“Alqur’an is always one step ahead of science”,
Alqur’an selalu selangkah di depan penemuan-penemuan sains modern masa
kini. Setiap kali ada penemuan hebat pada setiap abad, ternyata
Alqur’an sudah menjelaskannya terlebih dahulu. Di dalam Alqur’an banyak
berisi tentang ayat-ayat mutasyabihat yang menjelaskan tentang sains,
baik yang tersurat secara jelas maupun yang tersamar di dalamnya.
Begitu banyak ayat-ayat dalam Al-Qur’an
yang memerintahkan manusia untuk memperhatikan alam semesta dengan
menggunakan akalnya sehingga mencapai kesimpulan bahwa di balik
keteraturan alam semesta terdapat Al-Khaliq, Tuhan sang Maha Pencipta
segala sesuatu, yaitu Allah Swt. Hal ini dapat kita perhatikan dari
firman-firman Allah Swt sebagai berikut :
إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ وَاخْتِلاَفِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ لآيَاتٍ لِّأُوْلِي الألْبَابِ
”Sesungguhnya dalam penciptaan langit
dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda
bagi orang-orang yang berakal, (QS Ali Imran (3) : 190)
إِنَّ فِي اخْتِلاَفِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ وَمَا خَلَقَ اللّهُ فِي السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ لآيَاتٍ
لِّقَوْمٍ يَتَّقُونَ
“Sesungguhnya pada pertukaran malam
dan siang itu dan pada apa yang diciptakan Allah di langit dan di bumi,
benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan-Nya) bagiorang-orang yang
bertakwa”. (QS Yunus (10) : 6)
إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ
وَالأَرْضِ وَاخْتِلاَفِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ وَالْفُلْكِ الَّتِي
تَجْرِي فِي الْبَحْرِ بِمَا يَنفَعُ النَّاسَ وَمَا أَنزَلَ اللّهُ مِنَ
السَّمَاء مِن مَّاء فَأَحْيَا بِهِ الأرْضَ بَعْدَ مَوْتِهَا وَبَثَّ
فِيهَا مِن كُلِّ دَآبَّةٍ وَتَصْرِيفِ الرِّيَاحِ وَالسَّحَابِ
الْمُسَخِّرِ بَيْنَ السَّمَاء وَالأَرْضِ لآيَاتٍ لِّقَوْمٍ يَعْقِلُونَ
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit
dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di
laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan
dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah
mati (kering) -nya dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan
pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi;
Sungguh (terdapat) tanda tanda keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum
yang memikirkan” (QS. Al Baqarah (2) : 164)
Ide atau gagasan Islamisasi sains muncul
di dunia Islam dan menjadi wacana di kalangan intelektual muslim,
sebagai hasil dari kritik sarjana muslim terhadap sifat dan waktu
ilmu-ilmu alam dan sosial yang bebas nilai. Konferensi Internasional
pertama tentang Pendidikan Islam di Mekkah pada tanggal 31 Maret sampai
dengan 8 April 1977, yang salah satu tujuannya adalah untuk
mendiskusikan masalah-masalah dalam Pendidikan Islam dan mencari
cara-cara untuk memasukan konsep-konsep Islami serta menciptakan
metodologi Islami.[1]
Di antara tokohnya adalah Naqib Alatas (ilmuan Malaysia), Ismail Raji
Al Faruqi (ilmuan Mesir kelahiran Palestina) dan lain-lain. Gagasan
tersebut juga lahir sebagai akibat adanya pandangan bahwa ilmu
pengetahuan (sains) produk modern tidak berhasil membawa manusia pada
citra ilmu itu sendiri. Hal ini terjadi karena ilmu telah bebas nilai
dan lepas dari akar transendental.[2] Kritik terhadap paradigma ilmu bebas nilai justru dilontarkan oleh para orientalis, seperti oleh Huston Smith dan Robert Kiely.
Namun demikian, integritas Alqur’an,
kerasulan Nabi Muhammad Saw, kebenaran sunnahnya, kesempurnaan syari’ah,
prestasi-prestasi gemilang yang dicapai kaum muslimin di dalam kultur
dan kebudayaan tidak satupun lepas dari serangan. Maksudnya adalah untuk
menanamkan kerguan di dalam diri seorang muslim terhadap dirinya
sendiri, terhadap ummatnya, terhadap agamanya dan terhadap leluhurnya.[3]
Oleh karena itu, Islamisasi ilmu
pengetahuan (sains) mutlak diperlukan. Selain untuk mengejar
ketertinggalan Ummat Islam, juga sebagai jawaban terhadap kritik
terhadap perkembangan ilmu pengetahuan modern yang selama ini telah
bebas nilai dan terlepas dari akar transcendental.
Terdapat beberapa ungkapan yang sering digunakan untuk melambangkan konsep ini, seperti (1) “Isalamisasi ilmu” dan (2) “Islamisasi ilmu pengetahuan kontemporer”.
Ungkapan ini pertama agak mengelirukan, sebab ia membawa konotasi semua
ilmu termasuk ilmu sains Islam berdasarkan Alqur’an dan Sunnah yang
dibangun oleh sarjana Islam zaman tersebut tidak islami dan oleh sebab
itu harus diislamkan. Ungkapan kedua, merujuk kepada ilmu barat modern.
