep pokok Islam adalah : (1) manusia, (2) din, (3) ilmu dan ma’rifah, (4) hikmah, (5) “adl, (6) amal adab,  dan (7) konsep universitas (kuliyyah jami’ah) mengambil unsur -unsur dan konsep-konsep asing tersebut. Semua unsur dan konsep ini hendaklah ditambahkan kepada konsep tauhid, syari’ah, sirah, sunnah dan tarikh.
Unsur-unsur dan konsep-konsep pokok asing yang dimaksud adalah : (1) Konsep dualisme yang meliputi  hakikat dan kebenaran, (2) Doktrin humanisme, (3) Ideologi sekuler, dan (4) Konsep tragedi, khususnya dalam kesusastraan.
Konsep islamisasi ilmu pengetahuan (sains) sebagaimana dikemukakan dalam langkah-langkah tersebut di atas akan melahirkan beberapa paradigma integrasi pendidikan Islam, yaitu :
  1. Menjadikan Tauhid sebagai landasan dan tujuan keilmuan.
  2. Paradigma islamisasi ilmu pengetahuan oleh Azhar Arsyad disebutnya sebagai “sintesis sel antara sains dan ilmu agama
  3. Menurunkan konsep teoritik ilmiah dari ideologi yang bersumber dari konsep agama.
  4. Menguatkan hasil temuan ilmiah dengan ajaran Agama.
5. Alat-Alat Bantu Lain Untuk Mempercepat Islamisasi Sains
Alat bantu lain untuk mempercepat Islamisasi ilmu pengetahuan (sains) antara lain melalui :
  1. Konfrensi-Konferensi dan Seminar-Seminar
Hal ini harus diselenggarakan untuk melibatkan berbagai ahli di berbagai bidang ilmu yang sesuai dalam merancang pemecahan masalah-masalah.
  1. Lokakarya-Lokakarya Untuk Pembinaan Staf
  2. Para guru/dosen/ustadz/kiyai dan sebagainya untuk mengislamkan sains di dalam segala kegiatannya.
6. Tantangan Islamisasi Sains
Tantangan utama dalam Islamisasi ilmu pengetahuan (sains) datang dari kalangan cerdik sendekiawan Islam itu sendiri. Mereka terdiri dari beberapa golongan, yaitu :
Pertama : golongan yang sependapat dengan gagasan ini secara teori dan konsepnya, dan berusaha untuk merealisasikan dan menghasilkan karya yang menepati maksud islamisasi dalam disiplin ilmu mereka.
Kedua  : golongan yang sependapat dengan gagasan ini secara teori dan konsep tetapi tidak mengusahakannya secara praktis.
Ketiga : golongan yang tidak sependapat dan sebaliknya mencemooh, mengejek dan mempermainkan gagasan ini. Biasanya golongan ini berargumen bahwa semua ilmu datangnya dari Allah, dan justru semua ilmu adalah benar dan secara tabiatnya sudah Islam.
Keempat : golongan yang tidak mempunyai pengetahuan terhadap isu islamisasi sains. Mereka lebih suka mengikuti perkembangan yang dirintis oleh sarjana lain atau bahkan mereka tidak memperdulikannya.
B. Konsep Islamisasi Kampus
Untuk menahan sekulerisme, organisasi profesi dan cendekiawan yang sekarang ada perlu dimanfaatkan, forum-forum formal atau informal dapat digunakan untuk bermujadalah (berdialog) secara intelektual. Demikian juga media massa yang memadai akan dapat menjelaskan secara teoritik tentang permasalahan sosial budaya dari sudut pandang integral Islami. Sementara itu, lembaga-lembaga yang ada dapat dimanfaatkan untuk menautkan agama dengan berbagai sektor kehidupan. Untuk itu, sejumlah pikiran utama mengenai bidang-bidang yang strategis harus sudah disiapkan, sehingga orang Islam yang tidak mempunyai akses ke dalam kelompok perjuangan Islampun akan dapat memetik ide-ide tersebut. Untuk keperluan ini dibutuhkan lembaga-lembaga penelitian dan pengembangan yang mampu menampilkan ide-ide strategis untuk menawarkan alternatif-alternatif dalam menghadapi permasalahan modern.[9] Di sinilah tantangan terbesar bagi Perguruan tinggi Agama Islam, yakni melahirkan intelektual muslim yang mampu melahirkan konsep-konsep Islami yang aplikatif dalam masyarakat Islam yang hidup di era globalisasi.