Al Faruqi menggunakan ungkapan “Islamisasi ilmu pengetahuan modern”. Namun demikian, yang dimaksud sebenarnya adalah ilmu pengetahuan kontemporer yang merujuk kepada ilmu yang berdasarkan pandangan barat sekuler, yang ditemui dan disebarluaskan oleh peradaban barat.
Selain islamisasi terhadap ilmu pengetahuan (sains),
yang tidak kalah pentingnya adalah islamisasi terhadap lembaga, dalam
hal ini adalah kampus sebagai pusat kajian dan berkembangnya sains itu sendiri, juga mutlak diperlukan untuk mendukung dan menjalankan islamisasi ilmu pengetahuan tersebut.
Dalam Makalah ini akan penulis bahas tentang beberapa hal yang berkaitan dengan konsep Islamisasi Sains dan Kampus, yaitu :
- Konsep Islamisasi Sains, yang meliputi : Definisi, Prinsip-prinsipnya, tujuannya, langkah-langkahnya dan alat bantu lainnya untuk mempercepat islamisasi sains serta tantangan dalam islamisasi ilmu pengetahuan.
- Konsep Islamisasi Kampus, yang meliputi : Moral akademik di lingkungan kampus, moral mahasiswa dan dosen, fasilitas dan sarana/prasarana.
Sebelum kepada pembahasan, penulis akan
menjelaskan beberapa arti kata yang tercantum pada judul makalah ini,
yaitu sebagai berikut :
- Konsep, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, berarti rancangan, pemikiran, rencana dasar, ide/pengertian yang diabstrakan, proses untuk memahami hal-hal lain.[4]
- Islamisasi, berarti proses pengislaman
- Sains, adalah ilmu pengetahuan pada umumnya, ilmu pengetahuan alam, pengetahuan sistematis tentang alam dan dunia fisik lainnya.
- Kampus, adalah lingkungan atau kompleks gedung perguruan tinggi (institusi, universitas dan lain-lain) tempat dimana semua kegiatan akademis berlangsung.
II. PEMBAHASAN
A. Konsep Islamisasi Sains
1. Definisi dan Pendekatan Islamisasi Sains
a. Definisi dan Pendekatan Al Attas
Islamisasi adalah pembebasan manusia mulai dari magic, mitos, animisme
dan tradisi kebudayaan kebangsaan dan dari penguasaan sekuler atas akal
dan bahasanya. Ini bermakna ummat Islam adalah seorang individu yang
memiliki akal dan bahasa yang bebas dari magic, mitos, animisme, tradisi kebangsaan dan kebudayaan serta sekulerisme.
Lebih lanjut, Al Attas menyifatkan
islamisasi sebagai proses pembebasan atau memerdekakan, sebab ia
melibatkan pembebasan roh manusia yang mempunyai pengaruh atas
jasmaninya, dan proses ini menimbulkan keharmonisan dan kedamaian dalam
dirinya sesuai dengan fitrahnya.Islamisasi juga membebaskan manusia dari
sikap tunduk kepada keperluan jasmaninya yang condong menzhalimi
dirinya sendiri, sebab sifat jasmaniyahnya lebih condong untuk lalai
terhadap tabiatnya sehingga menjadi jahil tentang tujuan asalnya.
Islamisasi bukanlah proses evolusi, tetapi satu proses pengembalian
kepada fitrah.[5]
Islamisasi diawali dengan isalamisasi
bahasa, dan ini dibuktikan di dalam Alqur’an ketika diturunkan kepada
orang Arab. Bahasa, pemikiran dan rasionalitas terkait erat dan saling
bergantung dalam membayangkan world view atau visi hakikat (reality)
kepada manusia.
b. Definisi dan Pendekatan Ismail Raji Al Faruqi
Islamisasi ilmu sebagai usaha untuk
mengacukan kembali ilmu, yaitu mendefinisikan kembali , menyusun ulang
data, memikirkan kembali argument dan rasionalisasi, menilai kembali
kesimpulan dan tafsiran, membentuk kembali tujuan dan melakukannya
secara yang membolehkan disiplin itu memperkayakan visi dan perjuangan
Islam. Sebagaimana Al Attas, Al Faruqi menekankan kepentingan mangacu
dan membangun kembali disiplin sains sosial, sains kemanusiaan dan sain
tabi’i dalam kerangka Islam dengan memadukan prinsip-prinsip Islam ke
dalam tubuh ilmu tersebut.
Islamisasi dapat dicapai melalui
integrasi ilmu baru ke dalam khasanah warisan Islam dengan membuang,
menata, menganalisa, menafsir ulang dan menyesuaikannya menurut nilai
dan pandangan Islam.
Dari segi metodologi, Al Faruqi
mengemukakan ide Islamisasi ilmu bersandarkan tauhid. Metodologi
tradisional tidak mampu memikul tugas ini, karena beberapa kelemahan,
yaitu : Pertama : ia menyempitkan konsep utama seperti fiqih, faqih, ijtihad dan mujtahid. Kedua : kaidah tradisional ini memisahkan wahyu dan akal, yang selanjutnya memisahkan pemikiran dan tindakan. Ketiga : kaidah ini membuka ruang untuk dualisme, sekuler dan agama.