1. Moral Akademik di Lingkungan Kampus
a. Moral Mahasiswa
Sebagaimana diketahui tujuan studi di perguruan tinggi Islam adalah untuk mencetak sarjana muslim yang bertakwa, berprestasi, berakhlak mulia serta setia kepada Pancasila dan UUD 1945. Oleh karena itu, secara moral setiap mahasiswa harus mampu menanamkan sikap-sikap, sebagaimana yang dikemukakan oleh Imam Al Ghazali sebagai berikut :[10]
1)      Mengutamakan kesucian jiwa dari sikap dan sifat yang tercela. Hal ini sangat penting, sebab ilmu merupakan ibadah hati dan merupakan pendekatan batin kepada Allah Swt.
2)        Mengurangi hal-hal keduniaan, dan menjauhkan diri dari keluarga dan tanah air. Hal ini dimaksudkan agar konsentrasi dalam studi.
3)        Menghindarkan diri dari sikap sombong dan merendahkan diri kepada guru. Termasuk di dalamnya keinginan belajar kepada guru-guru yang termasyhur dan terkenal, karena hikmah atau ilmu adalah benda hilang orang-orang mukmin, ia harus mencari dan mendapatkannya dari siapa saja, sebab ilmu itu diberikan kepada siapa saja.
4)        Bagi yang baru memasuki wilayah kajian keilmuan, hendaknya menghindarkan diri dari perdebatan pendapat tentang suatu disiplin ilmu, baik iilmu dunia maupun ilmu akhirat.
5)        Menerapkan prinsip belajar seumur hidup
6)        Mampu membuat skala prioritas tentang disiplin ilmu yang akan dipelajarinya.
7)        Menghindarkan diri dari menekuni disiplin ilmu yang baru sebelum ia menguasai disiplin ilmu yang dipelajari sebelumnya.
8)        Memiliki kemampuan untuk menemukan dasar kemuliaan ilmu, yakni kemuliaan akan buah ilmu, dan kepercayaan akan landasan teori dan kekuatan epistimologinya.
9)        Menanamkan niat yang kuat untuk mencapai keridhaan Allah Swt dalam menuntut ilmu dan menghiasi batinnya dengan keutamaan-keutamaan.
10)    Kemampuan untuk menemukan kaitan antara suatu disiplin ilmu dengan tujuannya, baik tujuan jangka pendek maupun tujuan jangka panjang.
Dalam pembinaan mahasiswanya, perguruan tinggi Islam mengacu pada pelaksanaan Tri Dharma Perguruan Tinggi dari segi keislaman, yakni menempatkan agama sebagai model penggerak pembangunan nasional. Dalam upaya untuk mencapai generasi yang memiliki kepribadian tangguh, berwawasan keagamaan dan kebangsaan yang luas dan mampu menempatkan agama sebagai motivator pembangunan, maka mahasiswa harus memiliki sifat-sifat :
1)      Takwa dan tawakkal kepada Allah Swt
2)      Sadar dan menghayati nilai-nilai Islam
3)      Percaya diri dan menghargai orang lain
4)      Terbuka terhadap ide dan gagasan baru
5)      Berorientasi pada masa depan bangsa dan ummat
6)      Bersifat demokratis dan adil
7)      Efesien
Sebagai masyarakat akademik mahasiswa harus memiliki tradisi dan kebebasan akademik yang bercirikan :
Pertama : Masyarakat ilmiah, yang mempunyai ciri-ciri : kritis, objektif, analitis, kreatif dan konstruktif, terbuka untuk menerima kritik, menghargai waktu dan prestasi akademik, bebas prasangka, kemitraan di antara civitas akademik, dialogis, memiliki dan menjunjung tinggi norma dan susila akademik serta tradisi ilmiah, dinamika dan berorientasi ke masa depan.
Kedua : Tradisi dan kebebasan akademik. Tradisi akademik ditandai dengan : tidak pernah merasa dirinya sebagai orang yang paling benar atau pintar, hasil penelitiannya selalu terbuka terhadap kritik dan penelitian lebih lanjut, proses belajar-mengajar selalu dalam suasana dialogis. Sedangkan kebebasan akademik meliputi : kebebasan dalam menyatakan pikiran dan pendapat, mengajar dan belajar, penelitian dan mimbar akademik.
Selanjutnya, sebagai masyarakat yang merupakan bagian dari civitas akademik, mahasiswa mempunyai hak dan kewajiban, yaitu :
1)      Menjaga nama baik pimpinan, dosen dan almamaternya
2)      Setiap permasalahan yang dihadapi mahasiswa disalurkan secara hirarkis dan diusahakan diselesaikan di tingkat fakultas, jika tidak bias diselesaikan di tingkat fakultas, maka pimpinan fakultas berhubungan dengan pimpinan institut.
3)      Menghargai dan mentaati setiap keputusan musyawarah lembaga kemahasiswaan dan ketentuan lainnya yang berlaku bagi mahasiswa.
4)      Memelihara keamanan, ketertiban, kebersihan dan keindahan kampus serta fasilitas prasarana lainnya.
5)      Membina kerjasama yang harmonis antara sesama mahasiswa dan berusaha menghindarkan pertentangan.
6)      Bertingkah laku yang sopan dan berbudi pekerti yang mencerminkan akhlaqul karimah di dalam kehidupan sehari-hari.
7)      Menjauhkan diri dari perbuatan tercela yang dapat mencemarkan nama baik pribadi, almamater dan agama.
  1. b. Moral Dosen
Menurut Al Ghazali terdapat delapan sikap yang harus dimilki guru atau dosen, yaitu sebagai berikut :[11]
1)   Memperlakukan mahasiswa dengan penuh kasih sayang sebagaimana ia memperlakukan anaknya sendiri. Sebagaimana sabda Rasulullah Saw :
اِنَّمَا اَنَا لَكُمْ مِثْلُ الْوَالدِ لِوَلَدِهِ
sesungguhnya aku bagimu adalah seperti orang tua kepada anaknya
2)   Mengajarkan ilmu dengan penuh keikhlasan, sebagaimana para Nabi yang tidak pernah meminta imbalan apapun dari ilmu yang diajarkannya kecuali hanya mengharapkan keridhaan Allah Swt.
3)   Membimbing mahasiswa agar dalam menuntut ilmu selalu mematuhi nasehat-nasehat dosen
4)   Mencegah mahasiswa dari perbuatan-perbuatan tercela.
5)   Seorang dosen yang menguasai satu bidang disiplin ilmu hendaknya bersikap terbuka pada berbagai disiplin ilmu lain.
6)   Mendidik mahasiswa sesuai dengan tingkat kemampuannya, sebab jika ilmu diajarkan tidak sesuai bidang atau kemampuannya ilmu tersebut akan sia-sia. Sebagaimana sabda Rasulullah Saw :
طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلىَ كُلِّ مُسْلِمٍ وَوَاضِعُ الْعِلْمِ عِنْدَ غَيْرِ أَهْلِهِ كَمُقَلِّدِ الْخَنَازِيْرِ الْجَوْهَرَ وَالُّؤْلُؤَ وَالذَّهَبَ (رواه ابن ماجه)
Mencari ilmu itu adalah wajib bagi stiap muslim, memberikan ilmu kepada orang yang bukan ahlinya (tidak tepat) seperti orang yang mengalungi bab dengan permata, mutiara atau emas” (HR. Ibnu Majah no. 220)
7)   Menjelaskan pelajaran atau mata kuliah dengan sejelas-jelasnya, hal ini dimaksudkan agar tidak terjadi kesalah pahaman.
8)   Mengamalkan ilmu pengetahuan yang dikuasainya. Hal ini mutlak penting, sebab dosen merupakan panutan bagi para mahasiswa. Jika seorang dosen enggan mengamalkan ilmunya atau mengamalkan sesuatu yang bertentangan dengan ilmunya,  termasuk dosa besar dan hasilnya ilmu yang dipelajari tidak akan menghasilkan kebajikan melainkan kebatilan. Firman Allah Swt.