2. Prinsip Yang Mendasari Islamisasi Ilmu Pengetahuan
Secara ontologi, Islamisasi
sains memandang bahwa dalam realitas alam semesta, realitas sosial, dan
historis ada hukum ciptaan Allah Swt yang disebut dengan sunnatullah
. sebagai ciptaan Allah Swt, hukum tersebut tidak netral, tetapi
mempunyai tujuan sesuai dengan tujuan Allah Swt yang menciptakannya.[6]
Al Faruqi menggariskan beberapa prinsip
dasar dalam pandangan Islam sebagai kerangka pemikiran, metodologi dan
cara hidup Islam, yaitu :
- Keesaan Allah Swt ( tauhid )
- Kesatuan Penciptaan
- Kesatuan kebenaran
- Kesatuan Ilmu
- Kesatuan kehidupan
- Kesatuan kemanusiaan
Tujuan islamisasi ilmu, sebagaimana yang dikemukakan Al Attas adalah :
- untuk melindungi orang Islam dari ilmu yang sudah tercemar yang menyesatkan dan menimbulkan kekeliruan
- untuk mengembangkan ilmu yang hakiki yang dapat membangunkan pemikiran dan rohani pribadi muslim yang akan menambahkan keimanannya kepada Allah Swt.
- Melahirkan keamanan, kebaikan, keadilan dan kekuatan keimanan
Selanjutnya, Al Faruqi menguraikan tujuan
yang mengacu kepada rencana kerja islamisasi ilmu pengetahuan (sains)
adalah sebagai berikut :
- Penguasaan disiplin ilmu modern
- Penguasaan khasanah Islam
- Penentuan relevansi Islam bagi masing-masing bidang ilmu modern
- Pencarian sintesa kreatif antara khasanah Islam dengan ilmu modern
- Pengarahan aliran pemikiran Islam ke jalan-jalan yang mencapai pemenuhan pola rencana Allah Swt.
4. Langkah-Langkah Yang Dilakukan Dalam Islamisasi Sains
Untuk merealisir tujuan-tujuan tersebut,
menurut Al Faruqi terdapat beberapa langkah menurut urutan logis yang
menentukan perioritas masing-masing langkah tersebut. Adapun
langkah-langkah yang diperlukan untuk mencapai proses islamisasi
pengetahuan (sains), sebagaimana yang dikemukakan oleh ilmuan Mesir
kelahiran Palestina Ismail Raji Al Faruqi adalah sebagai berikut :[7]
Langkah Pertama : Penguasaan Disiplin Ilmu Modern; Penguraian Kategoris.
Disiplin ilmu dalam tingkat kemajuannya
sekarang di Barat harus dipecah-pecah menjadi kategori-kategori,
prinsip-prinsip, metodologi-metodologi, problem-problem dan tema-tema.
Penguraian tersebut harus mencerminkan daftar isi sebuah buku pelajaran
dalam bidang metodologi disiplin ilmu yang bersangkutan, atau silabus
kuliah disiplin ilmu tersebut seperti yang harus dikuasai oleh mahasiswa
tingkat sarjana. Pengraian tersebut tidaklah berbentk bab dan tidak
pula ditulis dalam istilah teknis.
Langkah Kedua : Survei Disiplin Ilmu
Setiap disiplin ilmu harus disurvei dan
esei-esei harus ditulis dalam bentuk bagan mengenai asal-usul
perkembangannya beserta pertumbuhan metodologinya, perluasan cakrawala
wawasannya, dan tak lupa sumbangan-sumbangan pemikiran yang diberikan
oleh para tokoh utamanya. Bibliografi , dengan keterangan singkat,
karya-karya terpenting di bidang itu harus dicantumkan sebagai penutup
dari masing-masing disiplin ilmu.
Langkah ini bertujuan untuk memantapkan
pemahaman seorang muslim akan disiplin ilmu yang dikembangkan di dunia
barat. Survei disiplin ilmu yang cukup berbobot dan dilengkapi dengan
catatan pustaka dan catatan kaki akan merupakan dasar pengertian bersama
bagi para ahli yang akan melakukan islamisasi disiplin ilmu tersebut.
Langkah Ketiga : Penguasaan Khasanah Islam, Sebuah antologi
Sebelum menyelami seluk-beluk relevansi
Islam bagi suatu disiplin ilmu modern, perlu ditemukan sampai berapa
jauh khasanah ilmiah Islam menyentuh dan membahas obyek disiplin ilmu
tersebut. Warisan ilmiah para ilmuan Islam nenek moyang kita, ini perlu
untuk dipakai sebagai titik awal usaha untuk mengislamisasikan ilmu-ilmu
modern. Proses islamisasi ilmu-ilmu modern akan menjadi miskin jika
kita tidak menghiraukan khasanah dan memanfaatkan pandangan-pandangan
tajam para pendahulu kita tersebut. Meskipun demikian, kontribusi
khasanah ilmiah Islam tradisional pada suatu disiplin ilmu modern tidak
mudah diperoleh, dibaca, dipahami oleh seorang ilmuan muslim dewasa ini,
karena ilmuan muslim masa kini tidak dipersiapkan untuk menelusuri
sumbangan-sumbangan khasanah Islam pada disiplin ilmu yang ditekuninya.
Langkah ini meliputi : persiapan penerbitan beberapa jilid antologi
bacaan-bacaan pilihan dari khasanah ilmiah Islam untuk setiap disiplin
ilmu modern. Antologi-antologi ini akan memberi kemudahan bagi para
ilmuan muslim modern untuk mengetahui sumbangan khasanah ilmiah Islam di
bidang keilmuan yang menjadi spesialisasi mereka. Antologi ini akan
disusun menurut topik sesuai urutan yang dikenal dan berisi sumbungan
terbaik dari khasanah ilmiah Islam yang menyangkut sejumlah persoalan
yang merupakan objek disiplin ilmu modern
Langkah Keempat : Penguasan KhasanahIlmiah Islam Tahap Analisa
Analisa sumbangan khasanah ilmiah Islam
tidak bias dilakukan sembarangan. Daftar urut prioritas perlu dibuat,
dan para ilmuan muslim dihimbau untuk mengikutinya. Prinsip-prinsip
pokok, masalah-masalah pokok dan tema-tema abadi yaitu tajuk-tajuk yang
mempunyai kemungkinan relevansi kepada permasalahan masa kini harus
menjadi sasaran strategi penelitian dan pendidikan Islam.
Langkah Kelima : Penetuan Relevansi Islam yang Khas Terhadap Disiplin Ilmu
Keempat langkah di atas harus member
informasi kepada mereka dengan otoritas dan kejelasan sebesar mungkin
mengenai sumbangan khasanah Islam dalam bidang-bidang yang dipelajari,
dan pada tujuan-tujuan umum disiplin ilmu modern. Bahan-bahan ini akan
dibuat lebih spesifik dengan cara menerjemahkannya ke prinsip-prinsip
yang setara dengan disiplin ilmu modern dalam tingkat keumuman, teori,
referensi, dan aplikasinya. Dalam hal ini hakekat disiplin ilmu modern
beserta metode-metode dasar, prinsip, problema, tujuan dan harapan,
hasil-hasil capaian dan keterbatasan-keterbatasannya. Semuanya harus
dikaitkan kepada khasanah Islam. Begitu pula relevansi-relevansi
khasanah Islam yang spesifik pada masing-masing ilmu harus diturunkan
secara logis dari sumbangan umum mereka. Tiga persoalan pokok yang harus
diajukan dan jawabannya harus diusahakan adalah : Pertama : “Apakah
yang telah disumbangkan oleh Islam mulai dari Alqur’an hingga para
modernis masa kini, kepada keseluruhan permasalahan yang dilingkup oleh
disiplin-disiplin ilmumodern” ? Kedua : “Bagaimanakah besar sumbangan itu jika dibandingkan dengan hasil-hasil yang dicapai oleh ilmu-ilmu Barat tersebut”? atau “Sampai
dimanakah tingkat pemenuhan, kekurangan serta kelebihan khasanah Islam
itu dibandingkan wawasan dan lingkup disiplin ilmu Barat modern tersebut” ? dan yang ketiga : “Apabila
ada bidang-bidang masalah yang sedikit disentuh atau bahkan di luar
jangkauan khasanah Islam, merumuskan kembali permasalahannya dan
memperluas cakrawala wawasan disiplin ilmu tersebut “?
Langkah Keenam : Penilaian Kritis Terhadap Disiplin Ilmu Modern, Tingkat Perkembangannya di Masa Kini
Ini adalah suatu langkah utama dalam
proses islamisasi sains. Semua langkah sebelumnya merupakan langkah
pendahuluan sebagai suatu persiapan. Sudahkah disiplin ilmu tersebut
memenuhi harapan manusia dalam tujuan umum hidupnya? Sudahkah disiplin
ilmu tersebut dapat menyumbang pemahaman dan perkembangan pola
penciptaan ilahiah yang harus diwujudkannya ? jawaban pertanyaan ini
harus terkumpul dalam laporan sebenarnya mengenai tingkat perkembangan
disiplin ilmu modern dilihat dari sudut pandang Islam. Dan harus dapat
memberikan kecerahan di beberapa bidang permasalahan yang memerlukan
perbaikan, penambahan, perubahan atau penghapusan Islami.
Langkah Ketujuh : Penilaian Kritis Terhadap Khasanah Islam, Tingkat Perkembangannya Dewasa ini
Yang dimaksud dengan khasanah Islam
pertama-tama adalah Qur’an sebagai kitab suci, firman-firman Allah Swt,
dan sunnah Rasulullah Saw, ini bukan sasaran kritik atau penilaian.
Status ilahiah dari Al Qur’an dan sifat normatif dari sunnah
adalah sesuatu yang tidak untuk dipertanyakan. Walaupun begitu pemahaman
seorang muslim mengenai kedua hal tersebut boleh dipertanyakan. Bahkan
selalu harus dinilai dan dikritik berdasarkan prinsip-prinsip yang
bersumber pada kedua sumber pokok Islam yang disebut terdahulu, begitu
pula segala sesuatu yang berupa karya manusia yang walaupun berdasarkan
kedua sumber utama tersebut tetapi melalui usaha intelektual manusia.
Relevansi pemahaman manusia tentang wahyu ilahi di berbagai bidang
permaslahan ummat dewasa ini harus dikritik dari tga sudut peninjauan :
pertama.
Langkah Kedelapan : Survey Permasalahan yang Dihadapi Ummat Islam.
Secara bersamaan, perhatian kita harus
diarahkan terhadap masalah-masalah utama di semua bidang, yang meliputi :
masalah politik, sosial, ekonomi, intelektual, budaya, moral dan
spiritual yang dihadapi ummat Islam.
Langkah Kesembilan : Survey Permasalahan yang Dihadapi Ummat Manusia.