أَتَأْمُرُونَ النَّاسَ بِالْبِرِّ وَتَنسَوْنَ أَنفُسَكُمْ وَأَنتُمْ تَتْلُونَ الْكِتَابَ أَفَلاَ تَعْقِلُونَ
Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebaikan, sedang kamu melupakan diri (kewajiban) mu sendiri, padahal kamu membaca Al Kitab ? Maka tidakkah kamu berpikir?” (QS. Al Baqarah (20) : 44)
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لِمَ تَقُولُونَ مَا لَا تَفْعَلُونَ كَبُرَ مَقْتًا عِندَ اللَّهِ أَن تَقُولُوا مَا لَا تَفْعَلُونَ
Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu perbuat? (3)Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tiada kamu kerjakan” (QS. Asshaf (61) : 2-3)
  1. 2. Fasilitas dan Sarana di Lingkungan Kampus
Selain pelaku akademis, yang di dalamnya terdapat mahasiswa dan dosen,  tidak kalah penting adalah fasilitas dan sarana/prasarana yang terdapat di dalam kampus itu sendiri perlu diislamkan. Fasilitas dan sarana yang ada di dalam masyarakat Islam harus digunakan, terlebih lagi perguruan tinggi agama Islam. Simbol-simbol  yang terdapat di dalam kampus perlu diislamisasi.
III. KESIMPULAN
Dari uraian di atas yang berkaitan dengan konsep islamisasi sains dan kampus dapat disimpulkan bahwa :
  1. Konsep islamisasi ilmu pengetahuan (sains), baik menurut Al Attas maupun Al Faruqi pada dasarnya adalah sama yaitu menjadikan ilmu pengetahuan (sains) tidak netral atau bebas nilai, bertujuan yang sama, dan konsep islamisasi sains yang mereka bawa berpegang kepada prinsip metafisik, ontologi, epistimologi dan aksiologi Islam yang berdasarkan kepada konsep  Tauhid.
  2. Islamisasi ilmu pengetahuan (sains) mutlak diperlukan, karena selain untuk mengejar ketertinggalan Ummat Islam, juga sebagai jawaban terhadap  kritik terhadap perkembangan ilmu pengetahuan modern yang selama ini telah bebas nilai dan terlepas dari akar transendental.
  3. Selain islamisasi sains, lembaga dalam hal ini adalah kampus juga mutlak diperlukan untuk mendukung proses dan keberhasilan islamisasi ilmu pengetahuan itu sendiri, baik dari segi civitas akademik dalam hal ini adalah mahasiswa dan dosen maupun fasilitas dan sarana/prasarana.
والله أعلم بالصوّاب
Catatam Kaki :

[1] Ismail SM dkk, Paradigma Pendidikan Islam, Semarang: Pustaka Pelajar, 2001, hal
[2] Marwan Saridjo, Mereka Bicara Pendidikan Islam Sebuah Bunga Rampai, Jkt : Raja Grafindo Persada, 2009, hal 333
[3] Ismail Raji Al Faruqi, Islamisasi Pengetahuan, Jakarta : Pustaka, 1984, hal 23
[4] Tim Pustaka Phoenix, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Baru ( Jakarta : Media Pustaka Phoenix, 2008, hal 482
[5] Rosnani Hashim, Gagasan Islamisasi Ilmu Pengetahuan Kontemporer : sejarah Perkembangan dan Arah Tujuan, (Islamia Thn II No.6/Juli-September, 2005),  hal. 34
[6] Marwan Saridjo, hal  334
[7] Ismail Raji Al Faruqi, Islamisasi Pengetahuan, Jakarta : Pustaka, 1984, hal
[8] Depag RI, Al Qur’an dan Terjemahnya, Surabaya : CV Jaya Sakti, 1997, hal  13
[9] H.A. Yakub Matondang. Et.al. Perguruan Tinggi Islam di Era Globalisasi, (Yogya : Tiara Wacana, 1998),  h. 17
[10] Imam Ghazali, Ringkasan Inya’ Ulumuddin, (terj), ( Jakarta : Sahara Intisains, 2009), h.  47
[11] Imam Al Ghazali, hal 51