Selain melakukan survey terhadap
permasalah-permasalahan yang dihadapi ummat Islam, para pemikir Islam
juga dipanggil untuk menghadapi maslah-masalah yang dihadapi dunia
dewasa ini dan untuk membuat penyelesaian masalah tersebut sesuai dengan
Islam. Ummat Islam yang memiliki wawasan yang diperlukan untuk kemajuan
peradaban manusia sesuai dengan yang dikehendaki Allah Swt, karena
manusia diciptakan sebagai khalifah atau wakil Allah Swt di muka bumi.
Sesuai dengan firman Allah Swt :
وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلاَئِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الأَرْضِ خَلِيفَةً
“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi“. [8]
Langkah Kesepuluh : Analisa Kreatif dan Sintesa
Setalah memahami dan menguasai ilmu
modern dan ilmu-ilmu Islam tradisional, menimbang kekuatan dan kelemahan
masing-masing, setelah menentukan relevansi Islam bagi pemikiran ilmiah
tertentu pada disiplin ilmu modern, setelah mengidentifikasi dan
memahami permasalahan yang dihadapi ummat Islam dalam lintas sejarahnya
khalifah Allah di muka bumi, memahami permasalahan yang dihadapi ummat
manusia dan sebagainya. Sebuah jalan baru harus ditempuh agar dapat
membuat kembali kepemimpinannya di dunia dan untuk melanjutkan
peranannya sebagai penyelamat dan pengangkat peradaban manusia. Sintesa kreatif
harus dicetuskan di antara ilmu-ilmu Islam tradisional dan disiplin
ilmu modern untuk dapat mendobrak kemandegan selama beberapa abad
terakhir ini. Sintesa kreatif ini harus dapat menjaga relevansi dengan
realitas ummat Islam dengan memperhatikan permasalahan yang telah
dikenali sebelumnya. Sintesa tersebut harus memberikan penyelesaian
tuntas bagi permaslahan dunia, di samping memerhatikan permaslahan yang
selalu muncul di hadapan Islam.
Langkah Kesebelas : Penuangan Kembali Disiplin Ilmu Modern ke Dalam Kerangka Islam : Buku-Buka Dars Tingkat Universitas.
Berdasarkan wawasan baru tentang makna
Islam serta pilihan-pilihan kreatif bagi realisasi makna Islam tersebut
itulah sejumlah buku dars di tingkat perguruan tinggi akan ditulis di semua bidang keilmuan modern.
Islamisasi disiplin tersebut tidak mungkin terealisasi melalui sebuah buku dars, walaupun sebuah buku tersebut memenuhi semua persyaratan dengan sempurna. Oleh karena itu, sejumlah buku-buku dars diperlukan untuk membina daya tahan intelektual para pemikir muslim dan untuk pegangan di perguruan tinggi.
Langkah Keduabelas : Penyebarluasan Ilmu-ilmu yang Telah Diislamisasikan.
Adalah sesuatu yang sia-sia apabila hasil karya para ilmuan
muslim hanya disimpan, atau hanya diketahui oleh segelintir kawan-kawan
penulis, atau hanya satu lembaga, atau satu Negara saja. Karya apapun
yang dibuat berdasarkan Lillahi Ta’ala adalah milik seluruh
ummat Islam. Pemanfaatan karya-karya tersebut tidak akan keberkahan dari
Allah Swt, kecuali jika dilaksanakan untuk sebanyak-banyak mungkin
makhluk-Nya.
Selayaknya karya intelektual yang dibuat
berdasarkan langkah-langkah yang diuraikan sebelumnya dimaksudkan untuk
membangkitkan, mencerahkan dan memperkaya ummat Islam, bahkan ummat
manusia di dunia.
Selanjutnya, produk atau hasil rencana
kerja tersebut harus secara resmi disajikan di semua perguruan tinggi
muslim dunia dengan harapan agar mereka mempertimbangkan produk tersebut
sebagai bahan bacaan wajib di fakultas yang sesuai.
Sedangkan menurut Al Attas, proses islamisasi ilmu melibatkan 2 (dua) langkah utama, yaitu :
Langkah Pertama : proses mengasingkan unsure-unsur dan konsep-konsep utama barat dari ilmu tersebut.
Langkah Kedua :
menyerapkan unsur-unsur dan konsep-konsep utama Islam ke dalamnya.
Jelasnya, ilmu hendaklah diserapkan dengan unsur-unsur dan konsep pokok
Islam setelah unsur-unsur dan konsep pokok asing dikeluarkan dari setiap
ranting.
Yang dimaksud dengan unsur-unsur dan konsep-konsep pokok Islam adalah : (1) manusia, (2) din, (3) ilmu dan ma’rifah, (4) hikmah, (5) “adl, (6) amal adab, dan (7) konsep universitas (kuliyyah jami’ah) mengambil unsur -unsur dan konsep-konsep asing tersebut. Semua unsur dan konsep ini hendaklah ditambahkan kepada konsep tauhid, syari’ah, sirah, sunnah dan tarikh.
Unsur-unsur dan konsep-konsep pokok asing yang dimaksud adalah : (1) Konsep dualisme yang meliputi hakikat dan kebenaran, (2) Doktrin humanisme, (3) Ideologi sekuler, dan (4) Konsep tragedi, khususnya dalam kesusastraan.
Konsep islamisasi ilmu pengetahuan (sains) sebagaimana dikemukakan dalam langkah-langkah tersebut di atas akan melahirkan beberapa paradigma integrasi pendidikan Islam, yaitu :
- Menjadikan Tauhid sebagai landasan dan tujuan keilmuan.
- Paradigma islamisasi ilmu pengetahuan oleh Azhar Arsyad disebutnya sebagai “sintesis sel antara sains dan ilmu agama”
- Menurunkan konsep teoritik ilmiah dari ideologi yang bersumber dari konsep agama.
- Menguatkan hasil temuan ilmiah dengan ajaran Agama.
5. Alat-Alat Bantu Lain Untuk Mempercepat Islamisasi Sains
Alat bantu lain untuk mempercepat Islamisasi ilmu pengetahuan (sains) antara lain melalui :
- Konfrensi-Konferensi dan Seminar-Seminar
Hal ini harus diselenggarakan untuk
melibatkan berbagai ahli di berbagai bidang ilmu yang sesuai dalam
merancang pemecahan masalah-masalah.
- Lokakarya-Lokakarya Untuk Pembinaan Staf
- Para guru/dosen/ustadz/kiyai dan sebagainya untuk mengislamkan sains di dalam segala kegiatannya.
6. Tantangan Islamisasi Sains
Tantangan utama dalam Islamisasi ilmu
pengetahuan (sains) datang dari kalangan cerdik sendekiawan Islam itu
sendiri. Mereka terdiri dari beberapa golongan, yaitu :
Pertama : golongan yang
sependapat dengan gagasan ini secara teori dan konsepnya, dan berusaha
untuk merealisasikan dan menghasilkan karya yang menepati maksud
islamisasi dalam disiplin ilmu mereka.
Kedua : golongan yang sependapat dengan gagasan ini secara teori dan konsep tetapi tidak mengusahakannya secara praktis.
Ketiga : golongan yang tidak
sependapat dan sebaliknya mencemooh, mengejek dan mempermainkan gagasan
ini. Biasanya golongan ini berargumen bahwa semua ilmu datangnya dari
Allah, dan justru semua ilmu adalah benar dan secara tabiatnya sudah
Islam.
Keempat : golongan yang tidak
mempunyai pengetahuan terhadap isu islamisasi sains. Mereka lebih suka
mengikuti perkembangan yang dirintis oleh sarjana lain atau bahkan
mereka tidak memperdulikannya.
B. Konsep Islamisasi Kampus
Untuk menahan sekulerisme, organisasi
profesi dan cendekiawan yang sekarang ada perlu dimanfaatkan,
forum-forum formal atau informal dapat digunakan untuk bermujadalah
(berdialog) secara intelektual. Demikian juga media massa yang memadai
akan dapat menjelaskan secara teoritik tentang permasalahan sosial
budaya dari sudut pandang integral Islami. Sementara itu,
lembaga-lembaga yang ada dapat dimanfaatkan untuk menautkan agama dengan
berbagai sektor kehidupan. Untuk itu, sejumlah pikiran utama mengenai
bidang-bidang yang strategis harus sudah disiapkan, sehingga orang Islam
yang tidak mempunyai akses ke dalam kelompok perjuangan Islampun akan
dapat memetik ide-ide tersebut. Untuk keperluan ini dibutuhkan
lembaga-lembaga penelitian dan pengembangan yang mampu menampilkan
ide-ide strategis untuk menawarkan alternatif-alternatif dalam
menghadapi permasalahan modern.[9]
Di sinilah tantangan terbesar bagi Perguruan tinggi Agama Islam, yakni
melahirkan intelektual muslim yang mampu melahirkan konsep-konsep Islami
yang aplikatif dalam masyarakat Islam yang hidup di era globalisasi.
1. Moral Akademik di Lingkungan Kampus
a. Moral Mahasiswa
Sebagaimana diketahui tujuan studi di
perguruan tinggi Islam adalah untuk mencetak sarjana muslim yang
bertakwa, berprestasi, berakhlak mulia serta setia kepada Pancasila dan
UUD 1945. Oleh karena itu, secara moral setiap mahasiswa harus mampu
menanamkan sikap-sikap, sebagaimana yang dikemukakan oleh Imam Al
Ghazali sebagai berikut :[10]
1) Mengutamakan kesucian jiwa dari
sikap dan sifat yang tercela. Hal ini sangat penting, sebab ilmu
merupakan ibadah hati dan merupakan pendekatan batin kepada Allah Swt.
2) Mengurangi hal-hal keduniaan,
dan menjauhkan diri dari keluarga dan tanah air. Hal ini dimaksudkan
agar konsentrasi dalam studi.
3) Menghindarkan diri dari sikap
sombong dan merendahkan diri kepada guru. Termasuk di dalamnya keinginan
belajar kepada guru-guru yang termasyhur dan terkenal, karena hikmah
atau ilmu adalah benda hilang orang-orang mukmin, ia harus mencari dan
mendapatkannya dari siapa saja, sebab ilmu itu diberikan kepada siapa
saja.
4) Bagi yang baru memasuki wilayah
kajian keilmuan, hendaknya menghindarkan diri dari perdebatan pendapat
tentang suatu disiplin ilmu, baik iilmu dunia maupun ilmu akhirat.
5) Menerapkan prinsip belajar seumur hidup
6) Mampu membuat skala prioritas tentang disiplin ilmu yang akan dipelajarinya.
7) Menghindarkan diri dari
menekuni disiplin ilmu yang baru sebelum ia menguasai disiplin ilmu yang
dipelajari sebelumnya.
8) Memiliki kemampuan untuk
menemukan dasar kemuliaan ilmu, yakni kemuliaan akan buah ilmu, dan
kepercayaan akan landasan teori dan kekuatan epistimologinya.
9) Menanamkan niat yang kuat untuk
mencapai keridhaan Allah Swt dalam menuntut ilmu dan menghiasi batinnya
dengan keutamaan-keutamaan.
10) Kemampuan untuk menemukan kaitan
antara suatu disiplin ilmu dengan tujuannya, baik tujuan jangka pendek
maupun tujuan jangka panjang.
Dalam pembinaan mahasiswanya, perguruan tinggi Islam mengacu pada pelaksanaan Tri Dharma Perguruan Tinggi
dari segi keislaman, yakni menempatkan agama sebagai model penggerak
pembangunan nasional. Dalam upaya untuk mencapai generasi yang memiliki
kepribadian tangguh, berwawasan keagamaan dan kebangsaan yang luas dan
mampu menempatkan agama sebagai motivator pembangunan, maka mahasiswa
harus memiliki sifat-sifat :
1) Takwa dan tawakkal kepada Allah Swt
2) Sadar dan menghayati nilai-nilai Islam
3) Percaya diri dan menghargai orang lain
4) Terbuka terhadap ide dan gagasan baru
5) Berorientasi pada masa depan bangsa dan ummat
6) Bersifat demokratis dan adil
7) Efesien
Sebagai masyarakat akademik mahasiswa harus memiliki tradisi dan kebebasan akademik yang bercirikan :
Pertama : Masyarakat ilmiah,
yang mempunyai ciri-ciri : kritis, objektif, analitis, kreatif dan
konstruktif, terbuka untuk menerima kritik, menghargai waktu dan
prestasi akademik, bebas prasangka, kemitraan di antara civitas
akademik, dialogis, memiliki dan menjunjung tinggi norma dan susila
akademik serta tradisi ilmiah, dinamika dan berorientasi ke masa depan.
Kedua : Tradisi dan kebebasan akademik.
Tradisi akademik ditandai dengan : tidak pernah merasa dirinya sebagai
orang yang paling benar atau pintar, hasil penelitiannya selalu terbuka
terhadap kritik dan penelitian lebih lanjut, proses belajar-mengajar
selalu dalam suasana dialogis. Sedangkan kebebasan akademik meliputi :
kebebasan dalam menyatakan pikiran dan pendapat, mengajar dan belajar,
penelitian dan mimbar akademik.
Selanjutnya, sebagai masyarakat yang merupakan bagian dari civitas akademik, mahasiswa mempunyai hak dan kewajiban, yaitu :
1) Menjaga nama baik pimpinan, dosen dan almamaternya
2) Setiap permasalahan yang dihadapi
mahasiswa disalurkan secara hirarkis dan diusahakan diselesaikan di
tingkat fakultas, jika tidak bias diselesaikan di tingkat fakultas, maka
pimpinan fakultas berhubungan dengan pimpinan institut.
3) Menghargai dan mentaati setiap
keputusan musyawarah lembaga kemahasiswaan dan ketentuan lainnya yang
berlaku bagi mahasiswa.
4) Memelihara keamanan, ketertiban, kebersihan dan keindahan kampus serta fasilitas prasarana lainnya.
5) Membina kerjasama yang harmonis antara sesama mahasiswa dan berusaha menghindarkan pertentangan.
6) Bertingkah laku yang sopan dan berbudi pekerti yang mencerminkan akhlaqul karimah di dalam kehidupan sehari-hari.
7) Menjauhkan diri dari perbuatan tercela yang dapat mencemarkan nama baik pribadi, almamater dan agama.
- b. Moral Dosen
Menurut Al Ghazali terdapat delapan sikap yang harus dimilki guru atau dosen, yaitu sebagai berikut :[11]
1) Memperlakukan mahasiswa dengan penuh
kasih sayang sebagaimana ia memperlakukan anaknya sendiri. Sebagaimana
sabda Rasulullah Saw :
اِنَّمَا اَنَا لَكُمْ مِثْلُ الْوَالدِ لِوَلَدِهِ
“sesungguhnya aku bagimu adalah seperti orang tua kepada anaknya”
2) Mengajarkan ilmu dengan penuh
keikhlasan, sebagaimana para Nabi yang tidak pernah meminta imbalan
apapun dari ilmu yang diajarkannya kecuali hanya mengharapkan keridhaan
Allah Swt.
3) Membimbing mahasiswa agar dalam menuntut ilmu selalu mematuhi nasehat-nasehat dosen
4) Mencegah mahasiswa dari perbuatan-perbuatan tercela.
5) Seorang dosen yang menguasai satu bidang disiplin ilmu hendaknya bersikap terbuka pada berbagai disiplin ilmu lain.
6) Mendidik mahasiswa sesuai dengan
tingkat kemampuannya, sebab jika ilmu diajarkan tidak sesuai bidang atau
kemampuannya ilmu tersebut akan sia-sia. Sebagaimana sabda Rasulullah
Saw :
طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلىَ كُلِّ
مُسْلِمٍ وَوَاضِعُ الْعِلْمِ عِنْدَ غَيْرِ أَهْلِهِ كَمُقَلِّدِ
الْخَنَازِيْرِ الْجَوْهَرَ وَالُّؤْلُؤَ وَالذَّهَبَ (رواه ابن ماجه)
“Mencari ilmu itu adalah wajib bagi
stiap muslim, memberikan ilmu kepada orang yang bukan ahlinya (tidak
tepat) seperti orang yang mengalungi bab dengan permata, mutiara atau
emas” (HR. Ibnu Majah no. 220)
7) Menjelaskan pelajaran atau mata kuliah dengan sejelas-jelasnya, hal ini dimaksudkan agar tidak terjadi kesalah pahaman.
8) Mengamalkan ilmu pengetahuan yang
dikuasainya. Hal ini mutlak penting, sebab dosen merupakan panutan bagi
para mahasiswa. Jika seorang dosen enggan mengamalkan ilmunya atau
mengamalkan sesuatu yang bertentangan dengan ilmunya, termasuk dosa
besar dan hasilnya ilmu yang dipelajari tidak akan menghasilkan
kebajikan melainkan kebatilan. Firman Allah Swt.
أَتَأْمُرُونَ النَّاسَ بِالْبِرِّ وَتَنسَوْنَ أَنفُسَكُمْ وَأَنتُمْ تَتْلُونَ الْكِتَابَ أَفَلاَ تَعْقِلُونَ
“Mengapa kamu suruh orang lain
(mengerjakan) kebaikan, sedang kamu melupakan diri (kewajiban) mu
sendiri, padahal kamu membaca Al Kitab ? Maka tidakkah kamu berpikir?” (QS. Al Baqarah (20) : 44)
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لِمَ
تَقُولُونَ مَا لَا تَفْعَلُونَ كَبُرَ مَقْتًا عِندَ اللَّهِ أَن
تَقُولُوا مَا لَا تَفْعَلُونَ
“Hai orang-orang yang beriman,
mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu perbuat? (3)Amat besar
kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tiada kamu
kerjakan” (QS. Asshaf (61) : 2-3)
- 2. Fasilitas dan Sarana di Lingkungan Kampus
Selain pelaku akademis, yang di dalamnya
terdapat mahasiswa dan dosen, tidak kalah penting adalah fasilitas dan
sarana/prasarana yang terdapat di dalam kampus itu sendiri perlu
diislamkan. Fasilitas dan sarana yang ada di dalam masyarakat Islam
harus digunakan, terlebih lagi perguruan tinggi agama Islam.
Simbol-simbol yang terdapat di dalam kampus perlu diislamisasi.
III. KESIMPULAN
Dari uraian di atas yang berkaitan dengan konsep islamisasi sains dan kampus dapat disimpulkan bahwa :
- Konsep islamisasi ilmu pengetahuan (sains), baik menurut Al Attas maupun Al Faruqi pada dasarnya adalah sama yaitu menjadikan ilmu pengetahuan (sains) tidak netral atau bebas nilai, bertujuan yang sama, dan konsep islamisasi sains yang mereka bawa berpegang kepada prinsip metafisik, ontologi, epistimologi dan aksiologi Islam yang berdasarkan kepada konsep Tauhid.
- Islamisasi ilmu pengetahuan (sains) mutlak diperlukan, karena selain untuk mengejar ketertinggalan Ummat Islam, juga sebagai jawaban terhadap kritik terhadap perkembangan ilmu pengetahuan modern yang selama ini telah bebas nilai dan terlepas dari akar transendental.
- Selain islamisasi sains, lembaga dalam hal ini adalah kampus juga mutlak diperlukan untuk mendukung proses dan keberhasilan islamisasi ilmu pengetahuan itu sendiri, baik dari segi civitas akademik dalam hal ini adalah mahasiswa dan dosen maupun fasilitas dan sarana/prasarana.
والله أعلم بالصوّاب
Catatam Kaki :
[1] Ismail SM dkk, Paradigma Pendidikan Islam, Semarang: Pustaka Pelajar, 2001, hal
[2] Marwan Saridjo, Mereka Bicara Pendidikan Islam Sebuah Bunga Rampai, Jkt : Raja Grafindo Persada, 2009, hal 333
[3] Ismail Raji Al Faruqi, Islamisasi Pengetahuan, Jakarta : Pustaka, 1984, hal 23
[4] Tim Pustaka Phoenix, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Baru ( Jakarta : Media Pustaka Phoenix, 2008, hal 482
[5] Rosnani Hashim, Gagasan Islamisasi Ilmu Pengetahuan Kontemporer : sejarah Perkembangan dan Arah Tujuan, (Islamia Thn II No.6/Juli-September, 2005), hal. 34
[6] Marwan Saridjo, hal 334
[7] Ismail Raji Al Faruqi, Islamisasi Pengetahuan, Jakarta : Pustaka, 1984, hal
[8] Depag RI, Al Qur’an dan Terjemahnya, Surabaya : CV Jaya Sakti, 1997, hal 13
[9] H.A. Yakub Matondang. Et.al. Perguruan Tinggi Islam di Era Globalisasi, (Yogya : Tiara Wacana, 1998), h. 17
[10] Imam Ghazali, Ringkasan Inya’ Ulumuddin, (terj), ( Jakarta : Sahara Intisains, 2009), h. 47
[11] Imam Al Ghazali, hal 51